Urang "BADUY" Kanekes, yang bermukim di Pegunungan Kendeng, Banten Selatan, sebagai masyarakat tradisi murni, yang masih kuat menampakan cirri-ciri budaya Nusantara sebelum kedatangan Hindu dan Budha. Diantaranya, penghormatan kepada Roh Karuhun (leluhur) serta tercemin pula dalam sementara bentuk sastra lisannya yang mengandung nilai falsafah Sunda buhun, seperti pada mantera. Sampai kini pada era globalissasi komunikasi, pada penghujung Abad XX, masih kuat dan mantap berdiri dengan jatidirinya. Jatidiri, kepribadian, Sunda antara lain: menghormati karuhun, menjaga dan melestarikan lingkungan serta hidup dalam bergotong royong, serta bermusyawarah untuk mufakat.
Urang Baduy, baik secara etnis, geografis, sejarah, bahasa, juga dalam pengakuan mereka sendiri Urang Baduy adalah Urang Sunda. Untuk membedakan dengan Orang Sunda lainnya yang bertempat tinggal dan berasal di luar daerah Kanekes, mereka menamakan dirinya Sunda Wiwitan.
Adapun istilah Sunda Wiwitan bagi orang Baduy Kanekes, pengertiannya tidak hanya terbatas pada etnik atau sub etnik, tapi juga meliputi geografis, sejarah, bahasa, budaya termasuk adat dan kepercayaan.
Ada satu penuturan orang Baduy yang berbunyi: "Geunna kami ieu tah, ti nu Karolot geh, Urang Sunda bae, Sunda Wiwitan. Apanan kami ieu tah, cicing di tanah Sunda, nu Karolot urang Sunda, omong Sunda, agama Sunda". Arti bebasnya kira-kira: "Kami ini, sejak Leluhur Orang Sunda, Sunda Wiwitan. Sebab kami diam di tanah Sunda , Leluhur orang Sunda, bahasa kami Sunda, agama Sunda". Demikian dikatakan Aki Puun Janol (102 tahun) pada bulan November tahun 1978 di saung Humanya yang berada di Kawasan Baduy Jero Cibeo kepada penulis.
Yang dimaksud Puun, ialah pimpinan tertinggi adat serta pemerintahan adat dan agama. Puun juga merupakan pimpinan tertingggi lembaga ilmu pengetahuan, seperti lembaga untuk meneliti peredaran bintang dalam menentukan penanggalan (kalender) Baduy, hal ini juga bisa dipakai untuk menentukan masa mulai menggarap ladang serta menuai padi. Meneliti garis sastera Bambu untuk menentukan hari kelahiran, perkawinan dan lainnya.
Disamping sastera Bambu, orang Baduy di Kanekes, sejak para karuhun memiliki memiliki Sastera Lisan.
Adapun bahasa yang dipergunakan sebagai media utama dalam sastera Lisan Baduy, adalah Bahasa Sunda dialek Baduy yang telah meninggalkan Kanekes beserta segala pranata masyarakatnya. Dalam hal ini seperti adat kepercayaan, kebiasaan, yang bertumpu pada akar keklasikan serta banyaknya kata-kata dan untaian kalimat Sunda Kuno.
Dikalangan masyarakat Baduy Kanekes, unsur Sunda Kuno itu lebih banyak dibanding yang terdapat dikalangan masyarakat Sunda luar Kanekes. Hal itu dikarenakan sangat gugon tuhonnya mereka memelihara peninggalan karuhun termasuk didalamnya bahasa. Hal itu ditopang pula oleh sangat jarangnya persentuhan mereka dengan budaya luar. Terutama di Tangtu Telu, Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.
Karenanya, merekapun sangat tidak mengenal undak usuk basa. Bagi orang Tangtu undak usuk basa sangat asing. Contoh, untuk orang pertama dengan siapapun mereka berbicara mempergunakan sebutan aing, untuk orang kedua dipergunakan sebuatan sia. Orang Baduy Kanekes, sangat demokratis dalam berbahasa.
Berikut beberapa contoh sastera lisan yang dikenal di kalangan Masyarakat Baduy:
Mantera
Bentuk-bentuk mantera sastera lisan yang terdapat di Baduy Kanekes, diantaranya Mantera, Pantun, Pikukuh, Pitutur, Susuwalan, Riwayat, Cerita Rakyat dan Legenda. Adapun bentuk yang tertua dilihat dari segi bahasa, kandungan isi dan falsafah, serta nafas, ialah Mantera. Aki Puun Djainte dari Baduy Jero Cikeusik, menuturkan bahwa mantera, jauh lebih tua dari pantun serta Sastera Bambu.
Mantera terdiri dari beberapa tingkat. Tua, pertengahan dan muda. Mantera ini juga ditentukan peruntukannya, seperti halnya untuk apa mantera diucapkan, tahun berapa keberadaan dari mantera tersebut, serta bahasa yang dipergunakannya. Namun betapapun mudanya usia sesuatu Mantera, fungsinya dalam kehidupan ritual masyarakat Baduy, menempati urutan yang teratas.
Hal ini sejajar dengan kedudukan serta wibawa pikukuh. "Bisina kagetrak kagetruj, mangkana kudu nyanybla ku omong" (untuk menjaga ada yang tergores, kita harus pamit terlebih dahulu). Ujar Jaro Inas tahun 1980, Dukun Pantun dari Baduy Jero Cikeusik, tentang mantera.
Berikut salah satu contoh mantera maysrakat Baduy :
Sapun
Awaking reuk make pasang panjang pasadun
Pok sablapun
Meunag Ahung tujuh kali
Ahung deui
Ahung deui
Ahung malungga
Ahung malingga
Ahung mangdegdeg
Ahung mangandeg
Ahung manglindu asih
Ka Ambu aing Sira mangambung
Ka Bapa aing Sira mangumbang
Pangjungjungkeun
Panglawungkeun
Ku Ambu aing sira manglaung
Ku Bapa aing sira mangumpang
Pangnyambungkeun aing saur
Pangngapakeun aing saba
Ka luhur ka mega beureum
Ka mega hideung
Ka mega si karambangan
Ka mega si kareumbingan
Ka mega si karenten
Ka mega si kalambatan
Ka mega si kaleumbitan
Ka mega ssi antrawela
Ka kocapna
Ka ucapna
Ka Puncakning ibun
Ka guru putra hiyang bayu
Ka nu weang nyukcruk ibun
Ahung.......
(dari pantun: Langgasari Ngora)
Tingkatan mantera yang dikutip dari mantera yang dipakai dalam Pasundan Pantun Baduy tersebut, termasuk Mantera tingkat pertengahan.
Berikut adalah kutipan dari Mantera yang lebih muda, diambil beberapa bait dari Mantera pada upacara Ngareremokeun (mengawinkan) Nyai Pohaci dengan Bumi. Suatu upacara yang dinamakan pula Ngaseuk.
Dalam tradisi Adat sunda Wiwitan, masa Ngaseuk adalah masa Ngareremokeun padi yang diberi nama sangat indah, agung dan puitis; Nu Geulis Nyai Pohaci Sri Dangdayang Tresnawati, dengan Tanah atau Bumi yang bergelar sangat perkasa:
Weweg sampeg, Mandala pageuh
Mangka tetep mangka langgeng
Mangka langgeng tunggal tineung
Datang hiji datang dua
Datang tilu nungku nungku
Datang opat ngawun ngawun
Datang lima lingga emas
Datang genep nguren nguren
Datang tujuh lilimbungan
Puluhan tanpa wilangan
Terjemahan bebasnya oleh DH. NEH:
Semoga menetap semoga bahagia
Semoga sentausa menyatu kasih
Datang satu datang dua
Datang tiga berangkulan
Datang empat berpasanagan
Datang lima lingga cerlang
Datang enam berpasangan
Datang tujuh menyatu kasih
Berpuluh tidak terhitung
Sedang dalam Mantera mengundang kehadiran Nyai Pohaci Dangdayang Tresnawati pada acara Tari Baksa untuk memeriahkan Ngeslamkeun anak anak Baduy Kanekes, antara lain berbunyi:
Calik calik nu geulis
Nyai Sri calik di dieu
Unggah ka pasaran lega
Geusan sia gagayahan
Geusan sia gagayahan
Di gedong manik mandala pageuh
Lemut teuing ku buruanana
Lesang teuing ku bojana
Nu geulis ranggeuy mirikiniknik
Bar ngampar ku samak metruk
Gasan bujang kasangna bagus
Gasan Nyai tes netepan
Ngajepret palisir bodas
Terjemahan bebasnya oleh DH. NEH:
Silakan singgah nan cantik jelita
Nyai Sri dudukdisini
Naik ke halaman luas
Kalulah jelita pembawa kesuburan
Kaulah jelita pembawa kemakmuran
Duduklah di singgasana manik mandala perkasa
Indahnya halaman yang terhampar
Molek istana yang tersedia
Betapa pemurahnya wahai dikau jelita
Nan cantik molek pembawa kemakmuran
Duduklah beralas tikar kedamaian
Di tempat istirahat indah alamnya
Tempat Nyai menyantaikan diri
Berbaring tenang dengan tentram.
Adapun Mantera dalam jenis tinggi berusia tua, hanya di sablakan pada upacara sakral seperti pada jarah ke Sasaka Domas atau Sasaka Mandala, satu tahun sekali. Pengsablaannya (pembacaan mantera) Hanya dilakukan oleh Girang Puun dari Tangtu Padaageung (Baduy Jero Cikeusik). Sedangkan pengsablaan mantera tua pada upacara sakral Ngalaksa dan Ngawalu tersebut, hanya dapat dilaksanakan Baris Kolot (tertua) tertentu dari Baduy Jero (Tangtu) atau Baduy Luar (Panamping).
Karenanya, wajarlah jika Sastera Lisan Baduy berbentuk Mantera tersebut, hanya dikuasai oleh beberapa Baris Kolot saja. Sehingga dikawatirkan keadaan atau kelestariannya akan cenderung menghadapi kepunahan. Paling tidak ada generasi penerusnya.
Bahasa yang dipergunakan Mantera yang biasa dipakai para Girang Puun, waktu Jarah atau Muja ke Sasaka Pusaka Mandala atau Sasaka Domas, ialah bahasa Sunda Kuno.
Pikukuh, adalh Hukum Adat Baduy Kanekes, yang menyumber pada keyakinan Sunda Wiwitan. Diturunkan dengan lisan turun temurun sejak kurun tahun tidak terhitung. Terjalin dalam untaian kata dan kalimat, berbentuk puisi serta prosa lirik. Seperti: Lonjor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung (panjang tak dapat dipotong, pendek tak dapat disambung).
Pun Sapun ka Luluhuran sakabeh Aing Menta panjang nya pangampurna!
Penulis adalah: Girang Puhu Bale Budaya Baduy Yayasan "Paku Tangtu Telu"
”Hana nguni hana mangke,tan hana nguni tan hana mangke, aya ma baheula aya tu ayeuna,hanteu ma baheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hanama tunggulna aya tu catangna.”
Jumat, 26 Februari 2016
TRITANGTU: KONSEP FALSAFAH SUNDA BUHUN
Istilah Tri Tangtu ini membawa kita kepada pertanyaan ;
1. Kenapa Tri atau tiga ?
2. Apa yang disebut atau yang dimaksud dengan Tangtu ?
Namun sebelum menjawab 2 pertanyaan diatas, ada baiknya kita membahas terlebih dahulu mengenai apa yang disebut BUDAYA, oleh karena Tri Tangtu ini sangat erat melekat dengan Budaya Sunda.
1. Kenapa Tri atau tiga ?
2. Apa yang disebut atau yang dimaksud dengan Tangtu ?
Namun sebelum menjawab 2 pertanyaan diatas, ada baiknya kita membahas terlebih dahulu mengenai apa yang disebut BUDAYA, oleh karena Tri Tangtu ini sangat erat melekat dengan Budaya Sunda.
Kita ketahui , bahwa banyak sekali cerita dan pengertian mengenai apa yang disebut budaya, namun tidak ada salahnya kalau saya mencoba menambahkan satu lagi kriteria budaya ini, mudah-mudahan bisa diterima oleh semua.
Menurut saya pengertian Budaya ini harus ditarik secara makro dan jangan dipersempit,agar dapat mewadahi segala aspek dan dimensi.
Apabila kita berandai-andai tatkala seorang individu mempertanyakan tentang eksistensinya sendiri dalam pertanyaan ; Siapa aku ?, darimana aku ?, dan hendak kemana aku ?, ini merupakan pencarian jati diri.
Proses pencarian jati diri sangat dipengaruhi oleh alam dan lingkungan hidupnya, sehingga dari apa yang dilihat dan dirasakannya akan sampai pada kesimpulan bahwa semua ini ada yang menciptakannya yaitu TUHAN. Apa dan Siapa Tuhan ini, itulah Konsep Ketuhanannya.
Dari konsep ketuhanan ini akan melahirkan pengertian-pengertian filosofis dan agama,saya tidak tahu mana yang lebih dulu antara falsafah atau agama. Namun dari falsafah dan agama akan melahirkan disiplin-disiplin atau sistem-sistem, sistem akan melahirkan berbagai subsistem dan seluruh aspek, mulai dari pencarian jati diri sampai sub sistem , inilah yang disebut Budaya atau adab yang dalam perjalanannya menghasilkan peradaban.
Dalam kaitan 2 pertanyaan mengenai Tri Tangtu diatas ,kita ambil sebagai contoh Konsep Budaya diatas pada budaya Sunda.
Budaya Sunda tentulah sangat erat kaitannya dengan alam dan lingkungan hidupnya.
Dalam pencarian jati diri seorang manusia Sunda yang hidup dalam alam yang Kaya ,Subur Makmur,Gemah Ripah Loh Jinawi, dimana Cai Cur-cor ,Pasir jeung Lebak hejo ngemploh, dimana beratus gunung tinggi yang menyediakan Ribuan macam Tumbuh-tumbuhan dan Ribuan macam Satwa, memberikan Kemudahan dan Kenikmatan hidup bagi manusia Sunda, maka kenikmatan dan kemudahan ini akan dipandang sebagai Anugrah dari sesuatu yang menghendaki dan menciptakannya oleh penuh rasa Kasih dan Suci dan alam yang sempurna ini tentulah diciptakan oleh sesuatu yang sempurna dan maha.
Maka kesimpulan sang pencipta inilah yang disebut Tuhan atau Gusti, Gusti Anu Maha Asih,Anu Maha Suci,Anu Maha Agung dan Asih-lah yang menjadi energi utama dari kehendak Tuhan itu.
Dalam proses penciptaan yang penuh asih ini Tuhan lebih dulu menciptakan jagat atau alam. Yang disebut alam ini adalah terdiri dari 5 unsur yakni Udara atau angkasa, Bumi, Air, Tumbuhan dan Satwa.
Didalam rasa rumasa dan tumarimanya akan anugrah nikmat hidup ini,sadar bahwa segala sesuatu bukanlah miliknya, sekalipun dirinya sendiri adalah milik Tuhan, semua adalah titipan Tuhan dan semua akan terpulang kepada-Nya, kepada kehendak-Nya dan semua akan kembali kepada-Nya, ini yang disebut dengan Wiwitan, yaitu konsep kembali ke asal.
Kesadaran diatas menumbuhkan pengertian bahwa manusia wajib menjaga semua milik dan titipan Tuhan ini, dengan kata lain manusia wajib mengasuh, baik dirinya sendiri,sesamanya maupun lingkungan hidupnya.
Singkatnya pengertian-pengertian diatas menjadi..
- Gusti Anu Asih
– Alam anu Ngasah
– Manusa anu Ngasuh,ngasuh Kujur, Batur jeung Lembur.
Asih-Asah-Asuh ini kita kenal sebagai dasar dari kehendak Tuhan atau hukum alam adalah hukum Tuhan,inti dari hukum alam adalah hukum pasti atau Tangtu.
Pasti atau Tangtu ini terkandung didalam proses wiwitan dan didalam hukum sebab akibat yang dalam istilah Sunda disebut hukum Pepelakan.
Didalam pantun-pantun dan mantra-mantra Sunda kerap kita dengar ada tiga unsur di alam kahiyangan atau alam gaib yaitu Wenang, Kala, Wening.
Wenang: sesuatu yang hanya dimiliki Tuhan atau otoritas Tuhan ,sehingga semesta ini disebutalam pawenangan.
Kala : adalah proses dalam penciptaan yang berisi kehendak atau program dari sang pencipta, perjalanan proses ini perlu waktu atau saat, oleh karena itu kala sering disebut waktu.
Wening : adalah segala sesuatu yang diciptakan dan ia adalah yang menerima dan diam dalam arti Tauhid atau Tahu kepada kehendak pencipta.
Tiga unsur tadi dimanifestasikan menjadi Tuhan Alam, dan Manusia yang merupakan 3 unsur utama semesta. Mungkin dari pengertian-pengertian di atas yang menjadi lahirnya ungkapan Tri Tangtu.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Tri Tangtu merupakan dasar dari akar falsafah Sunda, oleh karena ternyata Tri Tangtu ini merefleksi dan direpresentasikan pada segala sistem dan sub sistem didalam Budaya Sunda seperti pada sistem Negara, sistem Sosial, sistem Hukum, sistem Seni dan lain sebagainya tidak terlepas dari prinsip Tri Tangtu ini, dan ini merupakan tugas kita semua untuk meneliti dan mengungkap keberadaan Hukum Tiga ini sebagai dasar dari Budaya Sunda.
Kita ambil contoh bahwa 3 unsur tadi yaitu Wenang Kala Wening beremanasi sehingga di simbolkan sebagai 3 warna cahaya yaitu Putih, Kuning, dan Merah, Tiga warna ini kita dapati pada Tumpeng, putih di dalamnya yaitu telur atau ikan teri putih, kuning pada nasi atau badannya, serta merah yaitu pada cabai merah sebagai puncak manik.
Tri Tangtu juga di simbolkan didalam bentuk yaitu Segitiga. Segitiga adalah dasar dari segala bentuk. Bentuk segitiga ini kita dapati pada atap rumah tradisi Sunda serta ornamen puncaknya yang disebut Cagak Gunting yang merupakan 2 segitiga yaitu segitiga tak berbatas dan segitiga berbatas sebagai simbol alam gaib dan alam nyata tempat kita hidup. Rumah itu sendiri terdiri dari 3 bagian yaitu Tatapakan dan kolong, bagian tengah serta atap. Disamping itu kita kenal ada Tri Tangtu yang lain yaitu Tri Tangtu Salira, tiga titik pusat dari tiga bagian tubuh yaitu Dada ,Perut dan Kepala disebut titik-titik DA, SA, RA.
DA : titik pusat bagian dada yaitu pada jantung yang merupakan representasi dari unsur Tuhan, Ini dijelaskan karena jantung adalah pusat hidup atau pusat tempat masuknya energi yang menghidupkan yang berasal dari Tuhan yang disebut Daha. Wilayah dada ini adalah wilayah Asih dan wilayah Ketuhanan.
SA : titik pusat bagian perut yaitu pada pusar atau udel, sebagai titik pusat proses perwujudan; bahwa kita diwujudkan didalam perut ibu melalui tali ari-ari yang menyambungkan Bali dan pusar kita. Wilayah Perut ini merupakan representasi dari unsur Alam yang mengasah atau membentuk wujud diri.
RA : titik pusat Otak, titik RA adalah suatu kelenjar yang merupakan pusat syaraf dan pusat otak yang merupakan pula pusat pengendali Badan dan Kehidupan. Wilayah RA ini mewakili unsur Manusia karena kepala inilah yang membedakan manusia dengan mahluk lain ,dengan kata lain kepala adalah wilayah kemanusiaan atau wilayah Asuh.
Titik RA ini dilambangkan sebagai matahari ( atau Dewa Matahari ), Manik Maya atau Rajawali atau Singha atau titik Jenar ( Merah ).
Titik RA yang merupakan pusat segala syaraf yang terdapat pada sum-sum tulang belakang yang berjumlah 25 ruas ditambah 7 ruas tulang leher dilambangkan sebagai Naga ( naga kuning atau emas ) atau Ular berkepala 7 (didalam cerita Hindu) , jadi Naga-Ra adalah badan kita sendiri.
25+7+1 (RA)= 33. Mungkin inilah yang disebut Nu satelu puluh telu oleh orang Kanekes (Baduy), dan menurut cerita ,tinggi tiang utama istana Pajajaran adalah 33 depa.Hitungan 33 juga dipakai sebagai patokan pada Tarawangsa, yaitu dari gong ke gong adalah 33 ketukan .RA sebagai pusat pengendali kehidupan dimana wujud kehidupan ini merupakan Tri Tangtu yaitu Tri Karma yang terdiri dari Bayu, Sabda, Hedap atau Pikir, Ucap dan Lampah ( perbuatan ). Tiga unsur tadi mempunyai Energi dan tiap manusia mempunyai Frekwensinya masing-masing. Akumulasi dari 3 energi ini disebut RAHA (Roh).Tri Karmaatau Pikir , Ucap, Lampah ini juga ditentukan oleh Galuh, Galeuh dan Galih atau menurut istilah sekarang Naluri, Nurani dan Nalar ( SQ,EQ dan IQ).TRI TANGTU DI BUMI
Di dalam kata pengantar terjemahan naskah amanat Galunggung menyatakan bahwa amanat Galunggung Kropak 632 menjelaskan tentang kedudukan Tri Tangtu Di Bumi yaitu, Rama-Resi-Ratu. Ketiga-tiganya mempunyai tugas yang berbeda, akan tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan, tidak ada di antara mereka yang berkedudukan lebih tinggi dari yang lainnya. Tugasnya setara dan sama-sama mulia, ketiga pemimpin tersebut harus bersama-sama menegakkan kebajikan dan kemuliaan melalui ucap dan perbuatan.
Dunia kemakmuran tanggung jawab sang Rama, Dunia kesejahteraan hidup tanggung jawab sang Resi, Dunia pemerintahan tanggung jawab sang Prabu/Ratu. Jagat Palangka di sang Prabu, jagat Daranan di sang Rama, jagat Kreta di sang Resi.
Rama : Representasi dari unsur Tuhan yang dimanifestasikan dalam tugas Rama yaitu bidang Spritual, dimana seorang rama ini adalah manusia yang sudah meninggalkan kepentingan yang bersifat duniawi dan lahiriah, sehingga bisa menjaga rasa asih yang tinggi dan bijaksana.
Resi : Representasi dari unsur alam yang merupakan penyedia bagi kepentinagn kehidupan , maka para Resi merupakan ahli-ahli atau guru-guru didalam bidang-bidang diantaranya pendidikan,militer,pertanian,seni,perdagangan,dan lain sebagainya. Misinya adalah Asah.
Ratu : Representasi unsur manusia yang bertugas untuk mengasuh seluruh kegiatan dan kekayaan negara. Karena misinya adalah Asuh, maka didalam tatanan Sunda para pemimpin ini disebut Pamong atau Pangereh dan bukan Pemerintah.
Bila kita bandingkan dengan keadaan kenyataan masyarakat Sunda masa kini, maka dengan sangat sedih kita harus mengakui bahwa tatanan Tritangtu Di Bumi pada masa dekat Sunda kini telah punah, kecuali pada masyarakat-masyarakat adat.
Hal ini disebabkan karena Tatar Sunda yang sangat strategis , baik secara Geografi maupun secara Geopolitik telah menjadi arena masuknya segala pengaruh asing yang secara penuh diadopsi oleh masyarakat Sunda Modern, oleh karena itu otomatis dan perlahan namun pasti Budaya Sunda tersingkir dan terbunuh dari masyarakatnya sendiri dan tidakmungkin lagi menerapkan tataran asli Sunda pada situasi yang demikian.
“Sukleuk Leuweung Suklek Lampih Jauh Ka Sintung Kalapa, Lieuk deungeun Lieuk Lain Jauh Indung Ka Bapa.”Itulah silokanya manusia Sunda sekarang yang jauh dari asalnya,satu sama lain bagaikan orang asing yang berjalan tanpa tujuan dan tanpa akhir.Apabila kita lihat kekacauan negara kita saat ini yang disebabkan oleh kekacauan politik berdampak kepada ekonomi dan sosial serta aspek-aspek lainnnya, mungkin patut kita pertanyakan apakah kita tidak salah memilih ? ,kita memakai konsep-konsep yang berasal dari Budaya Asing, yang mungkin tidak cocok dengan masyarakat kita sendiri. Bila jawabannya YA, maka mereaktualisasi Tritangtu Di Bumi ini merupakan konsep alternatif bagi tatanan masa depan Indonesia.
Kita tidak usah takut untuk kembali kepada konsep-konsep leluhur kita , karena Menurut prinsip Wiwitan yang berarti siklus, maka sesuatu yang berada dibelakang kita suatu saat akan berada didepan kita.
Leluhur telah berpesan ;TEUDEUN DI HANDEULEUM SIEUM, TUNDA DI HANJUANG SIANG, TUNDA ALAEUN SAMPEUREUN JAGA.
Kita ambil contoh bahwa nabi Muhammad SAW mereformasi masyarakat Arab yang Jahiliyah dengan kembali pada ajaran leluhurnya yaitu Ibrahim A.S. sehingga menghasilkan masyarakat yang sejahtera yaitu masyarakat madani.
PIWEJANG KARUHUN SUNDA (SANGHIYANG SIKSA KANDANG KARESIAN)NaskahSanghyang Siksakandang Karesianberjumlah 30 lembar, ditulis pada tahun 1440 Saka (1518 M). Naskah ini disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode Kropak 630 (Mansukrip Sunda B) Sebagian isi dari naskah dapat diuraikan sebagai berikut :
Kita ambil contoh bahwa nabi Muhammad SAW mereformasi masyarakat Arab yang Jahiliyah dengan kembali pada ajaran leluhurnya yaitu Ibrahim A.S. sehingga menghasilkan masyarakat yang sejahtera yaitu masyarakat madani.
PIWEJANG KARUHUN SUNDA (SANGHIYANG SIKSA KANDANG KARESIAN)NaskahSanghyang Siksakandang Karesianberjumlah 30 lembar, ditulis pada tahun 1440 Saka (1518 M). Naskah ini disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode Kropak 630 (Mansukrip Sunda B) Sebagian isi dari naskah dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Dasakerta
Kesejahteraan hidup dapat dicapai bila kita mampu memelihara 10 bagian tubuh yaitu :
1.Telinga
2.Mata
3.Kulit
4.Lidah
5.Hidung
6.Mulut
7.Tangan
8.Kaki
9.Tumbung (Dubur)
10.Alat kelamin (Purusa)
Jika 10 bagian tubuh tersebut tidak dijaga dapat mendatangkan musibah (dora bancana) tetapi bila digunakan dengan benar dapat membawa kesejahteraan (dasa kereta). Dahulu para paraji (dukun bayi) selalu membisikan wejangan pada telinga kiri bayi sesudah dimandikan “Ulah sadengena mun lain dengekeunana” (janganlah mendengar apa apa yang tidak pantas di dengar)
2. Dasa Prebakti
Ajaran ini menuntut ketataan seseorang pada orang lain karena kedudukannya, seperti : anak taat pada orangtua, istri taat pada suami, murid taat pada guru. Ini dimaksudkan agar kehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat berjalan dengan baik dan lancar.
1.Telinga
2.Mata
3.Kulit
4.Lidah
5.Hidung
6.Mulut
7.Tangan
8.Kaki
9.Tumbung (Dubur)
10.Alat kelamin (Purusa)
Jika 10 bagian tubuh tersebut tidak dijaga dapat mendatangkan musibah (dora bancana) tetapi bila digunakan dengan benar dapat membawa kesejahteraan (dasa kereta). Dahulu para paraji (dukun bayi) selalu membisikan wejangan pada telinga kiri bayi sesudah dimandikan “Ulah sadengena mun lain dengekeunana” (janganlah mendengar apa apa yang tidak pantas di dengar)
2. Dasa Prebakti
Ajaran ini menuntut ketataan seseorang pada orang lain karena kedudukannya, seperti : anak taat pada orangtua, istri taat pada suami, murid taat pada guru. Ini dimaksudkan agar kehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat berjalan dengan baik dan lancar.
3. Pancaaksara Guruning Janma
Dalam Siksakandang dituturkan : “Pancaaksara ma byakta nu katongton kawreton, kacakeuh ku indriya” (Pancaaksara adalah kenyataan yang terlihat dan teralami, serta tertangkap oleh indera). Artinya : “Pengalaman harus dijadikan sebagai pelajaran bagi manusia” dimana melalui pengalaman itu akan diperoleh hakikat dari diri manusia dan lingkungannya.
4. Darma Mitutur
Wejangan ini berkaitan dengan keharusan untuk seorang untuk belajar dari pengalaman dan dalam menuntut ilmu seseorang harus memiliki penyikapan untuk tidak memandang waktu, guru dan yang harus digurui dan harus bersikap teliti dan selektif. Darma Pitutur tersebut diuraikan melalui suatu siloka sunda kuno sebagai berikut:
-Tadaga kang carita hangsa (Ingin tahu tentang telaga, tanyalah angsa
-Gajendra carita banen (Ingin tahu tentang hutan, tanyalah gajah)
-Matsyanem carita sagarem (Ingin tahu tentang laut, tanyalah ikan)
-Puspanen carita bangbarem (Ingin tahu tentang bunga, tanyalah kumbang)
-Tadaga kang carita hangsa (Ingin tahu tentang telaga, tanyalah angsa
-Gajendra carita banen (Ingin tahu tentang hutan, tanyalah gajah)
-Matsyanem carita sagarem (Ingin tahu tentang laut, tanyalah ikan)
-Puspanen carita bangbarem (Ingin tahu tentang bunga, tanyalah kumbang)
5. Ngawakan Tapa di Nagara
Setiap orang harus memiliki kemampuan dan keahlian, mulai dari seorang penggembala hingga pembesar kerajaan. Pada Naskah ini, disebutkan : “Sing sawatek guna, aya na satya diguna kahuluan; eta kehna turutaneun, kena eta ngawakan tapa di nagara” (Segala keahlian yang dengan setia dilakukan untuk negara, harus ditiru, karena itu berartu melakukan tapa di negara).
Contoh dari pekerjaan dan keahlian yang bermanfaat bagi negara antara lain adalah mentri, bayangkhara, pengalasan, pelukis, pandai emas, pandai besi, penyadap, prajurit, pemanah, pemungut pajak, penangkap ikan, penyelam dll.
6. Tritangtu Di Nu Reya
Merupakan tiga sendi kemenangan dalam masyarakat yang meliputi sikap “teguh, pageuh, tuhu” dalam kebenaran, Sikap ini mutlak dilakukan demi tercapainya kesejahteraan hidup. Bila setiap orang jujur dan benar dalam menjalankan tugasnya maka sejahtera di utara-selatan-barat-timur dan dimanapun yang ada dibawah langit.
7. Hidup yang pantas dan bersahaja
Setiap orang dianjurkan untuk selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu : “ Pakeun nu tiwas kala manghurip, emat-imeut rajeun leukeun, peda predana” (agar tidak sengsara selama hidup, haruslah hemat dan rajin, cukup pakaian).
Sikap hidup yang bersahaja dan tidak berlebihan ini diuraikan :
“Jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tampa ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekadar penghilang kantuk, minum tuak sekadar penghilang haus, makan sekadar penghilang lapar, jangan berlebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa apa).
“Jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tampa ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekadar penghilang kantuk, minum tuak sekadar penghilang haus, makan sekadar penghilang lapar, jangan berlebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa apa).
8. Jangan gila pujian
Dinyatakan, “lamun aya nu muji urang, suita, maka geuning urang guminta pulangkeun ka nu muji, pakeun urang nu kapentingan ku pamuji sakalih. Lamun urang daek dipuji na kadyanggantang galah dawa minambungan tuna”
(Jika ada orang yang memuji kita, lalu sadarlah, kembalikan kepada pemuji, janganlah sekali kali mengharapkan pujian orang lain. Bila kita senang dipuji, sama halnya dengan galah panjang diberi sambungan sampai tidak dapat digunakan karna terlalu panjang).
(Jika ada orang yang memuji kita, lalu sadarlah, kembalikan kepada pemuji, janganlah sekali kali mengharapkan pujian orang lain. Bila kita senang dipuji, sama halnya dengan galah panjang diberi sambungan sampai tidak dapat digunakan karna terlalu panjang).
9. Panca ParisudaPanca Parisuda memiliki arti Lima Obat Penawar. Ini kaitannya dengan sikap menerima kritik “Lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih” (Bila ada yang mengkritik kita, terimalah kritik orang lain itu).Anggaplah ibarat kita sedang dekil menemukan air untuk mandi, ibarat sedang lapar ada yang memberi nasi, ibarat sedang dahaga ada yang memberikan minuman.Dengan sikap tersebut dikatakannya ,“Kadyangga ning galah cedek tunugalan teka” (Sama halnya dengan sodok dipapas menjadi runcing). Dengan kritik, akal budi kita akan makin kukuh dan tajam.
10. Hidup yang penuh berkahPelengkap hidup agar selamat dalam kehidupan dan mendapat berkah dalam hidup harus :
1.Cermat
2.Teliti
3.Rajin
4.Tekun
5.Cukup Sandang
6.Bersemangat
7.Berpribadi pahlawan
8.Bijaksana
9.Berani Berkorban
10.Dermawan
11.Gesit
12.Cekatan
11. Parigeuing dan Dasa pasanta Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional ada 3 posisi yang menjadi tonggak kehidupan, yaitu Rama (Pendiri kampung dan Pemimpin masyarakat) Resi (Ulama atau Pendeta) Prabu (Raja yang memiliki kekuasaan) Dalam naskah, dianjuran agar orang berusaha memiliki wibawa seorang prabu, ucapan seorang rama dan tekad seorang resi.
Sumber :http://atlantissunda.wordpress.com/2011/09/16/tritangtu-konsep-sunda-buhun/
Kamis, 25 Februari 2016
Arti Pandawa Dipawayangan
Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa Sanskerta (Dewanagari: पाण्डव; Pāṇḍava), yang secara harfiah berarti anak Pandu (Dewanagari: पाण्डु; IAST: Pāṇḍu), yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa adalah protagonis sedangkan antagonis adalah para Korawa, yaitu putera Dretarastra, saudara ayah mereka (Pandu). Menurut susastra Hindu (Mahabharata), setiap anggota Pandawa merupakan penjelmaan (penitisan) dari Dewa tertentu, dan setiap anggota Pandawa memiliki nama lain tertentu. Misalkan nama "Werkodara" arti harfiahnya adalah "perut serigala". Kelima Pandawa menikah dengan Dropadi yang diperebutkan dalam sebuah sayembara di Kerajaan Panchala, dan memiliki (masing-masing) seorang putera darinya.
Para Pandawa merupakan tokoh penting dalam bagian penting dalam wiracarita Mahabharata, yaitu pertempuran besar di daratan Kurukshetra antara para Pandawa dengan para Korawa serta sekutu-sekutu mereka. Kisah tersebut menjadi kisah penting dalam wiracarita Mahabharata, selain kisah Pandawa dan Korawa main dadu. Para Pandawa terdiri dari lima orang pangeran, tiga di antaranya (Yudistira, Bima, dan Arjuna) merupakan putra kandung Kunti, sedangkan yang lainnya (Nakula danSadewa) merupakan putra kandung Madri, namun ayah mereka sama, yaitu Pandu.
Yudistira merupakan saudara para Pandawa yang paling tua. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Yama dan lahir dari Kunti. Sifatnya sangat bijaksana, tidak memiliki musuh, dan hampir tak pernah berdusta seumur hidupnya. Memiliki moral yang sangat tinggi dan suka mema’afkan serta suka mengampuni musuh yang sudah menyerah. Memiliki julukan Dhramasuta (putera Dharma), Ajathasatru (yang tidak memiliki musuh), dan Bhārata (keturunan Maharaja Bharata). Ia menjadi seorang Maharaja dunia setelah perang akbar di Kurukshetra berakhir dan mengadakan upacara Aswamedha demi menyatukan kerajaan-kerajaan India Kuno agar berada di bawah pengaruhnya. Setelah pensiun, ia melakukan perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama dengan saudara-saudaranya yang lain sebagai tujuan akhir kehidupan mereka. Setelah menempuh perjalanan panjang, ia mendapatkan surga.
Bima merupakan putra kedua Kunti dengan Pandu. Nama bhimā dalam bahasa Sansekerta memiliki arti "mengerikan". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu sehingga memiliki nama julukan Bayusutha. Bima sangat kuat, lengannya panjang, tubuhnya tinggi, dan berwajah paling sangar di antara saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia memiliki hati yang baik. Pandai memainkan senjata gada. Senjata gadanya bernama Rujakpala dan pandai memasak. Bima juga gemar makan sehingga dijuluki Werkodara. Kemahirannya dalam berperang sangat dibutuhkan oleh para Pandawa agar mereka mampu memperoleh kemenangan dalam pertempuran akbar di Kurukshetra. Ia memiliki seorang putera dari ras rakshasa bernama Gatotkaca, turut serta membantu ayahnya berperang, namun gugur. Akhirnya Bima memenangkan peperangan dan menyerahkan tahta kepada kakaknya, Yudistira. Menjelang akhir hidupnya, ia melakukan perjalanan suci bersama para Pandawa ke gunung Himalaya. Di sana ia meninggal dan mendapatkan surga. Dalam pewayangan Jawa, dua putranya yang lain selain Gatotkaca ialah Antareja dan Antasena.
Arjuna merupakan putra bungsu Kunti dengan Pandu. Namanya (dalam bahasa Sansekerta) memiliki arti "yang bersinar", "yang bercahaya". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra, Sang Dewa perang. Arjuna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah dan dianggap sebagai ksatria terbaik oleh Drona. Kemahirannnya dalam ilmu peperangan menjadikannya sebagai tumpuan para Pandawa agar mampu memperoleh kemenangan saat pertempuran akbar di Kurukshetra. Arjuna memiliki banyak nama panggilan, seperti misalnya Dhananjaya (perebut kekayaan – karena ia berhasil mengumpulkan upeti saat upacara Rajasuya yang diselenggarakan Yudistira); Kirti (yang bermahkota indah – karena ia diberi mahkota indah oleh Dewa Indra saat berada di surga); Partha (putera Kunti – karena ia merupakan putra Perta alias Kunti). Dalam pertempuran di Kurukshetra, ia berhasil memperoleh kemenangan dan Yudistira diangkat menjadi raja. Setelah Yudistira mangkat, ia melakukan perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama para Pandawa dan melepaskan segala kehidupan duniawai. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan mencapai surga.
Nakula merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Sadewa, yang lebih kecil darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama adiknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain. Nakula pandai memainkan senjata pedang. Dropadi berkata bahwa Nakula merupakan pria yang paling tampan di dunia dan merupakan seorang ksatria berpedang yang tangguh. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam masa pengasingan di hutan, Nakula dan tiga Pandawa yang lainnya sempat meninggal karena minum racun, namun ia hidup kembali atas permohonan Yudistira. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengasuh kuda. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga.
Sadewa merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Nakula, yang lebih besar darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama kakaknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain. Sadewa adalah orang yang sangat rajin dan bijaksana. Sadewa juga merupakan seseorang yang ahli dalam ilmu astronomi. Yudistira pernah berkata bahwa Sadewa merupakan pria yang bijaksana, setara dengan Brihaspati, guru para Dewa. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengembala sapi. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga.
Masa kanak-kanak
Pandawa lima yang terdiri atas Yudistira, Arjuna, Bima, Nakula dan Sadewa, memiliki saudara yang bernama Duryodana dan 99 adiknya yang merupakan anak dari Dretarastra yang tak lain adalah paman mereka, sekaligus Raja Hastinapura. Sewaktu kecil mereka suka bermain bersama, tetapi Bima suka mengganggu sepupunya. Lambat laun Duryodana merasa jengkel karena menjadi korban dan gangguan dari ejekan Bima. Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan para Pandawa beserta ibunya.
Dretarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh para Pandawa beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Waranawata. Di sana terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat Pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa. Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan rimba. Di hutan rimba, Pandawa bertemu dengan raksasa Hidimba, dan adiknya Hidimbi. Hidimba dibunuh oleh Bima, lalu Hidimbi dinikahi. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca. Setelah beberapa lama, Hidimbi dan Gatotkaca berpisah dengan para Pandawa sebab para pangeran tersebut harus melanjutkan perjalanannya.
Pandawa lima yang melarikan diri ke rimba mengetahui akan diadakan sayembara di Kerajaan Panchala dengan syarat, barang siapa yang dapat membidik sasaran dengan tepat boleh menikahkan putri Raja Panchala (Drupada) yang bernama Panchali atau Dropadi. Arjuna pun mengikuti sayembara itu dan berhasil memenangkannya, tetapi Bima yang berkata kepada ibunya, "lihat apa yang kami bawa ibu!". Kunti, menjawab, "Bagi saja secara rata apa yang kalian dapat". Karena perkataan ibunya. Pancali pun bersuamikan lima orang.
Bima merobek dada Dursasana dan meminum darahnya di medan perang Kurukshetra. Lukisan dari Lahore, th. 1930-an.
Pamannya (Dretarastra) yang mengetahui bahwa Pandawa lima ternyata belum mati pun mengundang mereka untuk kembali ke Hastinapura dan memberikan hadiah berupa tanah dari sebagian kerajaannya, yang akhirnya Pandawa lima membangun kota dari sebagian tanah yang diberikan pamannya itu hingga menjadi megah dan makmur yang diberi nama Indraprastha. Duryodana yang pernah datang ke Indraprastha iri melihat bangunan yang begitu indah, megah dan artistik itu. Setelah pulang ke Hastinapura ia langsung memanggil arsitek terkemuka untuk membangun pendapa yang tidak kalah indahnya dari pendapa di Indraprastha. Bersamaan dengan pembangunan pendapa di Hastinapura ia pun merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan Yudistira dan adik adiknya. Yang pada akhirnya Yudistra pun terjebak dalam rencananya Duryodana dan harus menjalani pengasingan selama 14 Tahun, di dalam pengasingan itu Yudistira pun menyusun rencana untuk membalas dendam atas penghinaan yang telah dilakukan Duryodana dan adik adiknya, yang akhirnya memicu terjadinya perang besar antara Pandawa dan Korawa serta sekutu-sekutunya.
Pertempuran besar di Kurukshetra (atau lebih dikenal dengan istilah Bharatayuddha di Indonesia) merupakan pertempuran sengit yang berlangsung selama delapan belas hari. Pihak Pandawa maupun pihak Korawa sama-sama memiliki ksatria-ksatria besar dan angkatan perang yang kuat. Pasukan kedua belah pihak hampir gugur semuanya, dan kemenangan berada di pihak Pandawa karena mereka berhasil bertahan hidup dari pertempuran sengit tersebut. Semua Korawa gugur di tangan mereka, kecuali Yuyutsu, satu-satunya Korawa yang memihak Pandawa sesaat sebelum pertempuran berlangsung.
Setelah Kresna wafat, Byasa menyarankan para Pandawa agar meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup sebagai pertapa. Sebelum meninggalkan kerajaan, Yudistira menyerahkan tahta kepada Parikesit, cucu Arjuna. Para Pandawa beserta Dropadi melakukan perjalanan terakhir mereka di Gunung Himalaya. Sebelum sampai di puncak, satu persatu dari mereka meninggal dalam perjalanan. Hanya Yudistira yang masih bertahan hidup dan didampingi oleh seekor anjing yang setia. Sesampainya di puncak, Yudistira dijemput oleh Dewa Indra yang menaiki kereta kencana. Yudistira menolak untuk mencapai surga jika harus meninggalkan anjingnya. Karena sikap tulus yang ditunjukkan oleh Yudistira, anjing tersebut menampakkan wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma. Dewa Dharma berkata bahwa Yudistira telah melewati ujian yang diberikan kepadanya dengan tenang dan ia berhak berada di surga.
Sesampainya di surga, Yudistira terkejut karena ia tidak melihat saudara-saudaranya, sebaliknya ia melihat Duryodana beserta sekutunya di surga. Dewa Indra berkata bahwa saudara-saudara Yudistira berada di neraka. Mendengar hal itu, Yudistira lebih memilih tinggal di neraka bersama saudara-saudaranya daripada tinggal di surga. Pada saat itu, pemandangan tiba-tiba berubah. Dewa Indra pun berkata bahwa hal tersebut merupakan salah satu ujian yang diberikan kepadanya, dan sebenarnya saudara Yudistira telah berada di surga. Yudistira pun mendapatkan surga.
Sumber : http://blog-urangsunda.blogspot.com/
Minggu, 14 Februari 2016
Kerajaan Sunda Galuh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Kerajaan Sunda
Galuh adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan besar di Tanah
Sunda yang saling terkait erat, yaitu Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh. Kedua kerajaan tersebut merupakan
pecahan dari kerajaanTarumanagara. Berdasarkan peninggalan sejarah
seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan
Sunda berada di daerah yang sekarang menjadi kota Bogor,
sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah kota Kawali di Kabupaten
Ciamis.
Nama
kerajaan
Banyak sumber
peninggalan sejarah yang menyebut perpaduan kedua kerajaan ini dengan nama Kerajaan
Sunda saja. Perjalanan pertama Prabu Jaya Pakuan (Bujangga
Manik) mengelilingi pulau Jawa dilukiskan sebagai berikut
Sadatang ka tungtung Sunda
Meuntasing di Cipamali
Datang ka alas Jawa
|
Ketika ku mencapai perbatasan Sunda
Aku menyeberangi Cipamali (yang sekarang dinamai kali Brebes) dan masuklah aku ke hutan Jawa |
Menurut Tome
Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, “Summa Oriental (1513 – 1515)”, dia
menuliskan bahwa:
The Sunda kingdom take up half of the whole island of Java; others, to whom
more authority is attributed, say that the Sunda kingdom must be a third part
of the island and an eight more. It ends at the river chi Manuk. They say that
from the earliest times God divided the island of Java from that of Sunda and
that of Java by the said river, which has trees from one end to the other, and
they say the trees on each side line over to each country with the branches on
the ground.
Keterangan
keberadaan kedua kerajaan tersebut juga terdapat pada beberapa sumber sejarah
lainnya. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan
Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan
Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati.
Berdirinya
kerajaan Sunda dan Galuh
Pembagian Tarumanagara
Tarusbawa yang
berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, pada tahun 669 M menggantikan kedudukan
mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor
Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan
keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun
670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini
dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga
kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.
Dengan dukungan
Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada
Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi
karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah
dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Pada
tahun 669 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Lokasi ibu kota Sunda
Maharaja
Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman
dekat hulu Sungai Cipakancilan.[3] Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini
hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai
tahun 723 M.
Sunda sebagai
nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah
Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di
daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya.
Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan
Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di
Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak ibukota
Tarumanagara.
Keterlibatan Kalingga
Karena putera
mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota
(bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami
puteri ini adalah cicit Wretikandayun bernama Rakeyan Jamri, yang dalam tahun
723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda ke-2. Sebagai penguasa Kerajaan
Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan setelah menguasai Kerajaan
Galuh dikenal dengan nama Sanjaya.
Ibu dari
Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga,
di Jepara.
Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman
dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya,
Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari
tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu
ibu, tapi lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Sundapura,
pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali
memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk
memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari,
Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan
bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora. Setelah itu ia menjadi Raja Kerajaan
Sunda Galuh.
Sanjaya adalah
penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).
Sebagai ahli
waris Kerajaan Kalingga,
Sanjaya menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram
Kuno) pada tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada
puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Ia
adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dariSudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga
Selatan atau Bumi Sambara.
Prasasti
Jayabupati
Isi prasasti
Telah
diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam
prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris
sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu
bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak,
Sukabumi. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah
ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun
dalam huruf dan bahasa Jawa
Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan
nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama
(menurut Pleyte):
D 73 :
//O// Swasti shakawarsatita 952
karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka
diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen
wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana
wikra-mottunggadewa, ma-
D 96 :
gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati
prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan
pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i
sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan
pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.
D 97 :
sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.
Terjemahan isi
prasasti, adalah sebagai berikut:
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari
Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri
Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita
Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang
Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar
ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini
sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah
hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar.
Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.
Sumpah yang
diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98).
Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga
agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut
diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan
menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah
dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang kabeh(ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).
Tanggal prasasti
Tanggal
pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut
Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun
(952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan
corak Jawa Timur.
Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan
gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita
Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda
ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.
Penyebab
perpecahan
Telah diungkapkan
sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu
terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Tiongkok yang menyebutkan bahwa utusan
Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M.
Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada
Kaisar Tiongkok dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9
bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal
18 Mei 669 M.
Sanna dan Purbasora
Tarusbawa
adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh ketiga.
Tokoh ini juga dikenal dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti Canggal (732 M),
sekaligus paman dari Sanjaya.
Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi
menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh
Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera
sulungnya, Batara Danghyang Guru Sempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung.
Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak,
raja Galuh kedua (702-709 M).
Sebenarnya
Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara
Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan
kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak
boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi
tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak
atas tahta Galuh. Lagipula asal usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah
hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.
Dengan bantuan
pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan
perebutan tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan,
meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa.
Sanjaya dan Balangantrang
Sanjaya, anak
Sannaha saudara perempuan Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga
Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya
dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.
Sebelum itu ia
telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang
juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan
pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam
dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri
hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir
pasukan.
Patih itu
bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap
sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari
putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul, yang tak bisa
menggantikan Wretikandayun karena menderita "kemir" atau hernia.
Balangantrang bersembunyi di kampung Gègèr Sunten dan dengan diam-diam
menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah
Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga
dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora
menjatuhkan Sena.
Sanjaya
mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga keraton
Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi
penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya.
Setelah berhasil mengalahkan Purbasora, ia segera menghubungi uwaknya,
Sempakwaja, di Galunggung dan meminta dia agar Demunawan, adik Purbasora,
direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu
karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk
melenyapkan Demunawan.
Sanjaya sendiri
tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya.
Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia
menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja
Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di
Galuh ia mengangkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu
berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia
telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa
sejak muda. Ia memiliki julukan Bagawat Sajalajaya.
Premana, Pangrenyep dan Tamperan
Penunjukkan
Preman oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu,
isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu
mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua
Wretikandayun.
Pasangan
Premana dan Nagandingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah
(lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh).
Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung
Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari
ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan
sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.
Untuk mengikat
kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya
menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda.
Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus
memimpin "garnizun" Sunda di ibukota Galuh.
Premana
Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak
berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati
terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun
terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima
oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.
Kedudukan
Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang
berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena
kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di
dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan
istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih
Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan
mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat
skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa
alias Banga (723 M).
Skandal itu
terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19
tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan
telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa;
ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai
orang Sunda di Galuh kurang disenangi.
Untuk menghapus
jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti
pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini
rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.
Tamperan sebagai raja
Dalam tahun 732
M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia
meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara
puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan
Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru
Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Demikianlah
Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun
732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam
menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki
Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya
ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.
Sesuai dengan
rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan
dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga.
Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung
ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.
Kudeta itu
berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah
berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep
termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian
dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan
Pangrenyep dari tahanan.
Akan tetapi hal
itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada
Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan
kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri
melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan
Pangrenyep.
Manarah dan Banga
Berita kematian
Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah),
yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah
telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh
sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi
Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.
Perang besar
sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi
Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di
keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda
kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh
yang selama periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali.
Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski
Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa
ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.
Untuk
memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit
Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara
Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu
Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik
Kancanawangi.
Keturunan
Sunda dan Galuh selanjutnya
Naskah tua dari
kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut,
yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah
membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk
mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia berjuang 20 tahun sebelum
berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari
kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739-766).
Manarah, dengan
gelar Prabu Suratama atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana,
dikaruniai umur panjang dan memerintah di Galuh antara tahun 739-783.[4]Dalam
tahun 783 ia melakukan manurajasuniya, yaitu mengundurkan diri dari
tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat. Ia baru wafat tahun 798
dalam usia 80 tahun.
Dalam
naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini sering dikacaukan. Tidak saja
dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua, tapi juga dalam penempatan
mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu
dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai
tampak dalam naskah Carita Waruga Guru, yang ditulis pada pertengahan
abad ke-18. Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang
dianggap sebagai pendiri kerajaanMajapahit.
Padahal, Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293,
527 tahun setelah Banga wafat.
Keturunan Manarah
putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta
Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang
menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun
852, kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga;
sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton Sunda, Galuh, dan Kuningan (Saunggalah).
Hubungan
Sunda Galuh dan Sriwijaya
Sri Jayabupati
yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia
putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja
Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa,
raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga.
Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya,
Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.
Raja Sri
Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera
Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus
menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya,
Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal
diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Dharmawangsa
diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya.
Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia
dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang
dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut
pralaya itu terjadi pada tahun 1019 M.
Hubungan
dengan berdirinya Majapahit
Prabu Guru Darmasiksa
Prabu Sanghyang Wisnu memiliki putra mahkota Rakeyan Jayadarma, dan
berkedudukan di Pakuan. Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantaraparwa
II sarga 3, Rakeyan Jayadarma adalah menantu Mahisa
Campaka di Jawa Timur, karena ia berjodoh dengan putrinya bernama Dyah Lembu
Tal. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wong Ateleng, yang merupakan anak dari Ken Angrok dan Ken Dedes dari Kerajaan Singhasari.
Rakeyan Jayadarma
dan Dyah Lembu Tal berputera Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih dikenal
dengan nama Raden
Wijaya yang dikatakan terlahir di Pakuan. Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah
turunan ke-4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam usia
muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, Raden
Wijaya dan ibunya kembali ke Jawa Timur.
Dalam Babad Tanah
Jawi Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pasundan. Sebagai keturunan Jayadarma, ia
adalah penerus tahta Kerajaan Sunda-Galuh yang sah, yaitu apabila Prabu Guru
Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu mangkat. Kematian Jayadarma mengosongkan
kedudukan putera mahkota, karena Raden Wijaya berada di Jawa Timur dan kemudian
menjadi raja pertama Majapahit.
Daftar
raja-raja Sunda Galuh
Raja-raja Sunda sampai Sri
Jayabupati
Di bawah ini
adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati, yang berjumlah 20
orang :
Raja-raja Sunda sampai Sri
Jayabupati
|
|||
No
|
Raja
|
Masa pemerintahan
|
Keterangan
|
1
|
|||
2
|
Sanjaya Harisdarma
|
cucu-menantu no. 1
|
|
3
|
Tamperan Barmawijaya
|
||
4
|
Rakeyan Banga
|
||
5
|
Rakeyan Medang Prabu Hulukujang
|
||
6
|
Prabu Gilingwesi
|
menantu no. 5
|
|
7
|
Pucukbumi Darmeswara
|
menantu no. 6
|
|
8
|
Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus
|
||
9
|
Prabu Darmaraksa
|
adik-ipar no. 8
|
|
10
|
Windusakti Prabu Dewageng
|
||
11
|
Rakeyan Kemuning Gading Prabu
Pucukwesi
|
||
12
|
Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa
|
menantu no. 11
|
|
13
|
Prabu Resi Atmayadarma
Hariwangsa
|
||
14
|
Limbur Kancana
|
anak no. 11
|
|
15
|
Prabu Munding Ganawirya
|
||
16
|
Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung
Gadung
|
||
17
|
Prabu Brajawisesa
|
||
18
|
Prabu Dewa Sanghyang
|
||
19
|
Prabu Sanghyang Ageng
|
||
20
|
Prabu Detya Maharaja Sri
Jayabupati
|
Catatan: Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga
(no. 4), dan Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelah barat Sungai
Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.
Raja-raja Galuh sampai Prabu
Gajah Kulon
Di bawah ini
adalah urutan raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon, yang berjumlah 13
orang :
Raja-raja Galuh sampai Prabu
Gajah Kulon
|
|||
No
|
Raja
|
Masa pemerintahan
|
Keterangan
|
1
|
|||
2
|
|||
3
|
Rahyang Bratasenawa
|
||
4
|
Rahyang Purbasora
|
sepupu no. 3
|
|
5
|
Sanjaya Harisdarma
|
anak no. 3
|
|
6
|
Adimulya Premana Dikusuma
|
cucu no. 4
|
|
7
|
Tamperan Barmawijaya
|
anak no. 5
|
|
8
|
Manarah
|
anak no. 6
|
|
9
|
Guruminda Sang Minisri
|
menantu no. 8
|
|
10
|
Prabhu Kretayasa
Dewakusalesywara Sang Triwulan
|
||
11
|
Sang Walengan
|
||
12
|
Prabu Linggabumi
|
||
13
|
Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus
|
ipar no. 12
|
Catatan: Sanjaya Harisdarma (no. 5) dan
Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda dan Galuh. Penyatukan
kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali oleh Prabu Gajah Kulon
(no. 13).
Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri
Jayabupati
Di bawah ini
adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati, yang berjumlah 14
orang :
Raja-raja Sunda-Galuh setelah
Sri Jayabupati
|
|||
No
|
Raja
|
Masa pemerintahan
|
Keterangan
|
1
|
Darmaraja
|
||
2
|
Langlangbumi
|
||
3
|
Rakeyan Jayagiri Prabu
Ménakluhur
|
||
4
|
Darmakusuma
|
||
5
|
Darmasiksa Prabu Sanghyang
Wisnu
|
||
6
|
Ragasuci
|
||
7
|
Citraganda
|
||
8
|
Prabu Linggadéwata
|
||
9
|
Prabu Ajiguna Linggawisésa
|
menantu no. 8
|
|
10
|
Prabu Ragamulya Luhurprabawa
|
||
11
|
Prabu Maharaja
Linggabuanawisésa
|
tewas dalam Perang Bubat
|
|
12
|
Prabu Bunisora
|
paman no. 13
|
|
13
|
Prabu Niskala Wastu Kancana
|
anak no. 11
|
|
14
|
Prabu Susuktunggal
|
Penyatuan
kembali Sunda-Galuh
Saat Wastu
Kancana wafat, kerajaan sempat kembali terpecah dua dalam pemerintahan
anak-anaknya, yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda) dan Dewa
Niskala yang berkuasa di Kawali (Galuh). Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang merupakan anak
Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal menyatukan kembali Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Galuh. Setelah runtuhnya Sunda Galuh oleh Kesultanan
Banten, bekas kerajaan ini banyak disebut sebagai Kerajaan
Pajajaran.
Bacaan
lanjut
·
Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia
Wangsakerta" Cirebon.
Kiblat Buku Utama, Bandung. ISBN
·
Darsa, Undang A. 2004. “Kropak
406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“,
Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuna yang diselenggarakan
oleh
Balai Pengelolaan Museum Negeri
Sri Baduga.
Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1 – 23.
·
Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda,
Nusantara, dan Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Padjadjaran pada
Hari Sabtu, 16 Desember `1995. Bandung: Universitas Padjadjaran.
·
Ekadjati, Edi S. 1981.
Historiografi Priangan. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
·
Ekadjati, Edi S. (Koordinator).
1993. Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat.
Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
·
Raffles, Thomas Stamford. 1817.
The History of Java, 2 vol. London: Block Parbury and Allen and John Murry.
·
Raffles, Thomas Stamford. 2008.
The History of Java (Terjemahan Eko Prasetaningrum, Nuryati Agustin,
dan Idda Qoryati Mahbubah). Yogyakarta: Narasi.
·
Z., Mumuh Muhsin. Sunda, Priangan, dan Jawa Barat. Makalah
disampaikan dalam DiskusiHari Jadi Jawa Barat,
diselenggarakan oleh Harian Umum Pikiran Rakyat Bekerja Sama dengan
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat pada Selasa, 3 November 2009
di Aula Redaksi HU Pikiran Rakyat.
·
Uka Tjandrasasmita. (2009).
Arkeologi Islam Nusantara. Kepustakaan Populer Gramedia.
·
E. Rokajat Asura. (September
2011). Harisbaya bersuami 2 raja –
Kemelut cinta di antara dua kerajaan Sumedang Larang dan Cirebon. Penerbit Edelweiss.
·
Atja, Drs. (1970). Ratu Pakuan. Lembaga Bahasa dan Sedjarah Unpad. Bandung.
·
Atmamihardja, Mamun, Drs.
Raden. (1958). Sadjarah Sunda. Bandung. Ganaco Nv.
·
Joedawikarta (1933). Sadjarah Soekapoera, Parakan Moencang sareng Gadjah.Pengharepan. Bandoeng,
·
Lubis, Nina Herlina., Dr. MSi,
dkk. (2003). Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II. CV. Satya
Historica. Bandung.
·
Herman Soemantri Emuch. (1979). Sajarah Sukapura, sebuah telaah filologis. Universitas Indonesia. Jakarta.
|
·
Zamhir, Drs. (1996). Mengenal Museum Prabu Geusan Ulun serta Riwayat Leluhur Sumedang. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.
·
Sukardja, Djadja. (2003). Kanjeng Prebu R.A.A. Kusumadiningrat Bupati Galuh Ciamis th. 1839 s / d
1886. Sanggar SGB. Ciamis.
·
Sulendraningrat P.S. (1975). Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif
Hidayatullah. Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon. Cirebon.
·
Sunardjo, Unang, R. H., Drs.
(1983). Kerajaan Carbon 1479-1809. PT.
Tarsito. Bandung.
·
Suparman, Tjetje, R. H.,
(1981). Sajarah Sukapura. Bandung
·
Surianingrat, Bayu., Drs.
(1983). Sajarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950.CV.Rapico. Bandung.
·
Soekardi, Yuliadi. (2004). Kian Santang. CV Pustaka Setia.
·
Soekardi, Yuliadi. (2004). Prabu Siliwangi. CV Pustaka Setia.
·
Tjangker Soedradjat, Ade.
(1996). Silsilah Wargi Pangeran Sumedang Turunan Pangeran Santri alias Pangeran
Koesoemadinata I Penguasa Sumedang Larang 1530-1578. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.
·
Widjajakusuma, Djenal Asikin.,
Raden Dr. (1960). Babad Pasundan, Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan
Pdjadjaran Dina Taun 1580. Kujang. Bandung.
·
Winarno, F. G. (1990). Bogor Hari Esok Masa Lampau. PT. Bina Hati. Bogor.
·
Olthof, W.L. (cetakan IV 2008). Babad Tanah Jawi - mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647. PT. Buku Kita. Yogyakarta Bagikan.
·
A. Sobana Hardjasaputra, H.D.
Bastaman, Edi S. Ekadjati, Ajip Rosidi, Wim van Zanten, Undang A. Darsa.
(2004). Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda.Pusat Studi Sunda.
·
A. Sobana Hardjasaputra (Ed.).
(2008). Sejarah Purwakarta.
·
Nina H. Lubis, Kunto Sofianto,
Taufik Abdullah (pengantar), Ietje Marlina, A. Sobana Hardjasaputra, Reiza D.
Dienaputra, Mumuh Muhsin Z. (2000). Sejarah Kota-kota Lama di di
Jawa Barat. Alqaprint. ISBN
9799565243.
|
Pranala
luar
Situs
Karangkamulyan, Mitos Ciung Wanara & Wisata Budaya, Pikiran
Rakyat: Selasa, 29 April 2003.
Catatan
kaki
3. ^ Naskah Carita Parahyangan (1580),
fragmen Kropak 406. Naskah beraksara Sunda Kuno, bahasa Sunda Kuno. Koleksi:
Perpustakaan Nasional RI.
Linimasa
Kerajaan Sunda
Didahului oleh:
Tarumanagara |
Kerajaan
Hindu-Budha
669 - 1482 |
Diteruskan oleh:
Kalingga |
Langganan:
Postingan (Atom)