Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Kamis, 25 September 2014

KHODAM JANGAN DICARI

Apabila khodam-khodam itu diburu, kemudian orang mendapatkan, yang pasti khodam itu bukan datang dari sumber yang diridlai Allah s.w.t, walaupun datang dengan izin-Nya pula. Sebab, tanda-tanda sesuatu yang datangnya dari ridho Allah, di samping datang dari arah yang tidak disangka-sangka, bentuk dan kondisi pemberian itu juga tidak seperti yang diperkiraan oleh manusia. Khodam-khodam tersebut didatangkan Allah s.w.t sesuai yang dikehendaki-Nya, dalam bentuk dan keadaan yang dikehendaki-Nya pula, bukan mengikuti kehendak hamba-Nya. Bahkan juga tidak dengan sebab apa-apa, tidak sebab ibadah dan mujahadah yang dijalani seorang hamba, tetapi semata sebab kehendakNya. Hanya saja, ketika Allah sudah menyatakan janji maka Dia tidak akan mengingkari janji-janji-Nya.
Khodam itu apa? memang kata itu disebutkan di dalam al-Qur’an al-Karim. Diantara mereka ada yang datang dari golongan Jin dan ada juga dari Malaikat, namun barangkali pengertiannya yang berbeda. Karena khodam yang dinyatakan dalam Al-Qur’an itu bukan berupa kelebihan atau linuwih yang terbit dari basyariah manusia yang disebut “kesaktian”, melainkan berupa sistem penjagaan dan perlindungan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh sebagai buah ibadah yang mereka lakukan. Sistem perlindungan tersebut dibangun oleh rahasia urusan Allah s.w.t yang disebut “walayah”, dengan itu supaya fitrah orang beriman tersebut tetap terjaga dalam kondisi sebaik-baik ciptaan. Allah s.w.t menyatakan keberadaan khodam-khodam tersebut dengan firman-Nya:
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Bagi manusia ada penjaga-penjaga yang selalu mengikutinya, di muka dan di belakangnya, menjaga manusia dari apa yang sudah ditetapkan Allah baginya. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubahnya sendiri”. (QS. ar-Ra’d; 13/11)
Lebih jelas dan detail adalah sabda Baginda Nabi s.a.w dalam sebuah hadits shahihnya:
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ قَالَ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي السَّمَاءِ فَيَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ قَالَ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ رواه البخاري و مسلم *
“Hadits Abi Hurairah r.a berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesungguhnya Allah apabila mencintai seorang hamba, memanggil malaikat Jibril dan berfirman : “Sungguh Aku mencintai seseorang ini maka cintailah ia”. Nabi s.a.w bersabda: “Maka Jibril mencintainya”. Kemudian malaikat Jibril memanggil-manggil di langit dan mengatakan: “Sungguh Allah telah mencintai seseorang ini maka cintailah ia, maka penduduk langit mencintai kepadanya. Kemudian baginda Nabi bersabda: “Maka kemudian seseorang tadi ditempatkan di bumi di dalam kedudukan dapat diterima oleh orang banyak”. (HR Bukhori dan Muslim )
Dan juga sabdanya:
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي فَيَقُولُونَ تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ
“Hadits Abi Hurairah r.a Sesungguhnya Rasulullah s.w.t bersabda: “Mengikuti bersama kalian, malaikat penjaga malam dan malaikat penjaga siang dan mereka berkumpul di waktu shalat fajar dan shalat ashar kemudian mereka yang bermalam dengan kalian naik (ke langit), Tuhannya bertanya kepada mereka padahal sesungguhnya Dia lebih mengetahui keadaan mereka: di dalam keadaan apa hambaku engkau tinggalkan?, mereka menjawab: mereka kami tinggalkan sedang dalam keadaan shalat dan mereka kami datangi sedang dalam keadaan shalat”. (HR Buhori dan Muslim)
manakib
Setiap yang mencintai pasti menyayangi. Sang Pecinta, diminta ataupun tidak pasti akan menjaga dan melindungi orang yang disayangi. Manusia, walaupun tanpa susah-susah mencari khodam, ternyata sudah mempunyai khodam-khodam, bahkan sejak dilahirkan ibunya. Khodam-khodam itu ada yang golongan malaikat dan ada yang golongan Jin. Diantara mereka bernama malaikat Hafadhoh (penjaga), yang dijadikan tentara-tentara yang tidak dapat dilihat manusia. Konon menurut sebuah riwayat jumlah mereka 180 malaikat. Mereka menjaga manusia secara bergiliran di waktu ashar dan subuh, hal itu bertujuan untuk menjaga apa yang sudah ditetapkan Allah s.w.t bagi manusia yang dijaganya.
Itulah sistem penjagaan yang diberikan Allah s.w.t kepada manusia yang sejatinya akan diberikan seumur hidup, yaitu selama fitrah manusia belum berubah. Namun karena fitrah itu terlebih dahulu dirubah sendiri oleh manusia, hingga tercemar oleh kehendak hawa nafsu dan kekeruhan akal pikiran, akibat dari itu, matahati yang semula cemerlang menjadi tertutup oleh hijab dosa-dosa dan hijab-hijab karakter tidak terpuji, sehingga sistem penjagaan itu menjadi berubah.
KHODAM JIN DAN KHODAM MALAIKAT
‘Setan’, menurut istilah bahasa Arab berasal dari kata syathona yang berarti ba’uda atau jauh. Jadi yang dimaksud ‘setan’ adalah makhluk yang jauh dari kebaikan. Oleh karena hati terlebih dahulu jauh dari kebaikan, maka selanjutnya cenderung mengajak orang lain menjauhi kebaikan. Apabila setan itu dari golongan Jin, berarti setan Jin, dan apabila dari golongan manusia, berarti setan manusia. Manusia bisa menjadi setan manusia, apabila setan Jin telah menguasai hatinya sehingga perangainya menjelma menjadi perangai setan. Rasulullah s.a.w menggambarkan potensi tersebut dan sekaligus memberikan peringatan kepada manusia melalui sabdanya:
لَوْلاَ أَنَّ الشَّيَاطِيْنَ يَحُوْمُوْنَ عَلَى قُلُوْبِ بَنِى آَدَمَ لَنَظَرُوْا اِلَى مَلَكُوْتِ السَّمَاوَاتِ
“Kalau sekiranya setan tidak meliputi hati anak Adam, pasti dia akan melihat alam kerajaan langit”.
Di dalam hadits lain Rasulullah s.a.w bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَجْرِى مِنِ ابْنِ آَدَمَ مَجْرَى الدَّمِ فَضَيِّقُوْا مَجَاِريَهُ ِبالْجُوْعِ.
“Sesungguhnya setan masuk (mengalir) ke dalam tubuh anak Adam mengikuti aliran darahnya, maka sempitkanlah jalan masuknya dengan puasa”.
Setan jin menguasai manusia dengan cara mengendarai nafsu syahwatnya. Sedangkan urat darah dijadikan jalan untuk masuk dalam hati, hal itu bertujuan supaya dari hati itu setan dapat mengendalikan hidup manusia. Supaya manusia terhindar dari tipu daya setan, maka manusia harus mampu menjaga dan mengendalikan nafsu syahwatnya, padahal manusia dilarang membunuh nafsu syahwat itu, karena dengan nafsu syahwat manusia tumbuh dan hidup sehat, mengembangkan keturunan, bahkan menolong untuk menjalankan ibadah.
Dengan melaksanakan ibadah puasa secara teratur dan istiqomah, di samping dapat menyempitkan jalan masuk setan dalam tubuh manusia, juga manusia dapat menguasai nafsu syahwatnya sendiri, sehingga manusia dapat terjaga dari tipudaya setan. Itulah hakekat mujahadah. Jadi mujahadah adalah perwujudan pelaksanaan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya secara keseluruhan, baik dengan puasa, shalat maupun dzikir. Mujahadah itu merupakan sarana yang sangat efektif bagi manusia untuk mengendalikan nafsu syahwat dan sekaligus untuk menolak setan. Allah s.w.t berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka berdzikir kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat”. (QS.al-A’raaf.7/201)
Firman Allah s.w.t di atas, yang dimaksud dengan lafad “Tadzakkaruu” ialah, melaksanakan dzikir dan wirid-wirid yang sudah diistiqamahkan, sedangkan yang dimaksud “Mubshiruun”, adalah melihat. Maka itu berarti, ketika hijab-hijab hati manusia sudah dihapuskan sebagai buah dzikir yang dijalani, maka sorot matahati manusia menjadi tajam dan tembus pandang.
manakib
Jadi, berdzikir kepada Allah s.w.t yang dilaksanakan dengan dasar Takwa kepada-Nya, di samping dapat menolak setan, juga bisa menjadikan hati seorang hamba cemerlang, karena hati itu telah dipenuhi Nur ma’rifatullah. Selanjutnya, ketika manusia telah berhasil menolak setan Jin, maka khodamnya yang asalnya setan Jin akan kembali berganti menjadi golongan malaikat.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ(30)نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) “Janganlah kamu merasa takut janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”(30)Kamilah pelindung-pelindungmu di dalam kehidupan di dunia maupun di akherat”. (QS. Fushilat; 41/30-31)
Firman Allah s.w.t di atas yang artinya: “Kami adalah pelindung-pelindungmu di dalam kehidupan di dunia maupun di akherat”, itu menunjukkan bahwa malaikat-malaikat yang diturunkan Allah s.w.t kepada orang yang istiqamah tersebut adalah untuk dijadikan khodam-khodam baginya.
Walhasil, bagi pengembara-pengembara di jalan Allah, kalau pengembaraan yang dilakukan benar dan pas jalannya, maka mereka akan mendapatkan khodam-khodam malaikat. Seandainya orang yang mempunyai khodam Malaikat itu disebut wali, maka mereka adalah waliyullah. Adapun pengembara yang pas dengan jalan yang kedua, yaitu jalan hawa nafsunya, maka mereka akan mendapatkan khodam Jin. Apabila khodam jin itu ternyata setan maka pengembara itu dinamakan walinya setan. Jadi Wali itu ada dua (1) Auliyaaur-Rohmaan (Wali-walinya Allah), dan (2) Auliyaausy-Syayaathiin (Walinya setan). Allah s.w.t menegaskan dengan firman-Nya:
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan orang-orang yang tidak percaya, Wali-walinya adalah setan yang mengeluarkan dari Nur kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS.al-Baqoroh.2/257)
Dan juga firman-Nya:
إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya kami telah menjadikan setan-setan sebagai Wali-wali bagi orang yang tidak percaya “. (QS. Al-A’raaf; 7/27)
manakib
Seorang pengembara di jalan Allah, baik dengan dzikir maupun wirid, mujahadah maupun riyadlah, kadang-kadang dengan melaksanakan wirid-wirid khusus di tempat yang khusus pula, perbuatan itu mereka lakukan sekaligus dengan tujuan untuk berburu khodam-khodam yang diingini. Khodam-khodam tersebut dicari dari rahasia ayat-ayat yang dibaca. Semisal mereka membaca ayat kursi sebanyak seratus ribu dalam sehari semalam, dengan ritual tersebut mereka berharap mendapat­kan khodamnya ayat kursi.
Sebagai pemburu khodam, mereka juga kadang-kadang mendatangi tempat-tempat yang terpencil, di kuburan-kuburan yang dikeramatkan, di dalam gua di tengah hutan belantara. Mereka mengira khodam itu bisa diburu di tempat-tempat seperti itu. Kalau dengan itu ternyata mereka mendapatkan khodam yang diingini, maka boleh jadi mereka justru terkena tipudaya setan Jin. Artinya, bukan Jin dan bukan Malaikat yang telah menjadi khodam mereka, akan tetapi sebaliknya, tanpa disadari sesungguhnya mereka sendiri yang menjadi khodam Jin yang sudah didapatkan itu. Akibat dari itu, bukan manusia yang dilayani Jin, tapi merekalah yang akan menjadi pelayan Jin dengan selalu setia memberikan sesaji kepadanya.
Sesaji-sesaji itu diberikan sesuai yang dikehendaki oleh khodam Jin tersebut. Memberi makan kepadanya, dengan kembang telon atau membakar kemenyan serta apa saja sesuai yang diminta oleh khodam- khodam tersebut, bahkan dengan melarungkan sesajen di tengah laut dan memberikan tumbal. Mengapa hal tersebut harus dilakukan, karena apabila itu tidak dilaksanakan, maka khodam Jin itu akan pergi dan tidak mau membantunya lagi. Apabila perbuatan seperti itu dilakukan, berarti saat itu manusia telah berbuat syirik kepada Allah s.w.t. Kita berlindung kepada Allah s.w.t dari godaan setan yang terkutuk.
Memang yang dimaksud khodam adalah “rahasia bacaan” dari wirid-wirid yang didawam­kan manusia. Namun, apabila dengan wirid-wirid itu kemudian manusia mendapatkan khodam, maka khodam tersebut hanya didatangkan sebagai anugerah Allah s.w.t dengan proses yang diatur oleh-Nya. Khodam itu didatangkan dengan izin-Nya, sebagai buah ibadah yang ikhlas semata-mata karena pengabdian kepada-Nya, bukan dihasilkan karena sengaja diusahakan untuk mendapatkan khodam.
Apabila khodam-khodam itu diburu, kemudian orang mendapatkan, yang pasti khodam itu bukan datang dari sumber yang diridlai Allah s.w.t, walaupun datang dengan izin-Nya pula. Sebab, tanda-tanda sesuatu yang datangnya dari ridho Allah, di samping datang dari arah yang tidak disangka-sangka, bentuk dan kondisi pemberian itu juga tidak seperti yang diperkiraan oleh manusia. Demikian­lah yang dinyatakan Allah s.w.t:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا(2)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah. Allah akan menjadikan jalan keluar baginya (untuk menyelesaikan urusannya) (2) Dan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak terduga”. (QS. ath-Tholaq; 65/2-3)
Khodam-khodam tersebut didatangkan Allah s.w.t sesuai yang dikehendaki-Nya, dalam bentuk dan keadaan yang dikehendaki-Nya pula, bukan mengikuti kehendak hamba-Nya. Bahkan juga tidak dengan sebab apa-apa, tidak sebab ibadah dan mujahadah yang dijalani seorang hamba, tetapi semata sebab kehendakNya. Hanya saja, ketika Allah sudah menyatakan janji maka Dia tidak akan mengingkari janji-janji-Nya. 

Agama Sunda

[kisunda] Nedunan panghiap Kang Ganjar perkara Agama Sunda
engkus ruswana, Wed, 23 Feb 2005 11:05:30 -0800
Sampurasun kasadayana para wargi kisunda, hususna ka kang Ganjar nu tos ngahiap sim kuring ngunaan padungdengan Agama Sunda, neda sihapunten nembe tiasa nedunan panghiap ti salira, kumargi sim kuring dina raraga kumawula ka diri nu salawasna nganteur kana kahayang kuring teh, sok ider-ideran ka luar daerah nu antukna jarang tiasa mukaan millist kisunda, nya sakalina kebo mulih pakandangan teh, dimana muka nya saabreg bahan bacaeun sim kuring hasil kamotekaran kidulur sadaya, sadayana oge sok dibaca da matak narik hate pikeun ngabandunganana, nya dimana rada nyalse nembe tiasa mairan. Dina mairan sim kuring biasana sok rada panjang da hoyong sabeuleugeudeurna ulah dugi ka gantung huap, janten peryogi oge waktos nu rada nyalse.
Ngeunaan Agama Sunda nu dipadungdengkeun, memang kuring ge kantos paadu hareupan sareng kang Rozak teh, waktos anjeunna nuju nalungtik pikeun desertasina, tapi rupina anjeunna teu mampu ngagali eusina eta ajaran sareng memang biasana sateuacan nalungtik teh biasana tos nyusun heula “hipotesa” numutkeun pamadegan anjeunna, nu tangtos dina nalungtikna eta perkara tos nganggo koridor pikeun diarahkeun kana ngabuktikeun sareng nguatkeun eta hipotesa tea (da kitu teori ilmiah nu dianggo), nya tangtos bae hasilna tiasa benten sareng nu saestuna. Da numutkeun sim kuring mah upami hoyong nalungtik nu objektif (sanyatana), nya kedah diibaratkeun nyandak kertas kosong pikeun dieusi ku naon bae nu kapendak, nembe ditarik hipotesa teras hasilna dikonfirmasikeun deui (naon atuh basa sundana hipotesa jeung konfirmasi nya??). Kitu oge saatos disusun drfat/rancangan tulisanna. Tapi ari ieu nu ku sim kuring kabandungan mung ukur datang 2-3 kali kalayan nyandak sababaraha tulisan/buku teras pleng les terang-terang nonghol di Mangle, padahal ari nalungtik soal ajaran nu nyangkut spiritual mah dugi ka ngartos eusina teh mangtaun-taun, atuh tangtos bae nu katangkepna saukur kulit-kulitna eta ge teu sautuhna.
Naha aya kitu Agama Sunda??
mun aya nu kumaha ??

Kitu nu dipadungdengkeun. Di dieu sim kuring bade nandeskeun yen ari kecap agama teh estuning pituin kecap nu urang tina basa Kawi (Asli Sunda-Jawa), da di nagara deungeun mah teu dikenal kecap agama, cenah aya nu nganggap asal ti India/Sanskrit, ku kuring kungsi ditaroskeun ka utusan agamawan urang India, waktos kaleresan sim kuring ngaluuhan ondangan Saresehan International terbatas ngeunaan “Religion minority and belief” di Colombo Srilangka, nu oge hadir utusan ti India, Pakistan, Srilangka, Nepal, Malaysia, Indonesia, Inggris. Ceuk eta utusan India cenah ari religion ceuk basa Sanskrit mah disebutna”Dharma” , jadi Hindu Dharma teh hartina Agama Hindu. Kitu oge waktu kungsi padungdengan jeung Sahid Agil Siraj (ahli Fiqih ti NU) jeung Mohamad Sobari, oge padungdeng jeung Nurcholis Madjid dina raraga dialog terbatas di CSIS, oge netelakeun yen di Islam dikenal kecap/istilah Nilah – Milah jeung Din nu hartina dina basa Indonesia mah diterjemahkeun ngan sakecap bae jadi agama, sok sanajan antara nilah, milah jeung din teh aya bedana. Oge aranjeunna percaya yen tiasa bae di Sunda/Jawa jeung suku nu lianna kungsi turun nabi, da cenah Gusti teh nurunkeun sakitu rebu nabi nu lamun diitung jumlah nu turun di timur tengah masih keneh aya rebuan sesana nu mungkin bae sumebar di Nusantara.
Tah ku katerangan eta beuki yakin sim kuring yen eta kecap agama teh asli basa nu urang, ku sabagian urang sunda mah sok oge disebut ageman. Tah lamun kitu tangtu bae aya kecap/ngaran pasti aya nu dibere ngaran boh barang, boh laku atawa sipat atawa naon bae pikeun nuduhkeun eta ngaran/kecap. Janten pami kitu teu kaci lamun urang ngahartikeun eta kecap make basa deungeun, jadi jauh teuing lamun dihartikeunana jadi tidak kacau (a=tidak; gama = kacau) duka tina basa nanahaon dicokot eta harti da dina basa Inggris mah teu aya kecap “gama”, lamun nyokot tina basa Yunani, naha aya kitu kecap “Agama”. Aya oge kecap “gamma” nu sok dipake simbul dina matematik atawa ngaran sinar, tapi nya keun bae da kabiasaan urang mah kitu lamun aya nu tiheula ngucapkeun, nya sok loba nu tuturut munding ngiluan jeung ngaenyakeun, bari jeung duka teuing enya henteuna mah nyahona, lamun seug tea mah diudag. Ceuk pamanggih sim kuring kecap “agama” tina “Hagama” asal tina kecap h(a) = hana = aya atawa nu Aya (Gusti), jeung gama = patokan, (conto lain dina jaman kaemasan Majapait disebut “Nagara Kartagama” nu hartina nagara nu geus make patokan nu beres pikeun karaharjaan rakyatna). Jadi hartina agama teh patokan ti nu Maha Kawasa (Gusti), apan hirup jeung kahuripan urang estu patokan ti Gusti atuh sakuduna urang ulah ingkar tina patokanNa/kersaNa/kudratNa ti nu Maha Kawasa. Lamun urang geus rumasa dikersakeun ku Nu Maha Kawasa jadi manusa atuh ulah ingkar tina kamanusaan, lamun geus rumasa dikersakeun jadi urang Sunda atuh ulah ingkar tina kasundaan, lamun rumasa dikersakeun cukang lantaran dilahirkeun teh ku indung-bapa jeung luluhur Sunda atuh ulah ingkar ti luluhur Sunda, ari ieu geuning teu saeutik nu ngaugung-ugung luluhur batur nu teu hir walahir, ari luluhur sorangan kaluli-luli dianggap euweuh ajenna, naha naon salah luluhur urang Sunda. Kitu deui lamun rumasa dikersakeun ngabogaan lemah-cai Sunda anu sakitu nyatana saripatina geus ngawujud jadi wujud/salira ngalangkungan cai nu kaleueut, kadaharan nu katuang, napas nu kaseuseup, hawa panas jeung panonpoe nu kaserep, asa butek teu ngarti kuring mah lamun aya jalmi nu leuwih ngamumule lemah-cai batur tinimbang lemahcaina sorangan, nganggap suci ka lemah cai batur ari lemah cai sorangan teu dianggap suci, nepi ka teu lebar dijual murah pikeun ngamumule lemah-cai batur (naha bisa kitu urang nyieun lemah cai, apan sagala nu diciptakeun ku Nu Maha Suci tangtos Suci ayana), padahal sakuduna mah diurus hade-hade, dipupusti saestuna jeung dipiara sanyatana, da kawajiban manusa nurutkeun kersaNa pikeun ngurus dunya sabanda-sariksa-sapariboga sangkan awak cageur, kalakuan bageur, kanyaho bener, pamilihna pinter jeung boga budi-daya nu jujur nu tangtos mawa genah-merenah jeung tumaninah nya salamet diri sakujur (namung punteeenn…. pisaaann …. ieu mah pamadegan sim kuring bae).
Tah patokan Gusti eta nu ku luluhur Sunda geus prak dipigawe kalayan sanyatana bakat ku nyaah ka anak-turunanna, diterapkeun dina raraga kumawula ka dirina, ka luluhur jeung ka turunannna, ka papada kawula, ka alam-lingkunganna, oge tangtu ka Gustina.
Tah harita mah teu acan aya ngaranna ngan disebut bae Agama (da ayana istilah agama Sunda atawa Agama Sunda Wiwitan, Agama Jawa jeung sajabana eta mah kadieunakeun sanggeus agama nu datang marake merek), tapi sanggeus datangna kayakinan/kapercayaan luar ti bangsa deungeun nu ngajarkeun soal kumawula ka sasama mahluk, ka alam jeung ka Gusti numutkeun adat jeung budaya bangsana nu asalna ti kapercayaan Hindu disebut bae agama Hindu, nu datang ti kapercayaan Budha disebut bae agama Budha, nu datang ti Islam disebut Agama Islam, nu datang ti Kristen disebut bae agama Kristen jeung sajabana, ari agama nu aslina teu meunang disebut agama, nya disarebut bae kapercayaan, padahal kecap Aliran Kapercayaan atawa Kepercayaan terhadap Tuhan YME mah nya ti taun 1973 sanggeus abus dina GBHN, samemehna disarebut Aliran Kebatinan atawa Aliran Kerohanian atawa Aliran Kejiwaan, padahal kecap “batin” jeung “rohani” eta kecap tina basa Arab, sedeng nu diagem ajaran asli, geuning nyata patukeur baju teh, nu ti jero make ngaran deungeun nu ti luar make ngaran pribumi (jati kasilih ku junti). Didieu sim kuring bade ngabandingkeun sareng pangalaman urang nu anyar keneh, ti keur leutik malah nepi kaayeuna ari nyebut pasta gigi teh sok nyebut odol, kajeun merek naon bae aya odol merk pepsoden, aya odol merk Ritaden, merk close-up jsb, teu apal yen odol teh hiji merk pasta gigi nu pangheulana sumebar di urang, sanggeus merk odol teu kaluar deui, ngaran odol teh jadi ngaran “generik” pikeun pasta gigi. Kitu oge sababaraha taun katukang ari nyebut tustel, kajeun merk naon bae sok disarebut “kodak”, padahal kodak teh ngaran merk tustel nu baheula ngamasarakat (populer), tapi sanggeus merk kodak jebul deui, laun-laun jarang nyebut kodak nya tustel bae, conto lain cai mineral lamun urang nitah meuli cai mineral teh sok nyebut pangmeulikeun aqua, sok sanajan nu jebulna merk Vit, nya jarang diprotes da nu dimaksudkeunana cai mineral.
Luluhur urang teu kacaritakeun nolak sumawonna nyerang ka eta bangsa jeung agama nu datang ti deungeun, sabab luluhur urang geus make patokan Gusti tea, yen mandang ka diri batur sacara kadirina pribadi moal nandasa ka batur da urang ge embung ditandasa, moal nyerang ka batur dan urang oge embung diserang, dina laku hirup jeung kahuripan teu garah geureuh ka batur sabab boga pamadegan yen saha nu melak bakal metik hasilna. Nya akibatna agama-agama deungeun jadi ngembang kalayan subur sabab teu diganggu, tapi nu tetep mikukuh jeung mituhu kana agama heubeul ti baheula tepi ka kiwari tetep hirup teu leungit sok sanajan ngurangan jeung jadi kalindih. Nu jadi hanjakal pikeun sabagian bangsa urang, oge sabagian urang Sunda kmiwari, nyaeta naha geuning nu ngagem agama asli bet ditandasa, lolongkrang hirup jeung kahirupanana dipager jeung disesered, malahan aya nu ngahaja sangkan leungit, contona kawin nu teu dumasar kana agama deungeun hayoh dianggap kumpul kebo teu disahkeun jadi teu meunang bukti kawin ti nagara, nu antukna boga anak dianggap anak haram jadi teu boga akte lengkep (najan meunang ngan disebut anak indung teu disebut ngaran bapana/haram??), dina digawe jadina teu meunang tunjangan anak-pamajikan da teu boga akte kawin ti pamarentah, dina digawe di pamarentahan lian ti hese abusna, dina abusna tong ngaharepkeun dipromosikeun najan pinter jeung jujur sakumaha oge, hayang jadi tentara atawa pulisi teu bisa da saratna kudu meluk salah sahiji agama ti luar (nu-5), di lingkungan masyarakat sumawonna dianggap aneh, kadang dipikangewa pedah nyepeng kayakinan nu beda ti umumna, padahal boh nu nyepeng pamarentahan, boh masyarakat umumna cenah geus ngagem agama nu suci, naha dina prak-prakanana bet kitu???. Ieu kitu nu ku sabagean urang Sunda sok disarebut “Jati kasilih ku Junti teh”.
Saenyana beurat tangtangan ngagem agama luluhur sorangan teh, jadi teu aneh lamun loba nu kapaksa pikeun identitas dirina jadi nyepeng agama nu di kudukeun ku pamarentah/ masyarakat, cenah da bongan dipaksa keun bae itung-itung “nyumput buni dinu caang” supaya teu dikucilkeun. Ana kitu boh pamarentah, boh masyarakat umum geus ngadorong sabagian rahayatna pikeun teu jujur/ngabohong, padahal apan ngabohong teh geus ingkar tina ajaran agama naon bae oge. Buktina waktu ngeusian formulir KTP teu ngaku ngagem salah sahiji agama nu-5, eeh jebulna jadi KTP duka ku Camat atawa Lurah/Kapala Desa sok rajin dieusian jadi ngagem salah sahiji agama, ari diprotes alesanana cenah kitu aturanna jeung euweuh dina komputerna, jadi mun teu dieusi komputerna macet, euuh….. kutan nya manusa eleh ku komputer. Matak pantes lamun akibatna bangsa urang disebut bangsa munafik teh da geuning kanyataana kabohongan teh dirarojong, jeung sok sanajan bangsa Indonesia teh mayoritas ngagem agama suci, geuning kanyataanna tingkat korupsi kaabus pangrongkahna di dunya, kriminalitas lianna oge kaabus rongkah (geuning unggal poe urang ngabandungan jeung nyakseni dina TV sagala bentuk kaingkaran jeung angkaramurka), dina kahirupan sapopoe geuning nu geus jelas nyolok mata buncelik yen nilik kana ukuran gajih teh teu mungkin upamana loba pejabat nu boga kakayaan nu lubak-libuk, tapi geuning ku masyarakat mah tetep dipikaserab jeung diajenen pisan, nyata geuning laku-lampah nu nyimpang teh dirarojong ku masyarakat, jadi dina hal ieu masyarakat ge boga salah pikeun ngadorong perilaku nyimpang teh, matak pantes mun alam geus ngambek jeung nyimpang tina welas asihna, da jalma nu ngeusian ieu alamn geus loba nu ingkar tina kamanusaan jeung leungit kawelas-kaasihna boh ka sasamana boh ka alamna, pan ceuk ajaran kisunda mah antara alam jeung nu ngalaman teh ngabogaan sifat silih gumantung, da buktina nu ngawujud jadi waruga nu ngabogaan daya teh asalna tina sapipatina alam (acining cai-bumi-angin/udara-seuneu jeung sari rasa alam).
Mangga urang sami-sami ngalenyepan….
Perkawis patarosan ti Kang Ganjar eta biasa sok ditararoskeun, da ngukurna tina acuan agama deungeun tea khususna ti agama Samawi, jadi mun teu sarua jeung patokan eta dianggapna lain agama nu antukna agama seperti Hindu jeung Konghucu nu tadina teu wanoh kana konsep nabi jeung sorga/naraka geuwat ngabebenah diri neangan saha nu dijadikeun nabi jeung nerangkeun sorga/naraka, Konghucu teu ngenal kitab suci, geuwat ngumpulkeun ajaran-ajaran nu dijadikeun kitab suci. Tah biasa patarosan teh soal saha nabina ?, naon kitab sucina ?, kumaha sholatna ?, kamana kiblatna ?, naha aya syahadatna ?, kumaha puasana ?, naha percaya ayana sorga jeung naraka ? kumaha sual konsep dosa ? jeung sajabana.
Mangga ku si kuring dipedar, tapi ieu mah mung saukur paupamaan da teu sadayana konsep eta aya wujudna, mung tiasa bae diterangkeun.
Soal Saha Nabina?
Didieu aya sababaraha katerangan, nyaeta kieu : upama nu dimaksudkeun nabi teh nu ngadugikeun ajaran, nu nungtun pikeun milih antara nu hak jeung nu teu hak nyaeta biwir jeung ucapna nu asal ti Nu Maha Ucap, da eta biwir jeung daya ucapna teh estu kersaning Nu Maha Kawasa da kabeh jalma teh teu aya nu meuli eta biwir sumawonna ucapna estu utusan ti Gusti pikeun ngucapkeun jeung nyoarakeun nu bener nu bersih nu didumasaran ku welas asih da Gusti mah gaduh sifat Maha Welas tur Maha Asih, nu ngandung harti sakabeh jalma kudu jadi nabi da memang tugas manusa di dunya pikeun ngatur dunya nu didasaran ku welas asih. Upama nu dimaksud nabi teh juru salamet, nyaeta Indung Bapa, da urang moal bisa mungkir yen salametna urang tug dugi ka gede jeung boga ajen teh estu gegedena jasa indung bapa urang, urang sarerea pasti tiasa ngarumasakeun sakumaha gedena jasa indung-bapa urang, coba lamun harita keur orok beureum ku indung/bapa urang dipalidkeun atawa ditandasa saperti jaman ayeuna nu sok kabejakeun dina TV, tangtu urang moal hirup tepi kaayeuna. Jadi jelas indung-bapa urang nu jadi juru salamet, atuh tangtu ku lantaran indung bapa urang oge disalametkeun ku nini-aki, nya nini aki ge sebagai juru salamet dan moal aya urang lamun indung-bapa urang teu salamet, nya saterusna nerekel atuh cindekna mah ti indung-bapak tepi ka luluhur urang eta nu jadi juru salamet urang, atuh pantes mun urang boga rumasa miajen jeung ngamumule luluhur sorangan ulah dilalaworakeun. Cobi geura lenyepan sing lantip, naha urang geus pernah husuk sidakep situhu tunggal madep neneda ka Nu Kawasa sangkan sagala puji-puja, rahmat, sapaat, maunat jeung mujizat supaya ditamplokkeun ka indung-bapa jeung luluhur urang, umumna mah geuning sok ditamplokkeun keur luluhur batur, ari kolot jeung luluhur sorangan teu kabagean da sok dianggap bae loba dosa, menta teh sangkan diampunan dosana, padahal Gusti mah Maha Uninga jeung geus netepkeun hukumna dimana melak eta nu metik hasilna malahan sok kaala oge ku anak turunanana, boh alusna boh gorengna.
Naon kitab sucina ?
Upama nu dimaksud yen kitab suci teh tulisan ti Nu Maha Kawasa nu jadi Sumber Elmu pikeun bekel salamet manusa hirup di dunya, atuh tangtu bae eta tulisan Nu Maha Kawasa mah moal tiasa dipapandekeun jeung moal bisa diturutan ku manusa, kajeun ngan ukur sahurup, manusa ukur bisa maca, ngaji, terus ka ngaos, eta ge mun daek jeung katepi, tapi ari nepi ka tamat ngelmu ti kitab suci Gusti mah asa pamohalan, jeung tinimbang tamat ngelmu mah kalah ka kaburu tamat ngalalakon di dunya, jadi lamun tea mah aya nu umaku geus tamat ngelmu tina Kitab Suci (Elmu) Gusti, bet asa ku kaleuleuwihi, komo bari jeung umaku geus sakitu kali namatkeun elmu gusti mah, sabab mun geus bias namatkeun elmu Gusti hartina geus sarua tingkatan jeung Gustina, tah ari nu kitu bisa henteu disebut ujub-ria-takabur (teu langkung parawargi, sumangga).
Jadi naon atuh kitab sucina. Tah nu dimaksad kitab suci damelan pangeran tempat atanapi sumber elmu kasalametan teh, ceuk luluhur Sunda mah nyaeta alam semesta jeung pangeusina, didinya sumber elmu teh pek geura baraca (maca), terus diaji (ngaji) mun geus kaaji tangtu bisa kaaos (ngaos) kaluhunganana. Cobi bae aya sabaraha surat jeung ayat eta di alam, oge kaasup diri sakujur urang nu mungkin salah sahiji surat elmu Gusti, eta aya sabaraha rebu ayat dina diri urang sakujur, tong boro namatkeun elmu nu aya di alam, maca -ngaji –jeung ngaos elmu nu aya dina diri nu sapopoe dibabawa, asa pamohalan urang bias namatkeun tepi ka urang pulih ka jati mulang ka asal, da buktina elmu kadokteran nu geus sabaraha generasi manusa ngotektak ngaguar elmu dina diri, geuning can taramat keneh bae.
Upama urang maca jeung ngaji kana tangkal cau contona nu jadi salah sahiji ayat Gusti, urang bisa maca sabagian tina diri tangkal cau, geuning tangkal cau mah geus rumasa jeung tumarima dikudratkeun jadi cau, nya tangkalna tangkal cau, daunna daun cau, jantungna jangtung cau, buahna buah cau, akarna akar cau, tug dugi ka rasana (batina) oge rasa(batin) cau teu nyimpang tina papagon hirupna, teu ingkar tina kudratna kersaning Nu Maha Kawasa, malahan urang oge bisa ngabedakeun bedana rasa jeung tangtungan cau ambon, cau muli, cau emas, cau kepok jsb., tara sugan patukeur rasa (batin) sok sanajan papada sasama cau estu natrat ngukur ka kujur mituhu kana KersaNa Nu Kawasa. Dina amal-amalanana oge jelas, manehna geus kumawula ka manusa jeung sasatoan, geus ngabuktikeun kawelas kaasihna tangkal cau rido dirina paeh sanggeus cauna diala (tangkal cau umumna terus paeh lamun geus diala buahna), tapi samemeh buahan tangkal cau sok tatan-tatan ngabogaan anak heula, sangkan kumawulana langgeng.
Tuh geuning sakitu luhurna eta babakti cau, da jelas tangkal cau ge papada mahluk hirup sanajan beda cara hirupna jeung manusa. Tah balik deui ka urang sanggeus ngaji eta tangkal cau, naha urang nu geus dikudratkeun kersaning Gusti jadi urang Sunda, naha geus rumasa rasa Sundana tetep kukuh pengkuh teu patukeur rasa (batin) jeung sasama manusa liana nu dikudratkeun jadi bangsa nu beda tangtungan jeung rasana numutkeun adat jeung budayana, jeung geus sakumaha urang migawe kumawula ka papada hirup teh.
Mangga bandingkeun jeung cau, naha bener urang leuwih luhur ajen tinimbang cau .???
Soal tulisan Gusti nu teu bisa diturutan ku mahluk Gusti, didieu jelas naha urang bisa nyieun cau kilangbara tangkal cau sautuhna mah (paling oge bias nyieun ukur cacauan nu teu sarua jeung cau nyaan), naha urang bisa nyieun curuk nu mangrupakeun sabagian leutik tina diri, paling oge bisa curuk buatan nu pasti beda fungsi jeung sifatna, Jadi jelas didieu yen tulisan jeung elmu (Kitab Suci) Nu Maha Kawasa mah moal bisa diturutan ku jelema, jadi jelas Sucina, matak kuring mah sok helok ngabandungan laku manusa nu leuwih miajen jeung leuwih ngamumule Kitab Suci Agama nu diagemna tinimbang dirina, malah aya nu rela ngorbankeun dirina demi keur ngabela eta Kitab.
….Nya mangga, eta mah soal pilihan hirup.
Kumaha sholatna jeung syahadatna ?, 
Ajaran luluhur Sunda teu ngenal kecap sholat, nu aya teh nyaeta kecap Sembahyang nu hartina Manembah/kumawula ka Gustina. Tah dina raraga kumawula teh tangtu mudu dikanyahokeun heula saha nu rek dikawulaan jeung saha nu kumawulana, anu tangtos kedah nganyahokeun heula saha Kuring jeung saha Gusti Kuring, saha diri kuring jeung saha wujud Gusti Kuring, matak sok dimimitian heula ku maca jeung ngaji diri : Saha jeung timana ari dat nu aya dina diri naon bae pangawasa nu aya dina diri, timana asalna jeung naon pancenna, sanggeus kapendak nya atuh geura saadatkeun, lamun rumasa dijadikeun manusa asal ti Nu Maha Kawasa atuh geura saluyukeun make adatna manusa nu ngabogaan sifat welas asih, lamun ngarasa jeung rumasa dikersakeun jadi mahluk pangunggulna tinimbang mahluk gusti nu liana, nyata ku lengkepna pangawasa nu dititipkeun asal ti Nu Maha Kawasa atuh tangtu ngabogaan pancen pikeun ngatur dunya (ceuk wayang mah Sanghyang Jagatnata) sangkan di dunya mulus rahayu berkah salamet silih pikawelas pikaasih keur sakabeh mahluk pangeusi dunya, da dunya teh keur sarerea lain ngan ukur keur manusa tapi oge keur sakabeh mahlukNa, tinangtu di dunya kudu ngajalankeun kaadilan. Tah lamun geus dipercaya ku Gusti jadi urang Sunda (da pan lain meunang nawar urang jadi urang Sunda teh, estu ku KersaNa), atuh prak geura saadatkeun numutkeun adat jeung budaya bangsana, da matak aya adat jeung budaya di saban bangsa ge tangtu oge kenging rahmat atanapi kersaning Gusti oge, prak geura pigawe. Tah lamun urang geus nganyahokeun kalayan rumasa jeung tumarima kana kersaning Gusti, tangtu sah adatna lamun manusa sunda ngajalankeun kamanusaan pikeun mancen gawe ngilu ngatur dunya, hususna di lemah-caina nu didumasaran ku welas asih, kalayan make cara ciri jeung adat budaya Sunda nu ngurus dirina sangkan cageur-bageur-bener-pinter-jujur jeung salamet, ngamumule lemahcaina, miajen jeung mituhu ka luluhurna, kumawula ka gustina make basa jeung budaya nu sorangan teu kudu nginjeum basa jeung budaya deungeun, tinangtu sah adatna.
Tah nu kacatur di luhur nu disebut sembahyangna urang Sunda baheula mah, jadi lain muja-muji ka Pangeran da bisa ngucap jeung nyarita teh estu ku pangawasa Maha Ucap Anjeuna, lain sumbuh sembah ka Pangeran da bias gerak ge ku pangawasa Maha Hirup Anjeunna, tara puntu-penta ka Pangeran da Gusti mah Maha Uninga, naon bae nu dipilampah jeung nu dipikabutuh mahlukna Gusti mah tos Uninga kukituna Anjeuna parantos netepkeun hukum-hukumNa, jadi sagalana di Gusti mah geus nyampak, maenya ngiriman cai ka lautan. Jadi tinggal prak migawe kamanusaan saluyu jeung kudratna ti Nu Maha Kawasa dan eta memang Kersana, matak ceuk dulur-dulur ti Kanekes mah geus dijadikeun papagon hirup sapopoe pikeun “tapa di mandala” nu hartina prak digawe molah alam kalayan ngajaga kasucian alam raya (buana ageung) jeung ngajaga kasucian buana alit (diri) ku tekad ucap jeung lampah nu hade luyu jeung papagon kamanusaan.
Nya dina raraga rumasa jeung tumarimana ka Nu Kawasa, osok oge ngajalankeun laku Heneng-Hening-Eling-lan Waspada, nu intina ngendapkeun rasa, pikir elingan jeung kuringna pikeun nganuhunkeun Agungna ka Gusti Nu Maha Suci, jembarna ka Ibu Pertiwi (bumi) jeung Rama Angkasa (langit), oge ka Indung-bapa jeung ka para luluhur oge ka pangkon rasa sabudeur awun, rehna geus rumasa jeung tumarima tos dipasihan sagala kanikmatan, kalayan nyata kawelas-kaasihna tos katarima, nya ngucapna ijab-kabulna mah ku basa batin bae kalayan make basana sorangan nu kaharti ku dirina.
Kamana Kiblatna?
Ari kiblat teh ceuk pamaham sim kuring, nya patokan arah pikeun kadeuhueskeun ka Gustina jeung nganyahokeun salah-benerna. Tah upama eta hartina ceuk ajaran luluhur Sunda mah nyaeta tangtungan diri badan sakujur, da geuning pikeun nangtukeun mana kaler-kidul, wetan-kulon jeung luhur-handap teh geuning tangtungan diri, da geuning lamun urang aya di kota Bandung nyebut Lembang teh aya di kaler, tapi sabalikna lamun urang keur aya di Subang nyebut Lembang teh ayana di Kidul, pon kitu deui urang ngarasakeun uyah teh asin, gula teh amis, cengek teh lada apan eta teh nyata ceuk rasa nu ngancik di letah nu aya dina diri, nyahona warna beureum, bodas, koneng, jsbna oge ceuk awasna panon nu aya dina diri, eta awas teu bisa dibohongan da lamun ceuk batur koneng, tapi ceuk awasna panon netelakuen bodas nya tangtu bae kayakinan teh bodas moal bisa dibohongan.
Nu kitu disebut elmu nu hakiki teh lain cenah jeung lain beja estu nyata karasa ku sorangan da ari cenah jeung cenah keneh mah can karasa kasaksi ku sorangan eta hartina can jadi elmu, pon kitu deui dina ngarasakeun kawelas-kaasih Gusti, ngarasakeun pangawasana nu asal ti Gusti, tangtu ngagunakeun tangtungan dirina sewang-sewangan, teu bisa urang tuturut munding atawa jiga beo nganyahokeun ka Gustina ngaliwatan cenah ceuk batur, na kumaha ngayakinkeunana lamun masih cenah, estu kudu karasana disorang ku sorangan keur sorangan jeung nyorangan tah eta ceuk kolot disebutna elmu kasunyatan teh, matak dina wayang mah diri teh disimbulkeun jadi “Batara Guru”, da sagala kanyaho teh apal jeung nyatana teh make diri.
Jadi ceuk kolot lamun urang hayang deuheus ka Gustina atuh geura “nalungtik diri ngotektak awak, nyungsi diri nyuay badan, angelo paesan tunggal”. Da urang tangtu moal apal ka Gustina mun teu apal ka dirina. Ari lolobana mah geuningan seueur nu neangan Gusti jauh-jauh bari cul kana ngaraksa jeung ngariksa diri, ceuk istilah Mama Mei mah cenah loba nu neangan seuneu kundang damar, nyukcruk leuwi neangan cai, kukurilingan neangan sangu bari mawa sumbul eusi kejo, tinggal prak naha bet ngaprak.
( tapi punnteeen).
Tapi ceuk bawirasa sim kuring asa teu jauh-jauh teuing hakikina mah jeung ki dulur nu nedunan munggah haji, punten ieu ge pami kenging macakeun make dadasar kacamata elmu Sunda, nya pami teu sapagodos, anggap bae katerangan ieu teu aya. Ieu mah nu kasaksi dina TV geuning dina raraga ngadeuheuskeun jeung Gustina teh sok ngurilingan wangunan kabah atawa “baithullah” (punten pami lepat nyeratna), beuki lila beuki ngadeukeutan sangkan tujuanna bisa atel/nyabak komo deui bisa nyium mah kana eta adegan. Ceuk bacaan elmu sunda enya bener eta adegan nu dipusti-pusti teh ngalambangkeun adegan diri nu kukuh, da buktina bangunanna segi opat kalayan aya pancerna (papat kalima pancer) jeung aya kaen disingraykeun mangrupa panto, nu kahartina ku kuring nyimbulkeun adegan diri nu asal ti sarining cai-seuneu-angin-bumi jeung nu jadi pancer kuringna, jeung eta panto dibuka pikeun nganyahokeun Gustina, sedengkeun warna kaen panutup hideung ceuk elmu sunda ngalambangkeun kukuh-pengkuh atawa tetep teu galideur, atuh tangtu benerna pikeun ngadeuheuskeun jeung Gustina geura kurilingan eta diri sakujur kalayan sing pengkuh tong galideur dina nyungsina.
Atuh aya deui amalan lianna nyaeta maledogan patok/menara batu nu nangtung cenah pikeun ngusir setan, eta kahartina ku kuring geura usir eta setan (nafsu-nafsu goreng) nu nyaliara dina dirina sewang-sewangan (batu satangtung ceuk Kisunda mah).
Pon kitu deui dina papakeana keur ritualna geuning sagala pakean diuculkeun teu meunang dipake iwal ti kaen bodas salambar nu dibeulitkeun pikeun nutupan aurat, nu kahartina ku kuring nya tangtu lamun rek deudeuheus ka Gusti Nu Maha Suci. Diri urang ge ulah mawa rereged dunya estu kudu taranjang (asli) dibeulitan kaen bodas nu hartina dibeulitan ku niat nu suci. Tah kitu ceuk bacaan make dumasar Kasundaan mah.
Kitu oge lamun ngabandungan prak-prakanna shalat ki dulur muslim, geuning dimimitian ku niat rek dedeuheus ka Gusti terus bae wudhu beberesih da urangna ge kudu suci lamun hayang deuheus jeung jeung Nu Maha Suci nu sareatna mah geuning meresihan eta bagian-bagian anggota badan nu biasa dipake pikeun ngalakukeun kasalahan, nyaeta uteuk jeung elinganna, baham jeung ucapna, cepil jeung danguna, soca jeung awasna, pangambung jeung angseuna. leungeun jeung obahna, sampean jeung langkahna. Tah eta pisan parabot nu sok bisa dipake salah nu ngotoran kana diri teh. Atuh tangtu bae eta mah simbolna da nyatana mah kudu diwujudkeun dina tekad-ucap jeung lampah, jeung memang salilana kudu deuheus jeung Gusti teh, nu hartina beberesih teh kudu diudak keur salilana saumur hirup urang kudu terus beberesih, supaya sifat manjing sifat (sifat suci dina diri manjing jeung sifat Maha Sucina Gusti). Tah eta simbul-simbul teh ku luluhur urang mah teu pati dilulugukeun, tapi estu pok-pek-prak, langsung dipigawe sanyatana dina tekad ucap jeung lampah sapopoe.
Tah kitu para wargi dulur-dulur Ki Sunda, hususna ka Kang Ganjar mugi wae tiasa nambihan ka wanoh, nya nuhun mun teras bogoh mah, komo mun seug dugi ka jatukramina tiasa kebo mulih pakandangan. Naha bade ku saha dipupustina elmu karuhun Sunda lamun sanes ku seuweu-siwina Ki Sunda, … mangga nyanggakeun…
Ti iraha “agama Sunda” ayana ??
Tah palebah dieu sim kuring teu tiasa ngawaler nu nyugemakeun, da teu acan kapendak, namung upami ngabandungan para ahli sejarah jeung antropologi, seueur nu nyindekeun yen Agama Asli di Nusantara (Sunda) teh tos aya jauh samemeh agama deungeun abus ka Nusantara, malah aya sabagean nu nyebutkeu yen rebuan taun samemeh Masehi agama Sunda geus aya, tapi hal ieu tiasa diterangkeun nu kaberik ku pangarti, kahontal ku akal, katerangannana kieu : bangsa Sunda kaabus bagja dikersakeun ku Gusti gumelar di lemah-cai Pasundan-Parahyangan nu endah tur subur-makmur loh jinawi nu ceuk M.A.W Brouwer mah diibaratkeun tanah parahyangan teh diciptakeun waktos Gusti nuju imut ngagelenyu, meureun baheula mah leuwih subur tibatan ayeuna anu tangtu euyeub ku mangrupa-rupa sato hewan jeung euyeub ku mangrupa-rupa tatangkalan, oge nu buahna, daunna, tangkalna, jeung akarna bias dijadikeun keur kadaharan, obat-obatan jeung papakean nu tangtu luyu jeung tingkatan teknologi di jamanna.
Tah kulantaran leuwih loba kadaharan tinimbang nu rek ngadaharna, tangtu teu susah pikeun neangan pangan, papan jeung sandang teh. Oge tangtu yen ti jaman karuhun baheula ge teu beda sapoe-sapeuting teh 24 jam, 12 jam beurang jeung 12 jam peuting. Oge pasti Ku Gusti ge karuhun urang geus dibere parabot jeung pangawasa dirina nu lengkep pikeun ngajalankeun tugas kamanusaan di dunya. Tah ku anggapan eta asa piraku lamun beurang peuting teh ngan ukur dipake sare, da teu siirikna hayang dahar tinggal am, hayang sare tinggal dug.
Tah kuring boga kayakinan yen kulantaran loba waktu nu luang da keur kabutuhan sapopoe harita mah mah teu hese, sedengkeun alam nu sakitu kayana, atuh tangtu ti baheula ge luluhur urang ngagunakeun waktuna pikeun nalungtik alam jeung pangeusina, nalungtik dirina jeung tangtu nepi ka nalungtik pikeun nganyahokeun ka Gustina, mangga bandingkeun upama digumelarkeun di alam nu werit jeung teu subur susah kadaharan, atuh tangtu bae waktuna loba kasita keur neangan pangabutuh diri nu tinangtu waktu pikeun nalungtik diri-alam jeung gustina pasti samporet. Eta hasil panalungtikan nu tangtuna terus turun tumurun mangtaun-taun diwariskeun ngajadikeun hiji budaya, matak teu heran lamun ti baheula luluhur urang geus ngahasilkeun jeung budaya perhitungan, sitim pananggalan, budaya aksara/tulisan, pangarti soal alam, soal perhubungan jeung tangtu soal nu nyangkut spirtual agama. Tinangtu lila-lila jadi kaceluk ka awun-aun kakoncara ka janapria (ceuk dalang), nu antukna datang bangsa deungeun nu mawa budaya jeung agamana ka tanah pasundan oge tinangtu bangsa deungeun ge marawa oleh-oleh budaya jeung agama hasil panalungtikan luluhur Sunda pikeun disumebarkeun di lemah-caina nu tangtu oge diluyukeun jeung adat-budaya maranehna. Tah sanggeus bangsa penjajah datang kalayan pulitik adu dombana, nya jigana ti mimiti harita bangsa urang nu ngagem kaaslian nu mikareueus kalemah-caina dikerdilkeun ku panjajahan, nu ngagem agama nu bisa nguatkeun kacintaan jeung kanyaah ka lemah caina ditandasa, sabalikna mun nyebarkeun ajaran nu nguntungkeun penjajah, nu matak ngurangan mikanyaah jeung mikaasih ka lemah-caina disokong, antukna oge muterbalikeun sajarah nu pajar luluhur bangsa urang mah biadab teu berbudaya jeung agamana cenah animisme-dinamisme (nya kaharti da eta pulitik penjajahan – jadi lamun aya nu nyebutkeun yen luluhur urang baheula cenah teu beradab jeung nganut animisme-dinamisme, kacindekan kuring eta nu nyebut teh antek penjajah bae), atuh sagala bukti kaagungan jeung kaluhungan budaya luluhur urang diringkid ka nagara manehna, sangkan urang leungiteun tapak jeung leungit jati diri bangsana, nu dampakna ayeuna geuning karasa urang jadi leuwih ngaugung-ugung bangsa deungeun tinimbang bangsa sorangan. Jadi punten sakali deui kuring can bisa ngabuktikeun eta kayakinan soal kaluhungan elmu karuhun Sunda baheula, tapi apan ajaranna mah sabagian masih diparake keneh, nya mudah-mudahan sauetik-saeutik eta tutungkusan nu disimpen di bojong jalan, nu diteundeun di handeuleum sieum ditunda di hanjuang siang nuntut dibarukaan ku nu manggihan, kitu oge geus waktuna kaneron teh dibukaan, sugan jadi urang Sunda dihariap deui jeung urang Sunda ngahampura, Nya Sunda jaya deui.
Sual nu diagem ku ki dulur di Cigugur, Lebak Cawene, Ciparay, Gunung Halimun oge dulur di Kankes, eta intina mah sarua, nu beda teh raehanana saluyu jeung kondisi jeng situasi perkembangan jeung dongsokan dina kahirupan nu kaalaman mangtaun-taun, nu teu weleh ngalaman halangan jeung harungan boh nu di kota, dikampung sumawonna nu di gunung. Jadi tangtu bae geus loba nu laleungit, nya kitu deui dulur nu di Kanekes, nu diparake ayeuna memang masih asli, tapi geus teu lengkep, loba nu ditinggalkeun lantaran harita aya di alam panyumputan diudag-udag ku tentara kasultanan banten, nu tinangtu loba adat budaya nu teu bias dikembangkeun. Oge nincak di jaman alam kamerdekaan, jaman DI/TII masyarakat nu ngagem kasundaan dimusuhan jeung loba nu ditandasa tepi ka binasa, kitu oge jaman rengsena PKI, ku lantaran teu ngaku salah sahiji agama nu aya nya loba oge nu ditandasa jeung dibui da dianggap PKI, eeh jaman ayeuna oge masih keneh aya sikep diskriminasi ti pamarentahan, jeung deui ki dulur nu lian mani aranteng bae teu ngabelaan sumawonna narulungan, malahan mah sok loba nu ngilu nyalahkeun, iraha atuh pabaralik pikirna ???.
Tah sakitu bae heula pedaran ti sim kuring pikeun nedunan panghiap ti ki dulur kang Ganjar nu sanesna mah ke urang sampeur deui kapayun, oge kasanggakeun ka kidulur sunda sanesna, hayu atuh urang pada-pada mikareueus jeung mikanyaah ka elmu Sunda, kusaha deui mun teu ku urang. Hapunten nu kasuhun bilih langkung saur, bahe carek teu sapagodos jeung pamendak para dulur.

Agama Sunda II

Re: [kisunda] Nedunan panghiap Kang Ganjar perkara Agama Sunda II
engkus ruswana

Thu, 24 Feb 2005 13:09:20 –0800
Sampurasun kang Ganjar anu ku sim kuring oge sami dipihormat, Ngahaturkeun nuhun oge kana panggeuing soal nu digurat ku akang, eta oge janten bahan ngalenyepan sim kuring.
1. Soal metodologi disertasi kang Rozak anu oge di sapukan ku akang, da memang leres kitu teori ilmiah teh, namung didieu ngabuktoskeun yen geuning teu ngajamin hasil panalungtikan ilmiah teh ngahasilkeun nu kabeneran nu sanyatana da memang sok diwengku ku koridor-koridor hipotesa nu tos ditangtoskeun tea sateuacanna, nya pangalaman sim kuring ge kitu waktos nyerat tugas ahir di Planologi-ITB (planologi ge sami langkung caket kana elmu sosialna tinimbang teknik), oge geuning kantos urang ngabandungan kritikan nu seukeut nu dimuat di koran ti kang Ayip Rosidi kana hasil panalungtikan Ceu Nina Lubis sareng rengrengan ngunaan sajarah Sunda.
Janten dina hal ieu urang sadayana, komo deui para akademisi kedah ati-ati upami bade ngabewarakeun ka media umum tina hasil panalungtikan, hususna pami kacindekannana tiasa dianggap “memvonis” hiji golongan/masyarakat tertentu jeung nimbulkeun pamahaman/panalaran nu nyimpang tina kanyataan, nu balukarna eta golongan/masyarakat beuki kadedetkeun (keur mah eukuer…).
2. Sual ajaran ti luluhur Sunda, tinangtos oge aya rengkolna, namung luluhur urang dina ngabukukeunna nya nganggo sababaraha rupi wanda, aya nu dina bentuk tulisan boh di lontarna boh di batuna, aya nu nganggo guguritan kawih kidung jeung sajabana, aya nu diterapkeun dina bentuk upacara-upacara adat, oge aya dina bentuk seni boh alatna, caritana kalayan pentasna, oge aya nu disimpen dina carita-carita legenda jeung mitos nu upami ningal luarna eta legenda/mitos teh teu abus akal. Sapalih kadieuna keun aya oge sabagian nu diserat kana buku di masing-masing kelompok, namung seuseueurna mah masih keneh galieun, kumargi nya kapungkurna kabujeng kajajah tea, janten teu kapirosea. Mudah-mudahan kapayunna ku kamotekaran sareng ku kareueusna seuweu-siwi Sunda nu micinta ka budaya luluhurna eta sakedik-sakedik tiasa dikempelkeun sareng dibukukeun.
3. Soal apriori ti kalangan nu ayeuna disebat masarakat “kapercayaan” eta teu kedah dipikahariwang da seuseueurna mah nampi sareng sumerah bade dikitu-dikieu ku pamarentah sumawonna ku masarakat sanesna, margi tos biasa ti kapungkur oge, mung ti kalangan nonoman sareng kalangan nu rada terpelajar anu rada tanginas pikeun merjoangkeun sangkan “mardika” dina ngagem kayakinan jeung ngaleungitkeun “diskriminasi” nu tumiba tug dugi ka ayeuna, soka sanajan kanyataannana sesah pisan, nya hal eta nu kadang nimbulkeun geregetan ti para nonoman. Soal istilah agama impor, lemah cai deungeun, budaya deungeun atanapi budaya impor jeung sajabana, nya teu kedah ditanggapi negatif da eta mah istilah nu umum, sarupaning nu datang ti luar nagara sorangan disebatna impor, sareng ari nagara luar nya biasa disebut nagara deungeun, naha kedah kumaha nyebatna atuh??. Tapi eta kecap biasana diangge kanggo nandeskeun, nya hapunten pami teu sapuk mah, mung pasihan terang kumaha kedah nyebatna da eta mah nyarioskeun kanyataan, sanes mikangewa atanapi apriori. Benten kayakinan nya tangtos ulah megatkeun duduluran, da kanyataan di masarakat nu ngagem kapaercayaan Sunda teh umumna pasti bae aya di lingkungan kulawargana nu ngagem agama-agama sanesna kalayan teu aya pacogregan naon-naon, nya sewang-seangan bae dina kayakinan mah, namung dina enggon-engoning ngajalankeun kahirupan nya tetep silih asah-silih asih-silih asuh. Hoyong buktos nu nyata mangga tingal di Dusun Susuru Ciamis sareng di Cigugur Kuningan, oge di Ciparay.
4. Saleresna urang teh kantos tepang di darat sok sanajan saliwat, waktos aya acara nyabut mulihna kang Ayip ka Indonesia nu diayakeun di UNPAD, geuning abdi kantos rada nyempad soal Islam-Sunda sareng Sunda-Islam, teras akang ngawaler kalayan ngahaleuangkeun “tahlil”, nya mudah-mudahan oge kapayun urang tiasa tepang langkung wanoh di darat.
Sakitu heula panginten kang pangwaler ti sim kuring, oge aya pamundut pami teu kaabotan sim kuring ge hoyong di-japri-keun eta power point, supados abdi oge tiasa nambih wawasan sareng bahan kajian. Hatur nuhun
sateuacanna. Rampes.
Hatur Nuhun
Baktosna
pun Engkus

Selasa, 23 September 2014

KIDUNG LAKBOK


"KiDung- Lakbok". Nja eta sasakala djeung uga Rawa Lakbok, tina paririmbon Aki Ranadjangga,Ma'lim anu nitis ka Buja Putih.
»PAPATAT - MAKAR«.
1. Ngebul kukusna ka Mangung njambuang ka awang-awang,bau kalemba kastori, mangsoji djeung menjan putih, sasadjen djeung rurudjakan, puntjak manik tangtang angin, tjawisan para puhatji, nu datang ti Kahijangan.- 

2. Mugi agung nja Paralun, muga djembar pangampura, Ka luhur ka Sang Rumuhun, ka Batara ka Batari, ka Batara Nagaradja, dedemit Onom Siluman, Sang Pramesti Uti Pati.- 

3. Paralun amit rek ngindung, Kidung Lakbok nu kapungkur, tjarita kolor Baheula, sasakala asal tadi, Lakbok teh hidji nagara, Nu disupata ku dewa,Katelah "Bandjarpatroman", nagri gede loh djinawi. 

4. Lembur kalingkung ku gunung, botjorna ngan ka sagara, pamali tarung djeung dulur, matak paanggang pakaja, Sang Ratu Ineung Buana, parebut dajeuh Patroman, Ratu Agung Tambakbaja. 

5. Nu tarung Patutunggalan, ana djlog ka "Pataruman, Pataruman tempat tarung, nja silih tjabok di Lakbok, ngarengkol di Pasir Djengkol, mikiran kuma akalna, ngawang ngawang di Batulawang.

6. Silih sUrung di tjikawung, silih dupak di Kokoplak, silih sered di Kawasen, tempat ngadu kasakten, ramena anu keur perang, silih djingdjing silih djungjung, silih gusur silih suntrung.

7. Silih dupak silih sepak, silih sepak sewangkara, silih djotos silih tjabok,, silih pojok silih haok, silih puak silih bekok, silih tjekek silih kadek, silih tumbuk silih tubruk, silih djingdjing djeung tampiling.- 

8. silih gobang silih pedang, silih alung silih bojong, silih sered silih gentjet, silih pentung ku pepentung, silih irik silih gitik, silih pundjeung silih uleng, silih tenggok silih djekok, silih tjiwit silih djembel.- 

9. Tarung paungku-ungku, perangna padjaga-djaga, pada sieun kabeunangan, boga rasa kawirangan, wiwirang dikolong tjatang, erana nu eleh perang, kaduhung sagede gunung, wirang sabeurang-sapueting.-

10. Nu perang taja eureuna, itu wani ieu wani, pada-pada embung eleh, taja hidji anu teter, djorelat ngajedat ka "Djelat, diboro ka tjiporoan, mundur ngukuj ka "Tjitanduj, rundag-randeg di "Randegan.-

11. Ngadon ngarandeg sakeudeung, ngadaweung ngabangbang areuj, hudang patangtang pitingting, ludeung semu taja keueung, . ....ajonan di Gagajonan, dipupu di "Gunung Tjupu, silih rontok di "Tjikotok, gaduh raos bet kaduhung. 

12. Kaduhung tarung djeung dulur, rebut balung tanpa eusi, nu puguh onar ka batur, matak era ka tatangga, napsu nu matak kaduhung, badan anu katempuhan, lebur adjur tutumpuran, nagri ruksak ku sorangan. 

13. Kolot mah mili kawirang, bingung patjampur djeung susah, mikiran nu djadi anak, taja reureuhna nu tarung,Tarung ngadukeun pakarang,Sabuk bandring ting kirintjing,Gondewa henteu kawawa, Ting siripit ting belesur.

14. Burinjaj adu di djalan,Paser potong djadi dua,Sami-sami digdjajana,Namung gaib anu njanding, Putra isin ku ramana,Rasa geus babalik pikir,Njingkiran era kaduhung,Nja njingkur di "Gunung Sangkur

15. "Gunung Sangkur tempat njingkur,Ngaheneng di "Gunung Tumpeng"Tjijdjurej di arej-arej, "Tjiigolentrak milu senggak,Njeggakan nu ngadu rosa,Perang tanding djeung saderek, Wekasan meunang supata,Ngahiang di "Tjitamiang.

16. Reup angkeb bumi djeung langit,Gunung rugrug laut motah,Lini teu aja eureuna,Galindeng sora kawahan,Hawar-hawar kabujutan,Njaksian supata dewa,Nu kantun sami gegetun,Nu nilar ngan bati kelar.

17. Nu anom mung kantun ngungun,Waas patjampur djeung sedih,Bet nagri "Bandjarpatroman,Salin djinis salin rupa,Urut djajeuh djadi leuweung,Urut gedong anu sigrong,Diparake sajang bagong,Djadi leuweung sima gonggong.

18. Situ kalangenan sari, Djadi rantja tjaneoman,Panjaniti musna leungit,Babantjong melong molongpong,Tjaneom djadi geueuman,Tempat etan duruwiksa,Tempat Siluman-sileman,Dedemit tukang tjilimit,

19. Batu karut nutjamerut,Tjimerut dumeh dikantun,Melong ngan bati bengong,Nagara ngarupa rawa, Gedong-gedong jadi pulo,Pulo putri "Pulo Erang,Manusa djaradi hewan,Lele betok belut sidat,


20. Tumenggung nyurup ka lutung,Korawa mangrupa owa,Si Lengser paeh saleser,"Bandjarsari leungit sari,Kabawa kunu ngahijang,Ratu Agung Tambak Baja,Nu aya ngan "Sindangdjaja,"Sindanghaju nu rahaju.

21. Batu petir nu kiwari,Batu karut nu Kapungkur,Mungkurkeun ti "Gunung Sangkur,Ngariung djeung "Batulawang,Batulawang nu ngahadang,Njandingkeun ka "Gunung Tjupu,Wadah manik astagina, Batu peti nu mupusti.

22. Sada gugur di kapitu,Sada gelap di kasanga,Aja sora tanpa rupa,Djaga dina djaman achir, Baris aja nu ngaruat,"Lakbok pulang ka asalna,Nja muntjang labuh ka puku,Kebo mulih pakandangan.

23. Ratu di Gunung Galungung,Menak pentjar Geusan Ulun, Ku eta dadak sakala,Nagara djadi waluja,Musna chajal timbul insan,Loba jalma kadjadjaden,Dedemit setan siluman,Djadi djalma bungkeuleukan.

25. Palungpung kasilih kampung,Tegal mandjah djadi saah,Nja ratu ngaradja dewek,Djalan panjang disaungan,"Langen djadi kalangenan,"Manganti keur sri Manganti,Paranti Gusti ningali, Ngawangngawang ka Batulawang.

25. Panungtung Ngadeg tumenggung,Bawah tatar beulah wetan,Duka dimana lebahna,Ngan disebut "KERTADJAGA,Djaga soteh tjeuk baheula,Nagara pulang ka asal,Kapulih manan birahi,Kapunah batan baheula.-

26. Kitu tjaturing pitutur,Kiwari geus njata pisan,Sihoreng Kangdjeng Pagusten,Nu ngaruat ieu "Lakbok,Nepi ka dieu djadina,Kawas nagara tjitjipatan,Tatapi tjerewedna mah,Baris nepi ka kiamah.




»MENAK NGAPUNG«

:Daweung Menak Padjajaran:

1. Ngadaweung ngababgban areuj,Ratu di Gunung Galungung Menak pentjar geusan Ulun,Njawang ka tataran wetan,Nagara Bandjarpatroman,Tanah datar bahe ngaler,Ngetan ngidul djlog ka laut,Tjitjiren Garuda ngupuk.

2. Njawang njeueung semu keueung,Rus-ras ka djaman katukang,Tjeuk udjarna nini mojang,Ngudat riwadjat sadjarah.Geusan ulun utun indji,Anu pibakaleun bisa,Nu ngaruat rawa Lakbok,Turunan Ratu Galunggung.

3. Rongheap manak kagugat,Ku riwajat djeung sadjarah,Sadjarah Bandjarpatroman,Baheulana tjenah nagri, Nagri ma'mur loh djinawi,Rea ketan rea keton.Ratuna luhung elmuna,Adil djeung sabar darana.

4. Sampiung ngapung ka manggung,Menak ngapak djomantara,Nu dimaksud rek ngaruat,Rawa Lakbok nu kiwari,Inget kana kawadjiban,Ngabela nagri nu gugur,Asal nagri djadi leuweung,Luwang-liwung ku geueuman.

5. Beki luhur pang ngapungna,Beuki lepas pang pangapakna,Paheula-heula djeung heulang,Pahiri-hiri djeung geuri,Paboro-boro djeung rangkong,Njoreang ka tebeh handap,Atra katingal gunungna, Gunung Galungung nu Agung.

6. Gunung Galunggung kapungkur,Majun ka Bandjarpatroman,Gunungna patingparentul, "Gunung Tumpeng nu ngaheneng,"Gunung Sangkur djiga mungkur,"Ngajegir "BAbakan ngelir,Pasir pandjang ngemat-ngemat,Djiga benteng tambak bahja.

7. Katingal Ti awang-awang,Sagara siaga tjileuntjang,Leumpang sakulit ing angin,Kapindingan indung peuting,Kalampatan mega bodas,Kareueukan mega hideung,Sawahna sariga kalang,Majakpak keur beuneur hedjo,

8. Katarandjang angin lada,Angin barat silantangan,Sumiriwing djeg karinding.Gugurna sada ngalindur, Gelapna sada korendang,Tarik tanding mimis bedil,Liang irung kikidungan,Liang tjeuli sondarian,

9. Rea lembur nu kalangkung,Lembur-lembur ting runggunuk,Imah-imahna djarangkung, Da sieun ku sato galak,Maung meong bagong badak,Sagara majakpak bodas,Katingal satungtung deuleu, Laut kidul matak waas.

10. Teu lami Raden djol sumping,Sumpingna ka mega malang,Sakeudeung Raden ngarandeg, Di luhur kota Randegan,Njawang bari larak-lirik,Ngetan ngidul reudjeung ngaler,Katembong Kalapa Nunggal,Ngawawangwang Bandjarpatroman.

11. Sumiripit di wiati,Ngawangwang di awang-awang,Rengking sagede papanting,Rentang sagede papatong,Sumerepet tanding walet,Sumeak tanding kadantja,Kadantja muru raratan,Kawas djogdjog moro mondok.

12. Kawas walik muru lamping,Muru pametinganana,Kawas tjiung muru gunung,Muru pangaubanana, Ngatjatjang di mega malang,Utjang angge mega koneng,Seueurna mega kaliwat,Salawe simpanganana.

13. Simpangan ti Kahijangan,Datang ka tundjang buna,Kana pongpok sarangenge,Tjunduk ka tjurugna galur,Sumping ka bagalna bulan,Aki geleng Pangantjingan,Pangantjingan langit ping pitu, Neda widi rek Ngaruat,


»SAGED MENAK ANU DANGDAN«

1. Menak Aria keur dangdan Saged tjangtjut tali wondo,Nu mendung lantjingan wulung,Nu njigi lantjingan pandji,Nu marong bandong kantjatna,Tali tjawet dibakutet,Riap sabuk tali datu,Sabuk palangi sahidji.

2. Lain ladang ngurup nukeur,Lain ladang babalantik,Ladang imut pipir lisung,Pangalungan indung-indung, Pamalangan tatambangan,Ladang imut patembongan,Susumping kembang djajanti,Tjettjet kamboja sutra.

3. Tilu suku djeung tjatutna,Sareal djeung naratajan,Satail tempuhanana,Tarolop gagang pangotna, Paranto njotjo nu bentol,Saranka sasarangatan,Gogodong ki djulang enom,Landean tjula bungalan.

4. Pamendak ronjong kantjana,Montjorong pendok emasna,Pondok emas beunang natah, Tatahan ganggong sapotong,Ukiran patra gumelas,Ti gigir di mata walik,Ti tukang dilatjah mentrang, Ti hareup dikuda njeungseung.

5. Dangdan Menak Nu raspati,Dangdan sakadang dangdan,Surup payus kana tangtung,Semu geueuman pamulu,Sieup teureup ka pameunteu,Gandes pantes kana dedeg,Gandang tandang amis budi, Pertentang turunan ejang,Bismillah mimiti mudji,Ka Gusti Nu Maha Sutji,Abdi Gusti nu Maha Sutji, Abdi Gusti neda widi,Neda ma'ap rek ngaruat,Rawa Lakbok nu kiwari,Sedek rejem-rejem pantes,Sedek kaburu ku beurang,Pang radjah pamunah basa.


»BANDJAR BAKAL BANDJIR«

Numutkeun tjeuk udjaring Babad Lakbok,
Ngudag latjak sadjarah Bandjatpatroman,
Njuktjruk galur tjatur karuhun, kasauran sepuh kapungkur ,,,Bandjar teh bakal Bandjir" Tjenah, malah kunu aranom ajena nu parantos sami ngalaman djaman kiwari,
Geus djadi katjapangan ,,,Bandjar Banjir" abong-abong aja paribasa ,,Wong tua gawe wiwitan sing enom darma ngelakoni"
Hatina: Kolot nu ngamimitian, nu anom kantun nulujkeun." Tungtuna teh aja basa ,,Tuturut munding". Duka bener henteuna mah, naha enje ieu tah Bandjar bakal bandjir"?
,,,,,Bandjir ku naon?"
,,,Bandjir ku tjai atawa bamdjir ku getih?"
,,,Wallohu 'Alam Bissawab" tjenah tjeuk nu ngadjawab, "Tapi ku emutan sim kuring, kantenan sadayana oge parantos sami uninga jen ELMU teh KANJAHO,ulah ngan sesemet nepika,,, Wallohu Alam Bissawab"
Bae, da kedah nepi kana,, Alam Aenal Jakin
Ulah kabar Jakin" margi ajeunamah Djaman,,, kajataan"
,,Kanjataan nu mana?"
Kanjataan nu eta, anu njata, anu jakin, anu kaharti ku pikir, anu karampa ku rasa,
Anu ka udag ku akal, anu karasa ku basa.
Basa alam mikir sing nepi ka kaharti ka ukir ku pikir, basa Alam karampa sing nepi ka karasana kalawan njata, basa alam POK NGOMONG sing nepika BASANA, napi ka NGALAGENANA.
Nintjak sing keuna kana hambalanana basa ing ninggang wirahmana, Ulah nete semplek nuntjak semplak, bisi urug teu puguh-puguh, ragrag teu karasa; urug mamawa euntjeh nu ragrag kababawa... Saolah-olah genteng-genteng ulah potong.
Sabab naha enja jen Bandjar teh Bakal Bandjir?,,, Naha geus karasa, geus kaalaman atawa teu atjan?!
TaaaaaaH,, Ajeuna mangga Urang bahas, Urang di Guar, Ulah Ngan wungkul wangwangan djeung ulang ngan Saukur kira-kira bae.
Tjeuk anu nyebatkeun Bandjar Bakal Bandjir ku tjai, eta leres, da parantos sami ngalaman, dina tanggal 02 Djuli 1950, kaleresan kaping 16 bulan puasa 1349, taun Wau malem Ahad Manis, geus kadjadian Bandjar Bandjir nu panggede-gedena, tjeuk urang mah nu nembe ngalaman.
Bandjir anu kahidji, anu geus kaalaman, ku sim kuring, kinten-kinten taun 1928, upami teu lepat, margi tjatetanana leungit. Teu sabara ageungna, mung saukur ruksak pasawahan palawidja djeung imah-imah nu aja dikampung Tjikadu, Kalapa Nunggal, Randegan, djeung Tjitapen. Namung Bandjir anu kadua kalina mah, nja eta nu geus kadjadian Kaping 2 Djuli 1950, anu kasebat tadi di luhur sim kuring oge nembe ngalaman. Kenging oge di sebatkeun bandjir anu panggede-gedena. Margi tjai di palebah Lapang Sudarsono djeung dipangadegan,, Luhurna kurang
Leuwih 2 meter. Lebah Dieu urang, anu teu uninga bandjir di Bandjar, tiasa njawang, atanapi noong ku panon batin; Pisakumahaen temen djeung sabaraha anu korban, nu sami ngarandapan ruksak imahna, dibelaan ngadon njingkur di imah batur.
Parabot Rumah tangga djeung ingon-ingon mah geus teu katjatur; hayam, Meri, soang, entog, Kuda, munding, sapi, embe, loba nu ngarodjaj ngajangkang di tjitanduj. Korban Manusa oge aja.
Anu ngarandapan kitu teh nu katangen ti wangkid; Tjisaga, Tjigerendeng, Tjikulak, Parung Lesang, Parung Sari Bodobatu, KP, Pasar, Kp. Gudang, Tjikadu Kalapa Nunggal. Randegan djeung Tjitapen, nja eta lembur- lembur anu tjaket ka sisi tjitanduj.
Ku kituna atuh surup djeung pantes kanu njebatkeun Bandjar Bandjir ku tjai, da kitu anu parantos kaalaman.

»SAUR SEPUH KAPUNGKUR«

Kadjadian-Kadjadian anu geus kaalaman ku urang teh, ngeunaan oge kana saur sepuh anu kieu tjenah,, Barudak engke didjaman ahir, dimana Gunung Babakan geus kawin djeung Gunung sangkur, Bandjar Bakal bandjir. Aja tjatur beunteur njeuseupan kembang kalapa, nyarusup na langari beukah,
Handjat ngarendong dina sela-sela palapah kalapa. Nja Badjar djadi sagara. 
Sabadana Eta, Bandjar djadi nagara.. Sanggeusan Bandjar djadi nagara, Bandjar Bakal djadikatjapangan: BandjarPatroman_ Bandjar Aman.

_________CAG__________

Senin, 22 September 2014

Memahami Nama ‘Hu’/'Huwa’: Dia Yang Tak Bisa Diliputi Nama


A.Sebutan Tuhan

Sahabat-sahabat, kadang kita terlalu cepat ‘memagari diri’ dari istilah-istilah yang kita anggap tidak berada dalam domain yang sama dengan agama kita. Terlalu cepat ‘mengkafirkan’. Bukan mengkafirkan orang lain, tapi mengkafirkan bahasa (lain). Dengan memagari diri seperti ini, apalagi dengan didahului prasangka, maka dengan sendirinya kita akan semakin sulit saja memahami hikmah kebenaran yang Dia tebarkan di mana-mana.
Padahal, dalam Qur’an pun Allah menjelaskan bahwa beragam bahasa adalah tanda dari-Nya juga.

“Dan diantara ayat-ayatnya ialah menciptakan langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat ayat-ayat bagi orang-orang berilmu (’Alimiin).” Q.S. 30 : 22.

Jika ada orang menyebut tuhannya sebagai Yehovah, Eloh, Eloheim, atau Adonai, mekanisme dalam pikiran kita mendadak seperti mencipta imaji-imaji bahwa ada banyak tuhan yang sedang berjejer, sesuai urutan sesembahan yang ada sepanjang masa. Ada tuhan yang disebut Yehovah, Eloheim, Jahveh, Brahma, Manitou, Zeus, Allah, Tuhan Alah, dan lain sebagainya. Sedangkan yang kita sembah adalah yang disebut Allah, yang lainnya bukan, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Tuhan kita dan agama kita. Pokoknya thoghut, atau kafir.
Benarkah begitu? Bukankah Tuhan hanya satu? Bukankah ‘Laa ilaaha Ila’Llah’ artinya tiada Tuhan selain Allah? Wallahu ‘alam, meski saya mengerti bahwa Tuhan hanya satu, tapi saya belum mengetahui secara total makna lahiriyah maupun batiniyah dari kalimat syahadat itu. Tapi setidaknya, bukankah cara berfikir yang seperti tadi juga berarti bahwa tanpa sadar pikiran kita telah menyejajarkan Dia dengan selain-Nya? Atau, secara halus dan tersamar sekali, itu artinya kita masih mengakui bahwa ada banyak entitas dalam satu himpunan tuhan, dan Allah adalah salah satu dari yang ada dalam himpunan itu. Bukankah itu keterlaluan?

Istilah ‘Allah’ sudah ada sejak sebelum Al-Qur’an turun. Sebelum junjungan kita Rasulullah menerima wahyunya yang pertama, bangsa Arab sudah menggunakan kata- kata ‘demi Allah’ jika mengucapkan sumpah. Hanya saja, mereka juga sering menyebut nama patung-patung mereka, ‘demi Lata’ atau ‘demi Uzza’, ‘demi punggung istriku’, atau bahkan ‘demi kuburan ibuku’, dalam sumpah mereka.

Kapan istilah ‘Allah’ pertama kali dikenal manusia? Tidak tahu persis. Diperkirakan tidak akan jauh dari periode kemunculan agama Islam yang dibawa Rasulullah di tanah Arab. Tapi apakah berarti, pada periode sebelum itu, Allah diam saja di langit sana, dan tidak memperkenalkan diri-Nya? Rasanya kok tidak demikian ya. Saya suka bertanya-tanya, misalnya dengan nama apa Allah mengenalkan diri-Nya pada nabi Ya’kub as dan nabi Musa as, nabi bangsa Bani Israil? Karena pada kenyataannya, bangsa yahudi sekarang tidak menyebut nama-Nya dengan sebutan ‘Allah’ yang sesuai dengan bahasa Arab.

Kitab suci dari Allah yang kita kenal ada empat: Taurat, Zabur, Injil, dan kitab penutup dan penyempurna semuanya, Al-Qur’an. Taurat, atau Torah, turun kepada Nabi Musa as. Karena Musa adalah orang Bani Israil, tentu kitab yang turun pun berbahasa mereka, Ibrani. Demikian pula Zabur, Injil, dan Al-Qur’an. Semua turun dan disampaikan dengan bahasa penerimanya.
Jadi, apakah salah jika orang yang kebetulan beragama lain, menyebut nama Allah dengan nama yang turun pada bahasa kitab mereka? Apakah itu Tuhan yang lain? Belum tentu. Sekali lagi, kita tidak boleh terlalu cepat ‘mengkafir-kafirkan’, termasuk mengkafirkan bahasa dan istilah.

Ada banyak sekali irisan kemiripan bahasa-bahasa agama dalam sejarah. Sebagai contoh, nama ‘Allah’, sangat mirip dengan ‘Eloh’. Dalam kitab-kitab Ibrani, Tuhan disebut sebagai ‘Eloheim’. Dari asal kata ini, kita mengerti misalnya arti kata ‘betlehem.’ Dari asal katanya, Bethel dan Eloheim. ‘Bethel’ bermakna rumah, dan ‘Eloheim’ adalah Allah. Rumah Allah. Jika demikian, apa bedanya kata ‘Betlehem’ dengan ‘Baytullah’?

Juga ‘Yehova’ atau ‘Yahwe’, sangat mirip dengan ‘Ya Huwa’, Wahai Dia (yang tak bernama). Yang agak ‘mencurigakan’, adalah inti ajaran Socrates, ‘Gnothi Seauthon’, yang artinya adalah ‘Kenalilah Dirimu.’ Dari segi makna, ini sangat mirip dengan inti hadits yang sering diulang-ulang oleh para sahabat Rasulullah maupun para sufi terkemuka, ‘man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu,’ mereka yang ‘arif tentang dirinya, akan ‘arif pula tentang Rabb nya.’ Esensinya sangat mirip: mengenal diri. Dan sebuah fakta yang tak kalah menariknya, sejarah mencatat bahwa Socrates adalah guru dari Plato, Plato guru dari Aristoteles, dan Aristoteles adalah guru dari Alexander of Macedon. Sosok yang terakhir ini oleh sebagian ahli tafsir disamakan dengan Iskandar Dzulqarnayn, sosok panglima yang namanya diabadikan dalam Al-Qur’an.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa semua tuhan sama saja, yang berbeda hanya namanya. Atau dewa pada tiang totem yang disembah bangsa indian apache adalah Allah juga. Bukan begitu. Saya hanya mengatakan bahwa kita sebaiknya jangan terlalu ‘alergi’ dengan kata-kata agamis dari agama lain. Kita harus berhati-hati sekali untuk ‘mengkafirkan’ istilah. Sebab kalau ternyata salah, maka artinya kita ‘mengkafirkan’ sebuah hikmah atau sebuah tanda dari-Nya. Maka kita akan semakin jauh saja dari kebenaran.

Bukankah Allah pasti menyebarkan jejak-Nya di mana-mana, sepanjang zaman? Dan jangan berfikir bahwa Allah hanya pernah dan hanya mau ‘muncul’ di agama kita saja. Ini berarti kita, sebagai makhluk, berani-berani menempatkan Allah dalam sebuah himpunan, ke sebuah konsep di dalam kepala kita. Himpunan deretan tuhan, atau himpunan kelompok agama.
Allah adalah Tuhan. La Ilaha Ilallah. Dia ada di luar himpunan apapun. Dia tak beragama, dan tidak memeluk agama apapun. Karena itu, kita jangan berfikir, baik sadar maupun tidak, bahwa Allah ‘beragama Islam’.
Agama diciptakan-Nya sebagai jalan untuk memahami-Nya, memahami kehidupan, dan memahami diri ini. Segala sesuatu Dia ciptakan dan Dia akhiri. Maka Allah adalah sumber dan akhir segalanya. Dua asma- Nya adalah ‘Al-Awwal’ dan ‘Al-Akhir’. Ini pun sebuah kebetulan yang menarik, karena bangsa Yunani kuno, bangsanya Socrates dan Plato, eyang guru dari Alexander tadi, juga menyebut salah satu nama yang dimiliki Tuhan mereka sebagai ‘Alpha Omega’, berarti ‘Yang Awal dan Yang Akhir’ (Alpha = Alif = huruf awal dalam alfabet yunani dan arab, simbol ‘awal’; sedangkan Omega = huruf terakhir dalam alfabet yunani, simbol ‘akhir’). Kemiripan yang sangat menarik, ya?

B.Asma-asma Allah.

Allah, adalah sebuah zat, sebuah entitas, yang tertinggi. Tak terbandingkan, tak terukur, tak terperi. Lalu apakah kita, sebagai makhluk, memungkinkan untuk menempatkan Dia ke dalam kepala kita, menaruhnya ke dalam sebuah konsep ‘nama’? Tentu tidak. Dia, secara utuh, secara menyeluruh, secara real, sesungguhnya tak bernama. Tak ada apapun yang bisa membungkus-Nya, termasuk sebuah nama.
Lalu untuk apakah, atau nama-nama siapakah, yang berjumlah sembilan puluh sembilan sebagaimana diperkenalkan dalam Al-Qur’an, dan disusun sebagai ‘asma’ul husna’? Nah, itu adalah bukti begitu penyayangnya Dia pada makhluknya yang satu ini, manusia.
Penjelasannya begini. Dia Yang Tertinggi jelas tak mungkin dibungkus atau terliputi oleh apapun, termasuk sebuah nama. Tapi Dia bersedia ‘menurunkan derajat-Nya’ demi supaya lebih dimengerti oleh manusia. Maka Dia memperkenalkan diri-Nya, bagi mereka yang ingin mengenal-Nya di tahap awal, dengan memisalkan dirinya dengan nama-nama sifat manusia. Memisalkan diri-Nya dengan nama-nama yang memungkinkan untuk dideskripsikan dalam bahasa manusia.

Ambil contoh, Ar-Rahmaan (Maha Pengasih) atau Ar-Rahiim (Maha Penyayang). Kita bisa memahami makna dua kata ini, karena nama sifat-sifat ini, pengasih dan penyayang, adalah nama sifat yang juga ada pada manusia. Tapi dari segi makna, kedua kata ini dalam memperkenalkan nama sifat-Nya sebenarnya telah mengalami degradasi makna yang amat sangat.

Maha Pengasih, atau Ar-Rahmaan, adalah ‘hanya’ bahasa manusia yang paling memungkinkan untuk menggambarkan salah satu sifat-Nya. Tapi kedalaman makna istilah ini telah berkurang jauh sekali, karena Dia, yang Tak Terperi, memisalkan diri-Nya dengan istilah manusia yang jelas tak memadai untuk melukiskan diri-Nya yang tak terbatas. Dalam asma’ul husna, misalkan istilah ‘Ar-Rahim’, sebenarnya ‘hanya’ merupakan sebuah istilah yang masih memungkinkan untuk bisa terpahami oleh manusia. Sifat Penyayang-Nya yang asli, yang real, yang tidak bisa dimisalkan dengan bahasa manusia, adalah jauh, jauh, jauh lebih penyayang lagi, melebihi apa yang tergambar pada sepotong kata ‘Ar-Rahim’.

Demikian pula untuk ke-98 asma asma Allah yang lain. Semua nama-nama tersebut, sebenarnya mengalami degradasi makna yang sangat jauh dari aslinya, demi supaya terpahami oleh kita, manusia. Sifatnya yang asli, tak terkira jauhnya melebihi apa yang mampu tergambarkan oleh sepotong kata dalam bahasa kita, manusia.
Allah telah berkenan ‘merendahkan diri-Nya’ ke dalam nama sifat-sifat manusia, yang jauh, jauh lebih rendah dari kedudukan-Nya yang asli. Ia bersedia dipanggil dengan bahasa kita. Ini sebuah bukti kasihsayang-Nya yang amat sangat. Bisakah kita membayangkan, misalnya ada seorang raja yang kerajaannya mencakup lima benua, lalu bersedia turun berjalan di pasar kumuh dan mau dipanggil dengan bahasa pasar, seperti ‘Lu’, ‘Sia’, atau ‘Kowe’? Raja tentu akan sangat murka. Tapi Dia, Allah, tidak. Meskipun Dia Maha Tinggi kedudukannya, tapi Dia bahkan bersedia memperkenalkan diri-Nya lebih dahulu (!), dan membahasakan diri-Nya dengan bahasa manusia, dan mencontohkan asma-Nya dengan sifat manusia.

‘Dia’ yang asli, sesungguhnya tidak bernama. Lalu istilah ‘Allah’ itu apa? Istilah itu ‘hanyalah’ bagian dari asma’ul husna, pada urutan yang pertama.
Istilah ‘Allah’, menurut seorang ahli hikmah, sebenarnya sebuah simbol juga. Menurutnya, istilah ‘Allah’, yang terdiri dari:

‘alif’, ‘lam’, ‘lam’ dan ‘ha’,
sesungguhnya merupakan singkatan dari kata bahasa Arab:
‘Al/Alif - li - li - hu/huwa’.

‘Al’ dalam bahasa Arab bermakna kata ganti tertentu, maknanya sama seperti ‘The’ dalam bahasa Inggris, atau seperti ‘El’ dalam bahasa Ibrani dan bahasa Spanyol. Maknanya, katakanlah, ’sesuatu’. Huruf ‘Alif’ bermakna ’sesuatu yang tegak’, ‘Allah’, atau bisa juga ‘yang mengawali’, mirip seperti alpha dalam aksara Yunani. Kata ‘Li’ dalam bahasa Arab bermakna ‘bagi sesuatu’, dan dalam lafaz ‘Allah’ kata ini diulang dua kali. Sedangkan ‘hu’ atau ‘huwa’ bermakna ‘Dia’.

Jadi lafaz ‘Allah’, kata yang di dalam Al-Qur’an paling sering dipakai-Nya untuk menyebut diri-Nya, sebenarnya sama sekali tidak mencakup keseluruhan zat-Nya. Lafaz ‘Allah’ sebagai simbol, sebenarnya justru mempertegas bahwa ‘Dia’ adalah tak bernama. Mengapa demikian? Karena jika makna ini dibaca secara keseluruhan, maka “Al, li, li, hu” kurang lebih maknanya adalah ‘Sesuatu, yang baginya diperuntukkan, dan sesuatu ini diperuntukkan, untuk Dia.” Jadi artinya secara sederhana adalah, ‘(simbol) ini diperuntukkan, dan permisalan ini diperuntukkan, untuk Dia (yang tak bernama).”
Dia yang asli, sebagai zat (entitas), sama sekali tak bisa diliputi oleh sebuah nama.

C.Hadits Rasulullah yang mengandung simbol serupa.

Kalau kita teliti dalam memperhatikan hadits berikut ini, kita akan mengerti bahwa Rasulullah bukan orang yang berkata dengan ‘pendapatnya sendiri’. Orang dalam tingkatan maqam seperti Rasulullan saw., tentulah setiap tindak tanduk dan perkataanya sudah sepenuhnya dalam bimbingan Allah swt. Tampak dari demikian akuratnya simbol-simbol yang digunakan, meskipun jika kita baca secara sepintas hadits ini sangatlah sederhana dan tidak bermakna dalam. Hanya kalau kita teliti, betapa dalam dan akuratnya simbol yang Beliau gunakan dalam kata- katanya.

Kita lihat hadits berikut ini:
Diriwayatkan dari riwayat Abu Hurairah ra.:
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, apakah kami dapat melihat Tuhan kami pada hari kiamat?”
Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian terhalang melihat bulan di malam purnama?”
Para sahabat menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”
Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian terhalang melihat matahari yang tidak tertutup awan?”

Mereka menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”
Rasulullah saw. bersabda, “Seperti itulah kalian akan melihat Allah. Barang siapa yang menyembah sesuatu, maka ia kelak mengikuti sembahannya itu. Orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, orang yang menyembah berhala mengikuti berhala.”
[H. R. Muslim no. 267]

Sepintas, hadits ini hanya berisi tentang melihat Allah di hari kiamat. Tapi kalau kita teliti lebih jauh perumpamaan yang digunakan dengan kacamata ilmu astronomi yang pada saat Rasul mengatakan hadits tersebut ilmu ini belum semaju sekarang, sebenarnya hadits ini juga menjelaskan bahwa ada bagian dari ‘Dia’ yang tak akan bisa kita kenali. Kita cermati perumpamaan bulan purnama yang dipakai beliau dalam hadits ini.
Sebagaimana kita tahu, pada saat bulan purnama di langit malam yang cerah, kita bisa melihat bulan ’seluruhnya’. Kata seluruhnya ini saya beri tanda kutip, karena memang ’seluruhnya’ itu semu. Kita melihat –seakan-akan– bulan tampak seluruhnya dari mata kita. Kita, saat itu, seakan-akan bisa ‘mengenal’ bulan seluruhnya.
Nah, di zaman modern ini, kita tentu mengetahui bahwa bulan adalah sebuah ’satelit,’ sebuah planet kecil yang mengelilingi bumi. Periode waktu rotasi bulan, sama persis dengan periode lamanya bulan mengelilingi bumi. Jadi, permukaan bulan yang menghadap bumi setiap saat adalah sisi yang sama persis, yang itu-itu saja. Tidak berubah. 
Demikian pula, ada sisi lain di balik bulan yang akan selalu tidak tampak dari bumi, yang setiap saat akan selalu membelakangi bumi, tidak akan pernah terlihat dari bumi. Dengan kata lain, jika kita berdiri di sisi bulan yang terlihat dari bumi, maka meski bulan berotasi sambil terus mengorbit mengelilingi bumi, kita akan selalu terlihat dari bumi. Sebaliknya, jika kita berdiri di sisi bulan yang tidak terlihat dari bumi, maka kita tidak akan pernah terlihat dari bumi pula.

Inilah sebabnya, sejak zaman manusia pertama ada hingga sekarang, permukaan bulan yang tampak dari bumi kelihatannya tak pernah berubah, karena sisi yang menghadap bumi senantiasa merupakan sisi yang sama.
Di hadits ini, Rasul memisalkan Allah sebagai bulan purnama. Bulan, sebagaimana telah dijelaskan tadi, hanya ada satu sisi yang bisa terlihat oleh kita. Jadi, secara tersirat dalam hadits tadi, Rasulullah juga menjelaskan bahwa sesempurna- sempurnanya pengenalan seseorang akan Allah (seperti orang yang telah mencapai maqam para sahabat Beliau itu), sebenarnya barulah satu sisi dari Dia saja. Sisi yang memang Dia hadapkan sepenuhnya kepada manusia. Sisi inilah yang dalam bahasa agama disebut sebagai “Wajah-Nya.” 
Tapi sampai kapan pun, akan tetap ada sisi lain dari Dia yang tidak akan pernah terpahami oleh manusia (karena Dia sesungguhnya Maha Tak Terbatas). Dan keseluruhan ‘Dia’ secara utuh, yang bisa dikenali dan yang tidak, dalam bahasa agama disebut “Zat-Nya,” atau entitas-Nya, secara keseluruhan.
Jadi sekarang kita bisa lebih memahami, jika dalam Al-Qur’an atau doa yang diajarkan Rasulullah mengandung kata-kata ‘wajah Allah’ atau ‘wajah-Nya (wajhahu)‘, maka itu bukan berarti bahwa Dia memiliki wajah di depan kepala seperti kita. Itu maknanya adalah, konteks ‘Dia’ dalam kalimat itu adalah pada sisi yang masih bisa kita kenali. Sedangkan Zat-Nya yang utuh tidak akan pernah bisa kenali. 
Mengenai zat-Nya, Al-Qur’an sendiri cukup menerangkan seperti ini:

“…laysa kamitslihi syay’un”

“… dan tiada sesuatupun yang bisa dijadikan permisalan untuk Dia.” (QS. 42 : 11)
Rasul melarang manusia memikirkan zat-Nya, dalam sabdanya, “Berfikirlah kalian tentang makhluk Allah, dan jangan sekali-kali berfikir tentang zat-Nya, sebab kalian akan binasa.” Bahkan Beliau sendiri pun mengakui bahwa dirinya tidak memahami ‘Dia’ dalam konteks zat, sebab dalam sabdanya Beliau menjelaskan, “sesungguhnya aku adalah orang yang bodoh dalam ihwal zat Tuhanku.”

Kembali pada contoh bulan di atas. Bulan, sesuai periode edarnya, akan tampak dari bumi bermacam-macam bentuknya, mulai dari bulan hitam (bulan tak tampak), bulan hilal, bulan sabit, bulan setengah, hingga bulan purnama. 
Sebenarnya demikian pula pengenalan manusia kepada Allah ta’ala. Ada yang tidak mengenal sama sekali (bulan hitam), ada yang pengenalannya setipis hilal, ada yang pengenalannya seperti bulan setengah, dan ada pula yang pengenalannya terhadap Allah telah ‘purnama’. Namun demikian, sebagai zat tetap saja Dia tidak akan pernah terpahami sepenuhnya oleh manusia, karena Dia adalah Maha Tak Terbatas. 

Dari sini saja, kita bisa mengerti bahwa faham panteisme, atau menyatunya Tuhan dan manusia sebagaimana yang dituduhkan kepada kaum sufi, adalah tidak tepat. Tentu mustahil sesuatu yang tak terbatas bisa terlingkupi oleh sesuatu yang terbatas. 
Agaknya yang dituduhkan pada kaum sufi sebagai panteisme atau penyatuan, sebenarnya yang terjadi adalah ’sirna kediriannya’. Contohnya seperti cahaya lilin yang akan lenyap cahayanya jika diletakkan di bawah cahaya matahari. Ini masih perlu kita kaji lebih lanjut. Atau paling tidak, agaknya tidak semua sufi meyakini panteisme. Seperti kata teman saya: “Sufi, pantheisme? Sufi yang mana dulu, nih?”

Sekarang, dari cara Rasulullah memberikan contoh pada dalam hadits di atas, kita bisa lebih mengerti kira-kira sedalam apa akurasi hikmah dari kata-kata seseorang jika telah ada dalam tingkatan maqam seperti junjungan kita Rasulullah Muhammad saw. Tentu beliau tidak asal ambil contoh saja, seperti ketika kita sedang berusaha menerangkan sesuatu kepada orang lain. Sekarang semakin jelas pula bahwa segala sesuatu dari diri Beliau telah ditetapkan dalam bimbingan Allah ta’ala, bahkan sampai hal ’sepele’ seperti mengambil contoh yang tepat ketika menerangkan sebuah persoalan.
Juga sebagaimana hadits Rasulullah tadi, segala sesuatu dalam ciptaan-Nya pun tidaklah semata-mata hanya sebagaimana yang tampak dari luar. Allah tentu tidaklah sesederhana itu. Seperti hadits tadi, segala sesuatu juga mengandung makna batin. Alam semesta, bulan, bintang, batu, hewan, tumbuhan, manusia, syariat (ada syariat lahir dan tentu ada syariat batin), dan lain sebagainya. Sedalam apa seseorang melihat maknanya, tentu sangat tergantung pada kesucian qalbnya, sarana untuk menerima ilmu dari-Nya. 
Kini kita bisa sedikit lebih mengerti pula, seperti apa kira-kira kesucian qalb Rasulullah saw, jika kata-kata Beliau mampu menyederhanakan kandungan makna yang sedalam itu (itupun baru yang bisa kita ungkapkan) dalam kesederhanaan simbol-simbol yang sangat akurat. 
Kalau Al-Qur’an? Lebih tak bisa kita bayangkan lagi seperti apa sesungguhnya kedalaman kandungan makna Al-Qur’an.
Semoga bermanfaat,

Diposkan oleh