Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Sabtu, 25 Februari 2017

RAJA RAJA JOGJAKARTA


Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan sedikit dari peninggalan sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang masih hidup hingga kini, dan masih mempunyai pengaruh luas di kalangan rakyatnya. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Kontrak politik terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941, No. 47. Berikut ini merupakan Sultan-sultan yang memerintah di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sejak awal didirikan hingga sekarang adalah :
 1. Sultan Hamengku Buwono I 


Sultan Hamengku Buwono I (6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792) terlahir dengan nama Raden Mas Sujana yang merupakan adik Susuhunan Mataram II Surakarta. Sultan Hamengkubuwana I dalam sejarah terkenal sebagai Pangeran Mangkubumi pada waktu sebelum naik tahta kerajaan Ngayogyakarta, beliau adalah putra Sunan Prabu dan saudara muda Susuhunan Pakubuwana II. Karena berselisih dengan Pakubuwana II, masalah suksesi, ia mulai menentang Pakubuwana II (1747) yang mendapat dukungan Vereenigde Oost Indische Compagnie atau lebih terkenal sebagai Kompeni Belanda (perang Perebutan Mahkota III di Mataram). Dalam pertempurannya melawan kakaknya, Pangeran Mangkubumi dengan bantuan panglimanya Raden Mas Said, terbukti sebagai ahli siasat perang yang ulung, seperti ternyata dalam pertempuran-pertempuran di Grobogan, Demak dan pada puncak kemenangannya dalam pertempuran di tepi Sungai Bagawanta. Disana Panglima Belanda De Clerck bersama pasukannya dihancurkan (1751). peristiwa lain yang penting menyebabkan Pangeran Mangkubumi tidak suka berkompromi dengan Kompeni Belanda. Pada tahun 1749 Susuhunan Pakubuwana II sebelum mangkat menyerahkan kerajaan Mataram kepada Kompeni Belanda; Putra Mahkota dinobatkan oleh Kompeni Belanda menjadi Susuhunan Pakubuwana III. Kemudian hari Raden Mas Said bercekcok dengan Pangeran Mangkubumi dan akhirnya diberi kekuasaan tanah dan mendapat gelar pangeran Mangkunegara. Pangeran Mangkubumi tidak mengakui penyerahan Mataram kepada Kompeni Belanda. Setelah pihak Belanda beberapa kali gagal mengajak Pangeran Mangkubumi berunding menghentikan perang dikirimkan seorang Arab dari Batavia yang mengaku ulama yang datang dari Tanah Suci. Berkat pembujuk ini akhirnya diadakan perjanjian di Giyanti (sebelah timur kota Surakarta) antara Pangeran Mangkubumi dan Kompeni Belanda serta Susuhunan Pakubuwana III (1755). Menurut Perjanjian Giyanti itu kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, ialah kerajaan Surakarta yang tetap dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwana III dan kerajaan Ngayogyakarta dibawah Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan Hamengkubuwana I yang bergelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama Khalifatullah dengan karatonnya di Yogyakarta. Atas kehendak Sultan Hamengkubuwana I kota Ngayogyakarta (Jogja menurut ucapan sekarang) dijadikan ibukota kerajaan. Kecuali mendirikan istana baru, Hamengkubuwana I yang berdarah seni mendirikan bangunan tempat bercengrama Taman Sari yang terletak di sebelah barat istananya. Kisah pembagian kerajaan Mataram II ini dan peperangan antara pangeran-pangerannya merebut kekuasaan digubah oleh Yasadipura menjadi karya sastra yang disebut Babad Giyanti. Sultan Hamengkubuwana I dikenal oleh rakyatnya sebagai panglima, negarawan dan pemimpin rakyat yang cakap. Beliau meninggal pada tahun 1792 Masehi dalam usia tinggi dan dimakamkan Astana Kasuwargan di Imogiri. Putra Mahkota menggantikannya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono II. Hamengkubuwana I dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia pada peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2006. 
2. Sultan Hamengku Buwono II 


Hamengkubuwono II (7 Maret 1750 – 2 Januari 1828) atau terkenal pula dengan nama lainnya Sultan Sepuh. Dikenal sebagai penentang kekuasaan Belanda, antara lain menentang gubernur jendral Daendels dan Raffles, sultan menentang aturan protokoler baru ciptaan Daendels mengenai alat kebesaran Residen Belanda, pada saat menghadap sultan misalnya hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka topi, perselisihan antara Hamengkubuwana II dengan susuhunan surakarta tentang batas daerah kekuasaan juga mengakibatkan Daendels memaksa Hamengkubuwono II turun takhta pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya bertahta secara terputus-putus hingga tahun 1828 yaitu akhir 1811 ketika Inggris menginjakkan kaki di jawa (Indonesia) sampai pertengahan 1812 ketika tentara Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan 1826 untuk meredam perlawanan Diponegoro sampai 1828. Hamengkubuwono III, Hamengkubuwono IV dan Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa hidupnyaSri Sultan Hamengku Buwono II. Saat menjadi putra mahkota beliau mengusulkan untuk dibangun benteng kraton untuk menahan seragan tentara inggris. Tahun 1812 Raffles menyerbu Yogyakarta dan menangkap Sultan Sepuh yang kemudian diasingkan di Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon. 

3. Sultan Hamengku Buwono III 

Hamengkubuwana III (1769 – 3 November 1814) adalah putra dari Hamengkubuwana II (Sultan Sepuh). Hamengkubuwana III memegang kekuasaan pada tahun 1810. Setahun kemudian ketika Pemerintah Belanda digantikan Pemerintah Inggris di bawah pimpinan Letnan Gubernur Raffles, Sultan Hamengkubuwana III turun tahta dan kerajaan dipimpin oleh Sultan Sepuh (Hamengkubuwana II) kembali selama satu tahun (1812). Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana III keraton Yogyakarta mengalami kemunduran yang besar-besaran. Kemunduran-kemunduran tersebut antara lain : Kerajaan Ngayogyakarta diharuskan melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setahunnya. Angkatan perang kerajaan diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton. Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa kepada Raffles dan diangkat menjadi Pangeran Adipati Ario Paku Alam I. Pada tahun 1814 Hamengkubuwana III mangkat dalam usia 43 tahun. 
4. Sultan Hamengku Buwono IV 

Hamengkubuwono IV (3 April 1804 – 6 Desember 1822) sewaktu kecil bernama BRM Ibnu Jarot, diangkat sebagai raja pada usia 10 tahun, karenanya dalam memerintah didampingi wali yaitu Paku Alam I hingga tahun 1820. Pada masa pemerintahannya diberlakukan sistem sewa tanah untuk swasta tetapi justru merugikan rakyat. Pada tahun 1822 beliau wafat pada saat bertamasya sehingga diberi gelar Sultan Seda Ing Pesiyar (Sultan yang meninggal pada saat berpesiar).
 5. Sultan Hamengku Buwono V

 Hamengkubuwono V (25 Januari 1820 – 1826 dan 1828 – 4 Juni 1855) bernama kecil Raden Mas Menol dan dinobatkan sebagai raja di kesultanan Yogyakarta dalam usia 3 tahun. Dalam memerintah beliau dibantu dewan perwalian yang antara lain beranggotakan Pangeran Diponegoro sampai tahun 1836. Dalam masa pemerintahannya sempat terjadi peristiwa penting yaitu Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berlangsung 1825 – 1830. Setelah perang selesai angkatan bersenjata Kesultanan Yogyakarta semakin diperkecil lagi sehingga jumlahnya menjadi sama dengan sekarang ini. Selain itu angkatan bersenjata juga mengalami demiliterisasi dimana jumlah serta macam senjata dan personil serta perlengkapan lain diatur oleh Gubernur Jenderal Belanda untuk mencegah terulangnya perlawanan kepada Belanda seperti waktu yang lalu. Beliau mangkat pada tahun 1855 tanpa meninggalkan putra yang dapat menggantikannya dan tahta diserahkan pada adiknya.
6. Sultan Hamengku Buwono VI 

Sultan Hamengku Buwono VI (19 Agustus 1821 – 20 Juli 1877) adalah adik dari Hamengkubuwono V. Hamengkubuwono VI semula bernama Pangeran Adipati Mangkubumi. Kedekatannya dengan Belanda membuatnya mendapat pangkat Letnan Kolonel pada tahun 1839 dan Kolonel pada tahun 1847 dari Belanda.
7. Sultan Hamengku Buwono VII 

Nama aslinya adalah Raden Mas Murtejo, putra Hamengkubuwono VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Ia naik takhta menggantikan ayahnya sejak tahun 1877. Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar Rp 200.000,00. Hal ini mengakibatkan Sultan sangat kaya sehingga sering dijuluki Sultan Sugih. Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda. Pada tanggal 29 Januari 1920 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia lebih dari 80 tahun memutuskan untuk turun tahta dan mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena putera mahkota (GRM. Akhadiyat) yang seharusnya menggantikan tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya. Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan putera Mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia. Biasanya dalam pergantian tahta raja kepada putera mahkota ialah menunggu sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup, bahkan menurut cerita masa lalu sang ayah diasingkan oleh anaknya pengganti putera mahkota yang wafat ke Keraton di luar keraton Yogyakarta. Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun tahta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan “Tidak pernah ada Raja yang mati di keraton setelah saya” yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua raja setelah dirinya yang meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII meninggal dunia di tengah perjalanan di luar kota dan Hamengkubuwono IX meninggal di Amerika Serikat. Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di keraton pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Imogiri. Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda untuk madeg pandito (menjadi pertapa) di Pesanggrahan Ngambarukmo (sekarang Ambarukmo). Sampai saat ini bekas pesanggrahan itu masih ada dan di sebelah timurnya dulu pernah berdiri Hotel Ambarukmo yang sekarang sudah tidak ada lagi. 
8. Sultan Hamengku Buwono VIII 

Sri Sultan Hamengkubuwono VIII (Kraton Yogyakarta Adiningrat, 3 Maret 1880 – Kraton Yogyakarta Adiningrat, 22 Oktober 1939) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di Kesultanan Yogyakarta. Dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta pada tanngal 8 Februari 1921. Pada masa Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana yang dipakai untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai sekolah-sekolah kesultanan. Putra-putra Hamengkubuwono VIII banyak disekolahkan hingga perguruan tinggi, banyak diantaranya di Belanda. Salah satunya adalah GRM Dorojatun, yang kelak bertahta dengan gelar Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di Universitas Leiden. Pada masa pemerintahannya, beliau banyak mengadakan rehabilitasi bangunan kompleks keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah bangsal Pagelaran yang terletak di paling depan sendiri (berada tepat di selatan Alun-alun utara Yogyakarta). Bangunan lainnya yang rehabilitasi adalah tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe. Beliau meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di RS Panti Rapih Yogyakarta karena menderita sakit. 

9. Sultan Hamengku Buwono IX 

Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Yogyakarta, 12 April 1912-Washington, DC, AS, 1 Oktober 1988) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Beliau juga Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Beliau juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Lahir di Yogyakarta dengan nama GRM Dorojatun, Hamengkubuwono IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Diumur 4 tahun Hamengkubuwono IX tinggal pisah dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an beliau berkuliah di Universiteit Leiden, Belanda (”Sultan Henkie”). Hamengkubuwono IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alogo Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Songo”. Beliau merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat “Istimewa”. Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN. Minggu malam pada 1 Oktober 1988 ia wafat di George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri. 

10. Sultan Hamengku Buwono X 

Sri Sultan Hamengkubuwono X (Kraton Yogyakarta Hadiningrat, 2 April 1946 – sekarang) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sejak 1998. Hamengkubuwono X lahir dengan nama BRM Herjuno Darpito. Setelah dewasa bergelar KGPH Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing Mataram. Hamengkubuwono X adalah seorang lulusan Fakultas Hukum UGM dan dinobatkan sebagai raja pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) dengan gelar resmi Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwono Senapati ing Alogo Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Dasa. Hamengkubuwono X aktif dalam berbagai organisasi dan pernah memegang berbagai jabatan diantaranya adalah ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD Golkar DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT Punokawan yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, Presiden Komisaris PG Madukismo, dan pada bulan Juli 1996 diangkat sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur DIY.Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui beberapa perdebatan, pada 1998 beliau ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan masa jabatan 1998-2003. Dalam masa jabatan ini Hamengkubuwono X tidak didampingi Wakil Gubernur. Pada tahun 2003 beliau ditetapkan lagi, setelah terjadi beberapa pro-kontra, sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk masa jabatan 2003-2008. Kali ini beliau didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.Sejak menggantikan ayahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang meninggal di Amerika, 8 Oktober 1988, Ngersa Dalem, demikian ia biasa disapa, dikenal sebagai sosok yang dekat dengan rakyatnya. Dalam suatu kesempatan, ia pernah mengatakan, keberpihakan pada rakyat itu tetap harus dilakukan sebagai suatu panggilan. “Saya harus membentuk jati diri untuk tumbuh dan mengembangkan wawasan untuk keberpihakan itu sendiri sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. Selain itu, masyarakat juga agar mengetahui setiap gerak langkah saya dalam membentuk jati diri, dan rakyat diberi kesempatan untuk melihat bener atau tidak, mampu atau tidak, sependapat atau tidak, dan sebagainya”, ujuarnya. Keberpihakannya pada rakyat ini memang terbukti. Pada 14 Mei 1998, ketika gelombang demontrasi mahasiswa semakin membesar, Sultan mengatakan, “Saya siap turun ke jalan”. Ia benar-benar tampil dan berpidato di berbagai tempat menyuarakan pembelaan pada rakyat, sambil berpesan “Jogja harus menjadi pelopor gerakan reformasi secara damai, tanpa kekerasan”.Aksi turun ke jalan yang dilakukan Sri Sultan HB X itu bukan tanpa alasan. “Jika pemimpin tidak benar, kewajiban saya untuk mengingatkan. Karena memang kebangetan (keterlaluan), ya tak pasani sesasi tenan (ya saya puasai sebulan penuh)”, katanya. Puasa itu dimulai 19 April dan berakhir 19 Mei 1998 saat Sri Sultan HB X dan Sri Paku Alam VIII tampil bersama menyuarakan “Maklumat Yogyakarta”, yang mendukung gerakan reformasi total dan damai. Itu yang dia sebut ngelakoni. Pada akhir puasa, ia mengaku mendapat isyarat kultural “Soeharto jatuh, manakala omah tawon sekembaran dirubung laron sak pirang-pirang” (sepasang sarang tawon dikerumuni kelekatu dalam jumlah sangat banyak). “Bukan maksud saya mengabaikan peran mahasiswa. Saya hanya mendukung gerakan itu dengan laku kultural. Itu maksud saya”. Memang, sehari setelah banjir massa yang jumlahnya sering disebut lebih dari sejuta manusia di Alun-alun Utara Jogjakarta—mengikuti Aksi Reformasi Damai dengan mengerumuni sepasang berigin berpagar (ringin kurung)—Soeharto pun lengser. Sri Sultan HB X dengan Keraton Jogjakarta-nya memang fenomenal. Kedekatannya dengan rakyat, dan karena itu juga kepercayaan rakyat terhadapnya, telah menjadi ciri khas yang mewarisi hingga kini. Lihat saja, misalnya, pada 20 Mei 1998, di bawah reksa Sultan, aparat keamanan berani melepas mahasiswa ke alun-alun utara. Sebelum itu hampir setiap hari mahasiswa bersitegang melawan aparat keamanan untuk keluar dari kampus. Di pagi hari yang cerah di hari peringatan Kebangkitan Nasional 1998 itu, mahasiswa berbaris dengan amat tertib menyuarakan “mantra” sakti reformasi menuju Alun-alun Utara. Mereka pergi untuk mendengarkan maklumat yang akan dibacakan sebagai semacam pernyataan politik Sri Sultan. Di era reformasi, bersama Gus Dur, Megawati dan Amien Rais, Sultan Hamengku Buwono X menjadi tokoh yang selalu diperhitungkan. Legitimasi mereka berempat sebagai tokoh-tokoh yang dipercaya rakyat bahkan melebihi legitimasi yang dimiliki lembaga formal seperti DPR. Mereka berempat adalah deklarator Ciganjur, yang lahir justru ketika MPR sedang melakukan bersidang. Mereka berempat, plus Nurcholis Madjid dan beberapa tokoh nasional lain, diundang Pangab Jenderal TNI Wiranto untuk ikut mengupayakan keselamatan bangsa, setelah pristiwa kerusuhan di Ambon.Pada masa kepemimpinannya, Yogyakarta mengalami gempa bumi yang terjadi pada bulan Mei 2006 dengan skala 5,9 sampai dengan 6,2 Skala Richter yang menewaskan lebih dari 6000 orang dan melukai puluhan ribu orang lainnya. Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran Keraton 7 April 2007, ia menegaskan tekadnya untuk tidak lagi menjabat setelah periode jabatannya 2003-2008 berakhir. Dalam pisowanan agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga, ia mengaku akan mulai berkiprah di kancah nasional. Ia akan menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk kepentingan bangsa dan negara. 

http://fkpsu.blogspot.co.id/2012/02/raja-raja-jogjakarta-hamengkubuwono-1.html

Rabu, 22 Februari 2017

Gus Dur dan Asal Muasal Semboyan ‘NKRI Harga Mati’

Gus Dur dan Asal Muasal Semboyan ‘NKRI Harga Mati’ di Kalangan Warga NU
Baca kisah nyata Gus Dur ini dari awal hingga akhir. Nanti anda akan sadar betapa pentingnya Gus Dur bagi sejarah keutuhan NKRI. Di mana ketika itu Indonesia sudah kehilangan Timor Timur. Untuk selanjutnya waktu itu Papua, Maluku dan Aceh, dll menunggu giliran merdeka.
Akhirnya anda pun akan menyadari: Jika Saat itu Presidennya Bukan Gus Dur, Indonesia Hancur.
Kisah Gus Dur jadi presiden NKRI adalah bagian dari kisah perjalanan hidup Gus Dur yang paling spektakuler dan penuh keajaiban. Bagaimana tidak, Gus Dur tahu kalau dirinya akan jadi presiden Indonesia, beberapa bulan sebelum jadi presiden. Dan Gus Dur tahu dirinya akan jadi presiden cuma sebentar.
Lebih dari itu, Gus Dur tahu persis apa yang akan dilakukannya nanti jika jadi presiden RI. Yaitu menyelamatkan keutuhan NKRI. Agar tidak tercabik-cabik oleh kekuatan asing yang menginginkan NKRI terpecah-belah ketika itu. Itulah sebabnya Gus Dur sewaktu jadi presiden harus sering pergi keluar negeri untuk melobi negara-negara yang inginkan kehancuran Indonesia. Dalam hal ini, sampai-sampai Andi Malaranggeng menyebut Gus Dur ‘tukang plesir’ yang menghambur-hamburkan uang negara.
Baca kisah nyata Gus Dur ini dari awal hingga akhir. Nanti anda akan sadar betapa pentingnya peran Gus Dur bagi sejarah keutuhan NKRI. Di mana ketika itu Indonesia sudah kehilangan Timor timur. Untuk selanjutnya Papua, maluku dan Aceh, dll menunggu giliran merdeka.
Akhirnya anda pun akan menyadari: Jika Saat itu Presidennya Bukan Gus Dur, Indonesia Hancur.
Selamat membaca….
Di akhir tahun 1998 Gus Dur rawuh (datang) di Wonosobo. Saat itu sedang ramainya era reformasi, beberapa bulan setelah Pak Harto jatuh. Dan ini terjadi beberapa bulan sebelum Gus Dur menjadi orang nomer satu di Negeri ini. Beliau masih menjabat sebagai Ketua PBNU.
Bertempat di Gedung PCNU Wonosobo, Gus Dur mengadakan pertemuan dengan pengurus NU dari Wonosobo, Banjarnegara, Pubalingga, Kebumen, Temanggung dan Magelang. Tentu saja semua kiai ingin tahu pendapat Gus Dur tentang situasi politik terbaru. Penulis hadir di situ walaupun bukan kiai, dan duduk persis di depan Gus Dur. Penulis lah yang menuntun beliau menaiki Lantai 2 PCNU Wonosobo.
“Pripun Gus situasi politik terbaru?” tanya seorang kiai.
“Orde Baru tumbang, tapi Negeri ini sakit keras.” kata Gus Dur.
“Kok bisa Gus?”
“Ya bisa, wong yang menumbangkan Orde Baru pakainya emosi dan ambisi tanpa perencanaan yang jelas. Setelah tumbang mereka bingung mau apa, sehingga arah reformasi gak genah. Bahkan Negeri ini di ambang kehancuran, di ambang perang saudara. Arah politik Negeri ini sedang menggiring Negeri ini ke pinggir jurang kehancuran dan separatisme. Lihat saja, baru berapa bulan Orde Reformasi berjalan, kita sudah kehilangan propinsi ke-27 kita, yaitu Timor Timur.” kata Gus Dur.
Kiai tersebut sebagaimana biasa, kalau belum mulai bicara. Pak Habibi…, kita semua akan merasa kasihan dengan sikap Gus Dur yang datar. Dan seperti capek sekali dan seperti aras-arasen bicara. Tapi kalau sudah mulai, luar biasa memikat. Dan ruangan jadi sepi kayak kuburan, tak ada bunyi apapun selain pangendikan (ucapan) Gus Dur.
Seorang kiai penasaran dengan calon presiden devinitif pengganti Pak Habibi yang hanya menjabat sementara sampai sidang MPR. Ia bertanya: “Gus, terus siapa yang paling pas jadi Presiden nanti Gus?”
“Ya saya, hehehe…” kata Gus Dur datar.
Semua orang kaget dan menyangka Gus Dur guyon seperti biasanya yang memang suka guyon.
“Yang bisa jadi presiden di masa seperti ini ya hanya saya kalau Indonesia gak pingin hancur. Dan saya sudah dikabari kalau-kalau saya mau jadi presidan walau sebentar hehehe…” kata Gus Dur mantab.
“Siapa yang ngabari dan yang nyuruh Gus?” tanya seorang kiai.
“Gak usah tahu. Orang NU tugasnya yakin saja bahwa nanti presidennya pasti dari NU,” kata Gus Dur masih datar seperti guyon.
Orang yang hadir di ruangan itu bingung antara yakin dan tidak yakin mengingat kondisi fisik beliau yang demikian. Ditambah lagi masih ada stok orang yang secara fisik lebih sehat dan berambisi jadi presiden, yaitu Amin Rais dan Megawati. Tapi tidak ada yang berani mengejar pertanyaan tentang presiden RI.
Kemudian Gus Dur menyambung: “Indonesia dalam masa menuju kehancuran. Separatisme sangat membahayakan. Bukan separatismenya yang membahayakan, tapi yang memback up di belakangnya. Negara-negara Barat ingin Indonesia hancur menjadi Indonesia Serikat. Maka mereka melatih para pemberontak, membiayai untuk kemudian meminta merdeka seperti Timor Timur yang dimotori Australia.”
Sejenak sang Kiai tertegun. Dan sambil membenarkan letak kacamatanya ia melanjutkan: “Tidak ada orang kita yang sadar bahaya ini. Mereka hanya pada ingin menguasai Negeri ini saja tanpa perduli apakah Negeri ini cerai-berai atau tidak. Maka saya harus jadi presiden, agar bisa memutus mata rantai konspirasi pecah-belah Indonesia. Saya tahu betul mata rantai konspirasi itu. RMS dibantu berapa Negara, Irian Barat siapa yang back up, GAM siapa yang ngojok-ojoki. Dan saya dengar beberapa propinsi sudah siap mengajukan memorandum. Ini sangat berbahaya.”
Kemudiaan ia menarik nafas panjang dan melanjutkan: “Saya mau jadi presiden. Tetapi peran saya bukan sebagai pemadam api. Saya akan jadi pencegah kebakaran dan bukan pemadam kebakaran. Kalau saya jadi pemadam setelah api membakar Negeri ini, maka pasti sudah banyak korban. Akan makin sulit. Tapi kalau jadi pencegah kebakaran, hampir pasti gak akan ada orang yang menghargainya. Maka, mungkin kalaupun jadi presiden saya gak akan lama, karena mereka akan salah memahami langakah saya.”
Seakan mengerti raut wajah bingung para kiai yang menyimak, beliau pun kembali selorohkan pemikirannya. “Jelasnya begini, tak kasih gambaran,” kata Gus Dur menegaskan setelah melihat semua hadirin tidak mudeng. Dan agak bingung dengan tamsil beliau.
“Begini, suara langit mengatakan bahwa sebuah rumah akan terbakar. Ada dua pilihan, kalau mau jadi pahlawan maka biarkan rumah ini terbakar dulu lalu datang membawa pemadam. Maka semua orang akan menganggap kita pahlawan. Tapi sayang sudah terlanjur gosong dan mungkin banyak yang mati, juga rumahnya sudah jadi jelek. Kita jadi pahlawan pemyelamat yang dielu-elukan.”
Kemudian lanjutnya: “Kedua, preventif. Suara langit sama, rumah itu mau terbakar. Penyebabnya tentu saja api. Ndilalah jam sekian akan ada orang naruh jerigen bensin di sebuah tempat. Ndilalah angin membawa sampah dan ranggas ke tempat itu. Ndilallah pada jam tertentu akan ada orang lewat situ. Ndilalah dia rokoknya habis pas dekat rumah itu. Ndilalalah dia tangan kanannya yang lega. Terus membuang puntung rokok ke arah kanan dimana ada tumpukan sampah kering.”
Lalu ia sedikit memajukan duduknya, sambil menukas: “Lalu ceritanya kalau dirangkai jadi begini; ada orang lewat dekat rumah, lalu membuang puntung rokok. Puntung rokok kena angin sehingga menyalakan sampah kering. Api di sampah kering membesar lalu menyambar jerigen bensin yang baru tadi ditaruh di situ dan terbakarlah rumah itu.”
“Suara langit ini hampir bisa dibilang pasti, tapi semua ada sebab-musabab. Kalau sebab di cegah maka musabab tidak akan terjadi. Kalau seseorang melihat rumah terbakar lalu ambil ember dan air lalu disiram sehingga tidak meluas maka dia akan jadi pahlawan. Tapi kalau seorang yang waskito, yang tahu akan sebab-musabab. Dia akan menghadang orang yang mau menaruh jerigen bensin. Atau menghadang orang yang merokok agar tidak lewat situ. Atau gak buang puntung rokok di situ sehingga sababun kebakaran tidak terjadi.”
Sejenak semua jamaah mangguk-mangguk. Kemudian Gus Dur melanjutkan: “Tapi nanti yang terjadi adalah, orang yang membawa jerigen akan marah. Ketika kita cegah dia naruh jerigen bensin di situ: “Apa urusan kamu, ini rumahku. Bebas dong aku naruh di mana?” Pasti itu yang akan dikatakan orang itu.”
“Lalu misal ia memilih menghadang orang yang mau buang puntung rokok agar gak usah lewat situ. Kita bilang: “Mas, tolong jangan lewat sini dan jangan merokok. Karena nanti Panjenengan akan menjadi penyebab kebakaran rumah itu…”. Apa kata dia: “Dasar orang gila, apa hubungannya aku merokok dengan rumah terbakar? Lagian mana rumah terbakar?! Ada-ada saja orang gila ini. Minggir! saya mau lewat.”
Kini makin jelas arah pembicaraannya dan semua yang hadir makin khusyuk menyimak. “Nah, ini peran yang harus diambil NU saat ini. Suara langit sudah jelas, Negeri ini atau rumah ini akan terbakar dan harus dicegah penyebabnya. Tapi resikonya kita tidak akan popular, tapi rumah itu selamat. Tak ada selain NU yang berpikir ke sana. Mereka lebih memilih: “Biar saja rumah terbakar asal aku jadi penguasanya. Biar rumah besar itu tinggal sedikit asal nanti aku jadi pahlawan maka masyarakat akan memilihku jadi presiden.”
“Poro Kiai ingkang kinormatan.” kata Gus Dur kemudian. “Kita yang akan jadi presiden, itu kata suara langit. Kita gak usah mikir bagaimana caranya. Percaya saja, titik. Dan tugas kita adalah mencegah orang buang puntung rokok dan mencegah orang yang kan menaruh bensin. Padahal itu banyak sekali dan ada di banyak negara. Dan pekerjaan itu secara dzahir sangat tidak popular, seperti ndingini kerso. Tapi harus kita ambil. Waktu yang singkat dalam masa itu nanti, kita gak akan ngurusi dalam Negeri.”
“Kita harus memutus mata rantai pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka di Swiss, kita harus temui Hasan Tiro. Tak cukup Hasan Tiro, presiden dan pimpinan-pimpinan negara yang simpati padanya harus didekati. Butuh waktu lama,” lanjut Gus Dur.
“Belum lagi separatis RMS (Republik Maluku Sarani) yang bermarkas di Belanda. Harus ada loby ke negara itu agar tak mendukung RMS. Juga negara lain yang punya kepentingan di Maluku,” kata Gus Dur kemudian.
“Juga separatis Irian Barat Papua Merdeka, yang saya tahu binaan Amerika. Saya tahu anggota senat yang jadi penyokong Papua Merdeka, mereka membiayai gerakan separatis itu. Asal tahu saja, yang menyerang warga Amerika dan Australia di sana adalah desain mereka sendiri.”

Gus Dur menegaskan: NKRI bagi NU adalah Harga Mati!

Kemudian Gus Dur menarik nafas berat, sebelum melanjutkan perkataan berikutnya. “Ini yang paling sulit, karena pusatnya di Israel. Maka, selain Amerika saya harus masuk Israel juga. Padahal waktu saya sangat singkat. Jadi mohon para kiai dan santri banyak istighatsah nanti agar tugas kita ini bisa tercapai. Jangan tangisi apapun yang terjadi nanti, karena kita memilih jadi pencegah yang tidak populer. Yang dalam Negeri akan diantemi sana-sini.”
Sekonyong beliau berdiri, lalu menegaskan perkataan terakhirnya: “NKRI bagi NU adalah Harga Mati!
“Saya harus pamit karena saya ditunggu pertemuan dengan para pendeta di Jakarta, untuk membicarakan masa depan negara ini. Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” tutup Gus Dur.
Tanpa memperpanjang dialog, Gus Dur langsung pamit. Kita bubar dengan benak yang campur-aduk, antara percaya dan tidak percaya dengan visi Gus Dur. Antara realitas dan idealitas, bahwa beliau dengan sangat tegas di hadapan banyak kiai bahwa dialah yang akan jadi presiden. Terngiang-ngiang di telinga kami dengan seribu tanda tanya.
Menghitung peta politik, rasanya gak mungkin. Yang terkuat saat itu adalah PDIP yang punya calon mencorong Megawati putri presiden pertama RI yang menemukan momentnya. Kedua, masih ada Partai Golkar yang juga Akbar Tanjung siap jadi presiden. Di kelompok Islam modern ada Amien Rais yang juga layak jadi presiden, dan dia dianggap sebagian orang sebagai pelopor Reformasi.
Maka kami hanya berpikir bahwa, rasional gak rasional, percoyo gak percoyo ya percoyo aja apa yang disampaikan Gus Dur tadi. Juga tentang tamsil rumah tebakar tadi. Sebagian besar hadirin agak bingung walau mantuk-mantuk karena gak melihat korelasinya NU dengan jaringan luar negeri.

Gus Dur dalam pandangan Alfian Andi Malarangeng sang mantan Menpora

Sekitar 3 bulan kemudian, Subhanallah… safari ke luar ternyata Gus Dur benar-benar jadi Presiden. Dan beliau juga benar-benar bersafari ke luar negeri seakan maniak plesiran. Semua negara yang disebutkan di PCNU Wonosobo itu benar-benar dikunjungi. Dan reaksi dalam negeri juga persis dugaan Gus Dur saat itu bahwa beliau dianggap foya-foya. Menghamburkan duit negara untuk plesiran. Yang dalam jangka waktu beberapa bulan sampai 170 kali lawatan. Luar biasa dengan fisik yang (maaf) begitu, demi untuk sebuah keutuhan NKRI.
Pernah suatu ketika Gus Dur lawatan ke Paris (kalau kami tahu maksudnya kenapa ke Paris). Dalam negeri, para pengamat politik dan politikus mengatakan kalau Gus Dur memakai aji mumpung. Mumpung jadi presiden pelesiran menikmati tempat-tempat indah dunia dengan fasilitas negara.
Apa jawab Gus Dur: “Biar saja, wong namanya wong ora mudeng atau ora seneng. Bagaimana bisa dibilang plesiran wong di Paris dan di Jakarta sama saja, gelap gak lihat apa-apa, koq dibilang plesiran. Biar saja, gitu aja koq repot!”.
Masih sangat teringat bahwa pengamat politik yang paling miring mengomentrai lawatan Gus Dur. Sampai masa Gus Dur lengser adalah Alfian Andi Malarangeng, mantan Menpora. Tentu warga NU gak akan lupa sakit hatinya mendengar ulasan dia. Sekarang terimalah balasan dari Tuhan.
Satu-satunya pengamat politik yang fair melihat sikap Gus Dur, ini sekaligus sebagai apresiasi kami warga NU, adalah Hermawan Sulistyo. Atau sering dipanggil Mas Kiki. terimakasih Mas Kiki.

Gus Dur tidak perduli apapun demi NKRI tetap utuh

Kembali ke topik. Ternyata orang yang paling mengenal sepak terjang Gus Dur adalah justru dari luar Islam sendiri. Kristen, Tionghoa, Hindu, Budha dll. Mereka tahu apa yang akan dilakukan beliau untuk NKRI ini. Negeri ini tetap utuh minus Timor Timur karena jasa Gus Dur. Beliau tanpa memikirkan kesehatan diri, tanpa memikirkan popularitas, berkejaran dengan sang waktu untuk mencegah kebakaran rumah besar Indonesia.
Dengan resiko dimusuhi dalam negeri, dihujat oleh separatis Islam dan golongan Islam lainnya. Gus Dur tidak perduli apapun demi NKRI tetap utuh. Diturunkan dari kursi presiden juga gak masalah bagi beliau walau dengan tuduhan yang dibuat-buat. Silakan dikroscek data ini. Lihat kembali keadaan beberapa tahun silam era reformasi baru berjalan. Beliau sama sekali gak butuh gelar “Pahlawan”. (al/muslimoderat.com/Sumber: Nur Cholis/Judul Asli: Jika Saat itu Presidennya Bukan Gus Dur, Indonesia Hancur).
http://www.islam-institute.com/gus-dur-dan-asal-muasal-semboyan-nkri-harga-mati/

Senin, 20 Februari 2017

Naskah Khittah NU 1984



Oleh: كارمن سليمان‎ 

Naskah Lengkap
KHITTAH NU
Keputusan Muktamar XXVII NU
NO 02/MNU-27/1984

48. dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422], Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
49. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Maidah: 48-49)


  1. 1.    Mukaddimah

Nahdlatul Ulama didirikan atas kesadaran dan keinsyafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Persatuan, ikatan bathin, saling bantu-membantu dan kesatuan merupakan prasyarat dari tumbuhnya tali persaudaraan (al-ukhuwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasysrakatan yang baik dan harmonis.
Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah diniyah adalah wadah bagi para ulama dan pengikut-pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M. dengan tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menganut salah satu maadzhab empat, masing-masing Abu Hanifah An-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, serta untuk mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan martabat manusia.
Nahdlatul Ulama dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tentram, adil dan sejahtera.
Nahdlatul Ulama mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiyar yang didasari oleh dasar-dasar faham keagamaan yang membentuk kepribadian khas Nahdlatul Ulama. Inilah yang kemudian disebut Khittah Nahdlatul Ulama.


  1. 2.    Pengertian
    1. Khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.
    2. Landasan tersebut adalah faham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan.
    3. Khittah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa.

  1. 3.    Dasar-Dasar Faham Keagamaan NU
    1. Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran agama Islam: Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas.
    2. Dalam memahami, manafsirkan Islam dari sumber-sumbernya diatas, Nahdlatul Ulama mengikuti faham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (al-madzhab):

-Di bidang aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Manshur al-Maturidzi.
-Di bidang fiqih, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (al-madzhab) salah satu dari madzhab Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal.
-Di bidang tasawuf, mengikuti antara lain Imam al-Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali serta imam-imam yang lain.

  1. Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku mapun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.

  1. 4.    Sikap Kemasyarakatan NU
Dasar-dasar pendirian keagamaan Nahdlatul Ulama tersebut menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan pada:
  1. Sikap Tawassuth dan I’tidal
Sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
  1. Sikap Tasamuh
Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
  1. Sikap Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyertakan khidmah kepada Allah SWT, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.
  1. Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.


  1. 5.    Perilaku Keagamaan dan Sikap Kemasyarakatan
Dasar-dasar keagamaan (angka 3) dan kemasyarakatan (angka 4) membentuk perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi yang:
  1. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam.
  2. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
  3. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmah serta berjuang.
  4. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwah), persatuan (al-ittihad) serta kasih mengasihi.
  5. Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlaq al-karimah) dan menjunjung tinggi kejujuran (ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap dan bertindak.
  6. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada bangsa dan Negara.
  7. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
  8. Menjunjung tinggi ilmu-ilmu pengetahuan serta ahli-ahlinya.
  9. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan bagi manusia.
  10. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong memacu dan mempercepat perkembangan masyarakatnya.
  11. Menjunjung tinggi kebersamaan ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

  1. 6.    Beberapa Ikhtiyar
Sejak berdirinya Nahdlatul Ulama memilih beberapa bidang utama kegiatan sebagai ikhtiyar mewujudkan cita-cita dan tujuan berdirinya, baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan. Ikhtiyar-ikhtiyar tersebut adalah:
  1. Peningkatan silaturahim/komunikasi/relasi-relasi antar ulama (Dalam Statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan: mengadakan perhoeboengan diantara oelama-oelama jang bermadzhab).
  2. Peningkatan kegiatan dibidang keilmuan/pengkajian/pendidikan. (Dalam Statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan: Memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepadja diketahoei apakah itoe daripada kitab-kitab assoennah wal djama’ah ataoe kirab-kitab ahli bid’ah; memperbanjak madrasah-madrasah jang berdasar agama Islam).
  3. Peningkatan penyiaran Islam, membangun sarana-sarana peribadatan dan pelayanan social. (Dalam Statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan: Menjiarkan agama Islam dengan djalan apa sadja jang halal; memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masdjid-masdjid, soeraoe-soeraoe dan pondok-pondok, begitoe djoega dengan hal ikhwalnya anak-anak jatim dan orang fakir miskin).
  4. Peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah. (Dalam Statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan: Mendirikan badan-badan oentoek memajoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh sjara’ agama Islam).

Kegiatan-kegiatan yang dipilih oleh Nahdlatul Ulama pada awal berdiri dan khidmahnya menunjukkan pandangan dasar yang peka terhadap pentingnya terus-menerus membangun hubungan dan komunikasi antar para ulama sebagai pemimpin masyarakat; serta adanya kepribadian atas nasib manusia yang terjerat oleh keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan.
Sejak semula Nahdlatul Ulama melihat masalah ini sebagai bidang garapan yang harus dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan nyata.
Pilihan akan ikhtiyar yang dilakukan mendasari kegiatan Nahdlatul Ulama dari masa ke masa dengan tujuan untuk melakukan perbaikan, perubahan dan pembaharuan masyarakat, terutama dengan mendorong swadaya masyarakat sendiri.
Nahdlatul Ulama sejak semula meyakini bahwa persatuan dan kesatuan para ulama dan pengikutnya, masalah pendidikan, dakwah Islamiyah, kegiatan social serta perekonomian adalah masalah yang tidak bisa dipisahkan untuk mengubah masyarakat yang terbelakang, bodoh dan miskin menjadi masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlak mulia.
Pilihan kegiatan Nahdlatul Ulama tersebut sekaligus menumbuhkan sikap partisipatif kepada setiap usaha yang bertujuan membawa masyarakat kepada kehidupan yang maslahat. Sehingga setiap kegiatan Nahdlatul Ulama untuk kemaslahatan manusia dipandang sebagai perwujudan amal ibadah yang didasarkan pada faham keagamaan yang dianutnya.


  1. 7.    Fungsi Organisasi dan Kepemimpinan Ulama

Dalam rangka kemaslahatan ikhtiyarnya, Nahdlatul Ulama membentuk organisasi yang mempunyai struktur tertentu dengan fungsi sebagai alat untuk melakukan koordinasi bagi terciptanya tujuan yang telah ditentukan, baik itu bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan.
Karena pada dasarnya Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyyah Diniyah yang membawa faham keagamaan, maka Ulama sebagai mata rantai pembawa faham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi. Sedang untuk melaksanakan kegiatannya, Nahdlatul Ulama menempatkan tenaga-tenaga yang sesuai dengan bidangnya guna menanganinya.


  1. 8.    NU dan Kehidupan Bernegara

Sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan Nasional Bangsa Indonesia. Nahdlatul Ulama secara sadar mengambil posisi aktif dalam proses perjuangan mencapai dan memperjuangkan kemerdekaan, serta ikut aktif dalam penyusunan UUD 1945.
Keberadaan Nahdlatul Ulama yang senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa, menempatkan Nahdlatul Ulama dan segenap warganya selalu aktif mengambil bagian dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT. Oleh karenanya, setiap warga Nahdlatul Ulama harus menjadi warga Negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwwah), toleransi (at-tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama warga Negara yang mempunyai keyakinan/agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.
Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan Nahdlatul Ulama berusaha secara sadar untuk menciptakan warga Negara yang menyadari akan hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan Negara.
Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warga Negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang.
Didalam hal warga Nahdlatul Ulama menggunakan hak-hak politiknya harus melakukan secara bertanggung jawab, sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hokum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah, dan mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.


  1. 9.    Khatimah

Khittah Nahdlatul Ulama merupakan landasan dan patokan dasar yang perwujudannya dengan izin Allah SWT, terutama tergantung kepada semangat pemimpin warga Nahdlatul Ulama. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama hanya akan memperoleh dan mencapai cita-cita jika pemimpin dan warganya benar-benar meresapi dan mengenalkan Khittah Nahdlatul Ulama ini.

Ihdinashiraathal Mustaqim
Hasbunallah Wani’mal Wakil, Ni’mal Maulaa Wani’man Nashir

Sumber: http://www.facebook.com/groups/channelnahdliyin/doc/208010199250140/
http://channel-nahdliyyin.blogspot.co.id/2012/11/naskah-khittah-nu-1984.html

Hikayat Khittah NU 1926

Hikayat Khittah NU 1926

NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana. Kalimat ini begitu populer hingga sekarang setelah KH Achmad Siddiq menggunakannya untuk mengartikan Khitthah NU. Munculnya kalimat itu sangat erat dengan konteks sejarah yang melingkupinya, terutama pada sekitar tahun 1983-1984. Bagaimana asbabul wurud-nya?
<>
Potongan-potongan sejarah tentang perjalanan NU tersebar di berbagai sumber. Ada yang tersurat dalam buku-buku tentang NU, ada yang terlukis dalam surat kabar, ada yang tertuang dalam cacatan-catatan pribadi, ada pula yang lestari melalui tutur kata orang per orang, dan ada juga yang terkunci dalam memori para pelaku sejarahnya.

Secarik kisah berikut tentu tidak bisa mewakili aspek historis lahirnya Khitthah NU 1926 secara menyeluruh. Namun setidaknya inilah proses peristiwa yang berhasil direkam oleh Aula dari rujukan-rujukan utama tentang Khitthah NU 1926.

Khitthah adalah satu kata dari Bahasa Arab yang berarti garis. Dalam NU, kata Khitthah pertama kali diungkapkan oleh KH Achyat Chalimi (Mojokerto) pada tahun 1954, ketika berlangsung Muktamar NU ke-20 di Surabaya. Kiai Achyat saat itu mengusulkan, “NU harus kembali ke Khitthah, agar tidak awut-awutan begini,” katanya. Namun usulan itu tidak disertai dengan konsep yang utuh, sehingga tidak mendapat banyak perhatian.

Kata Khitthah NU kemudian kembali menjadi perhatian nahdliyin pada Muktamar NU ke-26 pada tahun 1979 di Semarang. Dalam muktamar yang dilaksanakan pada 5-11 Juni 1979 itu, Sekjen PBNU waktu itu, KH Moenasir Ali, memesan buku berjudul Khitthah Nahdliyah yang ditulis oleh KH Achmad Siddiq dalam jumlah besar. Buku kecil itu kemudian dibagi-bagikan kepada peserta muktamar tapi tidak menjadi pembahasan muktamar.

Proses penulisan buku itu juga memiliki kisah tersendiri. Almaghfurlah KH A Muchith Muzadi, yang berperan dalam penulisan buku itu, pernah menuturkan secuil kisahnya kepad penulis. Menurutnya, sewaktu Kiai Achmad akan berangkat haji pada tahun 1978, banyak kiai dan pengurus NU yang diundang, termasuk Kiai Muchit. Saat itu Kiai Achmad memohon didoakan oleh para kiai sekaligus berceramah tentang NU pada masa lalu. Secara spontan Kiai Achmad dan para kiai meminta Kiai Muchith menulis isi ceramah itu.

Saat Kiai Achmad hendak berangkat dan transit di Surabaya, Kiai Muchith berkata: “Pak Achmad, ini catatan kemarin sudah jadi. Apakah mau ditinggal atau dibawa ke Makkah dan dikoreksi di sana?”. “Endi, tak gowo wae (Mana, aku bawa saja),” kata Kiai Achmad.

Setelah Kiai Achmad pulang ke tanah air, ternyata catatan itu sudah dikoreksi. Kemudian digarap lagi oleh Kiai Muchith, diserahkan, dikoreksi lagi dan begitu seterusnya. Sampai pada tahun 1979, setelah dianggap cukup, catatan itu kemudian diketik oleh Kiai Muchith dan diperbanyak hingga 10 eksemplar.

Draf itu memang rencananya dicetak menjadi buku. Namun sebelum Kiai Muchith mencari percetakan yang bisa diajak kerjasama, ternyata ada pegawai percetakan dari Bangil yang datang membawa cetakan percobaan. Ia mengaku mendapat draf buku itu dari Amak Fadholi yang secara kebetulan diberi salinannya oleh Kiai Muchith.

Akhirnya buku itu dicetak dengan judul Khitthah Nahdliyah. Buku kecil itu juga diberi catatan pengantar oleh Wakil Rais Am waktu itu KH Masjkur dan Ketua Umum (Ketum) PBNU waktu itu KH Idham Chalid. Sejak saat itu, kata Khitthah banyak dibicarakan orang. Dan buku inilah yang menjadi  referensi utama untuk merumuskan Khitthah NU 1926 yang dibahas dan diputuskan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU tahun 1983 dan Muktamar NU ke-27 tahun 1984.

Gejolak Organisasi
Khitthah NU 1926 sesungguhnya tidak hanya mengatur hubungan NU dengan partai politik. Tetapi secara historis, kelahiran Khitthah NU 1926 memang sangat dipengaruhi oleh realitas politik yang terjadi di Indonesia pada era awal 1980-an dan berdampak pada roda organisasi di tubuh NU.

Dalam konteks politik, NU pernah terjun ke dunia politik praktis dengan menjadi partai politik pada 1952. Setelah itu, Partai NU mengikuti dua kali Pemilu dan berhasil menjadi tiga partai politik terbesar di tanah air. Namun Partai NU dipaksa fusi pada tahun 1973 oleh pemerintah (Orde Baru) dengan dalih penyederhanaan partai. Sehingga hanya ada dua partai politik, yaitu PPP dan PDI serta Golkar (yang bukan partai politik tapi ikut Pemilu).

NU secara resmi menyatakan bergabung bersama umat Islam lainnya ke dalam PPP. Banyak pengurus NU yang merangkap sebagai pengurus PPP, mulai dari tingkat pusat hingga daerah.  Bahkan Rais Am PBNU KH M Bisri Syansuri juga sekaligus menjabat Ketua Dewan Syura DPP PPP secara bersamaan. NU juga menempatkan beberapa tokohnya untuk menduduki kursi anggota legislatif, hasil Pemilu tahun 1977, baik di pusat maupun di tingkat daerah.

Pada muktamar ke-26 tahun 1979 di Semarang, suara untuk mengembalikan NU lepas dari partai politik sudah mulai terdengar. Salah satunya melalui buku berjudul Khitthah Nahdliyah yang ditulis oleh Kiai Achmad itu. Namun suaranya kurang menggema sehingga tidak bisa menjadi keputusan muktamar. Salah satu keputusan muktamar tersebut adalah memilih KH M Bisri Syansuri sebagai Rais Am yang menjabat sejak 1971 dan KH Idham Chalid sebagai Ketum PBNU yang memimpin sejak 1956.

Suasana berorganisasi kembali seperti semula. Said Budairy menceritakan dalam catatan pribadinya bahwa NU benar-benar mengalami krisis jati diri saat itu. “Sebagai organisasi politik sudah bukan, sedangkan merubah diri menjadi organisasi sosial keagamaan, baru berupa pernyataan. Prilaku masih tetap saja seperti masih sebagai partai politik. Kantor NU ramai dan sibuk hanya ketika menyongsong pemilihan umum. Ketika memasuki fase penyusunan calon untuk Pemilu, Ormas ini tiba-tiba saja persis seperti Parpol, repot banget menyusun daftar calon. Orang-orang berdatangan dari daerah. Khawatir susunan calon di daerahnya tidak sesuai dengan yang diinginkan”.

Keadaan ini diperparah dengan wafatnya Kiai Bisri pada tahun 1980. Kekosongan jabatan Rais Am PBNU berlangsung hingga satu setengah tahun kemudian. Baru pada bulan September 1981, posisi Rais Am PBNU dipercayakan kepada KH Ali Maksum melalui Munas Alim Ulama NU di Yogyakarta.

Namun gejolak di dalam internal NU belum berakhir. Bahkan perpecahan antara syuriah dan tanfidziyah semakin menjadi-jadi. Puncaknya, pada tanggal 2 Mei 1982, dua hari sebelum dilangsungkannya Pemilu, empat orang kiai dari jajaran Syuriah PBNU berkumpul di Jakarta dan mengunjungi KH Idham Chalid di rumahnya di Cipete, Jakarta. Mereka adalah KH Ali Maksum, KH Machrus Aly, KH As’ad Syamsul Arifin dan KH Masjkur.

Mereka meminta Kiai Idham untuk lebih aktif mengurusi PBNU. Namun Kiai Idham tidak memenuhi permintaan mereka karena alasan kesehatan. Lalu Kiai As’ad mengusulkan, bagaimana jika Kiai Idham menyerahkan jabatan Ketum PBNU kepada Rais Am PBNU. Kiai Idham mengiyakan, dan pada hari itu pula Kiai Idham menandatangani surat pengunduran diri yang sebelumnya sudah disiapkan oleh empat kiai tersebut.

Tidak lama kemudian, Kiai Idham mencabut pengunduran diri itu karena para kiai dianggap menyalahi konsensus di antara mereka. Sebab berita pengunduran diri itu sudah tersebar luas dan sudah diketahui oleh pers sebelum perhitungan suara hasil Pemilu 1982 selesai.

Kiai Idham kemudian menyampaikan pengumuman bahwa jabatan Ketum PBNU masih ada di tangannya. Kiai Idham juga menentukan daftar pengurus yang berhak menandatangani surat keluar. Anehnya, nama Kiai Maksum sebagai Rais Am tidak ada dalam daftar itu. Seakan-akan Ketum PBNU itu telah memecat Rais Am. Padahal di pihak lain, Kiai Ali Maksum sudah merasa bahwa jabatan Ketum PBNU sudah diserahkan kepadanya, sehingga ia merangkap sebagai Rais Am sekaligus Ketum PBNU.

Peristiwa itu mengakibatkan kepemimpinan NU terpecah menjadi dua. Gerbong Idham Chalid dikenal dengan istilah kubu Cipete dan gerbong Kiai Ali Maksum dikenal dengan kubu Situbondo. Dualisme kepemimpinan ini berlangsung hingga setahun kemudian. Sampai akhirnya untuk menyelesaikan konflik itu kubu Cipete berencana mengadakan muktamar dan kubu Situbondo hendak menggelar Munas Alim Ulama.

Di tengah-tengah dualisme kepemimpinan itu, para aktivis muda NU mengambil inisiatif yang berbeda. Mereka kerap mengadakan diskusi untuk mencari solusi atas gejolak tersebut. Adalah dr Fahmi D Saifuddin yang menjadi motor penggeraknya. Dia merangkul tokoh-tokoh muda yang waktu itu peduli terhadap nasib NU dan sudah menjauh dari kepentingan politik manapun. Pertama-tama dr Fahmi bertamu ke rumah Said Budairy di rumahnya yang ada di Mampang, Jakarta Selatan, dan mengajaknya bergabung. Setelah itu, bergabung juga Mahbub Djunaidi, M Zamroni, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Danial Tandjung, Slamet Effendi Yusuf, M Ichwan Sam dan sebagainya. Diskusi dan rapat paling sering digelar di rumah Said Budairy yang kemudian dikenal dengan Kelompok G, karena rumah Said Budairy terletak di gang G.

Hasil diskusi-diskusi kecil itu semakin kongkret. Salah satunya adalah menggelar forum diskusi yang lebih besar dengan mengundang 24 tokoh NU dari berbagai daerah. Mereka adalah KH MA Sahal Mahfudz (tidak sempat hadir), KH Musthofa Bisri, KH M Moenasir Ali, KH A Muchith Muzadi, Gus Dur, KH Tholchah Hasan, Dr Asep Hadipranata, Mahbub Djunaidi, M Zamroni, dr Muhammad Thohir, dr Fahmi D Saifuddin, M Said Budairy, Abdullah Sjarwani, SH, M Saiful Mudjab, Umar Basalim, Drs H Cholil Musaddad, Gaffar Rahman, SH, Slamet Effendy Yusuf, M Ichwan Syam, Musa Abdillah, Musthofa Zuhad, M Danial Tanjung, Ahmad Bagdja dan Masdar F Mas’udi.

Diskusi yang membahas tentang NU masa depan itu kemudian dikenal dengan Majelis 24 karena pesertanya berjumlah 24 orang. Mereka berdiskusi pada 12 Mei 1983 di Hotel Hasta Jakarta. Pertemuan itu dilakukan dengan fasilitas yang sangat sederhana. Penyelenggara hanya menyewa ruangan dengan suguhan minuman dan kacang goreng. Malah waktu makan siang, semua peserta mencari makan di trotoar depan hotel. Pertemuan berlangsung sampai malam dan setelah pertemuan selesai, semua pulang ke tempat masing-masing.

Meskipun singkat dan penuh keterbatasan, tapi hasilnya sangat penting. Majelis 24 sepakat membentuk tim yang diberi nama Tim Tujuh Pemulihan Khitthah NU. Anggota tim ini diberi tugas untuk menyusun rumusan Khitthah NU 1926. Sedangkan acuan pokok tentang Khitthah NU adalah buku Khitthah Nahdliyah dan Fikrah Nahdliyah karya KH Ahmad Siddiq.

Kelompok ini disebut Tim Tujuh karena beranggota tujuh orang. Mereka terdiri dari Abdurrahman Wahid (ketua), M Zamroni (wakil ketua), M Said Budairy (sekretaris), Mahbub Djunaidi, dr Fahmi D Saifuddin, M Danial Tanjung dan Ahmad Bagdja (anggota).

Akhirnya Tim Tujuh berhasil menyusun rumusan Khitthah NU 1926 sebelum dilaksanakannya Munas Alim Ulama NU pada 18-21 Desember 1983. Rumusan tersebut kemudian menjadi pembahasan dan disahkan dalam Munas Alim Ulama tahun 1983 di Situbondo. Setelah mengalami beberapa koreksi dari peserta Munas, Khitthah NU 1926 disahkan menjadi keputusan muktamar melalui Komisi Khitthah. (A. Afif Amrullah)

Penulis adalah Redaktur pelaksana Majalah Aula dan Dosen FAI Unsuri Surabaya
Hikayat Khittah NU 1926
NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana. Kalimat ini begitu populer hingga sekarang setelah KH Achmad Siddiq menggunakannya untuk mengartikan Khitthah NU. Munculnya kalimat itu sangat erat dengan konteks sejarah yang melingkupinya, terutama pada sekitar tahun 1983-1984. Bagaimana asbabul wurud-nya?
<>
Potongan-potongan sejarah tentang perjalanan NU tersebar di berbagai sumber. Ada yang tersurat dalam buku-buku tentang NU, ada yang terlukis dalam surat kabar, ada yang tertuang dalam cacatan-catatan pribadi, ada pula yang lestari melalui tutur kata orang per orang, dan ada juga yang terkunci dalam memori para pelaku sejarahnya.

Secarik kisah berikut tentu tidak bisa mewakili aspek historis lahirnya Khitthah NU 1926 secara menyeluruh. Namun setidaknya inilah proses peristiwa yang berhasil direkam oleh Aula dari rujukan-rujukan utama tentang Khitthah NU 1926.

Khitthah adalah satu kata dari Bahasa Arab yang berarti garis. Dalam NU, kata Khitthah pertama kali diungkapkan oleh KH Achyat Chalimi (Mojokerto) pada tahun 1954, ketika berlangsung Muktamar NU ke-20 di Surabaya. Kiai Achyat saat itu mengusulkan, “NU harus kembali ke Khitthah, agar tidak awut-awutan begini,” katanya. Namun usulan itu tidak disertai dengan konsep yang utuh, sehingga tidak mendapat banyak perhatian.

Kata Khitthah NU kemudian kembali menjadi perhatian nahdliyin pada Muktamar NU ke-26 pada tahun 1979 di Semarang. Dalam muktamar yang dilaksanakan pada 5-11 Juni 1979 itu, Sekjen PBNU waktu itu, KH Moenasir Ali, memesan buku berjudul Khitthah Nahdliyah yang ditulis oleh KH Achmad Siddiq dalam jumlah besar. Buku kecil itu kemudian dibagi-bagikan kepada peserta muktamar tapi tidak menjadi pembahasan muktamar.

Proses penulisan buku itu juga memiliki kisah tersendiri. Almaghfurlah KH A Muchith Muzadi, yang berperan dalam penulisan buku itu, pernah menuturkan secuil kisahnya kepad penulis. Menurutnya, sewaktu Kiai Achmad akan berangkat haji pada tahun 1978, banyak kiai dan pengurus NU yang diundang, termasuk Kiai Muchit. Saat itu Kiai Achmad memohon didoakan oleh para kiai sekaligus berceramah tentang NU pada masa lalu. Secara spontan Kiai Achmad dan para kiai meminta Kiai Muchith menulis isi ceramah itu.

Saat Kiai Achmad hendak berangkat dan transit di Surabaya, Kiai Muchith berkata: “Pak Achmad, ini catatan kemarin sudah jadi. Apakah mau ditinggal atau dibawa ke Makkah dan dikoreksi di sana?”. “Endi, tak gowo wae (Mana, aku bawa saja),” kata Kiai Achmad.

Setelah Kiai Achmad pulang ke tanah air, ternyata catatan itu sudah dikoreksi. Kemudian digarap lagi oleh Kiai Muchith, diserahkan, dikoreksi lagi dan begitu seterusnya. Sampai pada tahun 1979, setelah dianggap cukup, catatan itu kemudian diketik oleh Kiai Muchith dan diperbanyak hingga 10 eksemplar.

Draf itu memang rencananya dicetak menjadi buku. Namun sebelum Kiai Muchith mencari percetakan yang bisa diajak kerjasama, ternyata ada pegawai percetakan dari Bangil yang datang membawa cetakan percobaan. Ia mengaku mendapat draf buku itu dari Amak Fadholi yang secara kebetulan diberi salinannya oleh Kiai Muchith.

Akhirnya buku itu dicetak dengan judul Khitthah Nahdliyah. Buku kecil itu juga diberi catatan pengantar oleh Wakil Rais Am waktu itu KH Masjkur dan Ketua Umum (Ketum) PBNU waktu itu KH Idham Chalid. Sejak saat itu, kata Khitthah banyak dibicarakan orang. Dan buku inilah yang menjadi  referensi utama untuk merumuskan Khitthah NU 1926 yang dibahas dan diputuskan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU tahun 1983 dan Muktamar NU ke-27 tahun 1984.

Gejolak Organisasi
Khitthah NU 1926 sesungguhnya tidak hanya mengatur hubungan NU dengan partai politik. Tetapi secara historis, kelahiran Khitthah NU 1926 memang sangat dipengaruhi oleh realitas politik yang terjadi di Indonesia pada era awal 1980-an dan berdampak pada roda organisasi di tubuh NU.

Dalam konteks politik, NU pernah terjun ke dunia politik praktis dengan menjadi partai politik pada 1952. Setelah itu, Partai NU mengikuti dua kali Pemilu dan berhasil menjadi tiga partai politik terbesar di tanah air. Namun Partai NU dipaksa fusi pada tahun 1973 oleh pemerintah (Orde Baru) dengan dalih penyederhanaan partai. Sehingga hanya ada dua partai politik, yaitu PPP dan PDI serta Golkar (yang bukan partai politik tapi ikut Pemilu).

NU secara resmi menyatakan bergabung bersama umat Islam lainnya ke dalam PPP. Banyak pengurus NU yang merangkap sebagai pengurus PPP, mulai dari tingkat pusat hingga daerah.  Bahkan Rais Am PBNU KH M Bisri Syansuri juga sekaligus menjabat Ketua Dewan Syura DPP PPP secara bersamaan. NU juga menempatkan beberapa tokohnya untuk menduduki kursi anggota legislatif, hasil Pemilu tahun 1977, baik di pusat maupun di tingkat daerah.

Pada muktamar ke-26 tahun 1979 di Semarang, suara untuk mengembalikan NU lepas dari partai politik sudah mulai terdengar. Salah satunya melalui buku berjudul Khitthah Nahdliyah yang ditulis oleh Kiai Achmad itu. Namun suaranya kurang menggema sehingga tidak bisa menjadi keputusan muktamar. Salah satu keputusan muktamar tersebut adalah memilih KH M Bisri Syansuri sebagai Rais Am yang menjabat sejak 1971 dan KH Idham Chalid sebagai Ketum PBNU yang memimpin sejak 1956.

Suasana berorganisasi kembali seperti semula. Said Budairy menceritakan dalam catatan pribadinya bahwa NU benar-benar mengalami krisis jati diri saat itu. “Sebagai organisasi politik sudah bukan, sedangkan merubah diri menjadi organisasi sosial keagamaan, baru berupa pernyataan. Prilaku masih tetap saja seperti masih sebagai partai politik. Kantor NU ramai dan sibuk hanya ketika menyongsong pemilihan umum. Ketika memasuki fase penyusunan calon untuk Pemilu, Ormas ini tiba-tiba saja persis seperti Parpol, repot banget menyusun daftar calon. Orang-orang berdatangan dari daerah. Khawatir susunan calon di daerahnya tidak sesuai dengan yang diinginkan”.

Keadaan ini diperparah dengan wafatnya Kiai Bisri pada tahun 1980. Kekosongan jabatan Rais Am PBNU berlangsung hingga satu setengah tahun kemudian. Baru pada bulan September 1981, posisi Rais Am PBNU dipercayakan kepada KH Ali Maksum melalui Munas Alim Ulama NU di Yogyakarta.

Namun gejolak di dalam internal NU belum berakhir. Bahkan perpecahan antara syuriah dan tanfidziyah semakin menjadi-jadi. Puncaknya, pada tanggal 2 Mei 1982, dua hari sebelum dilangsungkannya Pemilu, empat orang kiai dari jajaran Syuriah PBNU berkumpul di Jakarta dan mengunjungi KH Idham Chalid di rumahnya di Cipete, Jakarta. Mereka adalah KH Ali Maksum, KH Machrus Aly, KH As’ad Syamsul Arifin dan KH Masjkur.

Mereka meminta Kiai Idham untuk lebih aktif mengurusi PBNU. Namun Kiai Idham tidak memenuhi permintaan mereka karena alasan kesehatan. Lalu Kiai As’ad mengusulkan, bagaimana jika Kiai Idham menyerahkan jabatan Ketum PBNU kepada Rais Am PBNU. Kiai Idham mengiyakan, dan pada hari itu pula Kiai Idham menandatangani surat pengunduran diri yang sebelumnya sudah disiapkan oleh empat kiai tersebut.

Tidak lama kemudian, Kiai Idham mencabut pengunduran diri itu karena para kiai dianggap menyalahi konsensus di antara mereka. Sebab berita pengunduran diri itu sudah tersebar luas dan sudah diketahui oleh pers sebelum perhitungan suara hasil Pemilu 1982 selesai.

Kiai Idham kemudian menyampaikan pengumuman bahwa jabatan Ketum PBNU masih ada di tangannya. Kiai Idham juga menentukan daftar pengurus yang berhak menandatangani surat keluar. Anehnya, nama Kiai Maksum sebagai Rais Am tidak ada dalam daftar itu. Seakan-akan Ketum PBNU itu telah memecat Rais Am. Padahal di pihak lain, Kiai Ali Maksum sudah merasa bahwa jabatan Ketum PBNU sudah diserahkan kepadanya, sehingga ia merangkap sebagai Rais Am sekaligus Ketum PBNU.

Peristiwa itu mengakibatkan kepemimpinan NU terpecah menjadi dua. Gerbong Idham Chalid dikenal dengan istilah kubu Cipete dan gerbong Kiai Ali Maksum dikenal dengan kubu Situbondo. Dualisme kepemimpinan ini berlangsung hingga setahun kemudian. Sampai akhirnya untuk menyelesaikan konflik itu kubu Cipete berencana mengadakan muktamar dan kubu Situbondo hendak menggelar Munas Alim Ulama.

Di tengah-tengah dualisme kepemimpinan itu, para aktivis muda NU mengambil inisiatif yang berbeda. Mereka kerap mengadakan diskusi untuk mencari solusi atas gejolak tersebut. Adalah dr Fahmi D Saifuddin yang menjadi motor penggeraknya. Dia merangkul tokoh-tokoh muda yang waktu itu peduli terhadap nasib NU dan sudah menjauh dari kepentingan politik manapun. Pertama-tama dr Fahmi bertamu ke rumah Said Budairy di rumahnya yang ada di Mampang, Jakarta Selatan, dan mengajaknya bergabung. Setelah itu, bergabung juga Mahbub Djunaidi, M Zamroni, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Danial Tandjung, Slamet Effendi Yusuf, M Ichwan Sam dan sebagainya. Diskusi dan rapat paling sering digelar di rumah Said Budairy yang kemudian dikenal dengan Kelompok G, karena rumah Said Budairy terletak di gang G.

Hasil diskusi-diskusi kecil itu semakin kongkret. Salah satunya adalah menggelar forum diskusi yang lebih besar dengan mengundang 24 tokoh NU dari berbagai daerah. Mereka adalah KH MA Sahal Mahfudz (tidak sempat hadir), KH Musthofa Bisri, KH M Moenasir Ali, KH A Muchith Muzadi, Gus Dur, KH Tholchah Hasan, Dr Asep Hadipranata, Mahbub Djunaidi, M Zamroni, dr Muhammad Thohir, dr Fahmi D Saifuddin, M Said Budairy, Abdullah Sjarwani, SH, M Saiful Mudjab, Umar Basalim, Drs H Cholil Musaddad, Gaffar Rahman, SH, Slamet Effendy Yusuf, M Ichwan Syam, Musa Abdillah, Musthofa Zuhad, M Danial Tanjung, Ahmad Bagdja dan Masdar F Mas’udi.

Diskusi yang membahas tentang NU masa depan itu kemudian dikenal dengan Majelis 24 karena pesertanya berjumlah 24 orang. Mereka berdiskusi pada 12 Mei 1983 di Hotel Hasta Jakarta. Pertemuan itu dilakukan dengan fasilitas yang sangat sederhana. Penyelenggara hanya menyewa ruangan dengan suguhan minuman dan kacang goreng. Malah waktu makan siang, semua peserta mencari makan di trotoar depan hotel. Pertemuan berlangsung sampai malam dan setelah pertemuan selesai, semua pulang ke tempat masing-masing.

Meskipun singkat dan penuh keterbatasan, tapi hasilnya sangat penting. Majelis 24 sepakat membentuk tim yang diberi nama Tim Tujuh Pemulihan Khitthah NU. Anggota tim ini diberi tugas untuk menyusun rumusan Khitthah NU 1926. Sedangkan acuan pokok tentang Khitthah NU adalah buku Khitthah Nahdliyah dan Fikrah Nahdliyah karya KH Ahmad Siddiq.

Kelompok ini disebut Tim Tujuh karena beranggota tujuh orang. Mereka terdiri dari Abdurrahman Wahid (ketua), M Zamroni (wakil ketua), M Said Budairy (sekretaris), Mahbub Djunaidi, dr Fahmi D Saifuddin, M Danial Tanjung dan Ahmad Bagdja (anggota).

Akhirnya Tim Tujuh berhasil menyusun rumusan Khitthah NU 1926 sebelum dilaksanakannya Munas Alim Ulama NU pada 18-21 Desember 1983. Rumusan tersebut kemudian menjadi pembahasan dan disahkan dalam Munas Alim Ulama tahun 1983 di Situbondo. Setelah mengalami beberapa koreksi dari peserta Munas, Khitthah NU 1926 disahkan menjadi keputusan muktamar melalui Komisi Khitthah. (A. Afif Amrullah)

Penulis adalah Redaktur pelaksana Majalah Aula dan Dosen FAI Unsuri Surabaya
http://www.nu.or.id/post/read/64294/hikayat-khittah-nu-1926