Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Rabu, 02 November 2016

Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sunda Wiwitan adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animismedan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.[1] Akan tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur monoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di KanekesLebakBanten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung NagaCirebon; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam.[2] Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran "Jatisunda".
Mitologi dan sistem kepercayaan
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal(Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.[3]
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
  1. Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
  2. Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
  3. Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padangatau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun(menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.

Filosofi

Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:
  • Welas asih: cinta kasih
  • Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
  • Tata krama: tatanan perilaku
  • Budi bahasa dan budaya
  • Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya
Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:
  • Rupa
  • Adat
  • Bahasa
  • Aksara
  • Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.
Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.
  • Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
  • Yang bisa membahayakan diri sendiri
Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam bahasa orang Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy Dalam.

Tradisi

Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa desa seperti di KanekesLebakBanten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.[4]

Tempat suci

Tempat suci atau tempat pemujaan yang dianggap sakral atau keramat dalam Agama Sunda Wiwitan adalah Pamunjungan atau disebut Kabuyutan. Pamunjungan merupakan punden berundak yang biasanya terdapat di bukit dan di Pamunjungan ini biasanya terdapat Menhir, Arca, Batu Cengkuk, Batu Mangkok, Batu Pipih dan lain-lain.
Pamunjungan atau Kabuyutan banyak sekali di Tatar Sunda seperti Balay Pamujan Genter Bumi, Situs Cengkuk, Gunung Padang, Kabuyutan Galunggung, Situs Kawali dll. Di Bogor sendiri sebagi Pusat Nagara Sunda dan Pajajaran dahulu terdapat Banyak Pamunjungan beberapa diantaranya adalah Pamunjungan Rancamaya nama dahulunya adalah Pamunjungan Sanghyang Padungkukan yang disebut Bukit Badigul namun sayang saat ini Pamunjungan tersebut sudah tidak ada lagi digantikan oleh Lapangan Golf.
Pada masanya Pamunjungan yang paling besar dan mewah adalah Pamunjungan Kihara Hyang yang berlokasi di Leuweung (hutan) Songgom, atau Balay Pamunjungan Mandala Parakan Jati yang saat ini lokasinya digunakan sebagai Kampung Budaya Sindang Barang.
Dengan banyaknya Pamunjungan atau Kabuyutan tersebut di Tatar Sunda membuktikan bahwa agama yang dianut atau agama mayoritas orang Sunda dahulu adalah Agama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan, ini adalah jawaban kenapa di Sunda sangat jarang sekali diketemukan Candi. Namun begitu, Hindu dan Budha berkembang baik di Sunda bahkan Raja Salaka Nagara juga Tarumanagara adalah seorang Hindu yang taat. Candi Hindu yang ditemukan di Tatar Sunda adalah Candi Cangkuang yang merupakan candi Hindu pemujaan Siwa dan Percandian Batujaya di Karawang yang merupakan kompleks bangunan stupa Buddha.

Bacaan

  • Sabri, M., & Musyahidah, S. (2015). AGAMA MAINSTREAM, NALAR NEGARA DAN PAHAM LINTAS IMAN: Menimbang Philosophia Perennis. Jurnal Diskursus Islam, 3(1).

Referensi

  1. ^ Ekadjati, Edi S., "Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah", Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, halaman 72-73
  2. ^ Djajadiningrat, 1936: 11-12
  3. ^ Ekadjati, Edi S, "Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah", Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, halaman 73
  4. ^ Rama Jati

Agama Buhun

Buhun diduga sebagai Jati Sunda atau agama sunda murni yang belum tercampur oleh agama lain seperti HinduBudhaIslam dan agama kepercayaan lain[1].
Dari etimologi bahasa Bu-hun berasal dari dua kata yaitu Bu dan Hun, Bu mungkin diambil dari kata Bu-yut atau Kabuyutan yang merupakan tempat pemujaan roh nenek moyang orang Sunda pada jaman dulu dan -Hun yang mungkin diambil dari kata Ka-Ru-Hun atau nenek moyang orang sunda. Banyak kata dalam Bahasa Sunda yang hampir mirip dengan kata Buhun[2]. Agama ini masih banyak dianut oleh masyarakat yang tinggal di daerah Bekasi[3].

Rujukan

  1. ^ "Efek Demokratisasi dan Dampak Sinkretisme"Republika, diakses 8 Oktober 2015
  2. ^ "Agama Sunda Wiwitan", Podium.com, diakses 8 Oktober 2015
  3. ^ "Agama Lokal Kontributif dalam Memelihara Lingkungan", Situs Kementerian Agama Republik Indonesia, diakses 8 Oktober 2015

Sahadat Buhun

Sahadat buhun atawa sadat buhun nyaéta istilah pikeun nyebut kalimah sakral anu diyakinan minangka bagian tina tartib hirup budaya Sunda wiwitan. Tapi aya ogé anu nyebutna minangka sahadat Baduy, lantaran sahadat ini réa dipaké ku urang Baduy nu ngagem ajaran Sunda wiwitan.
Para Sastrawan Sunda menggolongkan Sahadat ini kedalam kelompok Ajimantra ataupuisi mantra, yang berasal dari dua daerah, yakni Ajimantra Baduy Banten dan Ajimantra Priangan. Pengertian Sahadat Buhun berbeda dengan maksud Sahadat(Syahadat) yang dimaksud dalam agaman Islam. Didalam kamus bahasa Indonesia Sahadat (Syahadat) berarti (1) pengakuan kesaksian (2) pengakuan atau kesaksian iman-islam sebagai rukun yang pertama.
Didalam Wikipedia edisi Bahasa Sunda disebutkan, bahwa Sahadat mangrupakeun pernyataan kayakinan Islam. Dina basa Arab, hartina nyaksénan atawa méré kasaksian. Sahadat mangrupakeun pernyataan kapercayaan kana tunggalna Gusti (Allah dina basa Arab) sartayén Nabi Muhammad minangka utusan pangahirna. Perbedaan antara Sahadat di dalam agama Islam dengan Sahadat Buhun diakui pula oleh penganut agama Sunda Wiwitan.Sepertiketerangan Ayah Mursid,tokoh masyarakat Cibeo :
Sahadat menurut ajaran Sunda Wiwitan diartikan sebagai rangkaian kalimat berisi do’ado’a atau jampe-jampe yang disampaikan kepada Sang Pencipta Alam sesuai dengan kebutuhan, kegiatan atau masalah yang dihadapi, dan diucapkan tidak sembarangan adakramanya” (Saatnya Baduy Bicara, Hal. 90, Asep Kurnia dkk –2010).
Dari pendifinisian yang diberikan Ayah Mursid diatas, tentunya memiliki konsekwensi, bahwa jampe-jampe yang memenuhi syarat sebagaimana sahadat dapat dikatagorikan sebagai sahadat dalam pengertian Jampe,bukan dalam pemahaman sahadatdalam pengertian islam. demikian pula dari syariatnya, menurut Ayah Mursid , bahwa : Dalam keyakinan Sunda Wiwitan kami tidak kebagian perintah shalat seperti saudara-saudara sebab Wiwitan Adam tugasnya memelihara keseimbangan alam, tidak memiliki kitab suci karena ajarannya bersatu dengan alam, maka agama Sunda Wiwitan hanya diperuntukan bagi masyarakat Baduy”. Krama dari pengucapan sahadat dimaksud dilakukan sesuai waktu dan kegunaannya. Misalnya jika hendak menanam Padi, agar terhindar dari hama dan dapat menghasilkan padi yang lebih baik,maka mereka membacakan sahadat Sri. Karena yang diyakini menjaga dan mengurus pertanianadalah Dewi Sri, maka mereka menitipkan kepada Dewi Sri.Sedangkan untuk perkawinan membacakan sahadat khusus untuk perkawinan.
Istilah dalam Sahadat Mencari naskah atau keterangan asli tentang Sahadat diatas dari sumber asli Baduy atau para penganut Sunda Wiwitan lainnya agak sulit ditemukan, bahkan menurut Ekajat (2005),: “Kesulitan menemukan keterangan tentang Sunda Wiwitan akibat tertutupnya para penganut agama dimaksud. Namunmenurut alasan dari Ayah Mursid,: “harus tepat penggunaannya dan diucapkan tidak sembarangan, karena ada kramanya”. Sangat masuk akal jika krama peng gunaan sahadat ini ngawengku pengetahuan orang luar untuk mengetahui sahadat ini. Dalam kenyataannya banyak teks-teks sahadat dengan judul yang sama digunakan oleh masyarakat Baduy, namun berbeda dengan teks yang digunakan Urang Baduy.Perbedaanbahasa didalam sahadat ini sudah banyak diulas oleh para sastrawan Sunda, seperti Wahyu Wibisana (2000) bahkan mengkatagorikan sahadatkedalam dua wilayah, sesuai dengan asalnya, yakni ajimantra Baduy dan Banten, serta ajimantra Priangan.

Ajimantra ti Baduy

Ajimantra dari daerah Baduy dan Banten, sebagai berikut : Pohaci Sanghiyang Asri,Ulah gederulah reuwas,Ja kami rek nitipkan,Titip ka nu boga bumi,Tema ka nu boga desa. (Pohaci Sanghiyang Asri,Jangan kaget,kami hendak menitipkan,titip kepada pemilik bumi,juga kepada yang mpunya desa). Sedangkan contoh dari daerah Priangan, sebagai berikut : Asyhadu syahadat Sunda, zama alloh ngan sorangan. Kaduana Gusti Rasul, katilu Nabi Muhammad,Kaopatumat Muhammad. Nu cicingdi bumi angaricing. Nu Calik dina alam keueung. Ngacacang di alam mokaha. Salamet umat Muhammad. (Asyhadu Syahadat Sunda, Zama allah hanya satu. Keduanya para Rasul. Ketiga Nabi Muhammad. Keempat umat Muhammad. Yang tinggal di Bumi yang ramai. Yang duduk di alam takut. Menjelajah alam nafsu. Selamat umat Muhammad).
Perbedaan dari Sahadat tersebutsangat lugas, siapapun akan mengetahui mana yang lebih buhun. Hal ini bisa terjadi akibat pengaruh perkembangan jaman dan penggunaan istilah- istilahyang merupakan eufimisme dari yang disebutkan dalam sahadat tersebut, bahkan orang Baduy menggunakan hal yang sama untuk menerangkannya kepada orang lain, sekalipun dalam bacaan bathinnya masih tetep menggunakan bahasa awalnya.
Penggunaan bahasa,seperti untukmenyebutkan nama Batara Cikal digantikan dengan sebutan Adam Tunggal, atau menyisipkan kata Slam (maksudnya Islam) kedalam istilah Sunda Wiwitan.Mungkinpulaciri khas dari keyakinan Sunda Wiwitan yang di katagorikan Sinkretis, sangat terbuka untuk menerima pengaruh agama manapun secara terbuka, bahkanada yang menafsirkan sebagai adaptifnya keyakinan urang Sunda baheula. Untuk memperkuat dan menggambarkan penafsiran dimaksud,dapat disimak keterangan Ayah Mursid, sebagai berikut : Agama nu di agem ku masyarakatBaduy, ngarana Agama Slam Sunda kabagean parentah shalat seperti dulur- dulur sabab wiwitanAdam tugasna memelihara kasaimbangan ieu alam, teu ngabogaan kitabna da ajaran neurap jeung alam. Makana agama Slam Sunda Wiwitan ngan ukur keur Baduy. (agama yang diyakini orang Baduy namanya agama Slam Sunda awal. Nabinya Adam Tunggal. Dalam keyakinan Sunda awal, kami tidak kebagian perintah shalat seperti saudara-saudarasebab Wiwitan Adam tugasnya memelihara keseimbangan alam, tidak memilikikitab suci karena ajarannya bersatu dengan alam, makanya agama Slam Sunda Wiwitan hanyadiper-untukan bagi masyarakat Baduy).
Urang Baduy saat ini nampaknya menggunakan bahasa-bahasa yang digunakan masyarakat Sunda beragama Islam, tanpa merubah substansi dari keyakinannya sendiri. Mungkin pula untuk menghindari benturan yang tidak ada manfaatnya, karena mereka merasa yakin, bahwa tugasnya di bumi ini adalahuntuk menjaga keseimbangan (harmoni) alam.Urang Baduy menyadari adanya desakan yang timbul dari perubahan jaman. Kesadaran demikian diakui oleh Ayah Mursid : “Kami ti jauhna keneh geus waspada jeung sadar, yen zaman pasti rubah, tantangan keur masyarakat adat mingkin dieu mingkin beurat, ti berbagai sudutperkampungan perbatasan geus teu katadah ku kamajuan hirup, tapi kami tetep teguh patuh keurngalaksanakeun amanat wiwitan jeung kami tetep yakin Baduy tetep ayem tentrem nu penting ulah ngaganggu jeung diganggu jeung ulah ngarugikeun komo deuidirugikeun. Kami siap kerja sama jeung sasaha oge wae tapi nu aya mangpaatna kana kahirupan balarea, kami mah patuh kana hukum jeung kahayang alam nu diciptakeun kunu maha kawasa. (Sejak awal kami sudah waspada dan menyadari bahwa zaman pasti berubah, tantangan buat masyarakat adat semakin hari semakin berat, dari berbagai perkampungan perbatasan sudahtidak terbendung lagi ada kemajuan pola dan gaya hidup tetapi kami tetap teguh patuh untuk melaksanakan amanat wiwitan dan kami meyakini bahwabaduy aman tentrem, yang penting jangan mengganggu ataudiganggu dan jangan merugikan apalagi dirugikan. Kami siap bekerja sama dengan siapa saja, tetapi yang ada manfaatnya bagikeselamatan hidup semua manusia, kami tetap akan patuh mengikuti hukum dan kehendak alam yang sudah diciptakan oleh Yang maha Kuasa”.
Penggunaan istilah-istilahseperti asyhadu, allahuma, bismillah didalam Sahadat buhun sering pula kita temukan. Mungkin saja ini terjadi sebagai adaptasi bahasa atau digunakan oleh parapecinta budaya sunda yang sudahberagama di luar Sunda Wiwitan namun masih merasa nyaman menggunakan Sahadat Buhun.

Jenis sahadat buhun

Sahadat dari daerah Baduy yang pokok tidak kurang dari 20. Sahadat-sahadatdimaksud, antara lainsebagai berikut :
  1. Sahadat Pernikahan (Shadat Wiwitan, Sahadat Tunggal, Sahadat Samping, Sahadat Batin, Sahadat Kangjeng Nabi Muhammad) ;
  2. Sahadat Bawa ;
  3. Sahadat Sunda ;
  4. Sahadat Iman ;
  5. Sahadat Bali ;
  6. Sahadat mesir ;
  7. Sahadat Banten ;
  8. Sahadat Santen ;
  9. Sahadat Sri ;
  10. Sahadat Imam Mahdi ;
  11. Shadat Umur ;
  12. Sahadat Rahayu ;
  13. Sahadat Rasa ;
  14. Sahadat Pamuka alam ;
  15. Sahadat Suson ;
  16. Sahadat Bumi Alam.
Sebagai mana uraian diatas, penggunaan sahadat Baduy disesuaikan dengan maksud dan keperluannya. Dalam upacara perkawinan, pembacaan sahadat dibacakan oleh Puun dari kedua belah pihak sejak acara seserahan atau seserenan.Jenis sahadat yang digunakan adalah
Sahadat Wiwitan ; Sahadat
Tunggal ; Sahadat Samping ; Sahadat Batin dan sebagai pelengkap dibacakan pula Sahadat Kangjeng Nabi Muhammad. Perkawinan untuk masyarakat Baduy tidak ada perceraian. Dalam istilah sekarangcerai karena mati.
Salah satu cara untuk memperkuat keyakinan tersebut, serta upaya agar perkawinan langgeng maka dibacakan Sahadat Bathin. Selainsahadatdari Masyarakat Baduy, diPrianganterdapat ju ga beberapa jenis. Menurut Wahyu Wibisana (2010), antara lain sebagai berikut :
  1. Sahadat Islam ;
  2. Sahadat Sunda ;
  3. Sahadat jawa ;
  4. Sahadat Bawa ; 5.Sahadat Taraju ;
  5. Sahadat Sayang ;
  6. Sahadat Sari ;
  7. Sahadat Adam ;
  8. Sahadat Barjah ;
  9. Sahadat Hayun ; 11.Sahadat Siluman ;
  10. Sahadat Mustakarayun ;
  11. Sahadat Ganda.
Teks Sahadat Buhun Sahadat menurut ajaranorang Baduy diartikan sebagai rang- kaian kalimat berisi doa– doaatau jampe-jampe yang disampaikan kepada Sang Pencipta Alam sesuai dengan kebutuhan, kegiatan atau masalah yang dihadapi, diucapkantidak sembarangan dan ada kramanya. Jika mencermati keterangan diatas tentu sangat sulit menemukan teks Sahadat Buhun yang asli, mengingat tabu di ucapkan sembarangan. Dalam realitas sosial, sahadat Buhun dengan judul teks sebagaimana yang ada di kalangan masyarakat Baduy ataupenganut Sunda Wiwitan di luar Baduy banyak ditemukan dikalangan masyarakat maupun sastrawan. Namun telah mengalami trans-formasi makna dan bahasanya, dengan menyelipkan bahasa-bahasa ageman baru. Padahal, untuk kepentingan Sastra atau Ilmiah, tak perlu ada pengkoreksian ataupenyesuaianbahasa, karena dapat merubah originalitas dari kandungan dan maksud Sahadat Buhun itu sendiri. Suatu contoh yang dikemukakan oleh Abdul Rojak didalam bukunya:‘Teologi KebatinanSunda’(2005) menjelaskan, bahwa : “Orang Kanekes Baduy Dalam (Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo)juga mengenal istilah syahadat, yang disebut Syahadat Sunda”. Sahadat tersebut tentunya dengan mencantumkan kalimat dari bahasa keyakinan yang telahdisesuaikan. Dalam kesempatan lainnya, Asep Kurnia (2010), menjelaskan sanggahan secara halus dari orang Baduy mengenai teks Sahadat yang beredar diluarBaduy. Dalam hal ini ada benarnya, bahwa sahadat yang beredar di luar masyarakat Baduy Kanekes bukanlah SahadatBuhun atau Sahadat Baduy, melaikan Sahadat Buhun yang telah mengalami transformasi daribahasa ajaran yang dipakai para pemeluk ajaranSunda Wiwitan di luar Baduy atau para Sastrawan. Sedangkan masyarakat Baduy dan penganutSunda Wiwitan masih menggunakan bahasa aslinya, bahasa bathin yang memiliki makna khusus dalam hubungannyadengan Yang Maha Keresa, TuhanYang Esa dan alam dimana merekahidup. Teks-teks Sahadat dimaksud, sebagaimana dimuat dalamSastra Lagu: Mencari Larak dan Lirik, Wahyu Wibasana, Dalam Lima AbadSastra Sunda - 2000, sebagai berikut: Sahadat Sunda Asyhadu syahadat Sunda, zama alloh ngan sorangan. Kaduana Gusti Rasul, katilu Nabi Muhammad,Kaopatumat Muhammad. Nu cicingdi bumi anggaricing. Nu Calik dina alam keueung. Ngacacang di alam mokaha. Salamet umat Muhammad. (Asyhadu Syahadat Sunda, ZamanAllah hanya satu. Keduanyapara Rasul. Ketiga Nabi Muhammad. Keempat umat Muhammad. Yang tinggal di Bumi yang ramai. Yang duduk di alam takut. Men-jelajah alam nafsu. Selamat umat Muhammad). Sadat Islam Sadat islam aya dua,/ Ngislamkeun badan kalawan nyawa,Dat hurip tanggal iman,Ngimankeunbadan saku- jur,Hudangsubuh banyu wulu/ Parentah kangjeng Gusti, Nabi Adam pang nyampurnakeun badan awaking.Sir suci,Sir Adam,Sir Muhammad,Muhammad Jakalalana Nu aya di saluhuring alam. (Sadat Islam ada duamengislamkanbadan serta nyawa.Dat hurip tanggal imanmengimankanseluruh tubuh,/ bangun subuh dan berwudlu.Perintah dari Tuhan,NabiAdam sempurnakanlah badan kuSir Suci,Sir Adam,Sir Muhammad,Muhammad Jakalalana,Yangberada diatas alam). Sahadat Jawa Apa pengot surat Raden Angga Keling/Pangeran Angga Warulang/Ratu suluk ajitullah/ Pengersa saNusa Jawa/ PuputraneUlis Akin/Kajayak ngarurug Pajajaran/Tanggal ping opat welas/Nukila dikalimati sahadati/Isun weruh umat Allah dikang Selamat. Sahadat Bawa Ashadu Sahadat Bawa,/Iman jati lulungguhan pulo nyawa,/Roh nyawa intening hurip,/Hurip ieu keuna ku gingsir/Langgeng teu keuna ku owah,/Lailahaileloh Muhamad Rasulullah Sahadat Taraju Ashadu sahadat taraju/Idin imatan warohmatan/Walidatan, wasiratan,/Titikaptan minha yahu/Ya Allah, ya Rasulullah. Sahadat Sayang Ashadu sahadat sayang,/Kuriling ka bale suci/Cat mancet ka jagatmulya,/Tetesen ditetes ku Allah/Ya hu, ya Allah, ya Rasulullah. Sahadat sari Ashadu sahadat sari,/Gegedah wadah humenggang,/Ngebur- ngebur lain ratu,/Ngebyar- ngebarcahyaning pangeran,/ Payung tilu nungku-nungku,/ Payung emas lingga jati,/ Kakayonsabar darana,/-Teteras sekar cendana. Sahadat Adam Ashadu Sahadat Adam/Sah Adam/Ashadu nurputih aliptunggal/ Iman eling kamulya kangkadim,/ Lailahaileloh Muhammad Rasululah. Sahadat Barjah Ashadu sahadat barjah,/Enggon Allah sapatemon,/Sang Mutiara Putih calik di iman,/Patala artu miski aja ningratullah,/Titpan ge- dong kencana,/Nama Allah Rasulullah,/Lailaha ilaloh. Sahadat Hayun Asahadu sahadat hayun,/Hayun- hayun hurip kang hurip,/Cicipta Gusti Kang waras,/Cicipta Allah cipta rosa kang kawasa,/Ceg badan wujuding Allah Rasulullah/ Nanya badan, ceg badan wujudingmanusa. Sahadat Siluman Heuah balung nangtung tulang/ Tulang muntang. Colok rasa ku buana/Deg kimili rasa/Aingnyaho ratu sia/Anak sia ratu Siti,/Ambu sia ratu neluh ti Galunggung,/ Bapa sia pangulu jin. Sahadat Mustaka rayunan Asahadu mustaka rayunan/ Sahadat permana tunggal,/ Selamlahir, selam bathin,/Selam pinarengin kersa,/Sing waspada kanu ngayuga bumi alam/Aya nusaurang, aya nu sorangan,/ Aingwaspada kepada Allah,/Allah waspada ka kaula./Tenget gemereng-ereng,/Raraga gemetruhiat,/Terusning Allah terusning rasa/Pani-pani langgengtetep,/Langgeng agama Islam. Sahadat Ganda Ashadu ganda ingsun,/Turun saking sawarega,/Ningal ganda ningsunan sampurna,/Ganda ningsunan handiri,/Kamar langit karaton. Cag heula, mangga urang korehan deui (***)

Sumber Rujukan

  • SASTRA LAGU : Mencari Larak dan Lirik, Wahyu Wibasana, Dalam Lima Abad Sastra Sunda, Geger Sunten, 2000.
  • Saatnya Baduy Bicara : Asep Kurnia, dkk (2010).

Tri tangtu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tri tangtu adalah cara berpikir masyarakat tradisional Sunda. Tri tangtu berasal dari bahasa Sunda, di mana kata tri atau tilu yang artinya tiga dan tangtu yang artinya pasti atau tentu.[1] Masyarakat tradisional Sunda memaknai tri tangtu sebagai falsafah hidup yang berpedoman pada tiga hal yang pasti yakni; Batara Tunggal yang terdiri dari Batara Keresa, Batara Kawasa dan Batara Bima Karana.[1] Cara berpikir dalam pola pembagian tiga adalah umum untuk masyarakat Indonesia,karena orang Indonesia hidup dalam pertanian ladang.[2]. Dalam pandangan hidup orang Sunda, ditegaskan bahwa orang Sunda tidak mengandalkan keyakinan hidupnya itu pada kekuatan diri sendiri saja, melainkan pada kuasa yang lebih besar, pengguasa tertinggi, sumber dan tujuan dari segalanya, yang disebut dengan berbagai nama, antara lain Gusti Nu Murbeg Alam.[3]

Penerapan

Dalam masyarakat Sunda,tri tangtu diterapkan dalam sejumlah hal, antara lain:
  • Senjata kujang, yang mempunyai tiga fungsi sekaligus yakni; pukul, potong, dan tusuk
  • Kampung Sunda, yakni pemilik, pelaksana, dan penjaga.
  • Rumah adat Sunda yang terdiri dari ruang tengah, ruang belakang, dan ruang depan.
  • Boboko atau wadah nasi yang dibuat dari jalinan bambu yang memilki tiga bentuk yakni bundar, segi delapan, dan bujur sangkar.

Pemikiran

Tri tangtu juga diterapkan dalam pemikiran masyarakat tradisional Sunda, antara lain:
  • Silih asahsilih asuhsilih asih
  • Tekad, ucap, lampah
  • Naluri, nurani, nalar
  • Leuweung laranganleuweung tutupan, dan leuweung garapan.
  • Dunia atas, dunia bawah, dan dunia tengah
  • Langit pemberi hujan, tanah yang menumbuhkan tanaman dan manusia yang memungkinkan itu, dengan mengawinkan langit dan bumi.

Referensi

  1. ^ a b Jakob Sumardjo (2010). Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press. p. 58, 369. ISBN 978-979-8967-27-6.
  2. ^ Aminudin TH. Siregar (2010). Modern Miring. Bandung: 567 Bandung. p. 41.
  3. ^ Thomas Maman Suharman (2005). Melintas Jurnal Filsafat dan Teologi. Bandung: 75 Bandung. p. 41. ISSN 0852-0089.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar