Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Selasa, 24 Juni 2014

KH. Choer Affandi (Uwa Ajengan)



Mengenal Lebih Dekat Sosok "Uwa Ajengan"

KH. Choer Affandi lahir pada tahun 1923 M/ 1342 H., di kampung Palumbungan, Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kewedanan Cijulang, Kabupaten Ciamis.
Nama kecil beliau yaitu: Onong Husein, beliau dilahirkan dari Pasangan Raden Mas Abdullah bin Hasan Ruba'I yang masih berketurunan dari Kerajaan Mataram dan ibuda Siti Aminah binti Marhalan yang mempunyai keturunan dari Wali Godog Garut. KH. Choer Affandi merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, beliau mempunyai kakak yang bernama Husein (Darajat) dan seorang adik perempuan yang bernama Husnah (Emih).
Dalam keperibadian Onong Husein kecil mengalir darah kebangsawanan, semangat perjuangan ulama dan karakteristik kepemimpinan yang khas, begitu pula dalam bidang disiplin keilmuan beliau memilih mempelajari ilmu-ilmu agama Islam yang berikutnya dijadikannya sebagai landasan didalam perjuangannya dan berinteraksi dengan masyarakat melalui dakwah. Hal tersebut diungkapakan oleh salah seorang tokoh Miftahul Huda KH. Abdul Fatah (Aa) yang juga mendampingi perjalanan beliau.
Sewaktu beliau kecil, ayahnya menjadi begian dari salahsatu yang dipekerjakan oleh penjajahan Belanda, hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi neneknya yang bernama Haesusi terhadap perjalanan cucunya kelak, sehingga setelah beliau menamatkan pendidikan umumnya di HIS tahun 1936 M, maka pada tahun itupula neneknya menempatkan Onong Husein untuk mengaji di Pesantren KH. Abdul Hamid.
Sewaktu beliau berada lingkungan pendidikan Pondok Pesantren, baliau mempelajari berbagai bidang keilmuan Agama Islam. dan beliau membaginya menjadi bebrapa kajian "fan" Keilmuan.
Berbagai "fan" keilmuan yang beliau miliki didapatkan dari berbagai tempat pendidikan (Pesantren) dan beberapa Guru. Berikut beberapa Pesantren yang beliau lalui:
  • Tauhid: Pesantren Cipancar Cigugur Pangkalan, LangkapLancar Ciamis, KH. Abdul Hamid
  • Fiqih: Pesantren Cikalang Tasikmalaya
  • Alat; Kitab-kitab: Ibtida: Sukamanah Singaparna, Tsanawi: Sukamanah- Singaparna - KH. Masluh Legok Ringgit, Ma'hadul 'Aly: Lewisari, Paniis Singaparna.
  • Tafsir & Asmaul Husna, Guyung Puyuh Sukabumi dari KH. Ahmad Sanusi
  • Suluk/ Falak, Jembatan Lima, Grogol Jakarta Barat dari KH. Tuan Manshur
  • Ruhul Jihad: Pesantren Sukahideng Singaparna, Tasikmalaya dari KH. Zaenal Musthofa.
  • Faroidh (ilmu waris): Babakan Tipar Sukabumi dari KH. Mahfudz
  • Qur'an & Tazwid: Cigeureung Kota Tasikmalaya

Mengemban Perjuangan dan Da'wah

KH. Choer Affandi memiliki julukan khas daerah dari berbagai kalangan masyarakat, yaitu: "Uwa Ajengan" dimana "Ajengan" adalah sebutan Kiyai dalam Bahasa Sunda, sedangkan "Uwa" yang dimaksud adalah pendekatan bagi yang dituakan.
Didalam berdakwah, Uwa Ajengan memperkuat dakwahnya dengan membangun pondasi kebersamaan melalui berbagai ikatan dan lembaga-lembaga kepesantrenan. Hal tersebut menjadi cikal-bakal terbentuknya jaringan dakwah berbasis ikatan alumni Miftahul Huda yang kini terus meluas di tanah air.

Mendirikan Lembaga Kepesantrenan

Salahsatu strategi yang dijalankan dalam berdakwah oleh Uwa Ajengan yaitu dengan membangun berbagai lembaga kepesantrenan, dan Uwa Ajengan sendiri menjadi pendiri dan Pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda Tasikmalaya sampai akhir hayatnya.
Cikal bakal berdirinya pondok pesantren Miftahul Huda sekarang adalah Pondok Pesantren Wanasuka, dimana awalnya KH. Choer Affandi mendirikan sebuah Pondok Pesantren Wanasuka pada tahun [TAHUN] di Cigugur, Ciamis. Seiring kondisi pergerakan dan perjalanan dakwah waktu itu maka KH. Choer Affandi berpindah tempat ke wilayah Tasikmalaya dan sekaligus Wanasuka yang menjadi titik awalnya pembangunan lembaga kepesantrenan mengikuti perjalanan Uwa Ajengan dan di Tasikmalaya Uwa Ajengan mendirikan Pondok Pesantren dengan nama Pesantren Gombongsari di kampung Cisitukaler desa Pasirpanjang Manonjaya Tasikmalaya.
Perkembangan pesantren Gombongsari pun terus meningkat, beberapa santri dari berbagai tempat berdatangan, sehingga lokasi pesantren Gombongsari berbenturan dengan area perluasan, dan Gombongsari pun dipindahkan ke lokasi baru yang sekarang dan sekaligus berganti nama menjadi Miftahul Huda. yang dibangun diatas tanah waqaf dari seorang aghniya berasal dari Manonjaya Tasikmalaya. Kini Miftahul Huda terletak di areal tanah seluas 8 hektar dan terus bertambah seiring perkembangan perluasan pembangunan pesantren.

Catatan: Tulisan belum sepenuhnya di selesaikan dan di ACC pihak keluarga, sampai tulisan ini hilang, dilarang Copy - Paste dan menyebarkan ke berbagai blog.
Dibaca 1640 kali

Senin, 16 Juni 2014

KH ABDULLAH SALAM "Wali yang Penuh Karamah"


Wali yang Penuh Karamah
Kewalian Mbah Dullah, KH Abdullah Salam dari Kajen Pati, diakui justru karena sepanjang hidupnya, ia berusaha melaksanakan ajaran dan keteladanan pemimpin agungnya, Muhammad SAW. Terutama dalam sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatannya; baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama hambaNya.

Berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih, menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang.

Melihat penampilan dan rumahnya yang tidak lebih baik dari gotakan tempat tinggal santri-santrinya, mungkin orang akan menganggapnya miskin; atau minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap minggu sekali pengajiannya diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan semuanya disuguhi makan.

Selain pengajian-pengajian itu, setiap hari ia menerima tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa masalah untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga, ekonomi, hingga yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan minyak pun beliau terima dan beliau ‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka.
 
Ketika ia masih menjadi pengurus (Syuriyah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. KH Abdullah Salam tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, yang diselenggarakan wilayah maupun cabang. Pada saat pembukaan muktamar ke 28 di Situbondo, panitia memintanya –atas usul kiai Syahid Kemadu—untuk membuka Muktamar dengan memimpin membaca Fatihah 41 kali. Dan ia jalan kaki dari tempat parkir yang begitu jauh ke tempat sidang, semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.

Semasa kondisi tubuh nya masih kuat, ia juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin khataman Quran, menikahkan orang, memimpin doa, dsb.

Ketika kondisi nya sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acaranya di rumahnya. Mbah Dullah, begitu orang memanggil kiai sepuh haamilul Qur’an ini, meskipun sangat disegani dan dihormati termasuk oleh kalangan ulama sendiri, ia termasuk kiai yang menyukai musyawarah. 

Ia bersedia mendengarkan bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang, termasuk dari kalangan yang lebih muda. Ia rela meminjamkan telinganya hingga untuk sekedar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini adalah bagian dari sifat tawaduk dan kedermawanannya yang sudah diketahui banyak orang.

Tawadu atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau direndahkan.

Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah diri muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan gagah luar dalam. Kekuatannya ditopang oleh kekayaan lahir dan terutama batin. Itu sebabnya, disamping dermawan dan suka memberi, Mbah Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kiai yang tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai meminta. Pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa dari orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya? 

Ya, mbah Dullah adalah tokoh yang mulai langka di zaman ini. Tokoh yang hidupnya seolah-olah diwakafkan untuk masyarakat. Bukan saja karena ia punya pesantren dan madrasah yang sangat berkualitas; lebih dari itu sepanjang hidupnya, mbah Dullah tidak berhenti melayani umat secara langsung maupun melalui organisasi (Nahdlatul Ulama).

Mungkin banyak orang yang melayani umat, melalui organanisi atau langsung; tetapi yang dalam hal itu, tidak mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana mbah Dullah, saya rasa sangat langka saat ini. Melayani bagi mbah Dullah adalah bagian dari memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi beliau, sebagaimana meminta –bahkan sekedar menerima imbalan jasa-- merupakan salah satu pantangan utama. 

Ia tidak hanya memberikan waktunya untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam. Beliau mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum perempuan yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersana’. Mereka yang mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga makan setelah mengaji.

Pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji, berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kok dikasi makan semua, kan kasihan kiai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami mbah Dullah dengan salam tempel, bersalaman dengan menyelipkan uang. Spontan mbah Dullah minta untuk diumumkan, agar jamaah yang mengaji tidak usah bersalaman dengannya sehabis mengaji. “Cukup bersalaman dalam hati saja!” katanya. 

Konon orang kaya itu kemudian diajak Mbah Dullah ke rumahnya yang sederhana dan diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh atap rumah, “Lihatlah, saya ini kaya!” kata mbah Dullah kepada tamunya itu. 

Memang hanya hamba yang fakir ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah, yang sebenar-benar kaya.

Kisah lain; pernah suatu hari datang menghadap Mbah Dullah, seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang ratusan ribu. Uang itu disodorkan kepada Mbah Dullah sambil berkata: “Terimalah ini, mbah, sedekah kami ala kadarnya.”

“Di tempat Sampeyan apa sudah tak ada lagi orang faqir?” tanya mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang yang disodorkan tamunya, “kok Sampeyan repot-repot membawa sedekah kemari?”

“Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah; semua sudah saya beri.”

“Apa Sampeyan menganggap saya ini orang faqir?” tanya mbah Dullah.

“Ya enggak, mbah …” jawab si tamu terbata-bata. 

Belum lagi selesai bicaranya, mbah Dullah sudah menukas dengan suara penuh wibawa: “Kalau begitu, Sampeyan bawa kembali uang Sampeyan. Berikan kepada orang faqir yang memerlukannya!”

Kisah di atas yang beredar tentang ‘sikap kaya’ mbah Dullah semacam itu sangat banyak dan masyhur di kalangan masyarakat daerahnya.

Mbah Dullah ‘memiliki’, di samping pesantren, madrasah yang didirikan bersama rekan-rekannya para kiai setempat. Madrasah ini sangat terkenal dan berpengaruh; termasuk –kalau tidak satu-satunya— madrasah yang benar-benar mandiri dengan pengertian yang sesungguhnya dalam segala hal.

32 tahun pemerintah orde baru tak mampu menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah ini. Orientasi keilmuan madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini. Mereka yang akan sekolah dengan niat mencari ijazah atau kepentingan-kepentingan di luar ‘menghilangkan kebodohan’, jangan coba-coba memasuki madrasah ini.

Ini bukan berarti madrasahnya itu tidak menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama sekali. Seperti umumnya ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiimis shaalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah’, “ Memelihara yang lama yang relevan dan mengambil yang baru yang lebih relevan”. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Singkat kata, sebagai madrasah tempat belajar, madrasah mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang membedakan ialah karakternya.

Agaknya mbah Dullah –rahimahullah — melalui teladan dan sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin mencetak manusia-manusia yang kuat ‘dari dalam’; yang gagah ‘dari dalam’; yang kaya ‘dari dalam’; sebagaimana ia sendiri. Manusia yang berani berdiri sendiri sebagai khalifah dan hanya tunduk menyerah sebagai hamba kepada Allah SWT.

Bila benar; inilah perjuang yang luar biasa berat. Betapa tidak? Kecenderungan manusia di akhir zaman ini justru kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi mbah Dullah. Manusia masa kini justru seperti cenderung ingin menjadi orang kuat ‘dari luar’; gagah ‘dari luar’; kaya ‘dari luar’, meski terus miskin di dalam.

Orang menganggap dirinya kuat bila memiliki sarana-sarana dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat; meski bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk yang paling lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju gagah; meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah; meski setiap saat terus merasa kekurangan.

Sayang sekali jarang orang yang dapat menangkap kelebihan mbah Dullah yang langka itu. Bahkan yang banyak justru mereka yang menganggap dan memujanya sebagai wali yang memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat melihat hal-hal yang ghaib; dapat bicara dengan orang-orang yang sudah meninggal; dapat menyembuhkan segala penyakit; dsb. dst. Lalu karenanya, memperlakukan orang mulia itu sekedar semacam dukun saja. Masya Allah!

Dari sentuhan tangan dinginnya di Pesantren yang terletak di pinggiran pantai utara Jawa itu, lahir ulama-ulama besar seperti KH Sahal Mahfudz, KH Abdurrahman Wahid dll.

Begitulah; Mbah Dullah yang selalu memberikan keteduhan itu telah meninggalkan kita di dunia yang semakin panas ini. Ia sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila meninggal. Agaknya ia, seperti saat hidup, tidak ingin menyusahkan atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak tertahankan untuk menghadap Khaliqnya.

25 Sya’ban 1422 bertepatan 11 November 2001 sore, ketika Mbah Dullah dipanggil kerahmatullah, wasiat pun dilaksanakan. Ia dikebumikan sore itu juga di dekat surau sederhananya di Polgarut Kajen Pati.

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-sejatiKu, dan masuklah ke dalam sorgaKu!”(Aji Setiawan)

MBAH DALHAR WATUCONGOL "Kiai Pedakwah dan Pejuang Kemerdekaan"

Kiai Pedakwah dan Pejuang Kemerdekaan
Ia memang masih keturunan dari laskar pejuang Pangeran Diponegoro di eks Karsidenan Kedu. Tak heran selain berdakwah, Mbah Dalhar juga mewarisi semangat perjuangan dalam merebut dan mempertahankan Kemerdekaan R.
Mbah Kiai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H (12 Januari 1870 M). Ketika lahir ia diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallahbernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo.
Kiai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kiai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kiai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kiai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena ia lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika ia hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat ia tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang puteranya bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis–habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure–figure yang dapat membantu perjuangannya melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad di masyarakat.
Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kiai Abdurrauf.
Pesantren Kiai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kiai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kiai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol.


Nama “Dalhar”

Mbah Kiai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak-kanaknya, ia belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kiai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kiai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kiai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah dari Salaman, saat ia berusia 15 tahun mbah Kiai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Oleh ayahnya, mbah Kiai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kiai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayahnya sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kiai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kiai Dalhar pada gurunya.
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahabat karibnya yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kiai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.
Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kiai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kiai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kiai Dalhar.
Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kiai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena ia diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kiai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kiai Dalhar. Hingga ahirnya ia memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama aslinya. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kiai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kiai “Dalhar”.
Ketika berada di Hejaz inilah Kiai Nahrowi Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan namanya di tanah Jawa.


Hizb Bambu Runcing

Mbah Kiai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Selama di tanah suci, mbah Kiai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kiai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, ia lari keluar tanah Haram.
Setelah pulang dari tanah suci, sekitar tahun 1900 M ia kemudian meneruskan perdikan peninggalan nenek moyangnya yang berupa pondok kecil di kaki bukit kecil Gunung Pring, Watu  Congol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Kurang lebih 3 kilometer sebelah timur Candi Borobudur. Pondok pesantren kecil ini lambat laun tidak hanya dihuni oleh santri-santri sekitar eks Karsidenan Kedu saja namun sampai pelosok tanah Jawa.
Bahkan ketika masa-masa perang pra dan masa kemerdekaan, pondok pesantren Watucongol menjadi markas dan sekaligus tempat singgah para pejuang tentara bambu runcing yang datang Jogjakarta dan wilayah Jawa bagian barat seperti eks Karsidenan Banyumas dan sebagian dari Jawa Barat. Konon ceritanya, bambu runcing para pejuang harus di asma hizb dahulu oleh KH Dalhar dan KH Subekhi (Parak, Temanggung) sebelum menyerang markas penjajah Belanda di Ambarawa, Semarang, (lihat buku: Jejak Kaki Persantren, karya KH Saifuddin Zuhri).
Dikisahkan, dengan bermodalkan bambu runcing, para pejuang kemerdekaan menyerang benteng Belanda di Ambarawa, bambu-bambu runcing mampu terbang dengan sendirinya bak senapan menyerang tentara-tentara Belanda. Sementara bombardir peluru serta granat tangan kumpeni Belanda tidak mampu melukai apalagi menyentuh kulit para pejuang Republik Indonesia.        
Karya mbah Kiai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah KitabTanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abu Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah.
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepadanya semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kiai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M dan beliau kemudian di makamkan di komplek makam Gunung Pring, Watucongol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Sekalipun jasadnya telah terkubur dalam tanah, karya dan penerus perjuangan Mbah Dalhar tetap berkelanjutan sampai sekarang. Pondok Pesantren Darussalam, Watu Congol adalah saksi sejarah napak tilas perjuangan dakwah Mbah Dalhar. Jalan menuju makam Watucongol memang terbilang mudah. Peziarah ruhani biasanya melengkapi ziarah Wali Songo atau wisata liburan dengan melewati jalur tengah yang menghubungkan jalan utama dari Jogjakarta menuju Semarang. Ketika melewati kota Muntilan, dari arah pasar Muntilan cukup sekitar 5 kilo ke sebelah barat menunuju kawasan Gunung Pring.
Untuk memperingati jejak sejarah Mbah Dalhar dan Pesantren Darusalam Watu Congol Muntilan, setiap akhir bulan Sya’ban tahun Hijriah biasanya haulnya diperingati di kompleks Pesantren Darussalam Watucongol, dan Kompleks makam Gunung Pring Muntilan Magelang. Dipastikan kedua kompleks perdikan bersejarah itu tak pernah sepi oleh penziarah yang datang tidak saja dari penjuru Nusantara namun juga negeri mancanegara. (Aji Setiawan/Anam)

Kiai Romly Tamim, Penyusun Doa Istighotsah

Kiai Romly Tamim, Penyusun Doa Istighotsah
Kata "Istighotsah" (إستغاثة) adalah bentuk masdar dari Fi'il Madli Istaghotsa (إستغاث) yang berarti mohon pertolongan. Secara terminologis, istigotsah berarti beberapa bacaan wirid (awrad) tertentu yang dilakukan untuk mohon pertolongan kepada Allah SWT atas beberapa masalah hidup yang dihadapi.
Istighotsah ini mulai banyak dikenal oleh masyarakat khususnya kaum Nahdliyyin baru pada tahun 1990 an. Di Jawa Timur, ulama yang ikut mempopulerkan istighotsah adalah Almarhum KH Imron Hamzah (Rais Syuriyah PWNU Jatim waktu itu). Namun di kalangan murid Thariqah, khususnya Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, Isighotsah ini sudah lama dikenal dan diamalkan.
Bacaan istighotsah yang banyak diamalkan oleh warga Nahdliyyin ini, bahkan sekarang meluas ke seluruh penjuru negeri sebenarnya disusun oleh KH Muhammad Romly Tamim, seorang Mursyid Thariqah Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, dari Pondok Pesantren Rejoso, Peterongan, Jombang. Hal ini dibuktikan dengan kitab karangan beliau yang bernama Al-Istighatsah bi Hadrati Rabb al-Bariyyah" (tahun 1951) kemudian pada tahun 1961 diterjemah ke dalam bahasa Jawa oleh putranya KH Musta'in Romli.
KH Muhammad Romly Tamim adalah salah satu putra dari empat putra Kiai Tamim Irsyad (seorang Kiai asal Bangkalan Madura). Keempat putra Kiai Tamim itu ialah Muhammad Fadlil, Siti Fatimah, Muhammad Romly Tamim, dan Umar Tamim.
KH Muhammad Romly Tamim lahir pada tahun 1888 H. di Bangkalan Madura. Sejak masih kecil, beliau diboyong oleh orang tuanya KH. Tamim Irsyad ke Jombang. Di masa kecilnya, selain belajar ilmu dasar-dasar agama dan Al-Qur'an kepada ayahnya sendiri juga belajar kepada kakak iparnya yaitu KH Kholil (pembawa Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Rejoso).
Setelah masuk usia dewasa, beliau dikirim orang tuanya belajar ke KH. Kholil di Bangkalan, sebagaimana orang tuanya dahulu dan juga kakak iparnya belajar ke beliau. Kemudian setelah dirasa cukup belajar ke Kiai Kholil Bangkalan, beliau mendapat tugas untuk membantu KH Hasyim Asy'ari mengajarkan ilmu agama di Pesantren Tebuireng, sehingga akhirnya beliau diambil sebagai menantu oleh Kiai Hasyim yaitu dinikahkan dengan putrinya yang bernama Izzah binti Hasyim pada tahun 1923 M. Namun pernikahan ini tidak berlangsung lama karena terjadi perceraian.
Setelah perceraian tersebut, Mbah Yai Romly, begitu biasa dipanggil, pulang ke rumah orang tuanya, Kiai Tamim di Rejoso Peterongan. Tak lama kemudian beliau menikahi seorang gadis dari desa Besuk, kecamatan Mojosongo. Gadis yang dinikahi tersebut bernama Maisaroh. Dari pernikahannya dengan Nyai Maisaroh ini, lahir dua orang putra yaitu Ishomuddin Romly (wafat tertembak oleh tentara Belanda, saat masih muda), dan Musta'in Romly.
Putra kedua Kiai Romly yang tersebut  terakhir ini kemudian menjadi seorang Kiai besar yang berwawasan luas. Hal ini terbukti saat beliau menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Darul'Ulum Rejoso, beliau mendirikan sekolah-sekolah umum di dalam pesantren disamping madrasah-madrasah diniyah yang sudah ada. Sekolah-sekolah umum itu di antaranya SMP, SMA, PGA, SPG, SMEA, bahkan juga memasukkan sekolah negeri di dalam pesantren yaitu MTs Negeri dan MA Negeri. Sekolah-sekolah tersebut masih berjalan hingga sekarang.
Di samping menjadi Ketua Umum Jam'iyyah Ahli Thariqoh Mu'tabaroh dan Mursyid Thariqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah pada saat itu, Dr. KH. Musta'in Romly yang kemudian menjadi menantu KH. Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas ini juga merupakan satu-satunya Kiai pertama di Indonesia yang mendirikan sebuah Universitas Islam yang cukup ternama pada saat itu (tahun 1965), yaitu Universitas Darul'Ulum Jombang.
Kemudian setelah Nyai Maisaroh wafat, Mbah Yai Romly menikah lagi dengan seorang gadis putri KH. Luqman dari Swaru Mojowarno. Gadis itu bernama Khodijah. Dari pernikahannya dengan istri ketiga ini lahir putra-putra beliau yaitu: KH Ahmad Rifa'iy Romli (wafat tahun 1994), beliau adalah menantu Kiai Mahrus Ali Lirboyo, KH A. Shonhaji Romli (wafat tahun 1992), beliau adalah menantu Kiai Ahmad Zaini Sampang, KH. Muhammad Damanhuri Romly (wafat tahun 2001), beliau adalah menantu Kiai Zainul Hasan Genggong, KH. Ahmad Dimyati Romly (menantu Kiai Marzuki Langitan), dan KH. A. Tamim Romly, M.Si. (menantu Kiai Shohib Bisri Denanyar).
KH. Muhammad Romly Tamim, adalah seorang Kiai yang sangat alim, sabar, sakhiy, wara', faqih, seorang sufi murni, seorang Mursyid Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, dan pengasuh Pondok Pesantren Darul'Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang.
Di antara murid-murid beliau yang terkenal dan menjadi Kiai besar ialah KH. Muhammad Abbas (Buntet Cirebon), KH. Muhammad Utsman Ishaq (Sawahpuluh Surabaya), KH. Shonhaji (Kebumen), KH. Imron Hamzah (Sidoarjo).
KH. Muhammad Romly Tamim, disamping seorang mursyid, beliau juga kreatif dalam menulis kitab. Di antara kitab-kitab karangannya ialah: al-Istighotsah bi Hadrati Rabbil-BariyyahTsamratul FikriyahRisalatul Waqi'ahRisalatush Shalawat an-Nariyah. Beliau wafat di Rejoso Peterongan Jombang pada tanggal 16 Ramadlan 1377 H atau tanggal 6 April 1958 M.
Tata Cara Istighotsah
Melaksanakan istighotsah, boleh dilakukan secara bersama-sama (jamaah) dan boleh juga dilakukan secara sendiri-sendiri. Demikian juga waktunya, bebas dilakukan, boleh siang,  malam, pagi, atau sore. Seseorang yang akan melaksanakan  istighotsah, sayogianya ia sudah dalam keadaan suci, baik badannya, pakaian dan tempatnya,  dan suci dari hadats kecil dan besar.
Juga tidak kalah pentingnya, seseorang yang mengamalkan istighotsah menyesuaikan dengan bacaan dan urutan sebagaimana yang telah ditentukan oleh pemiliknya (Kiai Romly). Hal ini penting disampaikan, sebab tidak sedikit orang yang merubah bacaan dan urutan istighotsah  bahkan menambah bacaan sehingga tidak sama dengan aslinya. Padahal urutan bacaan istighotsah ini, menurut riwayat santri-santri senior Kiai Romli adalah atas petunjuk dari guru-guru beliau, baik secara langsung maupun lewat mimpi.
Diceritakan, sebelum membuat wirid istighotsah ini, beliau Kiai Romli melaksanakan riyaddloh dengan puasa selama 3 tahun. Dalam masa-masa riyadlohnya itulah beliau memperoleh ijazah wirid-wirid istighotsah dari para waliyulloh. Wirid pertama yang beliau terima adalah wirid berupa istighfar, dan karena itulah istighfar beliau letakkan di urutan pertama dalam istighosah. Demikian juga urutan berikutnya adalah sesuai dengan urutan beliau menerima ijazah dari para waliyyulloh lainnya. Oleh karena itu   sebaiknya dalam mengamalkan istighotsah seseorang menyesuaikan urutan wirid-wirid istighotsah sesuai dengan aslinya.
Setelah siap semuanya, barulah seseorang menghadap qiblat untuk memulai istighotsah dengan terlebih dahulu menghaturan hadiah pahala membaca surat al-Fatihah untuk Nabi, keluarga dan shahabatnya, tabi'in, para wali dan ulama khususnya Shahibul Istighatsah Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Romly Tamim. (Ishomuddin Ma’shumdosen Universitas Darul Ulum Jombang)

Kamis, 12 Juni 2014

MAMA K.H.R Abdullah bin Nuh

Biografi:



Nama           K.H.R Abdullah bin Nuh
Panggilan   R. Abdullah
Lahir            Cianjur ; Bojongmeron, 30 Juni 1905
Wafat           Bogor, 26 Oktober 1987
Silsilah
Ibu
 Nyi R. H. Aisyah bin Raden Sumintapura
(Kakek dari pihak ibu adalah seorang wedana Tasikmalaya)
Ayah:
K.H.R. Abdullah putera K.H.R. Nuh, putera R.H. Idris, putera R.H. Arifin, putera R.H. Sholeh, putra R.H. Muhyiddin Natapradja, putra R. Aria Wiratanudatar V (Dalem Muhyiddin), putra R. Aria Wiratanudatar IV (Dalem Sabiruddin), putra R. Aria Wiratanudatar III (Dalem Astramanggala), putra R. Aria Wiratanudatar II (Dalem Wiramanggala), putra R. Aria Wiratanudatar I (Dalem Cikundul).

Pendidikan :

K.H.R. Abdullah bin Nuh, semasa kecil sudah dibawa oleh neneknya Nyai Raden Kalipah Respati untuk bermukim di Mekah. Neneknya adalah seorang janda kaya raya di Cianjur yang ingin diwafatkan di Makkah Mukarromah. Setelah dua tahun lamanya, beliau kembali dari Makkah kemudian belajar di Madrasah Al-I’anah Al-Mubarakah, madrasah yang didirikan oleh ayahandanya; K.H.R. Nuh bin Idris pada tahun1912. Semasa belajar, antara usia 8-13 tahun ia sudah menunjukan bakatnya dalam bahasa dan sastra arab. Beliau sangat pandai dalam berbicara bahasa Arab bahkan sudah sangat menguasai dan menghafal kitab Alfiyah ibnu Malik (tata bahasa arab) tingkat tinggi yang berjumlah seribu bait, baik dilafalkan dari bait pertama sampai bait seribu ataupun dari bait keribu ke bait pertama.
Selain menguasai bahasa dan sastra Arab, K.H.R. Abdullah bin Nuh sangat pandai dalam berbahasa Inggris, diusia ini pula beliau mampu membuat tulisan dan syair dalam bahasa Arab. Oleh gurunya, artikel dan syair karya Abdullah dikirim ke majalah berbahasa Arab yang terbit di Surabaya.
Selain belajar di Al I’anah, beliau pun tidak henti-hentinya menggali dan menimba ilmu dari ayahnya. Suatu hari beliau berkata kepada muridnya: “Mama Mah Tiasa Maca Ihya Teh Khusus Ti Bapak Mama” (Bapak, bisa membaca kitab Ihya itu belajar dari bapak saya).
Pada tahun 1918, pada saat K.H.R. Abdullah bin Nuh berusia 13 tahun, Madrasah Al I’anah melahirkan murid-murid pilihan/dakhiliyyah (galar yang diberikan untuk murid terbaik; dari segi keilmuan, leadership, mental, ahlaq, dll ) yang terdiri dari:
  1. R. Abdullah (KH Abdullah bin Nuh)
  2. R. M Zen,
  3. R. Taefur Yusuf,
  4. R. Asy’ari,
  5. R. Akung dan
  6. R. M Soleh Qurowi.
Mereka dikirim ke Pekalongan untuk menimba ilmu dan bermukim di internat (Pondok pesantren) Syamailul Huda di Jl. Dahrian (sekarang Jl. Semarang) yang dipimpinan oleh seorang Guru besar Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Tohir Al Alawi Al Hadromi, keturunan Yaman wilayah Hadrol Maut. Di pesantren ini, R. Abdullah bin Nuh menimba ilmu bersama 30 orang sahabat seniornya yang sudah terlebih dahulu bermukim dan belajar disana. Mereka datang dari berbagai daerah, diantaranya: Ambon, Menado, Surabaya, Malaysia bahkan dari Singapore.

Pada usianya yang ke-18, yaitu pada tahun 1922, Sayyid Muhammad bin Hasyim Hijrah ke Surabaya. K.H.R. Abdullah bin Nuh ikut diboyong, karena Beliau merupakan salah seorang murid terbaik kesayangannya. Disana, Sayyid Muhammad bin Hasyim mendirikan “Hadrolmaut School”, dan K.H.R. Abdullah bin Nuh melanjutkan belajarnya. Selain belajar, beliau digembleng cara mengajar, berpidato, memimpin (leadership) dan lain-lain, diperbantukan untuk mengajar sekaligus menjadi redaktur Hadrolmaut, majalah mingguan edisi bahasa Arab di Surabaya (1922-1926).

Pada tahun 1926, pada saat usianya yang ke-22, kecerdasan dan kemampuannya dalam berbahasa Arab telah menghantarkan beliau untuk belajar di Universitas Al-Azhar Cairo pada bidang Fikih Fakultas Syari’ah dan Madrasah Darul Ulum Al Ulya (Al-Adaab).

Sekembalinya dari Mesir antara tahun 1927-1928, KH Abdullah bin Nuh memulai karirnya sebagai Kyai dengan mengajarkan agama Islam. Diawali dari Cianjur dan Bogor, Pernah tinggal di Ciwaringin kaum dan di Gang Kepatihan.

Selama di Bogor beliau mengajar di Madrasah Islamiyyah yang didirikan oleh mama Ajengan R. Haji Mansyur dan juga mengajar para Mu’alim yang berada disekitar Bogor. Satu tahun tinggal di Bogor, pindah ke Semarang, disana hanya dua bulan kemudian kembali lagi ke Bogor, untuk melanjutkan perjalanannya ke Cianjur. Disana beliau menjadi guru bantu di Madrasah Al I’anah.

Tahun 1930, untuk yang kedua kalinya K.H.R Abdullah bin Nuh kembali ke Bogor dan tinggal di Panaragan, pekerjaan beliau adalah mengajar para Kyai dan menjadi korektor Percetakan IHTIAR (inventaris S.I).
Selama 4 tahun bermukim di Bogor. KH. Abdullah bin Nuh bersama Mama Ajengan R.H Mansur, mendirikan Madrasah PSA (Penolong Sekolah Agama) yang berfungsi sebagai wadah pemersatu madrasah-madrasah yang ada disekitar Bogor, ketuanya adalah Mama Ajengan R.H Mansur, sedangkan KH Abdullah bin Nuh terpilih sebagai Ketua Dewan Guru/Direktur.

Pengabdian dan Perjuangan semasa hayatnya
Selain sebagai seorang Kiai, R.H. Abdullah bin Nuh mengabdikan diri sebagai pengajar di Cianjur & Bogor, antara tahun 1928-1943) K.H.R Abdullah bin Nuh adalah seorang pejuang kemerdekaan republik Indonesia.
  • Beliau menjadi anggota Pembela Tanah Air atau Peta di usia 41 tahun (1943-1945) untuk wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor.
  • Pada tahun 1945-1946, beliau memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
  • Pada tahun 1948-1950: Seliau menjadi anggota Komite Nasional Pusat (KNIP) di Yogyakarta, Sebagai kepala seksi siaran berbahasa Arab pada Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dan Dosen luar biasa pada Universitas Islam Indonesia (UII).
  • Pada tahun 1950-1964 Abdullah bin Nuh memegang jabatan sebagai kepala siaran bahasa Arab pada RRI Jakarta.
  • Menjabat sebagai Lektor Kepala (saat ini; Dekan) Fakultas sastra Universitas Indonesia (1964-1967).
  • Tahun 1969 beliau mendirikan Majelis al-Ghazali dan Pesantren al-Ihya di Bogor. Di kedua tempat pendidikan ini ia berfungsi sebagai sesepuh. Di Bogor, Abdullah bin Nuh aktif melaksanakan kegiatan dakwah Islamiah dan mendidik kader-kader ulama. Beliau juga menyempatkan diri untuk menghadiri pertemuan dan seminar-seminar tentang Islam di beberapa negara, antara lain:
           1. Arab Saudi,
           2. Yordania,
           3.  Inbeliau, Irak, 
           4. Iran, 
           5. Australia, 
           6. Thailan, 
           7. Singapura, dan 
           8. Malaysia.
  • Ia juga ikut serta dalam Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) sebagai anggota panitia dan juru penerang yang terampil dan dinamis.
Keistimewaan Abdullah bin Nuh sebagai ulama adalah kemampuannya menciptakan syair Arab dalam berbagai bentuk dan tujuan, seperti syair pujian dan ratapan. Syair-syairnya telah dihimpun dalam Diwan Ibn Nuh, berupa qasidah (118 qasidah) yang terdiri dari 2.731 bait. Semuanya digubah dalam bahasa Arab fusha (fasih) yang bernilai tinggi.
Salahsatu sya'ir yang sampai saat ini menjadi legendaris  cianjur yaitu " Persaudaraan Islam".Sair ini ditulis pada saat beliau berumur 20 tahun yaitu tahun tahun 1925. Penggalan syair bait pertama yaitu:
"Anda adalah saudaraku. Betapa keadaan anda dan apapun kebangsaan anda. Apapun bahasa anda dan bagaimanapun warna kulit anda. Anda saudaraku walaupun anda tdk kenal aku dan tdk tahu siapa bundaku. Walaupun aku tdk pernah tinggal serumah dgn anda dan belum pernah seharipun hidup bersama anda dibawah satu atap langit". (Persaudaraan Islam : KH Abdullah bin Nuh)

Karya K.H.R. Abdullah bin Nuh
Semasa hayatnya, beliau serung menulis buku. Karyanya yang terkenal adalah Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang disusun bersama Oemar Bakry.
Dalam bahasa Arab, Karya beliau antara lain:
  1. al-Alam al-Islami (Dunia Islam),
  2. Fi Zilal al-Ka’bah al-Bait al-Haram (Di Bawah Lindungan Ka’bah),
  3. La Taifiyata fi al-Islam (Tidak Ada Kesukuan Dalam Islam),
  4. Ana Muslim Sunniyyun Syafi’iyyun (Saya Seorang Islam Sunni Pengikut Syafii),
  5. Mu’allimu al-’Arabi (Guru Bahasa Arab),
  6. dan al-Lu’lu’ al-Mansur (Permata yang bertebaran).

Adapun Karya yang ditulis dalam Bahasa Arab antara lain:
  1. Cinta dan Bahagia,
  2. Zakat Modern,
  3. Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW,
  4. dan Sejarah Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten

Karya tulis dalam bahasa Sunda:
  • Lenyepaneun (Bahan Telaah Mendalam).

Karya terjemahan antara lain:
  1. adalah Minhaj al-Abidin (Jalan Bagi Ahli Ibadah) karya Imam al-Ghazali,
  2. Al-Munqiz Min al-Dalal (Pembebas dari Kesesatan) karya Imam al-Ghazali,, dan al-Mustafa li ManLahu Ilm al-Ushul (Penjernihan bagi Orang yang Memiliki Pengetahuan Ushul) karya Imam al-Ghazali. 
Sumber dan Referensi:
Dalam penyusunan biografi yang singkat ini, kami megumpulkan berbagai referensi yang ada dari barbagai media surat kabar dan elektronik.

- See more at: http://himatcianjur.blogspot.com/2011/07/profil-khr-abdullah-bin-nuh.html#sthash.96eeyOQs.dpuf

Letnan Jenderal TNI Endang Suwarya


Endang Suwarya
Tempat Tanggal Lahir : Bandung 1951
Angkatan : 1973
Kesatuan : Infanteri – Baret Hijau
Pangkat Terkahir Militer Aktif : Letnan Jenderal TNI
Jabatan Terakhir Militer : Kepala Staf Umum TNI
Karir
Kolonel :
Komandan Korem 012/Teuku Umar
Brigadir Jenderal :
Wakil Asisten Operasi KASAD – Jakarta
Kepala Staf Daerah Militer Iskandar Muda – Banda Aceh
Mayor Jenderal :
Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda – Banda Aceh
Letnan Jenderal :
Wakil Kepala Staf Angkatan Darat – Jakarta
Kepala Staf Umum TNI – Jakarta
Sekertaris Jenderal Departemen Pertahanan – Jakarta

Jenderal TNI Umar Wirahadikusumah


Umar Wirahadikusumah
Tempat Tanggal Lahir : Sumedang 10 Oktober 1924
Meninggal : Jakarta 21 Maret 2003
Angkatan : Akademi Militer Heiho dan PETA
Kesatuan : Infanteri
Pangkat Terkahir Militer Aktif : Letnan Jenderal TNI
Jabatan Terakhir Militer : Menteri /Panglima Angkatan Darat
Karir
Kolonel :
Komandan Komando Militer Kota Besar Jakarta Raya
Brigadir Jenderal :
Komandan Komando Militer Kota Besar Jakarta Raya
Mayor Jenderal :
Panglima Daerah Militer V/Jaya
Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
Letnan Jenderal :
Wakil Panglima Angkatan Darat
Jenderal :
Kepala Staf Angkatan Darat

Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia


Syafruddin Prawiranegara lahir di Banten, 28 Februari 1911. Syafruddin memiliki nama kecil "Kuding", berdarah campuran Banten dan Minangkabau. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Sutan kemudian menikah dengan putri bangsawan Banten. Dari perkawinan itu lahirlah kakek Syafruddin yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja yang tak lain merupakan ayah kandung Syafruddin. Arsyad bekerja sebagai jaksa yang dikenal cukup dekat dengan rakyat, karena alasan itulah Belanda kemudian mengasingkannya ke Jawa Timur.

Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, bercita-cita agar suatu saat ia bisa menjadi "orang besar". Itulah sebabnya, setamat dari sekolah Belanda setingkat SMA, AMS, Bandung, Syafruddin pindah ke Jakarta demi melanjutkan studinya di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) pada tahun 1939. Setelah beberapa tahun menuntut ilmu di sekolah yang sekarang dikenal sebagai Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, Syafruddin berhasil meraih gelar Meester in de Rechten, setara dengan Magister Hukum saat ini.

Syafruddin yang mendapat julukan "penyelamat Republik" lalu memimpin PDRI. Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, untuk sementara ia menggantikan peran Soekarno-Hatta menjalankan roda pemerintahan RI. Untuk memudahkan tugasnya sebagai Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara membentuk kabinet yang terdiri dari beberapa orang 
Menteri. Meskipun jabatan yang disandangnya ketika itu "ketua", namun kedudukannya sama dengan presiden.
Sekitar tahun 1939-1940 saat pemerintah Belanda masih menguasai Indonesia, Syafruddin bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta, kemudian menjadi petugas Departemen Keuangan Belanda hingga kekuasaan atas Indonesia berpindah ke tangan Jepang di tahun 1942. Di masa penjajahan Jepang, Syafruddin bekerja sebagai pegawai Departemen Keuangan Jepang.

Pasca proklamasi berkumandang, ia menjabat sebagai anggota Badan Pekerja KNIP. KNIP merupakan badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Tahun 1946, Syafruddin mendapat kepercayaan untuk masuk dalam jajaran kabinet sebagai Wakil Perdana 
Menteri. Masih di tahun yang sama, Syafruddin diangkat menjadi 
Menteri Keuangan. Setahun berikutnya, ia menjabat sebagai Menteri Kemakmuran.

Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II, yang diawali dengan serangan ke 
Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia saat itu. Dalam peristiwa tersebut,
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden 
Mohammad Hatta ditangkap dan diasingkan Belanda ke Pulau Bangka. Untuk mengisi kosongnya kursi pemerintahan, Syafruddin kemudian mendapat tugas untuk membentuk sekaligus bertindak selaku Ketua Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Sumatera. Mandat tersebut disampaikan Soekarno-Hatta lewat telegramnya yang berbunyi, "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra".

Namun karena sulitnya sistem komunikasi di masa itu, telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Beruntung, di saat yang bersamaan, begitu mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota 
Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan negara, Syafruddin langsung mengambil inisiatif senada. Ia kemudian mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government) dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948. Usulan tersebut juga mendapat persetujuan dari Gubernur Sumatra Mr TM Hasan, demi menyelamatkan negara yang berada dalam bahaya akibat kosongnya kepala pemerintahan.

Syafruddin yang mendapat julukan "penyelamat Republik" lalu memimpin PDRI. Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, untuk sementara ia menggantikan peran Soekarno-Hatta menjalankan roda pemerintahan RI. Untuk memudahkan tugasnya sebagai Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara membentuk kabinet yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun jabatan yang disandangnya ketika itu "ketua", namun kedudukannya sama dengan presiden.

PDRI di bawah komando Syafruddin terus melakukan berbagai upaya agar para pemimpin bangsa yang ditangkap Belanda bisa segera dibebaskan. Usahanya membuahkan hasil dimana Belanda akhirnya terpaksa berunding dengan Indonesia. Usaha Belanda untuk kembali menancapkan kekuasaannya di bumi pertiwi pun berakhir yang ditandai dengan Perjanjian Roem-Royen. Soekarno-Hatta dan kawan-kawan akhirnya dibebaskan dan kembali ke pusat pemerintahan di 
Yogyakarta.

Dengan bebasnya dwitunggal proklamator itu, tugas Sjafruddin memimpin PDRI selama kurang lebih delapan bulan pun berakhir. Pada 13 Juli 1949 di Yogyakarta, ia menyerahkan mandatnya kepada 
Presiden Soekarno. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi dilakukan pada 14 Juli 1949 di Jakarta.

Setelah meletakkan jabatannya sebagai Ketua PDRI, Syafruddin Prawiranegara menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI. Setelah itu ia ditunjuk menjadi menteri keuangan Kabinet Hatta. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Sedangkan sisanya dipinjamkan kepada negara yang saat itu sedang kesulitan dana. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.

Rupanya tak hanya rakyat Indonesia yang merasakan tajamnya Gunting Syafruddin, Tengku Halimah Syehabuddin Prawiranegara, istri Syafruddin pun ikut terhenyak saat menerima gaji suaminya yang tidak seberapa, juga harus ikut dipangkas. Untuk menghidupi 8 anaknya, putri Tengku Raja Syehabuddin itu bahkan harus kas bon ke Kementerian Keuangan. Utangnya terus menumpuk dan baru dilunasi saat Syafruddin menjabat Presiden 
Direktur The Javasche Bank. Tahun 1951, The Javasche Bank berganti nama menjadi Bank Sentral Indonesia, Syafruddin kemudian diangkat menjadi Gubernurnya.

Seiring berjalannya pemerintahan Soekarno, banyak ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia, belum lagi pengaruh komunis terutama PKI yang kian menguat. Keadaan itu pada akhirnya memunculkan gerakan dari berbagai kalangan yang merasa tidak puas, tak terkecuali Syafruddin. Bersama rekan-rekannya dari partai Masyumi, ia menentang Soekarno yang membubarkan Konstituante.

Pada Februari 1958, gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terus berlanjut yang ditandai dengan berdirinya PRRI (Pasukan Revolusioner Republik Indonesia). Syafruddin kemudian diangkat menjadi Presiden PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah. Sebagai simbol perlawanan, PRRI kemudian menandatangani Perjanjian Sungai Dareh. Menurut cerita salah seorang putri Syafruddin yang bernama Vivi, ayahnya sebenarnya tidak ikut menandatangani perjanjian tersebut. Namun karena Syafruddin memiliki sikap "sama-sama menanggung risiko" jadilah dirinya sekeluarga turut mengalami hidup sebagai pemberontak.

Selama 4 tahun, Syafruddin beserta istri dan kedelapan anaknya terpaksa hidup di Hutan Bukit Barisan yang letaknya memanjang dari Sungai Dareh Sumatera Barat hingga Pinarik Tapanuli Utara Sumatera Selatan. Dalam kurun waktu itu, mereka harus tinggal di sungai, lari terbirit-birit saat melewati hutan pacet, atau gemetar ketakutan saat bertemu harimau dan safir. Pada Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil kembali menguasai wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Berdasarkan Keputusan 
Presiden RI No.449/1961 orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan termasuk PRRI diberikan amnesti dan abolisi.

Setelah tak lagi terlibat dalam pemerintahan, tokoh Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) ini memilih lapangan dakwah sebagai tempat pengabdiannya. Namun, selama kiprahnya sebagai mubaligh, Syafruddin berkali-kali dilarang naik mimbar lantaran ceramahnya dinilai terlalu keras. Bahkan pada Juni 1985, ia sempat menjalani pemeriksaan sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Selain aktif menyebarkan syiar Islam, Syafruddin juga giat dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Di samping pernah menjabat sebagai Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI), ayah delapan anak ini juga pernah tercatat menjadi Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembangunan Manajemen (PPM), serta Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam. Tak hanya itu, kakek belasan cucu ini juga sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, 
Direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.

Meskipun berstatus sebagai mantan pejabat negara yang juga turut membela kedaulatan RI, Syafruddin melalui masa tuanya dengan penuh kesederhanaan. Ia bahkan pernah menolak sebuah rumah pemberian
Presiden Soekarno di Jalan 
Diponegoro No 10 Menteng, Jakarta Pusat. Alasannya, ia tidak mau menerima sesuatu yang dibayar dari pajak rakyat. Satu-satunya rumah peninggalan Syafruddin adalah rumah yang kini telah diwariskan kepada anak-anaknya yang berlokasi di Gedung Hijau Raya Pondok Indah Jakarta Selatan di mana ia menutup mata.

Syafruddin Prawiranegara meninggal dunia di usia 77 tahun, pada 15 Februari 1989. Jenazahnya dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Atas jasa-jasanya pada negara, pemerintah RI menganugerahkannya gelar 
pahlawan Nasional pada tahun 2011. Pemberian gelar tersebut dilakukan Presiden 
Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta Pusat, kepada ahli waris Syafruddin yang diwakili kedua anaknya, Rasyid dan Aisyah Prawiranegara. muli, red

© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA