Kontributor: Amrullah Hakim
Teman baikku, Arief, mengingatkan untuk menulis tentang Gus Dur. Usulan yang menarik walaupun menurut saya, sangat tidak pada tempatnya untuk menulis tentang tokoh besar ini. Sebenarnya juga saya ingin tahlil-an bersama di ciganjur, tapi kondisi rumah tidak memungkinkan untuk itu.
Saya lahir di lingkungan Muhammadiyah yg kolot dan cenderung “wahabi”, jadi dari kecil saya terbiasa dengan cara2 Muhammadiyah, kakek saya meninggal, ya ngga ada tahlil, di masjid ya ngga pakai puji-pujian, abis sholat ya ngga pakai wiridan yang keras bersama-sama. Ziarah kubur ya ngga dipentingkan. (Belakangan, wajah Muhammadiyah muda lebih ke ahlus sunnah wal jamaah). Untunglah, Ibu saya (yang memang berketurunan orang dari daerah pesisir) tetap mengajari untuk selalu terbuka terhadap pemikiran orang lain bahkan dengan kebiasaan orang lain.
Sorry terpotong sebentar, ternyata saya bisa meluncur ke tahlilan Gus Dur.
Luar biasa antusias jamaahnya. Saya sungguh berterima kasih atas kesempatan ini. “Thanks Mel, for giving me permission to get there.”
Sms ibu saya: “berdoalah!”, Ayah saya: “Selamat”. Saya sendiri belum sempat bertanya makna sms singkat ini.
Kembali ke masa sekolah saya, kebetulan di kota kelahiran saya, Jember, ada pengajian tiap Rabu malam, disponsori oleh Bank Bumi Daya waktu itu, pengajian yang diisi oleh tokoh NU dan Muhammadiyah bergantian. Pak Sutjipno mewakili Muhammadiyah, Pak Bahar yang netral bicara tentang Sejarah Islam, dan Gus Yus (wakil NU) dengan tema Tauhid. Ayah saya aktif di pengajian ini dan mengajak saya ikut serta. Waktu itu saya kelas 3 SMP atau 1 SMA, saya agak lupa. Mungkin karena mewakili Muhammadiyah dan NU inilah, pengajian ini bisa menarik hati orang tua saya. Bahkan kemudian Ayah saya berlanjut ke pengajian setiap Jumat pagi di Pesantren Gus Yus.
Sangat banyak tulisan mengenai Gus Dur akhir-akhir ini, yang mungkin mewakili betapa besarnya tokoh bangsa ini. Saya coba untuk mengambil cuplikan-cuplikannya:
1. Gideon Rachman dalam Financial Times
Bercerita tentang guyonan Gus Dur tentang cara beribadah. “Have you noticed,” he said, “that when the Jews pray, they stand by a wall and whisper. The Christians kneel and speak very quietly. But we Muslims stand in a tower and shout through a megaphone. It makes you wonder who is closer to God.”
2. Budiarto Shambazy dalam artikelnya “Politik Luar Negeri Gus Dur”:
Pernyataan politik luar negeri perdana Gus Dur mengumumkan rencana pembukaan hubungan dagang dengan Israel. Ada dua alasan: pertama, menggairahkan hubungan dengan lobi Yahudi. Indonesia paling tidak bisa minta tokoh Yahudi, George Soros, tak mengacaukan pasar uang/modal untuk menghindari krisis moneter. Kedua, meningkatkan posisi tawar Indonesia menghadapi Timur Tengah yang tak pernah membantu Indonesia mengatasi krisis moneter. Melalui Menlu Alwi Shihab, Gus Dur setidaknya mengintrodusir tiga elemen politik luar negeri. Pertama, menjaga jarak sama dengan semua negara, kedua hidup bertetangga baik, dan ketiga ”kebajikan universal”.
Gus Dur membujuk Singapura menyetujui pembentukan Forum Pasifik Barat dalam KTT ASEAN di Singapura, November 2000. Menteri Senior Lee Kuan Yew menolak permintaan itu. Wajar jika Gus Dur langsung ngamuk, membuat Singapura gempar. ”Pada dasarnya orang Singapura melecehkan Melayu. Kita dianggap tak ada. Lee Kuan Yew menganggap saya sebentar lagi turun (dari jabatan presiden). Singapura mau enaknya sendiri, cari untungnya saja,” kata Gus Dur.
3. Yahya C. Staquf dalam artikelnya “Gus Durku, Bung Karnoku…” “
Orang-orang mengecam kegemarannya berkeliling dunia, mengunjungi negara-negara yang dalam pandangan umum dianggap kurang relevan dengan kepentingan Indonesia. Namun, aku justru melihat, daftar negara-negara yang beliau kunjungi itu identik dengan daftar undangan Konferensi Asia-Afrika.
Brasil mengekspor sekian ratus ribu ton kedelai ke Amerika setiap tahun, sedangkan kita mengimpor lebih dari separo jumlah itu, dari Amerika pula. Karena itu, presidenku datang ke Rio De Janeiro ingin membeli langsung kedelai dari sumbernya tanpa makelar Amerika. Venezuela mengipor seratus persen belanja rempah-rempahnya dari Rotterdam, sedangkan kita mengekspor seratus persen rempah-rempah kita ke sana. Maka, presidenku menawari Hugo Chavez membeli rempah-rempah langsung dari kita.
Gus Dur mengusulkan kepada Sultan Hassanal Bolkiah untuk membangun Islamic Financial Center di Brunei Darussalam. Lalu, melobi negara-negara Timur Tengah untuk mengalihkan duit mereka dari bank-bank di Singapura ke sana…”
Sangat cerdas….
Dari sini, saya yakin jika Gus Dur tidak diberhentikan tengah jalan, niscaya keyakinan Morgan Stanley untuk memasukkan Indonesia ke dalam kelompok BRIC (Brazil, Russia, India and China) sebagai kekuatan ekonomi yang dominan nanti di tahun 2050 (istilah BRIC sendiri diperkenalkan oleh Goldman Sachs) akan benar-benar kita lihat dampaknya saat ini dan tidak menjadi perdebatan.
Memang ada yang bilang, bahwa karena Gus Dur bukanlah politikus yang menyebabkan Gus Dur akhirnya jatuh. Tapi jika kita membaca ulang ulasan Ulil Abshar Abdalla mengenai politik Gus Dur, maka kita akan bisa melihat bahwa Gus Dur lah yang mengerti esensi bagaimana kiai harus berpolitik. Tugas kiai yang ada pada level ide dan roh masyarakat tidak bisa diajak berpolitik dalam pengertian “marksistis” atau “kiri”, yakni menjadi semacam Che Guevara atau apalagi Hugo Chaves. Bukan di sana tugas kiai. Ketika pada tahun 80-an ide-ide pendidikan “kiri-revolusioner” Paulo Freire dikenalkan di Indonesia oleh para aktivis Muslim dan sejumlah romo-romo Jesuit, Gus Dur menulis catatan penting: dia setuju dengan beberapa ide Freire, tetapi dia keberatan pada satu hal, yaitu kecenderungan “revolusioner” dalam pikiran-pikiran Freire. Maksudnya tentu “revolusi” dalam pengertian Marxian. Hanya orang yang paham “jiwa” kiai seperti Gus Dur yang bisa mengatakan hal seperti ini. Demikian kata Ulil.
Retorika Gus Dur sendiri, menurut Goenawan Mohamad: “adalah bagian dari perubahan suasana politik yang lahir bersama jutaan percikan demokrasi. Ia membebaskan, karena ada l’esprit dan kejenakaan di dalamnya. Tetapi humor terbagus dalam sistem politik mana pun akan datang dari bawah. Lelucon yang paling tak lucu adalah yang menertawakan mereka yang tak punya, cacat, dan lemah.”
Kembali ke ulasan ke-NU-an dan tradisinya, melalui pengajian di Gus Yus lah yang membuat saya merasakan “damai hati” dan bisa ikut serta dalam tahlilan 7 harinya Gus Dur ketika para hadirin melantunkan Burdah :
Mawla Ya Solli wa sallim da iman abadan
‘Ala habi bi ka khayril khal qi kulli himi
Ya rabbi bil mustafa balligh maqasidana
Wa-ghfir lana ma mada ya wasi’ al-karami
Huwa al-habib al-ladzi turja syafa’atuhu
Likulli haulin min al-ahwali muqtahimi
Hal kecil yang sangat saya syukuri dan menurut saya bernilai besar dalam kehidupan saya. Ritme lantunan ini sendiri adalah ritme “naik-turun”, sesuai dengan nasehat yang pernah diberikan Gus Yus dalam hidup ini, supaya berprinsip “harap-harap cemas” (takut dan berharap — “khauf dan raja”, mengkerut dan berkembang — “qabd dan bast” , “inqibad dan inbisat” kalau kata Ulil).
Juga jangan ditanya, bagaimana nikmatnya hidup ketika kebiasaan saat pulang dari Jumatan di kota kecil saya, ketika semua jamaah bersenandung ringan (padahal berfilosofi tinggi):
Ilahilastulil firdausi ahla
Fala aqwa ‘ala naril jahimi
Fahabli taubatawaghfir dzunubi
Fainnaka ghofirudzambil ‘adzimi
(Wahai Tuhanku…Aku bukanlah orang yang pantas masuk surga. Tetapi, aku juga tidak kuat dengan api neraka. Karena itu, berikan kepadaku kemampuan bertaubat dan ampuni dosa-dosaku Karena hanya Engkaulah yang dapat memberikan maaf atas dosa-dosa yang besar). Munajat ini lah saya lihat sering ditampilkan di tv-tv nasional pada saat wafatnya Gus Dur (dan yang melantunkan adalah Gus Dur).
Selamat jalan Gus Dur. Kami semua kehilangan.