Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Rabu, 29 Maret 2017

Menimba Ilmu Tanpa Batas: Tradisi Ulama Nusantara

Oleh: Beggy Rizkiyansyah
Jika kita tak abai untuk membuka lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan temukan tradisi keilmuan di tanah air yang amat erat hubungannya dengan umat Islam di seluruh dunia. Malah penyebaran Islam di nusantara dilakukan oleh para muslim yang berasal dari berbagai bangsa di dunia,sebut saja dari Hadramaut, India, Haramayn, hingga negeri Cina[1].Tidak hanya berhenti disitu. Murid-murid para ulama tadi, kemudian menyebar, menjelajahi seluruh pelosok negeri, menyiarkan Islam, mendidik kembali, hingga terciptalah jaringan yang amat luas di negeri tanah Jawi (balad al Jawi) ini.
Balad Al Jawi ini pula yang kemudian dikenal sampai jauh di timur tengah sana. Tepatnya di Haramayn; Makkah dan Madinah. Banyak dari ulama-ulama nusantara berguru ke Makkah dan Madinah karena disanalah pusat keilmuan Islam.Orang-orang dari segala penjuru dunia memusat di Haramayn, termasuk dari Balad Al Jawi (Tanah Jawa, yang sebenarnya meliputi seluruh nusantara bahkan hingga ke Kamboja-Vietnam-Thailand)[2].
Di sana ulama-ulama nusantara menimba ilmu kepada guru-guru yang dari berbagai bangsa dan mahzab. Seperti Syeikh Nawawi Al Bantani yang berguru kepada Abdul Hamid Al Dhagestani (Dagestan)[3]; kemudian Syeikh Yusuf Al Maqassari  yang berguru kepada Ibrahim Al Kurani (Kurdi)[4], ada pula ulama besar asal Palembang, Abdushomad Al Palimbani (1704-1789) yang pernah berguru kepada Muhammad Al Jawhari Al Mishri (Mesir), bahkan kepada Muhammad Murad seorang mufti mazhab Hanafi[5]. Sejak lampau pun ulama kita, tiada alergi dan sungkan berguru pada ulama-ulama dari berbagai bangsa. Mereka menjadi bagian dari jaringan ulama internasional, karena ilmu tidak mengenal sekat-sekat kebangsaan. Para ulama tersebut, ketika menuntut ilmu menjadi penuntut ilmu pengembara, berkelana dari suatu daerah kemudian ke daerah lainnya.
Perjalanan Syeikh Yusuf Al Maqassari dapat kita jadikan sebuah teladan betapa gigihnya beliau menuntut ilmu, melintas batas geografis. Ia pernah menuntut ilmu mulai dari tanah India (kepada Umar bin Abdullah Ba Sya’ban), Yaman (kepada Muhammad Bin Al Wajih Al Sa’di Al Yamani), Makkah dan Madinah (Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim Al Kurani), Suriah (kepada Ayyub Al Khalwati, bahkan menurut sebagian pendapat hingga ke Turki[6].
Sebagian para ulama nusantara, setelah menuntut ilmu ada yang kembali ke tanah air, mnyebarkan ilmu, tetapi ada pula yang menetap di timur tengah, khususnya Makkah dan Madinah, untuk mengajar di sana. Seperti misalnya Syeikh Nawawi Al Bantani, pada usia 15 tahun ia menuntut ilmu ke Makkah. Di sana ia belajar kepada Syeikh Abdul Gahni (Bima), dan Syeikh Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan)[7]. Syeikh Nawawi Al Bantani sendiri kemudian kelak menjadi ulama nusantara yang mengajar di Makkah. Ilmunya begitu disegani sehingga ia dijuluki Sayid Al Hijaz. Nama lain yang dapat kita sebut adalah Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawy. Tahun 1876 ia pergi ke Makkah, menuntut ilmu di sana hingga kemudian mencapai kedudukan tertinggi sebagai imama mahzab syafi’I di Masjidil Haram. Kita kemudian paham, bahwa murid-murid Syeikh Ahmad Khatib adalah para ulama nusantara generasi berikutnya, mulai dari KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Haji Rasul (ayah Buya Hamka), hingga Haji Agus Salim[8]. Maka para ulama-ulama kita di tanah suci sana, mereka menyebarkan ilmunya hingga ke pelosok nusantara melalui perantara para murid-muridnya.
Tidak saja ilmu-ilmu itu menyebar melalui murid-muridnya, tetapi juga kitab-kitab mereka yang melintas darat dan lautan hingga ke nusantara.Sejarah kemudian mencatat bahwa kitab-kitab mereka menjadi rujukan bagi para penuntut ilmu di nusantara. Sebut saja misalnya Syeikh Nawawi Al Bantani, yang kitab-kitabnya menjadi rujukan bagi pesantren-pesantren di tanah air hingga kini. Misalnya kitab Tijan Al Darari. Di kitab tersebut belau dengan bangga menyebut gurunya Syaikh Ibrahim Al Bajuri, seseorang yang tentu saja berbeda bangsanya dari beliau. Begitu pula dengan tafsir beliau Marah Labid Tafsir Al Nawawi[9].
Begitu pula dengan Abdushomad Al Palimbani yang  menulis banyak kitab termasuk salah satu kitab khusus jihad yang amat dikenal di nusantara, yaitu Nasihah Al Muslimin fi Fada’il Al Jihad. Kitab inilah yang turut mempengaruhi semangat jihad di Aceh dan disebut-sebut menjadi rujukan Hikayat Perang Sabil. Bahkan Abdusshomad Al Palimbani menjadi ulama nusantara di Haramayn yang turut menggelorakan jihad di nusantara, melalui surat-suratnya kepada penguasa Jawa. Nama lain yang turut membakar jihad melawan penjajah melalui tulisan-tulisannya adalah Daud Fattani. Karyanya, Munya Al Musalli ditujukan kepada muslim Patani untuk melawan kezaliman bangsa Thailand yang hendak menjajah mereka[10].
Terang sekali bagi kita, dalam tradisi keilmuan Islam di Indonesia, bangsa dan  daerah bukanlah momok, tetapi justru menjadi untaian hikmah. Tidak seharusnya kita menjadi alergi dengan guru-guru yang berasal dari luar tanah air. Salah satu contoh guru asal luar tanah air yang amat berpengaruh di Indonesia adalah Syeikh Ahmad Soorkati. Dilahirkan di Sudan tahun 1872, ia adalah salah satu guru agama penerima sertifikat tertinggi dari pemerintah Kesultanan Usmaniyah di Istanbul. Tahun 1911 ia tiba di Jakarta atas undangan Jamiat Khair untuk mengajar. Ia kelak dikenal sebagai salah seorang tokoh Al Irsyad yang amat berpengaruh di bidang pendidikan.[11] Tokoh Masyumi, Muhammad Natsir, mengakui bahwa Syeikh Ahmad Soorkati adalah salah seorang ulama yang amat berpengaruh pada dirinya.
Telah terang dan bertabur contoh betapa tradisi keilmuan para ulama di tanah air kita ini banyak sekali bersinggungan dan saling melengkapi dengan dunia Islam di dunia.Jejaring para ulama dan ilmu-ilmu mereka tak bisa disekat-sekat oleh batas-batas kebangsaan atau geografis. Ketakutan pemerintah atas pengaruh radikal adalah tidak berdasar. Tradisi keilmuan di nusantara justru menunjukkan betapa kita amat dipengaruhi oleh dunia Islam secara luas. Sejarah pernah mencatat bahwa IbrahimAl Kurani, ulama di Haramayn pernah menulis sebuah kitab berjudul Ithaf Al Dzaki bagi umat Islam di Jawi, sebagai penerang untuk kitab tasawuf,  Tuhfat Al Mursalah ila Ruh An-Nabi karya ulama India, Fadlallah Al Hindi Al Burhanpuri (w.1620) . Tuhfat Al Mursalah yang sempat menimbulkan kehebohan di nusantara ini, kemudian disarikan dan dikomentari pula oleh Abdushomad Al Palimbani dalam kitab al Mulakkhas ila at Tuhfah[12]. Inilah upaya ulama nusantara yang menanggapi pengaruh sebuah kitab dari luar untuk bangsanya sendiri. Ada pula tafsir 30 juz pertama karya ulama Nusantara, Tarjuman Al Mustafid yang ditulis oleh Abdurrauf Al Sinkili (1615-1693) dari Aceh.Tafsir ini adalah tafsir yang terpengaruh oleh Tafsir Jalalayn[13].Terang terlihat adanya pengaruh dari luar. Tetapi pengaruh dari luar  ini justru memberikan makna positif bagi keilmuan di nusantara.
Tercatat pula dalam sejarah ketika guru-guru asing membawa pengaruh negatif dalam Islam. Seperti kasus Mirza Wali Ahmad Baig, seorang penyebar paham Ahmadiyah di awal abad ke 20. Awalnya ia diterima sebagai pengajar di komunitas Muhammadiyah, namun seiring perkembangan waktu, paham Ahmadiyah sendiri akhinya terkuak dan ditolak oleh ulama-ulama Muhammadiyah (seperti Haji Rasul) dan Indonesia pada umumnya[14]. Dari contoh ini kita dapat melihat bagaimana ulama-ulama mampu membendung pengaruh negatif di Indonesia.
Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

Ulama, nusantara, jawa, Makkah, dakwah, ilmu
[1] Azra, Azyumardi.  2013. Jaringan Ulama timur tengah dan kepulauan nusantara abad XVII dan XVIII.Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Lihat juga Al Qurtuby, Sumanto. 2009. The Tao of Islam: Cheng Ho and The Legacy of Chinese Muslims in Pre Modern Java. Studia Islamika. Volume 16. No. 1
[2]Lesus, Rizki. Catatan Penghujung Tahun: Dari Patani ke Champa, Merajut Jejak Islam di Nusantara. http://jejakislam.net/?p=576. Diunduh pada 12 Januari 2015.
[3]Burhanuddin, Jajat. 2012. Ulama dan Kekuasaan.Pergumulan Elit Muslim dalamSejarah Indonesia. Mizan: Jakarta.
[4] Azra, 2013.
[5] ibid
[6] Ibid
[7] Jajat,2012. Dan Rachman, Abd. Nawawi. 1996.  Al Bantani, An Intellectual Master of the Pesantren Tradition. Studia Islamika.  Volume 3. No. 3.
[8]Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES: Jakarta
[9]Jajat, 2012 dan Rachman, 1996.
[10]Jajat, 2012.
[11] Noer, 1996.
[12] Fathurrahman, Oman. 2011. Sejarah Pengkafiran dan Marginalisasi Paham Keagamaan Di Melayu dan Jawa (Sebuah Telaah Sumber). Analisis, Volume XI. No. 2.
[13] Riddel, Peter. 1989. Earliest Quranic Exegetic Activity in Malay Speaking States. Archipel volume 38.
[14]Beck, Herman L. 2005. The Rupture Between The Muhammdiyah and The Ahmadiyya dalam Bijdragen Tot de Taal,- Land en Volkenkunde (BKI) 161-2/3.

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

DR. Abdullah Ahmad Perintis Pendidikan Modern Berbasis Islam di Nusantara

Syekh DR. Abdullah Ahmad (lahir di Padang Panjang, 1878 – meninggal di Padang, 1933 pada umur 55 tahun) adalah seorang ulama reformis yang mendirikan Sekolah Adabiah (1909) dan PGAI di Padang (1919) serta turut membidani lahirnya perguruan Sumatera Thawalib Padangpanjang (1921 di Surau Jembatan Besi yang telah berdiri sejak 1914) sebagai cikal bakal Sumatera Thawalib di Sumatera Barat,. Beliau adalah anak dari Haji Ahmad, ulama Minangkabau yang juga seorang pedagang, dari seorang ibu yang berasal dari BengkuluAda kebiasaan keluarga Minangkabau di Sumatera West-Kunde pada zamannya yaitu seorang ulama haruslah melahirkan anak ulama pula.  
Gambar 
Abdullah Ahmad menyelesaikan pendidikan dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah dan sedari kecil memperoleh pendidikan agama dari ayahnya. Pada tahun 1895, Abdullah Ahmad pergi ke Mekkah dan kembali ke Indonesia pada tahun 1899. Pada masa itu adalah kebanggaan dan harapan kepada anak anak generasi di Minangkabau untuk belajar ke Mekkah ataupun ke Kairo (Mesir). Abdullah Ahmad adalah salah satu dari kebanggaan itu.
Gambar
Pada masa itu pula di Masjidil Haram Makkah banyak berperan para Ulama yang berasal dari dunia Melayu yang sudah berjalan sambung bersambung dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam jarak waktu cukup panjang dan pernah ada yang menjadi imam khatib dalam Mazhab Syafie di Masjid al-Haram Mekah, diantaranya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani (Patani, Thailad Selatan) dan disusul  seratus tahun kemudian oleh Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy (lahir Isnin, 6 Zulhijjah 1276 H/26 Juni 1860 M, wafat 9 Jamadilawal 1334 H/13 Maret 1916 M) dan Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Kudus (lahir 1277 H/1860 M, riwayat lain dinyatakan lahir 1280 H/1863 M, wafat 1334 H/1915 M), yang sangat terkenal dalam pelbagai bidang yang mereka tekuni.

Diantara ketiga Syeikh itu, terlihat murid Syaikh Khatib banyak sekali. Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya HamkaSyaikh Muhammad Djamil Djambek pendiri Surau Inyik Djambek di BukittinggiSyaikh Sulaiman Ar-Rasuli pendiri MTI Candung, Syaikh Muhammad Jamil Jaho pendiri Madrasah Tarbiyah di Jaho Padang Panjang, Syaikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syaikh Abbas Abdullah pendiri Darul Funun Padang Japang Suliki, Syaikh Khatib Ali penggagas Thawalib PadangSyaikh Ibrahim Moesa pendiri Thawalib ParabekSyaikh Mustafa Husein pendiri Musthafawiyah Purba BaruMandailing, dan Syaikh Hasan MaksumMedanK.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan, yang mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Semua gerakan pendidikan pencerdasan umat itu berumur mendekati satu abad.
Gambar
Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai membuktikan pemikiran, manakala Islam bermaksud tetap memajukan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Inilah ciri khas alim ulama yang cita-citanya ditemukan kembali dalam agama. Cara berpikir seorang alim ulama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan.

Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam yang meletakkan ilmu pada darjah mulia dan pendidikan adalah upaya meraihnya.

Diantara mata rantai itu adalah DR. Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933) yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, bersama Abdul Karim Amrullah, ia menjadi orang Indonesia terawal yang memperoleh gelar doktor kehormatan (1926) dari Universitas Al-Azhar, yang justeru diterimanya di tengah Kongres Khilafat persidangan akbar ulama ulama Islam sedunia di Kairo (Mesir), yang memberikan penghargaan (Honoris Causa) dibidang pendidikan agama yang mengajar di Padang Panjang, sekembalinya dari Mekkah, serta ikut mendirikan Sumatera Thawalib yang berawal dari pengajian Zuama, di Masjid Jembatan Besi, Padangpanjang, sembari memberantas bid’ah dan tarekat.
Gambar 
Pendidikan Islam sistim halaqah di surau yang kemudian berpindah dengan sisitim kelas telah menggugah pula kaum perempuan Minangkabau untuk ikut aktif dalam bidang pendidikan ini.
DR.Abdullah Ahmad lebih tua dari Ki Hajar Dewantoro atau Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (2 Mei 1889 – 26 April 1959), pendiri Taman Siswa di tahun 1922, telah dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.  
Jauh sebelum Taman Siswa itu ada, di Padang telah didirikan oleh Syaikh DR. Haji Abdullah Ahmad sebuah Sekolah Adabiyah pada tahun 1909 dan bersama dengan para Ulama Minangkabau didirikan Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAIdi Jati, Padang tahun 1919 dan kemudian diakui sebagai satu Perkumpulan Islam yang saat itu disebut dengan Rechts person No.67 thn.1920 tertanggal 7 Juli 1920.
Berarti PGAI tiga tahun lebih tua dari Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa yang didirikan 3 Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantoro aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda.
Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo.
Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Syekh Taher Djalaluddin, berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898), karena itu beliau memakai nama Al Azhary dibelakang namanya. Kemudian kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900.
Gambar
Beliau sangat ahli di bidang ilmu falak, dan muridnya adalah Syekh Muhammad Djamil Djambek. Pada tahun 1900 itu pula, Syekh Taher Djalaluddin pulang dan menetap di Malaya, diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak.
Syekh Taher Djalaluddin merupakan seorang tertua bahkan dianggap sebagai guru oleh kalangan pembaru di Minangkabau. Gerakan pemikiran beliau telah mewarnai para zuama antaranya DR.H.Abdullah Ahmad.

Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah Al-Iqbal al-Islamiyah yang didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah ini kemudian menjadi model Sekolah Adabiyah atau Adabiah School yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada 1909 lebih dari 100 tahun yang lalu dengan bantuan Jamaah Adabiah, terutama pedagang pedagang kota Padang yang tergabung dalam Serikat Oesaha pimpinan Taher Marah Sutan[1] berarti 3 (tiga) tahun sebelum HOS Cokroaminoto mendirikan SI (Sarekat Islam) 1912. Pemakaian kata SO =  Serikat Oesaha — menjadi bukti otentik –bahwa para pendiri memiliki pandangan jauh kedepan dalam pengelolaan pendidikan dalam satu Serikat Oesaha – tijaratan tunji kum min ‘adzabin alim – yaitu Iman kepada Allah, sebagai buah dari pengajian Jamaah Adabiah, suatu komunitas pendengar pengajian Syekh DR. Abdullah Ahmad yang diselenggarakan dua kali dalam sepekan sejak beliau pindah dari Padangpanjang ke Padang 1906.
Syekh Abdullah Ahmad adalah motivator dan penggerak amal nyata dalam perannya sebagai ulama besar yang mempelopori banyak pembaruan social sampai akhir hayat beliau meninggal pada 1933 diusia tergolong masih muda 55 tahun. Alfatihah. 
Perguruan Adabiah berkembang dibawah asuhan YSO ADABIAH sampai sekarang iniKata “Adab” menyimpan makna mulia. Mencipta generasi dengan karakter beradab, beretika dalam kandungan akhlaqul karimah dengan keimanan dan keikhlasan mem­ben­tuk adab generasi bangsa.
Gambar
Nama Adabiyah telah dipakai oleh DR. Haji Abdullah Ahmad sejak 1906 dan memberikan pengajian di Masjid Ganting dan mengadakan juga Wirid Jamaah Adabiyah yang dibinanya di masa itu diikuti oleh pedagang pedagang kota Padang dua kali sepekan dengan murid atau komunitas pendengarnya mencapai jumlah 300 orang pedagang dan menggerakkan untuk melakukan berbagai bidang amal nyata para aghniyak pedagang di Kota Padang.[2]
Sekolah Adabiah menurut penelitian Mahmud Yunus sebagaimana diulangkan kembali oleh Hasril Caniago adalah Madrasah pertama di Minangkabau bahkan di Indonesia, karena menurut penyelidikannya tidak ada madrasah atau sekolah serupa yang didirikan lebih dulu dari Sekolah Adabiah[3]
Dalam perkembangannya ditahun 1915 sistim pendidikan diubah menjadi HIS Adabiah yang merupakan sekolah umum pertama yang memasukkan pelajaran agama Islam dan Al Qur’an sebagai mata pelajaran wajib dalam sistim atau kurikulumnya. Inilah yang membedakannya dengan HIS yang didirikan pemerintah Belanda.[4]
Gambar
Disinilah sebenarnya keunggulan kepeloporan DR.Abdullah Ahmad sebagai Perintis Pendidikan Modern Berbasis Islam di Nusantara. Langkah beliau ini diikuti oleh Syekh Haji Muhamad Thaib Umar yang mendirikan Sekolah Agama di Batusangkar pada tahun 1909 itu juga, namun tidak lama bertahan hidup, dan kemudian di tahun 1910 Syekh H.M.Thaib Umar mendirikan sekolah agama di Sungayang Batusangkar dengan nama Madras School (sekolah Agama).[5]

Setelah itu, surau surau di Minangkabau yang selama ini menjadi pusat pembinaan anak nagari mengubah pendidikan agama di suraunya dengan cara berkelas seperti yang telah dimasyhurkan oleh DR.Abdullah Ahmad dan DR. Abdul Karim Amarullah.
Gambar
Gerakan itu diikuti oleh Syekh Ibrahim Moesa Parabek dengan mendirikan Sumatera Thawalib Parabek (1921) — sebelumnya sudah ada Surau Inyik Syekh Ibrahim Moesa Parabek yang berdiri sejak 1914 –.

Gambar
Kemudian diikuti berdirinya Diniyah School Puteri atau Madrasah Diniyah Puteri di Padangpanjang oleh Rky.Syaikhah Rahmah el Yunusiah pada Nopember 1923 yang merupakan madrasah diniah puteri pertama di Indonesia[6].

Gambar
Diniyah Puteri Bangkaweh
Lengkaplah gerakan pencerdasan umat oleh para pejuang pendidikan melalui sistim pendidikan Thawalib dan Diniah diikuti oleh banyak nagari di Sumatera Barat dan Nasional Indonesia serta Nusantara.
 DR.Abdullah Ahmad dimasa hidupnya dikenal sebagai Da’i, Muballigh, Alim Ulama, Inyik Syaikh DR yang disegani. Beliau juga seorang Wartawan yang memiliki pandangan jauh demi agama bangsa dan negara merdeka.
Gambar
Dalam memupuk jiwa nasionalisme melalui penyebaran Majalah Bulanan Al-Imam yang memuat artikel tentang pengetahuan popular, komentar kejadian penting di dunia, terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan mendorong umat Islam betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang merdeka dan tidak dijajah. Melalui majalah ini Syekh DR. Abdullah Ahmad ikut mendorong agar umat Islam mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan dunia barat. Al-Iman sering mengutip pendapat dari Mohammad Abduh dari majalah Al-Mannar di Mesir.
Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan Jawi, dan disebarkan di Indonesia meliputi tanah Jawa (Betawi, Jakarta, Cianjur, Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (Pontianak dan Sambas), Sulawesi (Makassar).
Kemudian di Padang, DR.Abdullah Ahmad pada 1 Rabi’ul Akhir 1329 H/1 April 1911 M menerbitkan majalah Islam pertama di Minangkabau, bahkan pertama di Indonesia dengan nama Al Munir[7] dibantu oleh Syekh Abdul Karim Amarullah dan Syekh H.Muh.Thaib Umar dari Sungayang. Majalah itu telah menggunakan bahasa Indonesia (Melayu) sejak 17 tahun jelang“sumpah pemuda” di ikrarkan 28 Oktober 1928 berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia.
DR.Abdullah Ahmad adalah Cendekiawan Minangkabau dan Bengkulu. Pendidik dari Padangpanjang berasal dari keluarga aghniyak yang disegani dan tampak sewaktu pergi berdakwah dari Padang ke Padang Panjang memakai kenderaan motorfeet yang jarang dipunyai oleh seseorang dizaman itu.
Beliau seorang penyantun, kuat memegang prinsip dan memiliki cita cita tinggi. DR.Abdullah Ahmad adalah Pejuang pendidikan yang tangguh dan rela berbakti dengan harta dan waktu. Buktinya di rasakan nyata hingga masa kini setelah lebih satu abad sepeninggal Beliau di Kota Padang adalah Adabiah dan PGAI di Jati, Padang, yang masih tetap eksis sejak didirikan tahun 1919 lalu.
PGAI didirikan bersama sama oleh ulama Sumbar, antara lain Syekh DR. H. Abdul Karim Amarullah, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Moesa Parabek, Syekh H.Daud Rasyidi Balingka, Syekh Kadir Muhammad Air Bangis, Syekh Muhammad Zen Imam Batusangkar, Syekh Abdul Majid Karim Padang, Ustadz Zainuddin Labay Yunus Padangpanjang, Haji Ahmad Yunus Padang, Tuanku Imran Limbukan Payakumbuh, Haji Ahmad Kotogadang Bukittinggi, Haji Abdul Rasyid Maninjau, Haji Muhammad Noer Kadli Sumpur, Pakih Makhudum Solok, Haji Sutan Darab Pariaman dengan Presidennya adalah Dr Abdullah Ahmad. Sejak berdirinya PGAI menjadi tempat diskusi dan bertukar pikiran para ulama semacam Islamic Center of Excelent.
Pada tahun 1920, DR.Abdullah Ahmad telah mendirikan panti asuhan Anak Yatim PGAI di Jati Padang, dan pada tahun itu telah mampu membeli dua persil tanah verp. No.1312 dan no.1318 seluas 55.000 m2 yang ada sampai sekarang.[8]  
Namun karena tidak ada sekolah untuk anak-anak tersebut, maka para ulama ini berinisiatif mendirikan sekolah agar anak yatim tetap bisa mengenyam pendidikan seperti anak-anak priyayi di masa itu. Tenaga pengajarnya adalah para ulama, yang menitikberatkan kurikulum pada pendidikan pengetahuan umum berbasis agama Islam.
Kemudian sepuluh tahun setelah itu atau tepat 1930, Normal Islam School resmiberdiri menyaingi sekolah-sekolah umum yang banyak didirikan Belanda. Sekolah ini memfokuskan pada pelajaran agama Islam. Hingga melahirkan banyak mubaligh yang kemudian menyebar ke seluruh nusantara. Salah satu alumninya adalah Imam Zarkasih yang kemudian mendirikan madrasah yang sekarang dikenal dengan nama Pondok Pesantren Modern Gontor di Jawa Timur. Di sekolah sekolah asalnya ataupun yang didirikan oleh alumnus alumnus  tersebut disiplin dilakukan secara ketat. Bahasa pengantar dalam setiap mata pelajaran disampaikan dalam bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia. Sehingga pada masanya, PGAI mampu bersaing dengan sekolah-sekolah elit Belanda.
Melihat pesat perkembangan PGAI, menimbulkan kecurigaan pihak Belanda, akhirnya menutup sekolah PGAI beberapa saat sebelum Jepang masuk ke Indonesia.
Namun, sampai sekarang, sesudah Indonesia Merdeka, bangunan masih mepertahankan keaslian bekas gedung Normal Islam School yang bercorak Eropa tetap pada bentuk aslinya, walau dengan renovasi sesuai keperluan dan tuntutan zaman.
GambarGambar
Maka, keberadaan Adabiah, PGAI yang telah dirintis oleh DR. Abdullah Ahmad sesungguhnya lahir dari keikhlasan semangat kebangsaan dan kecintaan serta jiwa nasionalisme Indonesia dengan berjuang menentang penjajahan guna merebut kemerdekaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui jalur pendidikan mencari redha Allah yang tetap hidup dan berkembang hingga hari ini.


Wallahu a’lami bis-shawaab.


Bio Data Penulis ; H. Mas’oed Abidin, Lahir tanggal  :  11 Agustus 1935 di  Kotogadang, Bukittinggi,  Anak dari  : H.Zainal Abidin bin Abdul Jabbar Imam Mudo dan Khadijah binti Idriss. Jabatan sekarang  : Ketua Umum Masjid Raya Al Munawwarah Siteba, Surau Gadang, Kec. Nanggalo, Padang., Ketua Umum Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Prov. Sumbar,  masoedabidin@hotmail.com


[1] Abrar Yusra dalam “Azwar Anas, Teladan dari Ranah Minang”, pengantar Taufik Abdullah, ISBN: 978-979-709-585-7, Penerbit Buku Kompas, Agustus 2011, hal.12. Catatan ; Taher Marah Sutan adalah ayanda dari DR.Tirmidzi Taher pernah menjabat Menteri Agama RI dan Dubes RI dibanyak Negara di Eropah.
[2]  Perlu juga dingat bahwa Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 16 Oktober 1905  awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam,  dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Menurut asusmsi kita, tahun tahun pergerakan SDI 1905 itu ikut mendorong  giatnya wirid Jamaah Adabiah yang mulai ada 1906 di Padang itu. Wallahu a’lamu.
[3]  Hasril Chaniago, “101 Orang Minang di Pentas Sejarah”, ISBN: 978-979-3478-19-7, Pengantar Prof.DR.Mestika Zed, Penerbit Yayasan.Citra Budaya Indonesia, Padang, Cet.I,Januari 2010,  hal. 132-135.
[4] Ibid. Hasril Chaniago, hal.134.
[5] Prof. H. Mahmud Yunus, “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia” , Kode Penerbit: 005-I-M, PT Mutiara Sumber Widya, Jakarta Pusat, Cet.I, 1962, hal.63.
[6] Ibid. hal.69
[7]  Ibid.hal.79
[8] Buku Kenang-Kenangan PGA 6 th PGAI, stensilan, Padang 21 September 1968, hal. 10 – 15.

https://blogminangkabau.wordpress.com/2013/10/

Inilah 8 Muhaddits Hebat dari Indonesia

Syeikh Yasin tidak menyebutkan bahwa dirinya adalah salah satu dari 7 ulama Nusantara yang benyak memiliki periwayatan
Syeikh Yasin Al Fadani bersama para guru di Darul Ulum Makkah

AL MUSNID AL ASHR SYEIKH YASIN AL FADANI menyebutkan bahwa siapa saja yang meriwayatkan hadits, baik yang memiliki ilmu tentangnya atau tidak maka ia bisa disebut sebagai musnid. Namun di kurun terakhir, tidak bisa seseorang disebut sebagai musnid kecuali memiliki periwayatan yang cukup banyak yang bersambung kepada para imam dari barat hingga timur.
Dan muhaddits yang bermakna sesuai dengan klasifikasi di atas bisa dipenuhi syaratnya oleh 130 ulama dari Nusantara, yang mencakup Indonesia, Malaysia dan Thailand. Dan dari mereka, ada 7 ulama yang memiliki periwayatan paling banyak dan semua berasal dari Indonesia. Dalam komentarnya terhadap Kifayah Al Mustafid li ma ‘Ala min Al Asanid Syeikh Yasin Al Fadani memperinci ke 7 ulama tersebut, diantaranya adalah:
  1. Al Muhaddits As Syaikh ‘Aqib bin Hasanuddn Al Falimbani
Ulama ini disebut Syeikh Yasin Al Fadani sebagai ulama yang paling banyak periwayatannya dari 7 ulama tersebut. Ulama yang wafat tahun 1182 H itu mengambil periwayatan dari Abdullah Al Bishri, Ahmad An Nakhli serta lainnya.
  1. Syeikh Abdush Shamad bin Abdirrahman Al Atsyi
Seorang ulama shufi yang menisbatkan diri dengan propinsi Aceh ini juga dikenal dengan penisbatan Falimbani. Syeikh Abdush Shamad ini mengambil periwayatan dari Syeikh Yahya bin Umar Maqbul Ahdal, Sayyid Umar bin Ahmad bin Aqil As Saqqaf juga murid dari Syeikh ‘Aqib bin Hasanuddin Al Falimbani. Ulama yang wafat tahun 1211 H ini sendiri merupakan guru dari Sayyid Ulama Hijaz Syeikh Nawawi Al Bantani.
Syeikh Abdush Shamad juga memiliki seorang anak perempuan yang juga menjadi ulama besar di Makkah, yakni Syaikhah Fatimah yang kumpulan periwayatannya dibukukan di Al Faharis Al Qaimah.
Sedangkan Syeikh Abdush Shamad menulis periwayatannya dalam kitab An Nur Al Ahmadi.
  1. Syeikh Abdul Ghani bin Shabhi Al Bimawi
Syeikh Abdul Ghani bin Shabhi Al Bimawi adalah murid dari Muhaddits Surabaya As Sayyid Syeikh Ahmad bin Abdillah.  Sedangkan Syeikh Mahufudz At Tarmasi adalah murid dari  ulama ini.
  1. Syeikh Mahufdz At Tarmasi
Ulama yang wafat tahun 1338 H ini menimba ilmu dari ayahnya Syeikh Abdullah At Tarmasi, Syeikh Muhammad Shalih bin Umar As Samarani serta Sayyid Abu Bakr Syatha.
Syeikh Mahfudz Termas termasuk ulama Nusantara yang produktif menulis. Sejumlah karyanya antara lain Manhaj Dzawi An Nadzar yang merupakan syarh Alfiyah hadits Imam As Suyuthi, Mauhibah Dzi Al Fadhl kitab fiqih 4 jilid, Nail Al Ma’mul yang merupakan kitab ushul fiqih dalam 3 jilid, Is’af Ath Thali’ juga mengenai ushul fiqih dalam 2 jilid.
Periwayatan Syeikh Mahfudz Termas dibukukan dalam Kifayah Al Mustafid li ma A’ala min Al Asanid.
Sejumlah ulama besar Nusantara yang berguru kepada Syeikh Mahfudz antara lain, Kyai Hasyim Asy’ari, Kyia Wahab Chasbullah, Kyai Nawawi Pasuruan. Sedangkan dari kalangan Arab, murid yang mencolok adalah Muhaddits Al Haramain, Syeikh Umar Hamdan Al Mahrisi.
  1. Syeikh Abdul Hamid Qudus
Sejumlah pihak menyebut bahwa Qudus adalah penisbatan kepada sebuah wilayah di Yaman, namun sebagian penyebut bahwa Qudus adalah penisbatan kepada kota Kudus Jawa Tengah. Syeikh Yasin sendiri termasuk berpendapat dengan pendapat ke dua, hingga ia memasukkan Syeikh Abdul Hamid dalam jajaran muhaddits Nusantara.
Syeikh Abdul Hamid Qudus disebut sebagai ulama mutafannin, yakni menguasai banyak disiplin ilmu. Sejumlah karya yang dihasilkan antara lain Irsyad Al Muhtadi yang membahas ilmu tauhid, Al Anwar As Saniyah yang membahas fiqih, Lathaif Isyarat tentang ushul fiqih, Kanz An Najah dalam masalah akhlak, juga beberapa karya lainnya.
Syeikh Abdul Hamid Qudus berguru kepada ayahnya Syeikh Muhammad Ali Qudus. Sedangkan salah satu muridnya dari ulama Nusantara adalah Sayyid Ali bin Husain Al Aththas, Cikini Jakarta.
Periwayatan Syeikh Abdul Hamid Qudus dibukukan dalam Al Mafakhir As Saniyah fi Al Asanid Al Aliyah.
  1. Sayyid Muhammad Muhktar bin Athar Al Bughuri
Ulama yang menisbatkan diri dengan wilayah Bogor ini juga masyhur dengan penisbatan Al Batawi. Syeikh Yasin memasukkan ulama ini ke dalam jajaran ulama Nusantara yang memiliki banyak periwayatan.
  1. Sayyid Salim Jindan
Syeikh Sayyid Salim Jindan adalah seorang ahli nasab atau nassabah. Ulama ini dimasukkan ke dalam kelompok dari mereka yang memiliki banyak periwayatan karena memiliki guru lebih dari 100 orang.
  1. Musnid Al Ashr Syeikh Yasin Al Fadani
Nama Syeikh Yasin, sebagai ulama Nusantara yang memiliki banyak periwayatan merupakan hal yang tidak asing bagi penuntut ilmu. Ulama ini telah mengambil periwayatan dari Ulama Hijaz, Yaman, Mesir, Syam, Iraq, India juga Indonesia sendiri. Gurunya mencapai labih dari 170 ulama. Periwayatan ulama ini sendiri dibukukan dalam Bulugh Al Amani yang disusun oleh muridnya Syeikh Muhammad Mukhtaruddin Al Falimbani. Juga dibukukan dalam Tashnif Al Asma’ yang dibukukan oleh muridnya dari Mesir Syeikh Mahmud Said Mamduh Al Qahiri As Syafi’i.
Syeikh Yasin tidak menyebutkan bahwa dirinya adalah salah satu dari 7 ulama Nusantara yang benyak memiliki periwayatan. Namun ia menyebutkan bahwa jumlah gurunya juga sebanyak guru Syeikh Salim Jindan, yakni lebih dari 100 orang. Dan para ulama dunia Islam juga mengakui bahwa Syeikh Yasin memiliki banyak periwayatan, sebab itu ia dijuluki sebagai al musnid al ashr, yakni musnid abad ini.*

Rep: Sholah Salim
Editor: Cholis Akbar
https://www.hidayatullah.com/spesial/ragam/read/2015/02/10/38440/inilah-8-muhaddits-hebat-dari-indonesia.html

Makna Filosofi 10 Semboyan Wali Songo


Thefilosofi.blogspot.com - Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. 

Kata "wali" antara lain berarti pembela, teman dekat, pemimpin. Dalam pemakaiannya, kata ini biasa diartikan sebagai orang yang dekat dengan Alloh Ta'ala. Adapun kata "songo" berarti sembilan. Maka walisongo diartikan sembilan wali yang dianggap telah dekat dengan Alloh Ta'ala, terus menerus ibadah kepadaNya serta memiliki kekeramatan dan kemampuan kemampuan lain diluar kebiasaan manusia.
Anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu: 
  • Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
  • Sunan Ampel atau Raden Rahmat
  • Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
  • Sunan Drajat atau Raden Qasim
  • Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq
  • Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
  • Sunan Kalijaga atau Raden Said
  • Sunan Muria atau Raden Umar Said
  • Sunan Gunung Jatiatau Syarif Hidayatullah
Para Wali soongo mempunyai semboyan yang terekam hingga saat ini adalah : 
  1. Ngluruk Tanpo Wadyo Bolo / Tanpo pasukan tentara : Berdakwah dan berkeliling kedaerah lain tanpa membawa pasukan. Jangan yakin dengan banyaknya jumlah kita,…..yakin dengan pertolongan Allah swt. 
  2. Mabur Tanpo Lar/Terbang tanpa Sayap : Kita bergerak jumpa umat…dari orang ke orang…. jumpa ke rumah-rumah mereka ..Pergi kedaerah nan jauh walaupun tanpa asbab/ sebab yang nampak.
  3. Mletik Tanpo Sutang/Meloncat Tanpa Kaki : Pergi kedaerah yang sulit dijangkau seperti gunung-gunung juga tanpa sebab yang kelihatan. Niat untuk dakwah keseluruh alam, Allah swt yg berangkatkan kita bukan asbab-asbab dunia seperti harta dsb…
  4. Senjoto Kalimosodo : Kemana-mana hanya membawa kebesaran Allah SWT. selalu mendakwahkan kalimat iman, mengajak umat pada iman dan amal salih….(Kalimosodo : Kalimat Shahadat)
  5. Digdoyo Tanpo Aji : Walaupun dimarahi, diusir, dicaci maki bahkan dilukai fisik, perasaan dan mentalnya namun mereka seakan-akan seperti orang yang tidak mempan diterjang bermacam-macam senjata. Kita dakwah, Allah swt akan Bantu (jika kalian Bantu Agama Allah, maka pasti Allah akan tolong kalian dan Allah akan menangkan kalian)
  6. Perang Tanpo tanding : Dalam memerangi nafsunya sendiri dan mengajak orang lain supaya memerangi nafsunya. Tidak pernah berdebat atau bertengkar. dakwah dengan hikmah, kata-kata yg sopan, ahlaq yg mulia dan doa menangis-menangis pada Allah agar umat yg kita jumpai dan umat seluruh alam dapat hidayah….bukan dengan kekerasan…. Nabi saw bersabda yg maknanya kurang lebih : ‘Haram memerangi suatu kaum sebelum kalian berdakwah (berdakwah dgn hikmah) kepada mereka” 
  7. Menang Tanpo Ngesorake/Merendahkan : Mereka ini walaupun dengan orang yang senang, membenci, mencibir, dan lain-lain akan tetap mengajak dan akhirnya yang diajak bisa mengikuti usaha agama dan tidak merendahkan, mengkritik dan membanding-bandingkan, mencela orang lain bahkan tetap melihat kebaikannya.
  8. Mulyo Tanpo Punggowo : Kemuliaan hanya dalam Iman dan Amalan agama bukan dengan banyaknya pengikut. Dimulyakan, disambut, dihargai, diberi hadiah, diperhatikan, walaupun mereka sebelumnya bukan orang alim ulama, bukan pejabat, bukan sarjana ahli tetapi karena menjadi Da’i yang menjadikan dakwah maksud dan tujuan hidup, maka Allah swt muliakan mereka.
  9. Sugih Tanpo Bondo : Mereka akan merasa kaya dalam hatinya. Keinginan bisa kesampaian terutama keinginan menghidupkan sunnah Nabi, bisa terbang kesana kemari dan keliling dunia melebihi orang terkaya didunia. Jangan yakin pada harta….kebahagiaan dalam agama, dakwah jangan bergantung dgn harta
  10. Kuncara Tanpo Woro-woro : Menyebar, terkenal tanpa gembar-gembor, propaganda, iklan-iklan dsbartinya bergerak terus jumpa umat, kerja untuk umat, kerja untuk Agama dengan ikhlas karena mengharap Ridho Allah swt, tidak perlu disiar-siarkan atau di umum-umumkan. Allah sajalah yang menilai perjuangan kita.
Pesan Walisongo Sunan Kalijogo adalah :  
“Yen wis tibo titiwancine kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal – enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh (hidayah) saka gisti Allah” Artinya kurang lebih :
“Jika sudah tiba zamannya dimana sungai2 hilang kedalamannya (banyak org yg berilmu yg tdk amalkan ilmunya), pasar hilang gaungnya, jika masjid2 tak ada adzan, wanita2 hilang malunya (tdk tutup aurat dsb) maka cepat2lah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa (dari kampung ke kampung) dari pintu ke pintu (dari rumah ke rumah utk dakwah) janganlah pulang sebelum mendapat hidayah dari Allah SWT.”
  1. Yen kali ilang kedunge : jika sungai sudah mulai kering... jika sumber air sudah mulai kering.. maksudnya jika para alim ulama sumber ilmu sudah mulai wafat satu persatu...maka ini alamat bahwa dunia mau di-Qiamatkan Allah SWT. Ulama ditamsilkan seperti air yang menghidupkan hati2 manusia yang gelap tanpa cahaya hidayah.. 
  2. Yen pasar ilang kumandange : Jika pasar sudah mulai diam.. maksudnya jika perdagangan sudah tidak dengan tawar-menawar karena banyaknya mall dan pasar swalayan yang berdiri. kata orang2 tua kita dahulunya semua pasar memakai sistem tawar menawar sehingga suaranya begitu keras terdengar dari kejauhan seperti suara lebah yang mendengung.. ini kalo aku boleh beri istilah adalah adanya kehangatan dalam social relationship dalam masyarakat.. tapi sekarang sudah hilang...biarpun kita sering ke plasa atau ke supermarket ratusan kali kita tidak kenal para pelayan dan cashier di tempat itu..
  3. Yen wong wadon ilang wirange : Jika wanita sudah tidak punya rasa malu...... 
  4. Enggal-enggal topo lelono njajah deso milangkori ojo bali sakdurunge patang sasi, enthuk wisik soko Hyang Widi : Bermujahadah, susah payah berkelana dalam perjalanan ruhani guna memperbaiki diri atau perjalanan fisabilillah menjelajahi desa-desa/ negara-negara, menghitung pintu (bersilaturahim) jangan pulang2 sebelum selesai program 4 (empat) bulan, cari petunjuk, hidayah dan kepahaman agama dari Dzat yang Maha Kuasa..
Sumber: http://dakwahe.blogspot.com