Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Senin, 21 November 2016

Hanya Indonesia yang Bisa Bunuh Jenderal Inggris dalam Pertempuran

hanya-indonesia-yang-bisa-bunuh-dua-jenderal-inggris-dalam-pertempuran
Satu Islam – Alkisah suatu siang sekitar jam 11.00 WIB pada 25 Oktober 1945,mendaratlah di Pelabuhan Tanjung Perak,Surabaya sekitar 6000 pasukan dari 49 Indian Infantery Brigade ”The Fighting Cock” (selanjutnya disebut Brigade 49) pimpinan Brigadir Jenderal AWS.Mallaby. Maksud kedatangan para serdadu yang memiliki pengalaman tempur menakjubkan saat melawan Tentara Jepang di hutan-hutan Burma itu, tak lain adalah untuk melucuti senjata balatentara Jepang di Indonesia
Pada tanggal 27 Oktober 1945 sekitar pukul 11.00, satu pesawat terbang Dakota yang datang dari Jakarta, menyebarkan pamflet di atas kota Surabaya. Isi pamflet atas instruksi langsung dari Mayor Jenderal Hawthorn, Panglima Divisi 23 yang disebarkan di seluruh Jawa, memerintahkan kepada seluruh penduduk untuk dalam waktu 2 x 24 jam menyerahkan semua senjata yang mereka miliki kepada Perwakilan Sekutu di Surabaya, yang praktis ketika itu hanya diwakili tentara Inggris. Dalam seruan tersebut tercantum antara lain :
“Supaya semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris….Barangsiapa yang memiliki senjata dan menolak untuk menyerahkannya kepada tentara Sekutu, akan ditembak di tempat (persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot).”
Dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet, karena jelas bertentangan dengan kesepakatan antara pihak Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober, sehari sebelum pamflet tersebut disebarkan. Namun pimpinan Brigade Inggris mengatakan, mereka terpaksa melakukan perintah atasan. Mereka mulai menahan semua kendaraan dan menyita senjata dari pihak Indonesia.
Maka berkobarlah api kemarahan di pihak Indonesia, karena mereka menganggap pihak Inggris telah melanggar kesepakatan yang ditandatangani tang-gal 26 Oktober. Di samping itu langkah-langkah Inggris yang akan mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di Indonesia kian nyata.
Gubernur Suryo segera mengirim kawat yang disusul dengan laporan panjang lebar ke Pemerintah Pusat di Jakarta. Jawaban baru diterima sekitar pukul 15.00 dan berbunyi:
“Diminta kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur setempat agar pihak ketentaraan dan para pemuda-pemudanya tidak melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu…”
Gubernur Suryo tidak berhasil menemui Mayor Jenderal drg. Mustopo, lalu menyerahkan kawat tersebut kepada Residen Sudirman. Tepat pukul 17.00, Residen Sudirman tiba di markas Divisi TKR Surabaya di Jalan Embong Sawo dan menyerahkan kawat tersebut kepada Komandan Divisi, Mayor Jenderal Yonosewoyo.
Tak lama kemudian, datang Kolonel Pugh, yang menyampaikan pendirian Brigadier Jenderal Mallaby mengenai seruan pamflet terrsebut, bahwa Mallaby akan melaksanakan tugas, sesuai perintah dari Jakarta. Pugh kembali ke markasnya, tanpa mendapat jawaban dari pimpinan Divisi TKR.
Setelah kepergian Kolonel Pugh, dilakukanlah perundingan sekitar sete-ngah jam antara Residen Sudirman dan Panglima Divisi Yonosewoyo, dengan keputusan: “Komando Divisi Surabaya akan segera memberikan jawaban terhadap ultimatum tersebut secara militer.”
Dalam pertemuan kilat pimpinan Divisi TKR Surabaya, dibahas berbagai pertimbangan dan diperhitungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Apabila mereka menyerahkan senjata kepada Sekutu, berarti pihak Indonesia akan lumpuh, karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila tidak menyerahkan senjata, ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris/ Sekutu.
Kubu Indonesia memperhitungkan, pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan serta persenjataan lawannya. Sedangkan telah diketahui dengan jelas, bahwa kekuatan Inggris hanyalah satu brigade, atau sekitar 5.000 orang. Artinya, kekuatan musuh jauh di bawah kekuatan Indonesia di Surabaya dan sekitarnya, yang memiliki pasukan bersenjata kurang lebih 30.000 orang. Jenis senjata yang dimiliki mulai dari senjata ringan hingga berat, termasuk meriam dan tank peninggalan Jepang yang, sebagian terbesar masih utuh. Selain kekuatan pasukan terbatas, pa-sukan Inggris yang baru 2 hari mendarat, dipastikan tak mengerti liku-liku Kota Surabaya.
Sesuai dengan strategi Carl von Clausewitz, pakar teori militer Prusia, bahwa: ”Angriff ist die beste Verteidi-gung” (Menyerang adalah pertahanan yang terbaik), maka dengan suara bulat diputuskan : “Menyerang Inggris!”.
Perintah diberikan langsung oleh Komandan TKR Divisi Surabaya, Mayor Jenderal Yonosewoyo. Subuh baru merekah. Serangan besar-besaran pun mulai dilancarkan pada hari Minggu, 28 Oktober pukul 4.30 dengan satu tekad, tentara Inggris yang membantu Belanda, harus dihalau dari Surabaya, dan penjajah harus dipaksa angkat kaki dari bumi Indonesia. Praktis seluruh kekuatan bersenjata Indonesia yang berada di Surabaya bersatu. Juga pasukan-pasukan dan sukarelawan Palang Merah/ Kesehatan dari kota-kota lain di Jawa Timur antara lain dari Sidoarjo, Gresik, Jombang dan Malang berdatangan ke Surabaya untuk membantu.
Hal ini benar-benar di luar perhitungan Inggris, terutama mereka tidak mengetahui kekuatan dan persenjataan pihak Indonesia. Selama ini,informasi yang mereka peroleh mengenai Indonesia, hanya dari pihak Belanda, sedangkan Belanda sendiri diperkirakan tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di Surabaya  di Indonesia pada umumnya sejak Belanda menyerah kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942. Sebagian terbesar dari mereka diinternir (dipenjara) oleh Jepang, dan baru dibebaskan pada akhir Agustus 1945. Nampaknya, informasi yang diberikan oleh Belanda kepada Inggris sangat minim, atau salah.
Di samping BKR/TKR yang menjadi cikal bakal TNI, juga tercatat sekitar 60 pasukan dan laskar yang didirikan oleh para pemuda atau karyawan berbagai profesi, Pasukan Pelajar (TRIP), Pasukan BKR Tanjung Perak, Pasukan Kimia TKR, Pasukan Genie Tempur (Genie Don Bosco), Pasukan BKR Kereta Api, Pasukan BKR Pekerjaan Umum, Pasukan Sriwijaya, Pasukan Buruh Laut, Pasukan Sawunggaling, TKR Laut, Barisan Hizbullah, Lasykar Minyak, TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan Jarot Subiantoro, Pasukan Magenda Bondowoso, Pasukan Sadeli Bandung. Selain itu ada pula pasukan-pasukan pembantu seperti Corps Palang Merah, Corps Kesehatan, Corps PTT, Corps Pegadaian, bahkan ada juga Pasukan Narapidana Kalisosok, dan lain-lain. Puluhan kelompok pemuda yang berasal dari suku tertentu membentuk pasukan sendiri, seperti misalnya Pasukan Pemuda Sulawesi (KRIS-Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), Pasukan Pemuda Kalimantan, Pemuda Ponorogo, dan juga ada Pasukan Sriwijaya, yang sebagian terbesar terdiri dari pemuda mantan Gyugun (sebutan Heiho di Sumatera) dari Batak dan ada juga yang dari Aceh. Pasukan Sriwijaya ini telah mempunyai pengalaman bertempur melawan tentara Sekutu di Morotai, Halmahera Utara.
Bukan saja BKR/TKR yang menjadi cikal bakal Angkatan Darat, melainkan dibentuk juga pasukan Laut dan Udara. Tercatat antara lain Pasukan BKR Laut/ TKR Laut Tanjung Perak, Pasukan Angkatan Muda Penataran Angkatan Laut, Pasukan BKR/TKR Udara di Morokrem-bangan.
Selain pasukan-pasukan yang bersenjata, diperkirakan lebih dari 100.000 pemuda dari Surabaya dan sekitarnya, hanya dengan bersenjatakan Bambu Runcing dan Clurit ikut dalam pertempuran selama tiga hari. Kebanyakan dari mereka yang belum memiliki senjata, bertekad untuk merebut senjata dari tangan tentara Inggris.
Selain para wanita yang rela berkorban sebagai anggota Palang Merah, juga tak dapat diabaikan peran serta ibu-ibu juru masak dan yang membantu di dapur umum yang didirikan untuk ke-pentingan para pejuang Republik Indonesia. Para pejuang dan sukarelawan itu bukan hanya penduduk Surabaya, melainkan berdatangan dari kota-kota lain di sekitar Surabaya, seperti Gresik, Jombang, Kediri, Sidoarjo, Pasuruan, Bondowoso, Ponorogo bahkan dari Mojokerto, Malang, pulau Madura, dan Bandung.
Inggris Kibarkan Bendera Putih
Serbuan ke pos-pos pertahanan Inggris di tengah kota dilengkapi dengan blokade total: Aliran listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris dimatikan. Truk-truk yang mengangkut logistik untuk pasukan Inggris, terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman bisa dicegah. Kekacauan demi kekacauan menyebabkan suplai yang dijatuhkan pesawat Inggris dari udara, ikut pula terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari sasaran, bahkan boleh dikatakan hampir semua jatuh ke tangan pasukan Indonesia.
perjuangan-surabaya-131109c-i
Pasukan Inggris
Dalam penyerbuan itu, korban di pihak Indonesia tidak sedikit, sebab berbagai pasukan –khususnya laskar pemuda  tanpa pendidikan militer dan pengalaman tempur, hanya bermodalkan semangat dan banyak yang hanya bersenjatakan Clurit atau Bambu Runcing, begitu bersemangat maju menggempur musuh yang notabene tentara profesional.
Dengan bermodalkan keberanian serta semangat ingin mempertahankan kemerdekaan dan tak mau dijajah lagi, para pejuang Indonesia akhirnya mampu memporak-porandakan kubu Inggris. Setelah dua hari tidak menerima kiriman makanan dan minuman, serta korban yang jatuh di pihak mereka sangat besar, pasukan Inggris akhirnya mengibarkan bendera putih, meminta untuk berunding.
Mallaby menyadari, bila pertempuran dilanjutkan, tentara Inggris akan disapu bersih, seperti tertulis dalam kesaksian Capt. R.C. Smith:
“…….. on further consideration, he (Mallaby, red.) decided that the com-pany had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out.”
Walaupun ia sadari tidak ada pilihan lain, tetapi ketika persyaratan yang diajukan Indonesia antara lain Inggris harus angkat kaki dari Surabaya dan meninggalkan persenjataan yang ada di pos-pos pertahanan yang telah dikepung, Mallaby menilai tampaknya terlalu berat baginya sebagai pimpinan tentara yang baru memenangkan Perang Dunia II untuk melakukan hal itu.
Presiden Sukarno Diminta Melerai “Insiden Surabaya”
Ternyata pada hari pertama penyerbuan rakyat Indonesia terhadap pos-pos pertahanan tentara Inggris di Surabaya, pimpinan tentara Inggris menyadari, bahwa mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia di Surabaya. Mallaby, sebagaimana kesaksian Kapten R.C.
Smith, memperhitungkan, bahwa Brigade 49 ini akan “wiped out” (disapu bersih), sehingga pada malam hari tanggal 28 Oktober 1945, mereka segera menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di Jakarta untuk meminta bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara Inggris, hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di Surabaya.
Kolonel. A.J.F. Doulton menulis:
”The heroic resistance of the british troops could only end in the extermi-nation of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.” (Perlawanan heroik tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tidak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Timur, Letnan Jenderal Sir Philip Christison meminta Presiden Sukarno untuk melerai “incident” di Surabaya. Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di Surabaya sangat mengkhawatirkan bagi mereka, sehingga Presiden Sukarno yang sedang tidur, didesak agar segera dibangunkan.
Dalam Autobiografi yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno menuturkan:
“Tukimin yang setia berbisik-bisik. Itu ada seorang yang menamakan dirinya Pembantu Khusus (ADC – aidede-camp = perwira pembantu) dari komandan Tentara Inggris. Ia menyatakan, bahwa ada persoalan yang amat penting. Kepadanya telah saya jawab, bahwa Bapak sedang tidur, tetapi ia mendesak agar supaya saya membangunkan Bapak.
Akhirnya setelah saya bangun, selama 30 menit terpaksa berbicara melalui telepon. Tetapi tidak sepatah kata pun apa yang sedang menggelisahkan perasaan saya dari pembicaraan telepon itu saya ungkapkan kepada intern keluarga saya, baik Fatmawati maupun kepada Tukimin. Saya hanya menyatakan bahwa besok pagi saya akan ke Surabaya dengan kapal terbang militer kepunyaan Inggris. Dan kemudian saya kembali ke kamar tidur, dan pelan-pelan menutup pintu.
Saya dengan Hatta, yang baru saja dipilih menjadi Wakil Presiden, selama lebih kurang 2 jam berbicara dengan pihak Sekutu Inggris, tetapi pihak Inggris mengharapkan saya, sebab saya dibutuhkan. Dan saya tahu, bahwa tidak akan ada sesuatu pun yang akan dapat menghentikan persoalan ini. Di Surabaya, ternyata Inggris telah menempatkan markasnya di gedung-gedung di tengah kota Surabaya sebagai pusatnya….”
Pada 29 Oktober 1945 di Kompleks Darmo, Kapten Flower yang telah mengibarkan bendera putih, masih ditembaki oleh pihak Indonesia; untung dia selamat, tidak terkena tembakan. Kapten Flower, yang ternyata berkebangsaan Australia, kemudian diterima oleh Kolonel dr. Wiliater Hutagalung. Hutagalung memfait accompli, dengan menyatakan:
“We accept your unconditional surrender!”, dan mengatakan, bahwa pihak Indonesia akan membawa tentara Inggris -setelah dilucuti- kembali ke kapal mereka di pelabuhan.
Pimpinan Republik Indonesia di Jakarta pada waktu itu tidak menghendaki adanya konfrontasi bersenjata melawan Inggris, apalagi melawan Sekutu. Pada 29 Oktober sore hari, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer yang disediakan oleh Inggris. Segera hari itu juga Presiden Sukarno bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam “Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident; a provisional agreement between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945.”
Isinya antara lain :
– Perjanjian diadakan antara Panglima Tentara Pendudukan Surabaya de-ngan PYM (Paduka Yang Mulia) Ir. Sukarno, Presiden Republik Indonesia untuk mempertahankan ketenteraman kota Surabaya.
– Untuk menenteramkan, diadakan perdamaian: ialah tembakan-tembakan dari kedua pihak harus diberhentikan.
– Syarat-syarat termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh sebuah pesawat terbang tempo hari (yang dimaksud adalah pada tanggal 27 Oktober 1945) akan diperundingkan antara PYM Ir. Sukarno dengan Panglima Tertinggi Tentara pendudukan seluruh Jawa pada tanggal 30 Oktober besok.
Mayjen Hawthorn tiba tanggal 30 Oktober pagi hari. Perundingan yang juga dilakukan di Gubernuran segera dimulai, antara Presiden Sukarno dengan Hawthorn, yang juga adalah Panglima Divisi 23 Inggris. Dari pihak Indonesia, tuntutan utama adalah pencabutan butir dalam ultimatum/pamflet tanggal 27 Oktober, yaitu penyerahan senjata kepada tentara Sekutu; sedangkan tentara Sekutu menolak memberikan senjata mereka kepada pihak Indonesia. Perundingan berlangsung alot, yang dimulai sejak pagi hari dan baru berakhir sekitar pukul 13.00, menghasil-kan kesepakatan, yang kemudian dikenal sebagai kesepakatan Sukarno–Hawthorn.
Isi kesepakatan antara lain:
The Proclamation previously scat-tered by aircraft shall be annulled; that is to say, the disarmament of the TKR and the Pemudas shall not be carried out. 2. The Allied forces shall not guard the city. 3. The TKR shall be recognized; its continued use of arms shall be allowed.
Yang terpenting bagi pihak Indonesia dalam kesepakatan ini adalah pencabutan perintah melalui pamflet ter-tanggal 27 Oktober dan pengakuan terhadap TKR yang bersenjata.
Kronologis
26 Oktober 1945, tercapai persetujuan antara Bapak Suryo, Gubernur Jawa Timur dengan Brigjen Mallaby bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan senjata mereka. Sayangnya terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya dengan markas tentara Inggris di Jakarta yang dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
27 Oktober 1945, jam 11.00 siang, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta menjatuhkan selebaran di Surabaya yang memerintahkan semua tentara Indonesia dan milisi untuk menyerahkan senjata. Para pimpinan tentara dan milisi Indonesia marah waktu membaca selebaran ini dan menganggap Brigjen Mallaby tidak menepati perjanjian tanggal 26 Oktober 1945.
28 Oktober 1945, pasukan Indonesia dan milisi menggempur pasukan Inggris di Surabaya. Untuk menghindari kekalahan di Surabaya, Brigjen Mallaby meminta agar Presiden RI Soekarno dan panglima pasukan Inggris Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk pergi ke Surabaya dan mengu-sahakan perdamaian.
29 Oktober 1945, Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama Mayjen Hawthorn pergi ke Surabaya untuk berunding.
Pada siang hari, 30 Oktober 1945, dicapai persetujuan yang ditandatangani oleh Presiden RI Soekarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn. Isi perjanjian tersebut adalah diadakan penghentian tembak menembak dan pasukan Inggris akan ditarik mundur dari Surabaya secepatnya. Mayjen Hawthorn dan ke 3 pimpinan RI meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta.
Pada sore hari, 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby berkeliling ke berbagai pos pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan soal persetujuan tersebut. Saat mendekati pos pasukan Inggris di gedung Internatio, dekat Jembatan merah, mobil Brigjen Mallaby dikepung oleh milisi yang sebelumnya telah mengepung gedung Internatio.
Karena mengira komandannya akan diserang oleh milisi, pasukan Inggris Kompi D yang dipimpin Mayor Venu K. Gopal melepaskan tembakan ke atas untuk membubarkan para milisi. Para milisi mengira mereka diserang tentara Inggris dari dalam gedung Internatio dan balas menembak. Seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith melemparkan granat ke arah milisi Indonesia, tetapi meleset dan malah jatuh tepat di mobil Brigjen Mallaby.
Dua Jendral Inggris Tewas
Granat meledak dan mobil terbakar. Akibatnya Brigjen Mallaby dan sopirnya tewas. Laporan awal yang diberikan pasukan Inggris di Surabaya ke markas besar pasukan Inggris di Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby tewas ditembak oleh milisi Indonesia.
Letjen Sir Philip Christison marah besar mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby dan mengerahkan 24.000 pasukan tambahan untuk menguasai Surabaya.
9 November 1945, Inggris menyebarkan ultimatum agar semua senjata tentara Indonesia dan milisi segera diserahkan ke tentara Inggris, tetapi ultimatum ini tidak diindahkan.
10 November 1945, Inggris mulai membom Surabaya dan perang sengit berlangsung terus menerus selama 10 hari. Tiga pesawat Mosquito milik Inggris ditembak jatuh oleh pasukan Republik Indonesia dan salah satunya berpenumpangnya Brigadir Jendral Robert Guy Loder Symonds terluka parah dan meninggal keesokan harinya.
20 November 1945, setelah 10 hari bertempur dengan sengit Inggris berhasil menguasai Surabaya dengan korban ribuan orang prajurit tewas. Lebih dari 20.000 tentara Indonesia, milisi dan penduduk Surabaya tewas. Seluruh kota Surabaya hancur lebur.
95910-fakta-pertempuran
Hingga pertempuran berakhir di hari ke-21, korban jiwa diperkirakan mencapai angka puluhan ribu. Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, Kepala Kesehatan Jawa Timur, dan yang aktif menangani korban pihak Indonesia, jumlah orang Indonesia yang tewas dalam insiden itu adalah 16.000 jiwa.
Sedangkan di pihak Inggris, mengutip keterangan penulis Anthony James Brett, Batara R.Hutagalung menyebutkan sejak mendarat di Surabaya, Inggris telah kehilangan sekitar 1500 prajuritnya (termasuk 2 jenderal tewas dan 300 serdadu Inggris Muslim asal India dan Pakistan yang diklaim pihak Indonesia telah menyebrang ke pihak mereka).
Karena itu, Inggris menyebut Perang Surabaya sebagai perang yang terberat pasca Perang Dunia II. Surat kabar New York Times (edisi 15 November 1945) bahkan mengutip kata-kata para serdadu Inggris yang menyebut “The Battle of Surabaya” sebagai “inferno” atau neraka di timur Jawa.
Pertempuran ini menunjukkan kesungguhan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Sebuah keteladanan yang wajib dipahami dan dihayati oleh generasi penerus di tengah gerusan globalisasi.
Pertempuran ini menunjukkan kesungguhan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Sebuah keteladanan yang wajib dipahami dan dihayati oleh generasi penerus di tengah gerusan globalisasi.
Sumber: aryfprihanto.mywapblog.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar