Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Selasa, 24 Januari 2017

Alasan PANCASILA Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia

Amanat Bung Karno di Depan Kongres Rakyat Jawa Timur 
Tanggal 24 September 1955  Di Surabaya



Saudara -saudaraku sekalian,
Saya adalah orang Islam, dan saya adalah keluarga Negara Republik Indonesia.
Sebagai orang Islam saya menyampaikan salam Islam kepada Saudara-saudara sekalian: Assalamu ‘alaikum wr. wb! 
Sebagai warga negara Republik Indonesia saya menyampaikan kepada Saudara-saudara sekalian — baik yang beragama Islam, baik yang beragama Hindu-Bali, baik yang beragama lain — kepada Saudara­saudara sekalian saya menyampaikan salam nasional: “Merdeka!”
Tahukah Saudara-saudara arti perkataan “salam” sebagai bagian dari perkataan assalamu ‘alaikum wr.. wb? Salam artinya damai, sejahtera. Jikalau kita menyebutkan assalamu ‘alaikum wr. wb, berarti damai dan sejahteralah sampai kepadamu. Dan moga-moga rahmat dan berkat Allah jatuh kepadamu. Salam berarti damai, sejahtera. Maka oleh karena itu saya minta kepada kita sekalian untuk merenungkan benar-benar akan arti perkataan assalamu’ alaikum. 
Salam — damai — sejahtera! Marilah kita bangsa Indonesia -­- terutama sekalian yang beragama Islam — hidup damai dan sejahtera satu sama lain. Jangan kita bertengkar terlalu-lalu sampai memba­hayakan persatuan bangsa. Bahkan jangan kita sebagai gerombolan­-gerombolan yang menyebutkan assalamu ‘alaikum, akan tetapi membakar rumah-rumah rakyat.
Salam — damai! Damai — sejahtera! Rukun — bersatu! Terutama sekali di dalam revolusi nasional kita belum selesai ini.
Dan sebagai warga negara merdeka saya tadi memekikkan pekik « Merdeka ! » bersama-samadengan kamu. Kamu yang beragama Islam, kamu yang beragama Kristen, kamu yang beragama Syiwa Budha, Hindu-Bali atau agama lain. Pekik “Merdeka!” adalah pekik yang  membuat rakyat Indonesia itu — walau-punjumlahnya 80 juta – menjadi : bersatu tekad, memenuhi sumpahnya, “Sekali merdeka, tetap merdeka!”.
Pekik “Merdeka!”, Saudara-saudara, adalah “pekik pengikat”. Dan bukan saja pekik pengikat, melainkan adalah cetusan dari bangsa  yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan imperialisme, dengan tiada ikatan penjajahan sedikit pun. Maka oleh karena itu, Saudara-saudara, ­terutama sekali fase revolusi nasional kita sekarang ini — fase revolusi nasional yang belum selesai — jangan lupa kepada pekik Merdeka! Tiap-­tiap kali kita berjumpa satu sama lain, pekikkanlah pekik “Merdeka!”.
Tatkala aku mengadakan perjalanan ke Tanah Suci beberapa pekan yang lalu, aku telah diminta oleh khalayak Indonesia di kota Singapura untuk mengadakan amanat kepada mereka. Ketahuilah, bahwa di Singapura itu berpuluh-puluh ribu orang Indonesia berdiam. Mereka bergembira, bahwa Presiden Republik-nya lewat di Singapura. Mereka menyambut kedatangan Presiden Republik Indonesia itu dengan gegap-gempita, dan minta kepada Presiden Republik Indonesia untuk  memberikan amanat kepadanya. Di dalam amanat itu beberapa kali  dipekikkan pekik “Merdeka!”
Apa lacur? Sesudah Bapak meneruskan perjalanan ke Bangkok, ke Rangoon, ke New Delhi, Karachi, ke Bagdad, ke Mesir, ke negara Saudi Arabia — sesudah Bapak meninggalkan kota Singapura — geger pers imperialisme Singapura, Saudara-saudara. Mereka berkata:”Presiden Sukarno kurang ajar”. Presiden Sukarno menjalanka  Ill behaviour, katanya. Ill-behaviour itu artinya tidak tahu kesopanan. Apa sebab pers imperialisme mengatakan Bapak menjalankan ill behaviour, kurang ajar? Kata mereka, toh tahu Singapura ini bukan negeri merdeka — toh tahu, bahwa di sini masih di dalam kekuasaan asing — kok memekikkan pekik “Merdeka”?

Tatkala Bapk kembali dari Tanah Suci, singgah lagi di Singapura, Bapak dikeroyok oleh wartawan-wartawan. Mereka menanyakan kepada Bapak : “Tahukah Paduka Yang Mulia Presiden bahwa tatkala PYM Presiden meninggalkan kota Singaûra di dalam perjalanan ke Mesir dan Tanah Suci, PYM dituduh kurang ajar, kurang sopan, ill-behaviour, oleh karena PYM memekikkan pekik Merdeka dan mengajarkan kepada bangsa Indonesia di sini memekikkan pekik Merdeka? Apa jawab PYM atas tuduhan itu ?”
Bapak menjawab : » Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warga negara Republik Indonesia berjumpa dengan warga negara Republik Indonesia – selalu memekikkan pekik « Merdeka » ! Jangankan di sorga, di dalam neraka pun ! »
Nah, Saudara-saudara dan anak-anakku sekalian, jangan lupa akan pekik Merdeka itu. Gegap-gempitakan tiap-tiap kali pekik Merdeka itu. Apalagi — sebagai Bapak katakan tadi — dalam fase revolusi nasional kita yang belum selesai. Dus kuulangi lagi, sebagai manusia yang beragama Islam, aku menyampaikan kepadamu salam “assalamu ‘alaikum!” Sebagai warga negara Republik Indonesia aku menyampaikan kepadamu “Merdeka!”
Saudara-saudara, aku pulang dari Bali — beristirahat beberapa hari di sana. Diminta oleh Kongres Rakyat Jawa Timur untuk pada ini malam memberikan sedikit ceramah, wejangan, amanat, terutama sekali yang mengenai hal, “Apa sebab Negara Republik Indonesia berdasarkan kepada Pancasila?” Dan memberikan penerangan tentang hal Panca Dharma.
Tadi, tatkala aku baru masuk gèdung Gubernuran ini, hati kurang puas? Apa sebab? Terlalu jauh jarak rakyat dengan Bung Karno. Maka oleh karena itulah, Saudara-saudaraku dan anak–anakku sekalian, maka Bapak minta kepada pimpinan agar supaya Saudara-saudara diberi izin lebih dekat. Sebab Saudara-saudara tahu isi hati Bapak ini — isi hati Presiden, isi hati Bung Karno —  kalau jauh dari rakyat rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat dengan rakyat, rasanya laksana Kokrosono turun dari pertapaannya.
Permintaan Kongres Rakyat untuk memberikan amanat kepada Saudara-saudara, insya Allah saya kabulkan. Dan dengarkan benar, aku berpidato di sini bukan sekadar sebagai Sukarno. Bukan sekadar sebagai Bung Karno. Bukan sekadar sebagai Pak Karno.– Aku berpidato di sini sebagai Presiden Republik Indonesia! Sebagai Presiden Republik Indonesia aku diminta untuk memberi penjelasan tentang Pancasila. Apa sebabnya negara Republik Indonesia didasarkan atas Pancasila?
Dan diminta memberi penjelasan akan Panca Dharma, sebagai yang telah kuanjurkan dengan resmi pula di dalam îdato Presiden Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus yang lalu Dan permintaab iru, Insya Allah kukabulkan pula sebagai Presiden RepublikIndonesia. Justru oleh karena pada saat sekarang uni saya sebagai Presiden Republik Indonesia, maka dengan gembira dan senang hati saya memenuhi permintaan untuk memberi penjelasan tentang Pancasila.

Apa sebab? Tak lain dan tak bukan ialah oleh karena aku ini Presiden Republik lndonesia disumpah atas Undang-Undang Dasar kita. Saya tadi berkata, bahwa saya memenuhi permintaan Kongres Rakyat Jawa Timur dengan penuh kesenangan hati, ialah oleh karena saya ini sebagai Presiden Republik disumpah atas dasar Undang-Undang Dasar kita. Disumpah harus setia kepada Undang-Undang Dasar kita. Di dalam Undang-Undang Dasar kita, dicantumkan satu Mukaddimah, kata pendahuluan. Dan di dalam kata pendahuluan itu dengan tegas disebutkan Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan lndonesia yang bulat, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial.
Malahan bukan satu kali ini Pancasila itu disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar kita. Sejak kita di dalam tahun 1945 telah berkemas-kemas untuk menjadi satu bangsa yang merdeka, sejak itu kita telah mengalami empat kali naskah.
Sebelum mengadakan Proklamasi 17 Agustus, sudah ada satu naskah. Kemudian pada 17 Agustus 1945, satu naskah lagi. Kemudian tatkala RIS dibentuk, satu naskah lagi. Kemudian sesudah itu — tatkala kita kembali kepada zaman Republik Indonesia Kesatuan — satu naskah lagi. Empat kali naskah, Saudara-saudara. Dan di dalam ke-empat naskah itu dengan tegas disebutkan Pancasila.
Pertama, tatkala kita di dalam zaman Jepang, kita telah berkemas­kemas di dalam tahun 1945 itu untuk menjadi bangsa yang merdeka. Pada waktu itu telah disusunlah satu naskah yang di-namakan Jakarta Charter. Di dalam Jakarta Charter itu telah disebutkan dengan tegas lima asas yang hendak kita pakai sebagai pegangan untuk negara yang akan datang: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan. Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial.
Demikian pula tatkala kita telah memproklamirkan kemerdekaan kita pada 17 Agustus 1945, dengan tegas pula keesokan harinya. Saudara-saudara, kukatakan Undang-Undang Dasar yang kita pakai ini –yaitu Undang-Undang Dasar yang kita rencanakan pada waktu zaman Jepang di bawah ancaman bayonet Jepang — kita rencanakan satu Undang-Undang Dasar dari Negara Republik Indonesia yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan di dalam Undang­Undang Dasar itu dengan tegas dikatakan Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial!.
Tatkala — berhubung dengan jalannya politik — Negara Republik Indonesia Serikat dibentuk (RIS), pada waktu itu dibuatlah Undang­Undang Dasar RIS. Dan di dalam Mukaddimah Undang- Undang Dasar RIS ini disebutkan lagi dengan tegas Pancasila.
Kita tidak senang akan federal-federalan. Segenap rakyat mem­protes akan adanya susunan federal iui. Delapan bulan susunan RIS berdiri, hancur-lebur RIS, berdirilah Negara Republik Indonesia Kesatuan. Dan Undang-Undang Dasar yang dipakai RIS ini diubah lagi menjadi Undang-Undang Dasar Sementara dari Negara Re-publik Indonesia Kesatuan. Tetapi tidak diubah isi Mukaddimah yang mengandung Pancasila.
Jadi dengan tegas, Saudara-saudara, — jelas! Empat kali di dalam sepuluh tahun ini kita melewati empat naskah. Tiap-tiap naskah me­nyebutkan Pancasila. Dan tatkala aku dengan karunia Allah s. w. t. dinobatkan menjadi Presiden, aku disumpah. Dan isi sumpah itu antara lain ialah setia kepada Undang-Undang Dasar. Maka oleh karena itulah, Saudara-saudara, rasa sebagai kewajiban jikalau diminta oleh sesuatu golongan akan keterangan tentang Pancasila-memenuhi permintaan itu.

Dan pada ini malam dengan mzngucap syuka-syukur ke hadirat Allah s.w.t. aku berdiri di hadapan saudaara-saudara. Berhadap-hadapan muka dengan kaum buruh, dengan pegawai, rakyat jelata, dengan pihak Angkatan Laut Republik Indonesia dan pihak Tentara, dengan pihak Mobrig, pihak Polisi, pihak Perintis, dengan pemuda, dengan pemudi – berdiri di hadapan Saudara-saudara dan anak-anak sekalian  yang telah datang membanjiri lapangan yang besar ini laksana air hujan – aku mengucap banyak terimakasih  kepadamu. Dan insya Allah, Saudara-saudara aku akan  terangkan kepadamu tentang apa sebab Negara Republik didasarkan atas dasar Pancasila.
Saudara-saudara, ada yang berkata Pancasila ini hanya sementara!.Ya, jikalau diambil di dalam arti itu, memang Pancasila adalah sementara. Tetapi bukan saja Pancasila adalah sementara, bahkan  misalnya ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar kita — bahwa Sang Merah Putih, bendera kita — itu pun sementara! Segala Undang-Undang Dasar kita sekarang ini adalah sementara.
Tidakkah tadi telah kukatakan, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita pakai sekarang ini, malahan disebutkan Undang-Undang Dasar Sementara dari Negara Republik Indonesia? Apa sebab sementara? Ya, oleh karena akhimya nanti yang akan menentukan segala sesuatu ialah Konstituante. Maka itu, Saudara-saudara, kita akan mengadakan pemilihan umum dua kali. Pertama, pada tanggal 29 September nanti, insya Allah S.W.T. untuk memilih DPR.
Kemudian pada tanggal 15 Desember untuk memilih Konstituante.
Konstituante adalah Badan Pembentuk Undang-Undang Dasar. Undang­-Undang Dasar yang tetap. Konstituante adalah pembentuk konstitusi. Konstitusi berarti Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar tetap bagi Negara Republik Indonesia, yang sampai sekarang ini segala-galanya masih sementara.
Tetapi, Saudara-saudara, jikalau ditanya kepadaku, “Apa yang berisi kalbu Bapak ini akan permohonan kepada Allah s. w. t. ?” Terus terang aku berkata, jikalau Saudara-saudara membelah dada Bung Karno ini, Saudara-saudara bisa membaca di dalam dada Bung Karno memohon kepada Allah s. w. t. supaya Negara Republik Indonesia tetap berdasarkan Pancasila.
Ya benar, bahwa segala sesuatunya adalah sementara. Tetapi aku berkata, bahwa Sang Merah Putih adalah sementara-bendera Republik Indonesia-pun sementara! Dan jikalau nanti Konstituante bersidang, insya Allah s.w.t., Saudara-saudara-ku, siang dan malam Bapak akan memohon kepada Allah s. w. t. agar supaya Konstituante tetap menetapkan Bendera Sang Merah Putih sebagai bendera Negara Republik Indonesia.
Aku minta kepadamu sekalian, janganlah memperdebatkan Sang Merah Putih ini. Jangan ada satu pihak yang mengusulkan warna lain sebagai bendera Republik Indonesia.
Tahukah Saudara-saudara, bahwa warna Merah Putih ini bukan buatan Republik Indonesia? Bukan buatan kita dari zaman pergerakan nasional. Apa lagi bukan buatan Bung Karno, bukan buatan Bung Hatta! Enam ribu tahun sudah kita mengenal akan warna Merah Putih ini. Bukan seribu tahun, bukan dua ribu tahun, bukan tiga ribu tahun, bukan empat ribu tahun, bukan lima ribu tahun!-Enam ribu tahun kita telah mengenal wama Merah Putih!
Tatkala di sini belum ada agama Kristen, belum ada agama Islam, belum ada agama Hindu, bangsa Indonesia telah meng-agungkan war­na Merah Putih. Pada waktu itu kita belum mengenal Tuhan dalam cara mengenal sebagai sekarang ini. Pada waktu itu yang kita sembah adalah Matahari dan Bulan. Pada waktu itu kita hanya mengira, bahwa yang memberi hidup itu Matahari.
Siang Matahari – malam Bulan. Matahari merah- Bulan putih.
Pada waktu itu kita telah mengagungkan warna Merah Putih. Kemu­dian bertambah kecerdasan kita. Kita lebih dalam menyelami akan hidup di dalam alam ini. Kita memperhatikan segala sesuatu di dalam alam ini dan kita melihat, – 0, alam ini ada yang hidup bergerak, ada yang tidak bergerak. Ada manusia dan binatang, makhluk-makhluk yang bergerak. Ada tumbuh-tumbuhan yang tidak bisa bergerak. Manusia dan binatang itu darahnya merah. Tumbuh-tumbuhan darahnya putih. Getih – Getah.
Coba dengarkan hampir sama dua perkataan ini: Getih – Getah.
Cuma diganti dengan a. Dulu kita mengagungkan Matahari dan Bulan yang di dalam alam Hindu dinamakan Surya Candra. Kemudian kita mengagungkan Getih – Getah. Merah – Putih. Saudara-saudara, itu adalah fase kedua.
Fase ketiga, manusia mengerti akan kejadian manusia. Mengerti, bahwa kejadian manusia ini adalah dari perhubungan laki dan perempuan, perempuan dan laki. Orang mengerti perempuan adalah merah, laki adalah putih. Dan itulah sebabnya maka kita turun-temurun mengagungkan Merah-Putih. Apa yang dinamakan “gula-kelapa”, mengagungkan bubur”bang-putih”. Itulah sebabnya maka kita kemudian-tatkala kita mempunyai negara-negara setelah mempunyaikerajaan-kerajaan- memakai warna Merah-Putih itu sebagai bendera negara. Tatkala kita mempunyai kerajaan Singasari, Merah-Putih te1ah berkibar, terus dirampas oleh imperialisme asing. Tetapi di dalam dada kita tetap hidup kecintaan kepada Merah-Putih ..
Dan tatkala kita mengadakan pergerakan nasional sejak tahun 1908 dengan lahirnya Budi Utomo-dan diikuti oleh Serikat Islam, oleh NIP (Nationaal Indische Partij), oleh ISDP, oleh PKI, oleh Sarekat Rakyat, oleh PPPK, oleh PBI, oleh Parindra, dan lain-lain-maka rakyat lndonesia tetap mencintai Merah-Putih sebagai warna benderanya. Dan tatkala kita pada tanggal 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan itu, dengan resmi kita menyatakan Sang Merah Putihadalah bendera kemerdekaan kita.
Itu smua jika dikatakan sementara, ya sementara! Sebab Konstituante belum bersidang. Konstituante mau merubah warna ini??? Lho, kalau menurut haknya, boleh saja. Sebab Konstituante itu adalah kekuasaan kita yang tertinggi. Penyusun, pembentuk Konstitusi. Jadi kalau Konstituante, misalnya, hendak menentukan wama bendera negara Republik lndonesia bukan Merah-Putih, ya mau dikatakan apa? Tetapi Bapak berkata, Bapak memohon kepada Allah s. w. t. agar supaya warna merah-putih tetap menjadi wama bendera Negara Republik lndonesia.
Kembali kepada Pancasila. Jika dikatakan sementara, ya semen­tara! Lagi-lagi Bapak ini berkata: Allah S.w.t. Dan Bapak pun bersyu­kur ke hadirat Allah s.w.t., bahwa cita-cita Bapak yang sudah bertahun-­tahun untuk naik Haji dikabulkan oleh Allah s. w.t. Lagi-Iagi Allah s.w. t
Saudara-saudara, jikalau aku meninggal dunia nant i-ini hanya Tuhan yang mengetahui, dan tidak bisa dielakkan semua orang- jikalau ditanya oleh Malaikat: “Hai, Sukamo, tatkala engkau hidup di dunia, engkau telah mengerjakan beberapa pekerjaan. Pekerjaan apa yang paling engkau cintai? Pekerjaan apa yang paling engkau kagumi? Pekerjaan apa yang engkau paling ucapkan syukur kepada Allah s. w. t.?”
Moga-moga, Saudara-saudara, aku bisa menjawabnya bisa menjawab demikian atau tidaknya itupun tergantung dari pada Allah s. w. 1.: “Tatkala aku hidup di dunia ini, aku telah ikut membentuk Negara Republik lndonesia. Aku telah ikut membentuk satu wadah bagi masyarakat lndonesia”.
Sebagai sering kukatakan, Saudara-saudara, negara adalah wadah.
Jikalau diberi karunia oleh Allah s. w. t. mengerjakan pekerjaan satu ini saja-Allahu’akbar!-aku akan berterima kasih setinggi langit. Yaitu untuk pekerjaan ini saja, ikut membentuk wadah. Wadahnya­wadahnya saja-yang bemama Negara ini. Di dalam wadah ini adalah masyarakat. Wadah yang dinamakan negara ini adalah wadah untuk masyarakat.
Membentuk wadah adalah lebih mudah daripada membentuk masyarakat. Membentuk wadah adalah bisa dijalankan di dalam satu hari sebenamya-wadah yang bernama Negara itu.
Tidakkah Saudara-saudara dari sejarah dunia kadang-kadang mendengar, bahwa oleh suatu konferensi kecil sekonyong-konyong diputuskan dibentuk negara ini, dibentuk negara itu. Misalnya, dahu­lu sesudah peperangan dunia yang pertama, tidakkah negara Ceko­slovakia sekadar dengan coretan pena dari suatu konferensi kecil. Membentuk negara, gampang! Dulu di sini juga pernah dibentuk Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, hanya dengan dekrit Van Mook, Saudara-saudara! Tetapi coba membentuk masyarakat, susah!
Membentuk masyarakat, kita harus bekerja siang dan malam, bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, kadang-kadang berwindu-windu, berabad-abad. Masyarakat apa pun tidak gampang dibentuknya. Itu meminta pekerjaan kita terus-menerus. Baik masyarakat Islam, maupun masyarakat Kristen, maupun masyarakat sosialis. Bukan bisa dibentuk dengan satu dekrit, Saudara-saudara, dengan satu tulisan, dengan satu unjal napas manusia. Membentuk masyarakat makan waktu! Ya, aku bermohon kepada Tuhan, dibolehkanlah hendaknya ikut membentuk masyarakat pula.
Masyarakat di dalam wadah itu. Tetapi aku telah bersyukur seribu syukur kepada Tuhan, jikalau aku nanti bisa menjawab kepada Malaikat itu, bahwa hidupku di dunia ini ialah antara lain-lain telah ikut membentuk wadah ini saja. Membentuk wadah yang bernama negara dan wadah ini buat satu masyarakat yang besar. Walaupun rapat ini lebih dari satu juta manusia, Saudara-saudara, wadah itu bukan kok cuma buat satu juta manusia ini saja. Tidak! Wadah yang bernama negara, negara yang bernama Republik Indonesia itu adalah wadah untuk masyarakat Indonesia yang 80 juta, dari Sabang sampai ke Merauke! Dan masyarakat Indonesia ini adalah beraneka agama, beraneka adat-istiadat, beraneka suku. Bertahun–tahun aku ikut memikirkan ini. Nanti jikalau Allah S.W.T. memberikan kemerdekaan kepada kita-dulu Bapak berpikiran yang demikian-lah-jikalau Nega­ra Republik Indonesia telah bisa berdiri, negara ini agar supaya selamat, agar bisa menjadi wadah bagi segenap rakyat Indonesia yang 80 juta, Negara harus didasarkan apa?
Tatkala aku masih berumur 25 tahun, aku telah memikirkan hal ini. Tatkala aku aktif di dalam pergerakan, aku lebih-lebih lagi memi­kirkan hal ini. Tatkala di dalam zaman Jepang, tetapi oleh karena tekad kita sendiri, usaha kita sendiri, pembantingan tulang sendiri, korbanan kita sendiri-tatkala fajar telah menyingsing-lebih-lebih lagi kupikirkan hal ini. Wadah ini hendaknya jangan retak. Wadah ini hendaknya utuh sekuat-kuatnya. Wadah untuk segenap rakyat lndo­nesia, dari Sabang sampai ke Merauke yang beraneka agama, beraneka suku beraneka adat-istiadat.
Sekarang aku menjadi Presiden Republik lndonesia adalah karunia Tuhan. Aku tidak menyesal, bahwa aku dulu bertahun-tahun memikirkan hal ini. Dan aku tidak menyesal. bahwa aku telah mem­formulir Pancasila. Apa sebab? Barangkali lebih dari siapa pun di lndonesia ini, aku mengetahui akan keanekaaan bangsa lndonesia ini.



Sebagai Presiden Republik lndonesia aku berkesempatan sering-sering untuk melawat ke daerah-daerah.
Sering-sering aku naik kapal udara. Malahanjikalau di dalam kapal udara aku sering-sering-katakanlah-main gil a dengan pilot. Pilot terbang tinggi, aku tanya kepadanya: Saudara pilot, berapa tinggi? “12.000 kaki, Paduka Yang Mulia.” – Kurang tinggi, naikkan lagi!

“13.000 kaki.” – Hahaa, kurang tinggi, Bung! “14.000 kaki.” – Kurang tinggi!
“15.000 kaki.” – Kurang tinggi!
“16.000 kaki.” – Kurang tinggi!
“17.000 kaki. ” – Kurang tinggi!

“Sudah tidak bisa lagi, Paduka Yang Mulia. Kapal udara kita sudah mencapai plafon”. 

Plafon itu ialah tempat yang setinggi-tingginya bagi kapal udara itu. Aku terbang dari barat ke timur, dari timur ke barat. Dari utara ke selatan, dari selatan ke utara. Aku melihat tanah air kita. Allahuakbar, cantiknya bukan main! Dan bukan saja cantik, sehingga benarlah apa yang diucapkan oleh Multatuli di dalam kitab Max Havelaar, bahwa lndonesia ini adalah demikian cantiknya, sehingga ia sebutkan, “Insulinde die zich daar slingert om den evenaar als een gordel van smaragd-Indonesia yang laksana ikat pinggang terbuat daripada zamrud berlilit-lilit sekeliling khatulistiwa!” lndahnya demikian.
Ya memang, Saudara-saudara, jikalau engkau terbang 17.000 kaki di angkasa dan melihat ke bawah. kelihatan betul-betul lndonesia ini adalah sebagai ikat pinggang yang terbuat dari zamrud, melilit mengelilingi khatulistiwa. Berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu–ribu pulau Saudara lihat. Dan tiap-tiap pulau itu berwarna–warna. Ada yang hijau kehijauan, ada yang kuning kekuningan. Indah permai tanah air kita ini, Saudara-saudara. Lebih dari 3000 pulau. Bahkan kalau dihitung dengan yang kecil-kecil, 10.000 pulau-pulau.
Terbanglah kapal udaraku datang di daerah Aceh. Rakyat Aceh menyambut kedatangan Presiden-rakyat beragama Islam. Terbang lag i kapal udaraku, turun di Siborong-borong, daerah Batak. Rakyat Batak menyambut dengan gegap-gempita keda-tangan Presiden Repu-blik Indonesia-agamanya Kristen.
Terbang lagi, Saudara-saudara, ke dekat Sibolga-agama Kris-ten.
Terbang lagi ke selatan, ke Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan­agama Islam. Demikianlah pula di Jawa. Kebanyakan ber-agama Islam, di sana Kristen, sini Kristen. Terbang lagi kapal udaraku ke Banjarmasin-kebanyakan Islam. Tetapi di Banjar-masin itu aku berjumpa utusan-utusan dari suku Dayak, Saudara-saudara. Malahan di Samarinda aku berjumpa dengan utusan–utusan, bahkan rakyat Dayak yang 9 hari 9 malam turun dari gunung-gunung untuk menjum­pai Presiden Republik Indonesia. Mereka tidak beragama Islam, tetapi beragama agamanya sendiri.
Aku ber – ibu orang Bali. Ida Ayu Nyoman Rai nama Ibuku. Malahan akujikalau beristirahat di Tampaksiring, desa kecil di Bali, rakyat Bali menyebutkan aku -kecuali Bung Karno, Pak Karno-menyebutkan Ida Bagus Made Karno. Aku melihat masyarakat Bali yang dua juta manusia itu beragama Hindu-Bali. Di Singaraja ada masyarakat Islam sedikit. Di Denpasar ada masyarakat Islam sedikit. Terbang lagi kapal udaraku ke Sumbawa-Islam. Terbang kapal udaraku ke Sumbawa-Kristen Pro-testan. Terbang kapal udaraku ke Flores, pulau di mana aku dulu diinternir-rakyat Flores kenal akan Bung Karno, Bung Karno kenal akan rakyat Flores-sebagian besar rakyat Flores itu beragama Rooms Katholik (Kristen). Terbang lag i kapal udaraku ke Timor-sebagian besar rakyatnya Protestan Kristen. Terbang lagi kapal udaraku ke Ambon-Kristen. Sekitar Ambon itu adalah masyarakat Kristen. Terbang lagi ke utara, ke Ternate-Islam di Ternate. Dari Ternate terbang ke Manado, Minahasa sekeliling-nya-Kristen. Ke selatan, Makasar-Islam. Di tengah Sulawesi, Toraja-sebagian besar Kristen, sebagian belum ber-agama.
Benar apa tidak perkataanku, Saudara-saudara, bahwa bangsa  lndonesia adalah beraneka agama? Dernikian pula aku berkata, bahwa bangsa lndonesia ini beraneka adat-istiadat, beraneka suku pula. Beraneka suku, beraneka agama, beraneka adat-istiadat: lni yang menjadi pikiran Bapak berpuluh-puluh tahun.
Sebelum kita memproklamirkan kemerdekaan lndonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, aku ingin bersama-sama dengan pejuang­-pejuang lain membentuk satu wadah. Wadah yang bernama negara. Wadah untuk masyarakat, bagi masyarakat yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat-istiadat!
Aku ingin membentuk satu wadah yang tidak retak, yang utuh, yang mau menerima semua masyarakat Indonesia yang beraneka-aneka itu dan yang masyarakat lndonesia mau duduk pula di dalamnya­yang diterima oleh Saudara-saudara yang beragama Islam, yang beragama Kristen Katolik, yang beragama Kristen Protestan, yang beragama Hindu-Bali, dan oleh Saudara-saudara yang beragama lain­yang bisa diterima oleh Saudara-saudara yang adat-istiadatnya begitu, dan yang bisa diterima sekalian Saudara.
Aku tidak mencipta Pancasila, Saudara-saudara. Sebab sesuatu dasar negara ciptaan tidak akan tahan lama. lni adalah satu ajaran yang dari mula-mulanya kupegang teguh: “Jikalau engkau hendak mengadakan dasar untuk sesuatu negara, dasar untuk sesuatu wadah, jangan bikin sendiri, jangan Anggit sendiri, jangan karang sendiri. Selamilah sedalam-dalamnya lautan dari sejarah! Gali sedalam­dalamnya bumi dari sejarah!”
Aku melihat masyarakat lndonesia, sejarah rakyat lndonesia. Dan aku menggali lima mutiara yang terbenam di dalamnya, yang tadinya lima mutiara itu cemerlang, tetapi oleh karena penjajahan asing yang 350 tahun lamanya, terbenam kembali di dalam bumi bangsa lndonesia. Aku oleh Universitas Gajah Mada dianugerahi titel Doctor Honoris Causa dalam ilmu ketatanegaraan. Tatkala promotor Prof. Mr. Notonegoro mengucapkan pidatonya pada upacara pemberian titel Honoris Causa, pada waktu itu beliau berkata : “Saudara Sukarno, kami menghadiahkan kepada Saudara  titel kehormatan Doctor Honoris Causa dalam ilmu ketatanegaraan, oleh karena Saudara pencipta Pancasila”..
Di dalam jawaban itu aku berkata :”Dengan terharu aku menerima titel Doctor Honoris Causa yang dihadiahkan kepadaku oleh Universitas Gajah Mada, tetapi aku tolak dengan tegas ucapan Profesor Notonegoro, bahwa aku adalah pencipta Pancasila”.
Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya bangsa Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya, aku gali kembali dan aku sembahkan Pancasila ini di atas persada bangsa Indonesia kembali.
Tidakkah benar, Saudara-saudara, bahwa kita sebelum ada Bung Karno, sebelum ada Republik Indonesia, sebenarnya telah mengenal akan Pancasila? Tidakkah benar kita-dari dahulu mula-telah mengenal Tuhan, – hidup di dalam alam Ketuhanan Yang Maha Esa? Kita dahulu pemah menguraikan hal ini panjang lebar. Bukan anggitan baru, bukan karangan baru. Tetapi sudah sejak dari dahulu mula bangsa Indonesia adalah satu bangsa yang cinta kepada Ketuhanan. Ya, kemudian Ketuhanannya itu disempurnakan oleh agama-agama. Disempurnakan oleh Agama Islam, disempurnakan oleh agama Kristen. Tetapi dari dahulu mula kita memang adalah satu bangsa yang berketuhanan. Demikian pula, tidakkah benar bahwa kita ini dari dahulu mula telah cinta kepada Tanah Air dan Bangsa? Hidup di dalam alam kebangsaan? Dan bukan saja kebangsaan kecil, tetapi kebangsaan Indonesia. Hai, engkau pemuda-pemuda, pemah engkau mendengar nama kerajaan Mataram? Kerajaan Mataram yang membuat candi­candi Prambanan, candi Borobudur? Kerajaan Mataram ke-2 di waktu itu di bawah pimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo? Tahukah Saudara-saudara akan arti perkataan Mataram? Jikalau tidak tahu, maka aku akan berkata kepadamu, Mataram berarti Ibu. Masih ada persamaan perkataan Mataram itu, misalnya perkataan mutter di dalam bahasa Jerman: Ibu; mother dalam bahasa Inggris: Ibu; moeder dalam bahasa Belanda: Ibu; mater dalam bahasa Latin: Ibu. Mataram berarti Ibu.
Demikian kita cinta kepada Bangsa dan Tanah air dari zaman dulu mula, sehingga negeri kita, negara kita, kita putuskan-Mataram.
Rasa kebangsaan, bukan rasa baru bagi kita. Mungkinkah kita mempunyai kerajaan seperti kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dahulu, jikalau kita tidak mempunyai rasa kebangsaan yang berkobar-kobar di dalam dada kita?
Ya, kata pemimpin besar yang bernama Gajah Mada, Sang Maha Patih Ihino Gajah Mada. Benar kita mempunyai pemimpin besar itu. Benar pemimpin besar itu telah bersumpah satu kali “tidak akan makan palapa, jikalau belum segenap kepulauan Indonesia tergabung di dalam satu negara yang besar”. Benar kita mempunyai pemimpin yang besar itu. Tetapi apakah pemimpin inikah yang sebenarnya pencipta dari kesatuan kerajaan Majapahit? Tidak!
Permimpin besar sekadar adalah sambungan lidah dari rasanya rakyat jelata. Tidak ada satu orang pemimpin besar-walaupun besarnya bagaimana pun juga-bisa membentuk satu negara yang sebesar Majapahit ialah satu negara yang besar, yang wilayahnya dari Sabang sampai ke Merauke. Bahkan sampai ke daerah Filipina sekarang.
Katakanlah Bung Karno pemimpin besar atau pemimpin kecil ­pemimpin gurem1 atau pemimpin yang bagaimana pun. Tetapi jikalau ada orang yang berkata, “Bung Karno yang mengadakan negara Repu­blik Indonesia”-tidak benar! !! Jangan pun satu Sukarno-sepuluh Sukarno, seratus Sukarno, seribu Sukarno-tidak akan bisa membentuk negara Republik Indonesia, jikalau segenap rakyat jelata Republik Indonesia tidak berjuang mati-matian!
Kemerdekaan adalah hasil dari perjuangan segenap rakyat. Maka itu pula menjadi pikiran Bapak, Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat,-tetapi milik kita semua dari Sabang sampai ke Merauke! Perjuangan untuk merebut kemerdekaan ini dijalankan oleh semua bangsa Indonesia.
Aku melihat di dalam daerah-daerah yang kukunjungi-di mana pun aku datang, aku melihat Taman-taman Pahlawan. Bukan saja di bagian-bagian yang beragama Islam, tetapi juga di bagian–bagian yang beragama Kristen. Aku melihat Taman-taman Pahlawan di mana-mana. Di sini di Surabaya-pada tanggal l0 November tahun 1945-siapa yang berjuang di sini? Segenap pemuda-pemudi, kiai, kaum buruh, kaum tani-segenap rakyat Surabaya-berjuang dengan tiada perbedaan agama, adat-istiadat, golongan atau suku.
Rasa kebangsaan kita sudah dari sejak zaman dahulu, demikian pula rasa perikemanusiaan. Kita bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dalam sejarah dunia ini, satu-satunya bangsa yang tidak pernah menjajah bangsa lain. Aku tentang orang-orang ahli sejarah , yang bisa membuktikan bahwa bangsa Indonesia pernah menjajah bangsa lain. Apa sebab? Oleh karena bangsa Indonesia berdiri di atas dasar perikemanusiaan sejak dari zaman dahulu. Dari zaman Hindu kita sudah mengenal perikemanusiaan. Disempurnakan lagi rasa perikemanusiaan itu dengan agama-agama yang kemudian.
Di dalam zaman Hindu kita telah mengenal ucapan “Tat -twam asi’. Apa artinya Tat twam asi? Tat twam asi berarti “Aku adalah dia, dia adalah aku”. Dia pakai, aku ikut pakai. Dia senang, aku ikut senang. Aku senang, dia ikut senang. Aku sakit, dia ikut sakit. Tat twam asi­perikemanusiaan.
Kemudian datanglah di sini agama Islam, mengajarkan kepada kita perikemanusiaan pula. Malah lebih sempurna. Diajarkan kepada kita akan ajaran-ajaran fardhu kifayah-kewajiban-kewajiban yang dipikulkan kepada seluruh masyarakat. Misalnya jikalau ada orang mati di kampungmu, dan kalau orang mati itu tidak terkubur-siapa yang dianggap berdosa, siapa yang dikatakan berdosa, siapa yang akan mendapat siksaan dari dosa itu? Bukan sekadar kerabat famili dari sang mati itu. Tidak! Segenap masyarakat di situ ikut tanggungjawab.
Demikian pula bagi agama Kristen. Tidakkah di dalam agama Kristen itu kita diajarkan cinta kepada Tuhan, lebih dari segala sesuatu dan cinta kepada sesama manusia, sama dengan cinta kepada diri kita sendiri? “Heb U naasten lief gelijk U zelve. God boven alles”2. Jadi rasa kemanusiaan, bukan barang baru bagi kita.
Demikianlah pula rasa kedaulatan rakyat. Apa sebab pergerakan nasional Indonesia laksana api mencetus dan meledakkan segenap rasa kebangsaan Indonesia? Oleh karena pergerakan nasional Indonesia itu berdiri di atas dasar kedaulatan rakyat. Engkau ikut berjuang! Dari dahulu mula kita gandrung kepada kedaulatan rakyat. Apa sebab engkau ikut berjuang? Oleh karena engkau merasa memperjuangkan dasar kedaulatan rakyat.
Bangsa Indonesia dari dahulu mula telah mengenal kedaulatan rakyat, hidup di dalam alam kedaulatan rakyat. Demokrasi bukan barang baru bagi kita. Demikian pula cita-cita keadilan sosial-bukan cita­cita baru bagi kita. Jangan kira, bahwa cita-cita keadilan sosial itu buatan Bung Karno, Bung Hatta, atau komunis, atau kaum serikat rakyat, kaum sosialis. Tidak!
Dari dahulu mula bangsa Indonesia ini cinta kepada keadilan sosial.
Kalau zaman dahulu, kalau ada pemberontakan – Saudara-saudara berhadapan dengan pemerintah Belanda -semboyannya selalu “Ratu Adil”. Ratu adil paramarta. Sama rata, sama rasa. Adil, adil, itulah yang menjadi gandrung-nya jiwa bangsa Indonesia. Bukan saja di dalam alam pergerakan sekarang atau di dalam pergerakan alam nasional tetapi dari dulu mula. Maka oleh karena itulah aku berkata, baik Ketuhanan Yang Maha Esa mau-pun Kebangsaan, maupun Perikemanusiaan, maupun Kedaulatan Rakyat, maupun Keadilan Sosial, bukan aku yang mencip-takan. Aku sekadar menggali sila-sila itu. Dan sila-sila ini aku persembahkan kembali kepada bangsa lndonesia untuk dipakai sebagai dasar daripada wadah yang berisi masyarakat yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat-istiadat. Inilah, Saudara-saudara, maka di dalam sidang Dokuritzu Zunbi Tyoosakai di dalam zaman Jepang-pertengahan tahun 1945- telah’diadakan satu sidang dari pemimpin-pemimpin Indonesia, dan di dalam sidang Dokuritzu Zunbi Tyoosakai itu dibicarakan hal-hal ini.
Pertama, apakah negara yang akan datang itu harus berdasar satu falsafah ataukah tidak? Semua berkata, “Harus berdasarkan satu falsafah!” Harus memakai dasar. Sebab kita melihat di dalam sejarah dunia ini banyak sekali negara-negara yang tidak berdasar, lantas berbuat jahat, oleh karena tidak mempunyai ancer-ancer hidup bagi rakyatnya.
Kita melihat negara-negara yang besar. Tetapi oleh karena tidak mempunyai ancer-ancer hidup, tidak mempunyai dasar hidup, dengan sedih kita melihat bahwa negara-negara itu berbuat sesuatu yang sebenarnya melanggar kepada kedaulatan dan perikemanusiaan.
Di dalam sidang Dokuritzu Zunbi Tyoosakai itu diputuskan akan memberi dasar kepada negara. Akhirnya saya mempersembahkan Pancasila. Dan syukur alhamdulillah sidang menerimanya. Dan tatkala kita memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dasar ini yang dipakai. Dan aku berkata, oleh karena dasar ini segenap rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke menyambut kemerdekaan. Hanya persatuan inilah yang bisa membawa kita kepada cita-cita kita sekalian!
Di dalam Kongres Rakyat Indonesia kuanjurkan persatuan ini. Di dalam Kongres Partai Nasional Indonesia di Bandung 10 bulan yang lalu kuanjurkan persatuan ini. Oleh karena aku melihat gejala-gejala perpecahan makin lama makin meningkat, makin lama makin menampak. Bersatulah kembali, Saudara-saudara, ber-satulah rakyat Indonesia, bersatu kembali di dalam persatuan nasional revolusioner yang sebulat-bulatnya. Sebab kita duduk di dalam alam revolusi nasional. Kalau kita mengadakan persatuan yang bukan persatuan nasional revolusioner, tidak bisa kita menyelesaikan revolusi nasional kita itu. Aku hidup di dalam alam persatuan ini, aku gandrung kepada persatuan ini, maka oleh karena itulah, jikalau aku sekarang sebagai Presiden Republik lndonesia berbicara di hadapan Saudara-saudara, resmi sebagai Presiden Republik lndonesia yang membentangkan kepada Saudara-saudara dasar negara, yang aku sumpah di atasnya seba-gai Presiden. Di samping itu aku bergembira hati diberi kesempatan oleh Allah s.w.t. sebagai warga negara biasa membicarakan hal dasar–dasar negara mI.
Di dalam pidato 17 Agustus 1955 aku menganjurkan pula Panca Dharma. Apa inti dari Panca Dharma? Tak lain dan tak bukan ialah inti itu keluar dari jiwa Pancasila. Tidakkah Panca Dharma lima?
Pertama, persatuan. Kedua, yang merusak persatuan yaitu yang mengacau-ngacau keamanan ini harus kita lenyapkan. Nomor tiga, pembangunan, pembangunan, pemba-ngunan! Keempat, lrian Barat. Kelima, pemilihan umum. Pemilihan umum pada intinya ialah persatuan. Segenap bangsa Indonesia yang 80 juta ini-yang sudah dewasa 43 juta-diminta mengeluarkan suaranya dengan cara bebas, dalam alam suasana persaudaraan. Mari kita sekarang dengan tenang dalam suasana persaudaraan bangsa mengemukakan suara kita. Jiwa dari pemilihan umum adalah persatuan!
Pembangunan juga tidak bisa selesai zonder persatuan. Dapatkah engkau membangun ekonomi Indonesia dengan tidak persatuan? Tahukah engkau bahwa Indonesia ini ekonomi yang sebenarnya satu unit, satu kesatuan yang besar-yang jikalau satu daerah dikeluarkan, kocar-kacir ekonomi kita itu. Dan kita menyusun satu ekonomi kolonial, ekonomi imperialis? Tidak! Di dalam Undang-Undang Dasar kita sebutkan dengan tegas bukan ekonomi untuk membikin gendutnya perutnya satu dua orang. Tetapi ekonomi yang membikin sejahteranya segenap rakyat. Inilah dasar, inti jiwa daripada Undang-Undang Dasar kita, meskipun Undang-Undang Dasar yang dinamakan sementara.
Satu ekonomi nasional yang menjamin semua bangsa Indonesia, hidup sejahtera, layak, makmur. Bukan ekonomi yang membikin gendut orang satu. Tetapi ekonomi sama-rata, sama-rasa. Satu ekonomi yang mengandung jaminan kehidupan yang baik buat semua, di dalam suasana kesatuan dan persatuan.
Pengacau keamanan  -bahwa itu memecah kepada persatuan, merugikan kepada rakyat- perlukan masih kuuraikan? Tidak!
Irian Barat. Sebab apa Saudara-saudara menuntut Irian Barat?
Mungkin Saudara beragama Islam, di sana rakyatnya bukan Islam, lho! Kenapa Saudara menuntut Irian Barat supaya masuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia? Saudara akan menjawab: “Aku menuntut lrian Barat kembali ke dalam wilayah Republik Indonesia oleh karena Irian Barat adalah sebagian dari tanah air Indonesia, oleh karena suku Irian Barat adalah sebagian dari bangsa Indonesia seluruhnya. ”

Lho, kenapa saudara menuntut lrian Barat kembali kepada kekuasaan Republik? Saudara akan menjawab: “Aku menuntut Irian Barat kembali ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia oleh karena bangsa kita adalah satu dari Sabang sampai ke Merauke”.
Jadi dasarnya ialah persatuan bangsa. Maka oleh karena itu -aku sekali lagi menganjurkan kepada segenap rakyat Indonesia, terutama sekali di hadapan pemilihan umum ini- ingat kepada persatuan. Ingat kepada persatuan! Bangsa Indonesia adalah selalu kukatakan bukan bangsa yang kecil, jumlahnya 80 juta. Lebih besar daripada bangsa yang lain-lainnya.
Aku telah -alhamdulillah- melawat ke Mesir, keArabia, ke India, ke Karachi, ke Pakistan, ke Sailan, ke Rangoon dan sebagainya, kecuali ke Eropa dan Amerika. Aku melihat bangsa kita potensinya hebat-hebat. Tidak ada satu tanah air dari sesuatu bangsa yang lebih hebat daripada tanah air Indonesia. Tidak ada satu bangsa yang lebih seragam ­sebenamya jikalau mau-dari bangsa Indonesia. Tidak ada satu tanah air yang lebih indah dari bangsa Indonesia. Jumlahnya pun tidak sedikit 80 juta. Lebih dari bangsa yang Ya, kita kalah dengan Amerika Serikat jumlah bangsa kita ini.
Kalah dengan USSR (Sovyet Uni) jumlahnya bangsa kita ini. Kalah dengan Tiongkok jumlah bangsa kita. Kalah dengan India jumlah bangsa kita. Tetapi di samping yang empat ini, Saudara-saudara, tidak ada lagi yang mengalahkan kita. Ada yang memadai kita jumlah rakyatnya, yaitu Jepang. Tetapi yang lain-lain, semuanya kurang dari kita. Mesir yang Bapak tempo hari kunjungi dan yang Bapak melihat semangatnya meluap-luap, berapa jumlah mereka? Mesir yang Bapak lihat -mereka membangun, membuat dam–dam yang besar, membuat jalan-jalan yang besar-jumlah mereka berapa? Mesir-yang membangun pula tentara, tentara yang hebat, membangun angkatan udara yang aku melihat pesawat-pesawat udara yang terbang di angkasa, Saudara-saudara , berapa jumlah mereka? Duapuluh tiga juta – kita 80 juta. Aku datang di Saudi Arabia, berapa jumlah rakyat Saudi Arabia? Enam juta – kita 80 juta!
Aku datang di Bangkok, disambut oleh Perdana Menteri Phibul Songgram. Tahukah engkau rakyat Thailand jumlahnya? Duapuluh juta-kita 80 juta. Kita bangsa yang 80 juta bukan bangsa yang kecil. Kalau kita bersatu-kataku berkali-kali-jikalau kita 80 juta bersatu­padu di dalam kesatuan nasional revolusioner, tidak ada satu cita-cita yang tidak terlaksana oleh kita.

https://insulinda.wordpress.com

Rabu, 18 Januari 2017

Sekedar Melihat Fenomena




Sekedar melihat fenomena yang ada di negeri ini, Gerangan apa yang sedang kita lakukan, saling hujat saling bantah dengan atas nama keyakinan kita, mereka saling meluruskan saling membenarkan tak ada yang mau menerima bahwa kita, mereka salah apa mungking kemunduran moral dalam berbangsa dan bernegara kita sudah luntur ??, ah.... saya pikir tidak sampai seperti itu !. tapi Terlepas dari semua permasalahan yang ada, saya yakin kita semua masih tetap cinta Indonesia dan masih berharap agar Indonesia tetap berjaya, agar aku-kamu- kita-dan kalian semua masih merasa memiliki Indonesia walau terpisah oleh ribuan pulau dan luasnya lautan di bumi pertiwi, bahkan terpisah oleh benua dan samudera di muka bumi ini. @mawan33

Senin, 16 Januari 2017

Bila Pengkafiran Menjadi Sebuah Fenomena

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan: Wahai musuh Allah, sementara yang dituduhnya itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.” (Shahih, Hadits Riwayat Muslim no. 61) 
Bila Pengkafiran Menjadi Sebuah Fenomena
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
((أَيما رجُل قال لِأَخِيْهِ : يَا كَافِرُ, فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا , فَإِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ))
Apabila seseorang menyeru kepada saudaranya: Wahai kafir, maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya. Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir adanya maka sebutan itu pantas untuknya, bila tidak maka sebutan kafir itu kembali kepada yang mengucapkan.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6104 dan Muslim no.60)
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu juga menuturkan hal yang sama dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
((مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ , أَوْ قَالَ : عَدُوَّ اللهِ, وَ لَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ))
Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan: Wahai musuh Allah, sementara yang dituduhnya itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 61)
Di balik kehormatan kaum muslimin yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan diharamkan sampai hari kiamat ternyata kehormatan tersebut dihinakan, dilanggar ketentuannya oleh jiwa-jiwa yang tidak khawatir akan akibat perbuatannya. Hal ini kita dapati dari jaman dahulu, jaman salafush shalih, sampai hari ini. Masih terngiang di telinga kita, bagaimana pelanggaran kehormatan bahkan sampai pada penghalalan jiwa dan harta yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Islam Jama’ah atau kelompok takfiriyyun lain yang ada pada jaman sekarang. Sedih dan memilukan memang melihat fenomena demikian, mengingat pintu-pintu rumah kaum muslimin tak luput dimasuki oleh para pelanggar kehormatan tersebut.
Agama kita yang mulia sama sekali tidak pernah ridha, bahkan berlepas diri dari pelanggaran kehormatan yang terjadi ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
(( إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَ أعْرَاضَكُمْ حَرَمٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا ))
Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram bagi kalian seperti keharaman negeri ini, bulan ini dan hari ini.” (HR. Al-Bukhari no. 68 dan Muslim no. 1679)
Jawaban dari fenomena yang membuat dada terasa sesak ini sangat membutuhkan perhatian kita untuk kembali kepada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar dan Abu Dzar radiyallahu ‘anhuma di atas. Kedua hadits tersebut merupakan peringatan keras untuk tidak menjatuhkan vonis kafir terhadap seorang muslim (yang sudah sedemikian mudah dan murahnya kalimat ini di mulut sebagian orang) karena memang permasalahan kekafiran dan keislaman hukumnya kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dialah yang berhak menghukumi di antara hamba-Nya, siapa yang kafir dan siapa yang muslim. Sebagaimana penghalalan dan pengharaman juga berada dalam ketetapan-Nya. Siapa pun tidak diperkenankan menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan.
Demikian pula kita tidak boleh mengkafirkan seseorang ketika dia tidak dihukumi kafir dengan hukum Allah dan tidak menyatakan keislaman seseorang ketika dia tidak termasuk sebagai seorang muslim ketika ditimbang dengan hukum Allah.
Siapa saja yang telah dipastikan keislamannya maka ia tidak boleh difasikkan dan dikafirkan ataupun dikeluarkan dari agama Allah kecuali dengan bukti yang menunjukkan kekufuran dan keluarnya dia dari agama Allah dengan jelas, dan didapati darinya syarat-syarat pengkufuran, dan hilang darinya penghalang demi penghalang yang membuat jatuhnya vonis kafir padanya. Dan tentunya yang bisa melihat permasalahan ini hanyalah para ulama dari kalangan ahli fatwa.
Asy-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang yang duduk di majelisku tahu bahwa aku termasuk orang yang paling besar pelarangannya dari (perbuatan) menyandarkan kekafiran, kefasikan dan kemasiatan kepada orang tertentu, kecuali bila diketahui telah tegak hujjah kepadanya yang jika diselisihi seseorang (maka ia) bisa jadi kafir, bisa jadi fasik atau bisa jadi pelaku maksiat.” (Lihat Majmu’ Fatawa, 3/229)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Pengkafiran itu adalah hak Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu tidaklah seseorang itu kafir kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” (Irsyad Ulil Abshar wal Albab linail Fiqh Biaqrabith Thuruq wa Aysarul Asbab, hal. 198)
Hukuman bagi orang yang mengkafirkan
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Tidak boleh bermudah-mudah dalam mengkafirkan seseorang karena hal ini akan berdampak atau berakibat kepada dua perkara yang besar:
Pertama, mengadakan kedustaan terhadap Allah ta`ala di dalam hukum, di mana dia menghukumi kafir terhadap orang yang tidak dihukumi kafir oleh Allah ta`ala. Hal ini sama keadaannya dengan orang yang mengharamkan apa yang Allah halalkan, karena menghukumi kafir tidaknya seseorang hanya berada di tangan Allah saja sebagaimana hukum halal dan haram hanya berada di tangan Allah.
Kedua, mengadakan kedustaan terhadap orang yang dihukumi kafir tersebut dengan sifat yang dituduhkan kepadanya, di mana ia mensifati seorang muslim dengan sifat yang berlawanan dengan keadaan sebenarnya. Ia mengatakan: dia kafir, padahal orang ini berlepas diri dari kekafiran, sehingga pantaslah sifat kekafiran itu dikembalikan padanya (orang yang menuduh) berdasarkan hadits di dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
((إِذَاكفّر الرَّجُلُ أّخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا))
Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya.”
Dalam satu riwayat:
((إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ))
Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir adanya maka sebutan itu pantas untuknya, bila tidak maka sebutan kafir itu kembali kepada yang mengucapkan.”
Masih dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
((مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ , أَوْ قَالَ : عَدُوَّ اللهِ, وَ لَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ))
Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan: ‘Wahai musuh Allah’, sementara orang yang dituduhnya itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.”
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu ‘Umar:
((إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ))
Bila orang tersebut memang kafir keadaannya,” (yakni) sesuai dengan hukum Allah.
Demikian pula ucapan beliau dalam hadits Abu Dzar: وَ لَيْسَ كَذَلِكَ))
Sementara orang yang dituduhnya itu tidaklah demikian,” (yakni bila ditimbang dengan) hukum Allah ta`ala.
Pensifatan kekufuran itu kembali kepadanya bila saudaranya itu terlepas dari tuduhan tersebut. Dan dikhawatirkan sekali ia terjatuh padanya. Karena kebanyakan orang yang begitu bersegera mensifatkan seorang muslim itu kafir merasa bangga dengan amalannya dan memandang remeh amalan orang lain, hingga akhirnya tergabunglah dengannya antara sifat ujub atas amalannya yang terkadang akan mengantarkan pada batalnya amalannya tersebut dan sifat sombong yang menyebabkan ia diazab oleh Allah ta`ala di dalam api neraka.
Sebagaimana datang dalam hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( قَالَ الله عَزَّ وَ جَلَّ : اَلْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَ الْعَظَمَةُ إِزَارِي, فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ))
Allah Azza wa Jalla berfirman: Kesombongan itu adalah pakaian-Ku dan keagungan itu adalah kain-Ku maka siapa yang menentang-Ku pada salah satu dari keduanya niscaya akan Aku campakkan dia ke dalam neraka.”(Syarhu Kasyfisy Syubuhat, hal. 41-42)
Tidak diragukan lagi, orang yang suka mengkafirkan kaum muslimin maka mereka sendirilah yang kafir, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa bila seseorang mengatakan kepada saudaranya sesama kaum muslimin: “Wahai kafir”, maka kekafiran itu mesti akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Bila memang orang yang dituduh kafir itu sebagaimana kenyataannya maka ia memang kafir, bila tidak maka yang kafir adalah pengucapnya, na’udzubillah.
Karena itu wajib bagi seseorang untuk membersihkan lisan dan hatinya dari mengkafirkan muslimin, jangan ia berbicara dengan perkataan: “Dia kafir.” Dan jangan pula ia meyakini dalam hatinya bahwa seseorang itu kafir semata-mata karena hawa nafsu. Hukum pengkafiran bukan berada di tangan si Zaid, bukan pula di tangan si ‘Amr akan tetapi yang berhak dalam hal ini hanyalah Allah dan Rasul-Nya.
Siapa yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya maka ia memang kafir walaupun kita mengatakan dia muslim. Sebaliknya, siapa yang tidak dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka ia tidak kafir walaupun orang mengatakan ia kafir.
Oleh karena itu kita katakan terhadap orang yang mengucapkan, “Wahai kafir,” “Wahai musuh Allah,” kalau memang demikian keadaannya, maka dia seperti yang dikatakan. Namun apabila tidak demikan, maka (ucapan itu) kembali kepada si pengucap, dialah yang kafir, wal ‘iyadzu billah. Dengan demikian ucapan ini termasuk dosa besar bila orang yang dikatakan kafir itu tidaklah demikian keadaannya. (Syarhu Riyadhush Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 4/376)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
((لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِفُسُوْقٍ, وَ لاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدت عَلَيْهِ, إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِك))
Tidaklah seseorang menuduh orang lain fasik dan tidak pula ia menuduh orang lain dengan kekafiran kecuali sebutan itu akan kembali kepadanya, apabila orang yang dituduhkan tidak demikian keadaannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6045)
Beliau menyatakan: “Hadits ini mengandung konsekuensi bahwa siapa yang mengatakan kepada orang lain, “Engkau fasik,” atau “Engkau kafir,” sementara orang yang dicela tersebut tidak seperti yang dikatakan si pencela maka si pencela itulah yang berhak untuk mendapatkan sifat yang ia sebutkan (fasik atau kafir). Namun bila memang orang tersebut seperti yang ia katakan, maka tidak kembali sesuatu pun kepadanya karena ia benar dalam ucapannya. Namun, walaupun perkataan itu tidak dikembalikan padanya, apakah ia kafir atau fasik, bukan berarti dia tidak berdosa dengan penggambarannya terhadap seseorang: “Engkau fasik.” Di dalam permasalahan ini perlu perincian.
– Bila ia berucap dengan tujuan menasehati orang tersebut atau menasehati orang selainnya dengan menerangkan keadaannya maka hal ini dibolehkan.
– Bila tujuannya untuk mencela, memasyhurkannya dengan sebutan demikian dan semata hendak menyakiti maka hal ini tidak dibolehkan karena ia diperintah untuk menutup aib orang lain, mengajari dan menasehatinya dengan cara yang baik. Bila memungkinkan baginya untuk menasehati dengan cara yang lembut maka ia tidak boleh melakukannya dengan kekerasan dan kekakuan, karena hal itu dapat menyebabkan orang tersebut menjadi keras kepala dan terus menerus dalam perbuatannya sebagaimana hal ini merupakan tabiat kebanyakan manusia. Terlebih bila orang yang memerintahkan (menasehati) itu derajatnya lebih rendah daripada orang yang dinasehati. (Fathul Bari, 10/480-481)
Apabila ada seorang yang berkata, “Bagaimana bisa perkataan kafir itu dikembalikan kepadanya dalam keadaan ia mengkafirkan seseorang karena kecemburuannya terhadap agama Allah?” Jawabannya: Dia kafir karena dia menjadikan dirinya sebagai penetap syariat bersama Allah. Dia mengkafirkan orang itu sementara Allah tidak mengkafirkannya, dengan (perbuatan itu) dia mengangkat dirinya sebagai tandingan bagi Allah dalam pengkafiran saudaranya. Di sisi lain, Allah akan menutup hatinya hingga akhirnya ia akan kafir kepada Allah dengan kekafiran yang nyata dan jelas.” (Fitnatut Takfir, hal. 43-44)
Konsekuensi Bagi Orang yang Dihukumi Kafir
Mudahnya vonis pengkafiran itu dijatuhkan kepada seseorang adalah permasalahan yang sangat berbahaya. Maka kita perlu melihat kerusakan yang terjadi yang membuka sekian banyak pintu kejelekan terhadap umat ini, yang melazimkan orang yang dituduh kafir sebagai berikut:
1. Tidak halal bagi istrinya (pasangan orang yang dituduh kafir tersebut) untuk tetap dalam ikatan pernikahan bersama suaminya. Sehingga wajib untuk memisahkan keduanya, karena seorang muslimah tidak boleh diperistri oleh orang kafir dengan ijma’ yang tidak diragukan lagi.
2. Tidak halal bagi anak-anaknya untuk tetap di bawah penguasaannya karena keberadaan mereka tidak aman berada di sisinya dan dikhawatirkan mereka akan terpengaruh dengan kekufurannya.
3. Orang ini kehilangan hak untuk medapatkan loyalitas (al-wala) dan pertolongan dari masyarakat Islam setelah ia memisahkan diri dari Islam dan keluar dengan kekufuran serta kemurtadan yang jelas. Diputuskan hubungan dengannya dan ia diboikot sampai ia kembali kepada Islam.
4. Orang ini wajib diperhadapkan kepada hakim agama untuk dihukumi murtad setelah ia diminta untuk bertaubat dan setelah hilang syubhat padanya serta telah ditegakkan hujjah padanya.
5. Bila orang ini meninggal dunia tidak diberlakukan padanya hukum Islam, maka ia tidak dimandikan, tidak dishalati, tidak dikuburkan di kuburan kaum muslimin dan tidak diwarisi hartanya sebagaimana ia tidak berhak mewarisi harta keluarganya.
6. Bila ia mati dalam keadaan kafir ia pantas mendapatkan laknat Allah, dijauhkan dari rahmat-Nya dan kekal abadi di dalam neraka.
7. Ia tidak didoakan dengan rahmat, dan tidak dimintakan ampun karena Allah ta`ala berfirman kepada Nabi-Nya:
Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampun terhadap orang-orang musyrik walaupun orang musyrik yang meninggal itu adalah karib kerabatnya setelah jelas bagi kaum muslimin bahwa kerabatnya yang kafir itu adalah penghuni neraka jahim.” (At-Taubah: 113)
(Secara ringkas dari Qadhiyatut Takfir Baina Ahlis Sunnah wa Firaqidh Dhalal, hal. 19-20)
Penghukuman dengan Pengkafiran
Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam hal ini adalah madzhab yang pertengahan, tidak berlebih-lebihan dan tidak bermudah-mudahan terhadap penghukuman ahlul iman sebagaimana Khawarij dan yang sejalan dengannya yang berlebih-lebihan dalam mengkafirkan, atau sebagaimana Murjiah yang bermudah-mudahan menetapkan keimanan yang sempurna pada ahlul iman walaupun berbuat maksiat. Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah ini dapat kita lihat dalam ucapan Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullah berikut ini:
Kita tidak mengkafirkan ahlul kiblat karena satu dosa yang diperbuatnya selama ia tidak menghalalkan perbuatan tersebut, dan kita tidak mengatakan perbuatan dosa itu tidak bermudharat terhadap keimanan. Kita berharap orang-orang yang berbuat baik dari kalangan mukminin agar Allah memaafkan mereka dan memasukkan mereka ke dalam jannah (surga) dengan rahmat-Nya, dan kita tidak merasa aman terhadap mereka dari makar Allah dan kita tidak mempersaksikan surga bagi mereka. Kita mintakan ampun terhadap kesalahan mereka dan kita takut mereka akan mendapat hukuman karena dosa mereka, namun kita tidak putus asa dari rahmat Allah terhadap mereka. Merasa aman dari makar Allah dan putus asa dari rahmat-Nya, keduanya akan memindahkan dari agama Islam sedangkan jalan yang haq berada di antara keduanya bagi ahlul kiblat.” (Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah Syarhun wa Ta’liq Al-Imam Al-Albani, hal. 60-62)
Berkata Ibnu Qudamah Al-Maqdisi: “Kita tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul kiblat karena suatu dosa dan kita tidak mengeluarkan dari Islam seorang pun dari mereka karena melakukan amalan tersebut (amalan dosa).” (Lum’atul I’tiqad ma’a Syarhin, hal. 47)
Namun yang perlu kita ketahui, agama ini punya patokan-patokan (dhawabith) yang dengan patokan tersebut agama ini menghukumi seseorang itu kafir atau tidak. Bukan berarti agama ini tidak mengkafirkan orang-orang yang memang berhak untuk dikafirkan. Tentunya pengkafiran ini kembali kepda patokan tersebut, dan patokan yang kita maksud adalah apa yang dikatakan oleh ahlul ilmi berupa adanya syarat-syarat (syuruth) pengkafiran (pada orang yang dikafirkan) dan hilangnya pencegah-pencegah dikeluarkannya seseorang dari keislaman (mawani’).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Pengkafiran itu memiliki syarat-syarat dan mawani’ yang terkadang mawani’ itu hilang pada diri seseorang.” (Majmu’ Fatawa, 12/487)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hukum mengkafirkan butuh dua perkara penting:
Pertamaadanya dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena di dalam nash terkadang disebutkan secara mutlak bahwa perbuatan itu kufur namun kufurnya tidak mengeluarkan dari Islam, sehingga harus diketahui dengan pasti bahwa nash itu menunjukkan amalan tersebut kufur, atau bila meninggalkan suatu amalan akan membuat pelakunya kufur keluar dari Islam.
Kedua, dalil tersebut pantas diterapkan kepada orang yang melakukan perbuatan kufur tersebut, karena tidaklah semua pelaku amalan kekufuran langsung divonis kafir sebagaimana ditunjukkan hal ini dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.” (Fitnatut Takfir, hal. 41)
Di antara salah satu permisalannya, ada orang yang dipaksa untuk sujud kepada patung, sehingga karena paksaan dan di bawah tekanan ia pun sujud. Perbuatannya merupakan perbuatan kufur namun karena orang ini melakukannya dengan terpaksa, maka ia tidak bisa dikafirkan. Bukankah Allah ta`ala berfirman:
Siapa yang kafir kepada Allah setelah keimanannya, kecuali orang yang dipaksa untuk berbuat/berucap kekufuran sementara hatinya tenang dalam keimanan , akan tetapi siapa yang melapangkan dadanya melakukan kekafiran maka mereka mendapatkan kemurkaan Allah dan untuk mereka azab yang besar.” (An-Nahl: 106)
Mawani’ -sebagaimana dijelaskan dengan nash oleh ahlul ilmi– jumlahnya banyak, sehingga perlu kita camkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak mengkafirkan seorang muslim karena berbuat dosa besar yang diperbuatnya -selain syirik- seperti membunuh, minum khamr, berzina, mencuri, makan harta anak yatim, menuduh wanita yang baik-baik berzina, makan riba dan semisalnya. Akan tetapi waliyyul amr (penguasa) menegakkan hukuman terhadap pelaku dosa besar tersebut berupa hukum qishash, had atau ta’zir dan wajib pelaku dosa besar itu untuk bertaubat dan beristighfar. (Fatawa Lajnah Daimah no. 5003)
Penyebab Kekufuran
Al-Imam Syaikhul Islam Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah berkata: “Aqidah Islamiyyah ini dapat dicacati oleh beberapa perkara. Dan perkara-perkara yang mencacati ini terbagi dua.
Pertama, jenis yang membatalkan aqidah Islamiyyah sehingga pelakunya kafir, na’udzubillah min dzalik.
Kedua, jenis yang mengurangi dan melemahkan aqidah Islamiyyah.
Jenis pertama dinamakan pembatal-pembatal keislaman yang berakibatkan kepada kemurtadan. Pembatal ini bisa berupa ucapan, perbuatan, keyakinan (i’tiqad) dan syak (ragu terhadap agama atau prinsip-prinsip agama).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
(( مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ ))
Siapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah dia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya)
Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang murtad diminta agar mau bertaubat. Bila ia enggan maka dibunuh dan disegerakan baginya menuju neraka.
Murtad karena Ucapan (Riddah Qauliyyah)
Ucapan yang dapat memurtadkan pelakunya, di antaranya mencela Allah, mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyandarkan keaiban kepada Allah seperti mengatakan Allah itu fakir, atau Allah dzalim, atau menyatakan Allah bakhil, Allah tidak mengetahui sebagian perkara, atau Allah tidak mewajibkan shalat kepada kita. Yang demikian ini pelakunya murtad dan diminta agar bertaubat, bila tidak maka ia dibunuh.
Murtad karena Perbuatan (Riddah Fi’liyyah)
Adapun kemurtadan dalam masalah ini seperti meninggalkan shalat, maka pelakunya kafir berdasarkan sabada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
((اَلْعَهْدُ الَّذِي بَْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ, فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ))
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah meninggalkan shalat, siapa yang meninggalkannya maka sungguh ia telah kafir.”
Beliau juga menyatakan:
((بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاةِ))
Antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”
Termasuk pula padanya bila seseorang meremehkan Al-Qur’an atau menajisinya dengan sengaja. Termasuk juga thawaf di kuburan dan mengibadahi pemilik kuburan tersebut. Inilah riddah fi`liyyah. Namun bila yang dimaksudkan melakukan ibadah kepada Allah itu hanya dilakukan di sisi kuburan maka ini adalah bid’ah yang mencacati agama pelakunya dan tidak teranggap sebagai riddah (pelakunya tidak murtad), namun termasuk dalam jenis yang kedua, kufrun duna kufrin (amalan kekafiran yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam). Termasuk pula riddah fi’liyyah adalah menyembelih untuk selain Allah.
Murtad karena Keyakinan (Riddah ‘Aqadiyyah)
Siapa yang meyakini dalam hatinya bahwa Allah itu fakir, atau bakhil, atau Allah dzalim maka ia telah kafir sekalipun ia tidak pernah mengucapkannya. Atau ia meyakini dengan hatinya bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam itu pendusta, atau di antara para nabi ada yang pendusta, atau ia meyakini dengan hatinya bahwa tidak apa-apa beribadah kepada selain Allah. Semua keyakinan ini mengeluarkan pelakunya dari Islam karena Allah ta`ala berfirman:
Yang demikian itu karena Allah adalah Al-Haq sementara apa yang mereka seru selain Allah itu batil.” (Al-Haj: 62)
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لآ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ
Sesembahan kalian adalah sesembahan yang satu, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.” (Al-Baqarah: 163)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
Sehingga siapa saja yang menganggap bahwa boleh beribadah kepada selain Allah dengan pengucapan lisannya, maka ia kafir dengan pengucapan dan keyakinannya bersama-sama. Begitupula jika ia melakukan dengan amalan maka jadilah ia kafir dengan ucapan, amalan dan keyakinan secara bersama-sama.
Termasuk pencacat aqidah secara ucapan, perbuatan dan keyakinan adalah apa yang dilakukan sebagian manusia pada hari ini di sisi kuburan orang-orang shalih dengan berdoa dan istighatsah (minta tolong ketika dalam kesusahan) kepada mereka. Siapa yang melakukan hal ini maka ia diminta bertaubat. Bila ia kembali kepada al-haq, maka ia dibiarkan tetap hidup. Namun bila enggan bertaubat, maka ia dibunuh sebagai orang yang murtad.
Murtad karena Ragu (Riddah bisy Syak)
Contohnya orang yang berkata: “Aku tidak tahu apakah Allah itu sesembahan yang benar atau tidak.” Atau ia berkata: “Aku tidak tahu apakah Muhammad itu jujur atau dusta.” Orang yang seperti ini kafir. Atau ia menyatakan: “Aku tidak tahu apakah hari kebangkitan itu ada atau tidak.” Orang ini kafir dan diminta agar ia bertaubat. Bila enggan maka ia dibunuh.
Adapun bila ia tinggal jauh dari kaum muslimin seperti di hutan belantara yang terpencil (kemudian ia melakukan perkara kekufuran), maka diterangkan kepadanya. Namun bila setelah mendapat penerangan ia tetap terus menerus dalam perbuatan kekufurannya, maka ia dibunuh. Demikian pula orang yang meragukan salah satu dari rukun Islam.
Demikianlah pembatal-pembatal keislaman yang membuat pelakunya murtad dan bila enggan bertaubat maka ia dibunuh.
Jenis kedua, perkara-perkara yang tidak menjadikan pelakunya kafir namun melemahkan keimanannya seperti makan riba, melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan seperti zina, bid’ah dan selainnya. Demikian pula melakukan perayaan maulid nabi yang diada-adakan oleh manusia sejak abad keempat hijriyyah. Hal ini melemahkan aqidah, terkecuali bila dalam perayaan maulid tersebut dilakukan istighatsah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka perbuatan ini bid’ah yang termasuk dalam jenis yang pertama dan mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Termasuk pula dalam jenis yang kedua ini adalah perbuatan thiyarah (menganggap sial dengan burung ataupun tanda-tanda lainnya) sebagaimana diperbuat oleh orang-orang jahiliyyah yang Allah ta`ala telah membantah mereka dalam firman-Nya:
قَالُوْا اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَن مَّعَكَ قَالَ طَائِرُكُمْ عِنْدَ اللهِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تُفْتَنُوْنَ
Mereka mengatakan: kami ditimpa kesialan karenamu dan karena orang-orang yang menyertaimu. Nabi berkata: Bahkan kesialan kalian itu datangnya dari sisi Allah akan tetapi kalian adalah orang-orang yang terfitnah.” (An-Naml: 47)
Thiyarah adalah syirik duna kufrin (yang tidak mengeluarkan dari agama Islam).
Demikian pula perayaan Isra Mi’raj, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan:
((مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ))
Siapa yang mengada-adakan dalam perkara kami ini apa yang bukan bagian darinya maka perkara yang diada-adakan itu tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
(Kaset Al-Qawadih fil Aqidah, Al-Imam Ibnu Baz, dari kitab Qadhiyatut Takfir, hal. 66-70)
Dikutip dari http://www.Asysyariah.com offline Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari, Judul: Bila Pengkafiran Menjadi Sebuah Fenomena
https://qurandansunnah.wordpress.com/2009/11/04/janganlah-mengucapkan-kafir-kepada-saudaramu/