Oleh: H. Usamah Hisyam (Mantan
Anggota Dewan Penasihat PA 212)
Banyak
pertanyaan, baik melalui telepon maupun pesan di WhatsApp, tentang artikel
yang beredar di media sosial sejak 14 Desember 2018, tulisan Djadjang Nurjaman
yang berjudul “La Nyalla, Usamah Hisyam, dan Joko Widodo”. Mereka meminta saya
menanggapi.
Sesungguhnya, saya malas membuang-buang waktu untuk menanggapi tulisan hoax.
Karena tidak produktif. Lebih bernuansa iri, dengki, bahkan fitnah. Seperti
saran seorang teman, Fadly, caleg DPR RI dapil Malang asal Partai Golkar
melalui WAGroup, “Gak penting klarifikasi tulisan model
seperti itu, apalagi via medsos. Jalan lurus aja Tum, besarin Parmusi… Tak usah
pusing dengan isu-isu sampah seperti itu…,” saran Fadly, yang juga Wakil Sekjen
Parmusi.
Beberapa jam sebelumnya, rekan saya di dunia pers, mantan wartawati
senior Tempo, Linda Djalil, mengabarkan beredarnya artikel itu. “Sebagai
wartawan, aku sangat meragukan tulisan itu Us. Karena alur dan pendekatan
analisanya subyektif banget. Kita kan berteman sudah
lama, jangan karena perbedaan pandangan politik kita saling menjatuhkan.
Makanya aku telpon kamu, apakah sudah tahu ada tulisan itu,” ujar Linda Djalil,
yang sejak wartawan peliput di Istana Negara dikenal cukup dekat dengan
keluarga Prabowo Subianto.
Jujur, selama 38 tahun saya bergulat dalam dunia pers, dimulai dari grup
Tempo yakni wartawan di majalah Matra hingga Media Indonesia, lantas 10 tahun
terakhir founderObsession
Media Group (OMG), saya belum pernah mengenal Djajang Nurdjaman. “Djadjang itu
kenal betul bapak. Dia pernah wartawan SCTV, pernah koordinator Forum Pemred,”
ungkap Sahrudi, News Director OMG. “Tapi sejak dulu dia gak suka, dia dengki
dengan sepak terjang bapak. Karena bisa dekat dengan semua Presiden,” ujar
Sahrudi.
“Gak usah
ditanggapi, Us. Sudah saya cek kepada teman-teman, dia itu ingin sekali dekat
dengan Pak Prabowo, ingin sekali mendapat perhatian dari Pak Prabowo. Makanya
dia bikin tulisan hoax seperti itu,”
ungkap sahabat lama, mantan wartawan senior Harian Angkatan Bersenjata, Syukri
Alvin.
“Hampir mirip dengan modus Ratna Sarumpaet donk, Us,” celetuk
Linda Djalil, ketika saya menceritakan hal itu kepadanya.
“Sudahlah, Linda. Kita gak usah bahas
Djadjang. Tulisan dia itu mencerminkan strata kewartawanannya, sempitnya
wawasan dan profesionalisme yang dimiliki. Antara fakta, opini, analisa, gak
jelas semua. Bahkan lebih banyak fitnah. Biarkan saja, pahalanya pindah ke
saya, he.. he.. he..” ujar saya tertawa.
Artikel ini saya tulis karena persoalan prinsipil, sebagai catatan bagi
generasi Islam ke depan, bukan untuk kepentingan politik siapa pun, apalagi
menjawab Nurdjaman.
Hanya saja saya harus berterima kasih pada Djadjang Nurdjaman, yang
sudah mempopulerkan nama saya dengan viralnya artikel tersebut. Apalagi
tudingan negatif dalam tulisan itu dikaitkan dengan mundurnya saya dari anggota
Dewan Penasihat Persaudaraan Alumni (PA) 212, arus besar yang harus saya sikapi
secara konsekuen.
Memang,
masih sering teman-teman bertanya, apa sih alasan
sesungguhnya saya mundur dari Anggota Penasihat PA212? Maklum, saya pernah
diamanatkan menjadi bendahara Reuni Agung 212 tahun 2017 yang berjalan sukses.
Saya juga Koordinator Steering Committee Aksi
212 tanggal 21 Februari 2017 di depan Gedung DPR, serta Koordinator Steering
Committee Aksi 313 tanggal 31 Maret 2017 di kawasan Patung
Kuda Merdeka Barat Monas.
Atas rekomendasi tim kecil politbiro, saya bersama Ustadz Muhammad
Al-Khaththath, menemui Habib Rizieq Syihab (HRS) di Markas Syariah Megamendung,
Bogor, sekitar pukul 24.50 WIB.
Dalam pertemuan bertiga tersebut, kami menyampaikan kepada HRS
pentingnya menggelar kembali aksi 21 Februari, yang kebetulan dapat disingkat
juga menjadi 212. Tujuannya, untuk menjaga semangat persaudaraan dan persatuan
yang sudah terbukti dalam Aksi 212 tanggal 2 Desember 2016. Selain itu, untuk
menindaklanjuti sejumlah tuntutan ke DPR RI dan pemerintah.
Kedua aksi tersebut sesungguhnya merupakan gagasan murni Ustadz
Al-Khaththath yang didiskusikan dengan saya, diamini oleh politbiro, dan
disampaikan kepada HRS. Kebetulan Ustadz Al-Khaththath meminta dukungan, agar
saya turut mendampingi memperkuat argumentasi pentingnya Aksi Bela Islam 212
DPR dan Aksi Bela Islam 313 kepada HRS.
“Alhamdulillah, kebetulan Antum berdua datang
ke mari. Cocok sekali. Ana beberapa hari ini
berpikir hal yang sama. Tetapi, Ana kan sudah
tak boleh terlibat dalam aksi-aksi seperti itu lagi. Jadi, sebaiknya begini. Ana setuju
dengan gagasan itu. Ustadz Al-Khaththath dan Pak Usamah harus duet bersama.
Ustadz Al-Khaththath Koordinator Organizing Committee, Pak
Usamah Koordinator Steering Committee. Segera
undang teman-teman korlap. Nanti Ana kondisikan
teman-teman FPI,” pinta HRS.
Saat itu, HRS sepakat yang menjadi ruh perjuangan adalah menggalang
persatuan umat, dalam semangat Aksi Bela Al-Quran, Al-Maidah ’51. Apapun partai
politiknya, ormasnya, stratanya, gakada masalah, mari kita
memenuhi panggilan jihad fi sabilillah, wa
jaahidu fillahi haqqa jihadih, meninggikan kalimat tauhid. Menjalin
kembali semangat persaudaraan umat, semangat persatuan umat pada Aksi 212 tahun
2016 dengan memprioritaskan sejumlah agenda tuntutan keumatan.
Karena itu saya all out mendukung
gerakan ini. Apapun saya pertaruhkan untuk itu. Bukan saja waktu, tenaga,
pikiran, privilege,
tetapi juga kucuran dana (maaf, tak bermaksud riya’) yang lumayan besar
untuk ukuran seorang wartawan, pengusaha pers. Tetapi tak masalah! Karena yang
saya bela adalah Al-Quran, Allah subhanahu wa ta’ala, BUKAN
MANUSIA.
Sebaliknya, saya harus mengatakan secara terbuka, sesuai pengamatan,
hati nurani, ilmu pengetahuan dan keyakinan spritualitas saya, sekitar tiga bulan
menjelang Reuni 212 tanggal 2 Desember 2018, PA 212 mulai mengerdilkan dirinya
sendiri, dalam konteks ruh perjuangan, misi, dengan sekedar menjadikan dirinya
sebagai timses MANUSIA, salah satu paslon presiden. Padahal, ruh perjuangan
serta baju yang kemudian digunakan PA 212 yang sejak awal sudah besar menjadi
sempit.
Ironinya, logika perjuangan yang dibangun dalam menentukan pilihan
capres sudah tidak senafas lagi dengan nilai-nilai yang sesungguhnya terkandung
dan menjadi ruh kelahiran PA 212 itu sendiri, yakni Bela Al-Maidah 51. Inilah
yang sangat mengganjal di hati dan pikiran saya, karena pilihan itu harus kita
pertanggung jawabkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala di
Yaumil Akhir.
Sekitar
satu pekan sebelum Ijtima Ulama 1 digelar oleh GNPF Ulama, sekitar 28 anggota
Dewan Penasihat PA 212 diundang berembuk di Hotel Sultan, Jakarta, dipimpin
langsung oleh Prof DR H. Amien Rais selaku Ketua Dewan Penasihat. Pada
pertemuan sore hari itu Amien Rais didampingi langsung oleh para tokoh
Penasehat PA 212 seperti KH Maksoem (alm), KH Cholil Ridwan, KH Abah Raud
Bahar, KH Misbachul Anam, Letjen TNI Syarwan Hamid, dan lain-lain.
Dalam mukadimah, Amien Rais menjelaskan, tak ada pilihan lain, arah
dukungan PA 212 kepada Prabowo Subianto, yang malam harinya akan dihadirkan di
forum penasehat tersebut, bersama para Sekjen partai-partai Koalisi. Alasannya,
Prabowo pemilik kursi terbesar rencana parpol koalisi, Prabowo dapat
mempersatukan parpol koalisi, dan Prabowo memiliki modal 60 juta suara Pilpres
2014, sehingga diyakini dapat mengalahkan incumbant.
Menjelang sesi pertama berakhir, setelah para anggota wanhat memberikan
masukan, saya pun ikut menyampaikan pandangan. “Mohon maaf, saya bukan kiai,
saya bukan ulama, tetapi saya tokoh aktivis pergerakan Islam. Insya Allah saya
berusaha mengamalkan setiap ayat yang saya pahami,” ujar saya.
Suasana hening. Seluruh tokoh dan ulama mencermati dengan seksama, kata
demi kata yang saya sampaikan.
“Karena itu, sebelum kita menyampaikan rekomendasi PA 212 ke forum
ijtima ulama pekan depan, saya mohon para kiai membahas dulu tafsir terhadap
‘pemimpin muslim’ yang harus diperjuangkan di dalam tafsir Al-Maidah 51, apakah
pemimpin muslim minimalis atau pemimpin muslim kaffah? Kalau pemimpin
muslim kaffah,
setidaknya kita harus tahu persis bahwa calon pemimpin harus bisa menjadi imam
shalat, dia harus fasih membaca Al-Fatihah serta surat-surat pendek dalam Juz
’Amma, dia harus bisa mengaji. Karena negara kita mayoritas penduduknya muslim,
jadi seorang Presiden harus bisa menjadi imam.”
Seluruh Dewan Penasihat PA 212 tercengang, terdiam menyimak kata demi
kata yang saya sampaikan.
“Mohon maaf para ulama, saya pertanyakan ini, karena pekan depan yang
kita hadapi adalah ijtima’ ulama, bukan ijtima’ politisi. Ijtima’ ulama ini
sangat sakral. Pendekatannya harus sungguh-sungguh mengacu pada nilai-nilai
syariat. Karena ijtima’ ulama ini akan menjadi benchmark sampai 500
tahun ke depan dan seterusnya, bagi generasi muslim. Akan menjadi acuan dalam
membangun kesepakatan untuk memilih figur pemimpin yang memenuhi standar
Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam menentukan figur pemimpin yang islami.”
Semua terdiam. Sejumlah ulama saling menatap. Seakan memberikan isyarat
agar pembicaraan saya di setop. Tetapi saya tak peduli.
“Bagi
saya ini sangat prinsipil. Bagaimana mungkin setiap hari kita berteriak
memperjuangkan penerapan syariat Islam di negeri ini, sementara figur pemimpin
yang akan diusung dan diperjuangkan sama sekali tidak mencerminkan figur yang
memenuhi standar nilai-nilai syar’i. Mohon kita bahas dulu masalah ini,” pinta
saya melanjutkan.
“Karena itu, seharusnya pertimbangan utama kita bukan pada dukungan
kendaraan politiknya, bukan pertimbangan kalah menangnya, bukan itu. Tetapi,
tetapkan dulu figur pemimpin yang memenuhi standar syariat, umumkan, baru kita
kondisikan bersama-sama. Soal kendaraan politik, dan juga soal kalah menang,
itu urusan Allah subhanahu wa ta’ala. Bukan
urusan kita. Bila kita sudah menentukan figur yang islami, kita sudah berdoa,
berjuang, lantas kalah, berarti Allah subhanahu wa ta’ala belum
menakdirkan kandidat kita menang. Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah
berfirman: Allah subhanahu wa ta’ala telah
berjanji kepada orang-orang yang beriman dan melaksanakan amal salih, akan
diberikan kekuasaan di muka bumi. (QS. 24:55) Jadi, ingat, yang akan diberikan
kekuasaan adalah orang yang beriman.”
“Dengan demikian, kita tak boleh menggunakan standar ganda. Satu sisi
berteriak syariat Islam, teriak pemimpin harus dipilih melalui ijtima’ ulama,
pada sisi lain standar yang digunakan standar ijtima’ politisi, yang
diperhitungkan semata-mata kalah menang, dapat gak dukungan partai
koalisi. Padahal sesungguhnya PA 212 memiliki bargaining position yang
lebih kuat untuk mengendalikan koalisi partai politik, bilamana lebih
menyandarkan keyakinannya dengan memohon pertolongan dan ridha Allah subhanahu
wa ta’ala.”
Belum sempat masalah tersebut didiskusikan, masuk adzan Maghrib.
Pimpinan rapat Amien Rais skorsing pertemuan untuk istirahat, sholat, makan
(ishoma). Di sela-sela ishoma, terjadi perbincangan dengan sejumlah ulama. Sama
dengan KH Misbachul Anam, saya tetap konsisten hendak memperjuangkan HRS
sebagai rekomendasi utama 212 sebagai capres menuju ijtima’ ulama.
Dalam Rakornas PA 212 beberapa pekan sebelumnya, nama HRS telah
ditempatkan pada urutan pertama rekomendasi capres PA 212, lantas Prabowo
Subianto, Zulkifli Hasan, Yusril Ihza Mahendra, Tuan Guru Bajang. Saya
meyakini, bila HRS yang ditetapkan, maka insya Allah dukungan politik umat
untuk pemulanggan HRS ke Indonesia semakin besar. Tak ada instansi manapun yang
dapat menghambat seorang capres yang diusung oleh parpol untuk mendaftarkan
diri.
Berbulan-bulan saya bergerilya ke istana untuk pemulangan HRS ke Tanah
Air. Terakhir pada 22 April 2018, saya berhasil meyakinkan Presiden Joko Widodo
untuk menerima enam ulama PA 212 di Istana Bogor, yang berdampak terhadap
terbitnya dua SP3 HRS beberapa pekan berikutnya.
Tetapi sebagian teman-teman mencurigai saya akan melakukan ‘jebakan
Batman’ terhadap HRS. Karena hubungan saya dengan istana yang dianggap mesra.
Padahal, tak ada sedikitpun niat saya seperti itu. Saya justru memanfaatkan
kedekatan saya dengan Presiden Joko Widodo untuk pemulangan HRS ke Tanah Air.
Mengapa hal itu saya lakukan? Saya tak ingin adak gejolak horisontal
akibat ketegangan antara umat dan pemerintah. Karena yang akan dirugikan kita
semua, bangsa Indonesia. Saya sudah beberapa kali bertemu HRS. Bicara empat
mata, baik tatap muka maupun melalui WhatsApp. HRS adalah pribadi yang baik,
santun, cerdas, bersahaja. Ia seorang idealis, yang memiliki cita-cita mulia.
Negeri ini harus bebas dari kemungkaran (maksiat, dst). Sebaliknya,
bersama-sama menebarkan kebaikan-kebaikan (ma’ruf) agar bangsa ini mendapat
ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Ini sesuai perintah
Al-Quran yang merupakan pedoman hidup umat Islam sesuai QS. 2:02.
Karena
itu dalam Mukernas I Parmusi akhir November 2016, saya mengarahkan keputusan
agar Parmusi mengusulkan kepada seluruh ormas Islam dan majelis taklim untuk
menetapkan HRS sebagai Imam Besar Umat Islam. Meskipun sampai sekarang hal itu
belum terwujud.
Sebagai seorang ulama, HRS konsisten dan konsekuen akan pertaruhkan
segalanya demi tegaknya kalimat tauhid. Karena itu beliau marah besar bila ada
pihak manapun yang coba-coba mengganggu akidah islamiyah. Ini wajar sebagai
seorang pemimpin pergerakan Islam, Front Pembela Islam (FPI). Siapapun akan
marah bila ada yang mengganggu agamanya.
Secara personal, HRS beberapa kali mengaku kepada saya, tidak memiliki
persoalan pribadi apapun dengan Presiden Joko Widodo. Saya diizinkan bahkan
didorong untuk terus melobi istana. Hampir setiap bulan sepanjang 2017 saya
bertemu empat mata, satu sampai dua kali dengan Presiden. Bahkan HRS meyakinkan
saya, bila beliau mendapat kesempatan kembali ke Tanah Air, berniat akan lebih
fokus berdakwah membesarkan pondok pesantren Markas Syariah Mega Mendung,
Bogor.
Dalam pertemuan saya dengan Presiden, 7 Desember 2017 selama 1,5 jam di
Istana Bogor, saya berupaya meyakinkan Presiden agar berangkat umrah pada libur
Natal akhir Desember 2017. Sesuai hasil rembukan saya dengan Ketua Umum FPI KH
Sobri Lubis dan Ketua Dewan Syariah FPI KH Misbachul Anam, saya menyampaikan
skenario, usai Presiden menunaikan ibadah umrah, HRS diperkenankan dapat
bersilaturahim dengan Presiden Joko Widodo di sebuah ruang lantai 28 Fairmont
Hotel Makkah. Agar keduanya bisa langsung berkomunikasi, bertabayyun,
berbicara empat mata, membahas persoalan umat dan bangsa ke depan, saling
membangun komitmen tanpa ada yang mengetahui.
Apalagi Presiden Jokowi beberapa kali juga meyakinkan saya bahwa beliau
tak memiliki persoalan pribadi apapun dengan HRS. Karena itu, saya berpikir,
bagaimanapun juga sebagai warga anak bangsa, saya sangat menginginkan Indonesia
yang damai, Indonesia yang aman, tenteram, dan para pemimpinnya saling menyapa,
berkomunikasi, meskipun memiliki perbedaan pandangan politik yang tajam.
Presiden Joko Widodo terperangah mendengarkan skenario tersebut.
Tiba-tiba Presiden bangkit mengangkat tubuhnya dari sandaran kursi. Dalam nada
suara agak meninggi, Presiden seperti menegur saya.
“Ada apa kok Pak Usamah mendesak saya terus bertemu Pak Habib? Dia kan masih
ada urusan hukum dengan aparat? Saya sudah tiga kali panggil tim aparat di
sini, gara-gara Pak Usamah terus menerus mendesak saya. Mereka ekspose
persoalan hukum Pak Habib. Sebagai Presiden, saya tidak akan intervensi hukum.
Sama seperti waktu kasus Ahok, saya tidak intervensi apapun,” tandas Presiden,
dengan nada suara agak meninggi.
“Mohon maaf Bapak Presiden,” sahut saya spontan untuk meredakan situasi
perbincangan empat mata yang mulai memanas. “Mungkin pandangan saya kurang
tepat. Tetapi, Bapak Presiden harus percaya, tidak ada maksud apapun saya
menyampaikan pandangan ini. Bapak harus ingat, saya orang yang memimpin
perjalanan umrah keluarga Bapak ke Tanah Suci Makkah pada 16 sampai 18 Juli
2014, yang turut mendoakan Bapak di Baitullah agar terpilih menjadi Presiden.
Harapan saya cuma satu, agar situasi dan kondisi sosial politik di negeri ini
kondusif. Izinkan saya menyampaikan pandangan pribadi saya apa adanya, sebagai
salah seorang pemimpin pergerakan Islam di negeri ini,” ujar saya memohon.
“Silakan…silakan Pak Usamah,” kata Presiden dengan nada suara yang sudah
landai.
“Mohon ampun Bapak, saya tidak bermaksud menggurui. Di
mana pun dalam suatu pemerintahan negara, roda pemerintahan tidak akan berhasil
bila tidak didukung oleh golongan mayoritas,” saya melanjutkan. Sorot mata
Presiden menatap dan menyimak kata-kata saya dengan seksama.
“Mohon maaf Bapak Presiden, sekarang ini sudah
tercipta stigma di sebagian golongan muslim, terutama simpatisan 212,
seolah-olah pemerintahan Bapak ini Anti Islam. Saya sungguh sedih. Karena
bilamana saya amati, sesungguhnya tidak demikian. Karena saya perhatikan, yang
terjadi di seputar pemerintahan semacam insubordinasi kebijakan. Atau mungkin
lebih tepat distorsi public opinion policy. Bapak menyatakan
berkali-kali tidak pernah melakukan kriminalisasi ulama. Itu urusan hukum
dengan aparat. Sementara teman-teman 212 melihat itu kriminalisasi ulama.
Mereka bertanya, mengapa Presiden melakukan pembiaran? Ini kan rezim
Jokowi? Karena itu harus ada solusinya Bapak,” papar saya.
“Semua tudingan itu tidak benar Pak Usamah. Mana
mungkin saya anti Islam, wong saya sejak lahir Islam,” tandas
Jokowi.
“Saya paham itu Pak. Nanti kan saya
luruskan.”
“Apa lagi usulan Pak Usamah?” sahut Presiden datar.
Saya menarik nafas panjang. Cukup hati-hati memilih
kata-kata. Karena sejak awal saya selalu menanamkan di benak pikiran harus
berhati-hati dalam berbicara. Sejak menunggu di ruang tamu Istana, saya
terus wirid agar dilancarkan lidah saya. Pasalnya yang menjadi
lawan bicara saya adalah seorang Presiden Republik Indonesia, seorang Kepala
Negara dari sekitar 260 juta penduduk, seorang yang memiliki tradisi Jawa yang
menjunjung tinggi peradaban, kesantunan, dan sangat tegas dalam mengambil
keputusan.
“Begini Bapak Presiden. Saya sekali lagi mohon maaf…
mohon maaf. Kata kuncinya adalah Bapak Presiden dan Habib Rizieq harus bertemu.
Agar ketegangan umat menjadi teduh. Saya ada skenario lain.”
“Bagaimana itu?” kejar Presiden.
“Pada tanggal 21 Februari 2018 nanti, saya bersama
teman-teman mohon izin akan melaksanakan kembali peringatan Aksi 212. Bila
Bapak berkenan, saat itu HRS diizinkan pulang. Kami akan jemput bersama-sama,
kemudian kami sujud syukur di Istiqlal, syukur-syukur bila Bapak Presiden
berkenan Shalat Zhuhur bersama, lantas dilanjutkan pertemuan empat mata dengan
Bapak. Tempatnya nanti kita atur.”
“Mau bikin apa lagi Pak Habib pulang?” tanya Presiden.
“Saya sudah bicara dengan beliau, Pak. Habib hanya
ingin mengurusi pondok pesantrennya di Mega Mendung, tinggal di atas gunung
sana, membesarkan pondoknya.”
“Mana mungkin, Pak Usamah, seorang demonstran betah di
atas gunung?” seloroh Presiden dengan seyum kecil dikulum.
“Insya Allah Pak, akan saya kawal sendiri,” tandas
saya.
“Pak Habib itu seorang orator Pak Usamah, tidak
mungkin bisa diam,” tandasnya.
“Bila diizinkan, saya siap menjadi personal
guarantee Pak. Kalau Habib bikin aksi-aksi demo lagi yang menyerang
pemerintah, saya saja yang ditahan sebagai jaminan,” tutur saya berusaha
meyakinkan.
Presiden hanya tersenyum kecil, sambil mengambil dan
memencet tombol bel yang ada di mejanya. Seorang ajudan masuk.
“Yaa…Nanti
saya pelajari dulu Pak Usamah. Saya bahas dulu dengan tim kecil,” tuturnya
landai.
Sang ajudan langsung mengingatkan saya bahwa waktu pertemuan sudah habis.
Harus segera meninggalkan ruang kerja Presiden.
Pertemuan dengan Presiden tersebut saya sampaikan kepada HRS, di
penghujung Desember, saat menunaikan ibadah umrah bersama anak dan isteri.
HRS sepakat mempersiapkan kepulangannya pada 21 Februari 2018. Sementara
saya menunggu sikap Presiden selanjutnya. Sepanjang Januari hingga awal
Februari 2018, saya mulai sosialisasi rencana kepulangan HRS melalui medsos.
Sejumlah teman tetap mencurigai saya akan melakukan ‘jebakan Batman’. Terutama
Munarman, sekjen FPI. Seorang ustadz memberitahu saya. Munarman tak senang bila
saya ikut campur urusan HRS, karena itu urusan internal FPI. “Untuk apa Ketum
Parmusi ikut campur?” begitu suara sumbang yang saya dengar.
Tepat 20 Februari 2018 malam, beredar pro kontra, hiruk pikuk rencana
kepulangan HRS di medsos. Panitia penjemputan sudah mengarahkan ribuan massa ke
lokasi dekat bandara sejak dini hari 21 Februari 2018. Ba’da Subuh
beredar informasi dari Makkah bahwa HRS membatalkan kepulangannya sesuai hasil
Istikharah. Hingga 20 Februari itu saya belum berhasil menemui Presiden
kembali. Kondisi tersebut saya infokan kepada HRS.
Pada 21 Februari pagi saya bertemu Wakapolri Komjen Syafruddin. Beliau
meminta agar saya menghentikan teman-teman yang memobilisasi massa untuk penjemputan
HRS. “Jam enam pagi tadi saya sudah bertemu kapala BIN. Info terakhir, Habib
batal balik ke Indonesia,” tandas Syafrudin.
Sejak ramai diberitakan bahwa saya berupaya menjadi juru damai antara
HRS dan Presiden pada Januari 2018 dengan rencana memulangkan HRS, saya mulai
merasakan sulit mengakses jalur khusus di Istana yang biasa digunakan untuk
komunikasi meminta waktu bertemu dengan Presiden. Saluran telepon selalu mati,
WhatsApp tak pernah dijawab. Telepon saya selalu tertolak.
Pada akhir Maret beredar isu di lingkungan Istana hingga ke korsek
sejumlah perusahaan BUMN, bahwa Usamah Hisyam di black list Istana,
tak boleh lagi bertemu Presiden. Karena Usamah selalu mempengaruhi Presiden
untuk memulangkan HRS.
Saya segera melakukan tabayyun, menemui Menteri
Sekretaris Negara Pratikno, perihal black list tersebut.
Pertemuan terjadi pada suatu Subuh di awal April 2018. Saya menemui Mensesneg
di kediamannya, lantas satu mobil dengan Pak Menteri menuju bandara Soeta.
Padatnya jadwal Mensesneg membuat saya harus berbicara dalam perjalanan dari
rumah ke bandara.
Di atas mobilnya, Mensesneg meyakinkan saya bahwa tidak ada kebijakan
Presiden untuk melakukan black list terhadap
Usamah Hisyam. Lantaaas???
Sebagai
bukti, saya minta segera dijadwalkan audiensi dengan Presiden dalam waktu
segera. Audiensi tersebut terjadi beberapa hari kemudian, tepatnya 14 April
2018, saya diterima Presiden empat mata di Istana Negara.
“Ke mana saja Pak Usamah, kok gak pernah muncul?”
sapa Presiden saat menyalami saya.
“Mohon maaf Bapak Presiden, selama tiga setengah bulan ini katanya saya
di black
list Istana, gak bisa lagi bertemu
Presiden.”
“Opo? Black
list? Sopo sing black list Pak
Usamah?” kata Presiden sambil mengulum senyum.
“Gak tahu
Pak. Katanya lingkaran Istana. Jadi saya sudah sulit minta waktu audiensi
melalui jalur khusus seperti arahan Bapak selama ini.”
“Lha, sekarang ini kok bisa dijadwalkan bertemu saya? Lewat siapa?”
“Mensesneg Pak.”
“Ooo begitu ya. Yo wis, nanti lewat Mensesneg
saja. Di Istana itu yo wiku. Saya juga heran,
macam-macam isunya.”
Saya lantas mengajukan gagasan baru untuk menciptakan situasi kondisi
politik yang kondusif menjelang tahapan Pilpres 2019. Saya sarankan Presiden
agar berkenan menerima utusan ulama PA 212 yang direstui HRS untuk
berkomunikasi dengan Presiden menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah.
“Apa yang mereka inginkan Pak Usamah?”
“Ya, tabayyun Pak. Pertama, beri ruang dakwah
seluas-luasnya, dengan menghentikan kriminalisasi ulama. Kedua, Habib Rizieq
diizinkan pulang. Ketiga, pemberdayaan ekonomi umat. Saya kira hanya itu saja,
Pak.”
“Lha, saya kan sudah
berkali-kali bilang sama Pak Usamah, juga di berbagai kesempatan bertemu ulama,
saya ini gak pernah
merasa melakukan kriminalisasi ulama. Lha wong ulama yang
dituduh dikriminalisasi saja saya gak tahu, saya gak kenal,
yang mana? Kok itu terus yang dipersoalkan. Kalau masalah hukum, ya harus
diselesasikan secara hukum,” tandas Presiden.
“Mohon maaf Bapak Presiden, justru masalah itu yang harus disampaikan
Bapak Presiden kepada mereka, agar mereka bisa berkomunikasi langsung dengan
Bapak.”
Presiden tercenung sejenak.
“Soal
Pak Habib. Lhaaa, saya ini gak pernah musuhi
dia. Buat apa musuhi dia. Saya juga paham kok, di belakangnya Pak Usamah ini
ada Pak Habib. Ada umat Islam yang tujuh juta itu. Kalau saya musuhi 212, gak mungkin
saya terima Pak Usamah bicara berdua di Istana seperti ini. Saya ini kan Presiden
Republik Indonesia. Saya juga tiap hari dapat laporan intelijen. Saya tahu
kalau Pak Usamah juga memimpin demo ke Istana. Saya tahu, kalau Pak Usamah juga
menggugat Presiden di Pengadilan PTUN. Tetapi saya pikir-pikir, Pak Usamah dan
aktivis 212 itu kan juga warga Indonesia, warga saya.
Untuk apa saya musuhi! Lha wong saya Presiden
kok.” Suara Presiden sejenak terhenti, lantas melanjutkan.
“Saya ini banyak sekali urusannya Pak Usamah. Dalam negeri lihat saja,
urusan sosial dan ekonomi, urusan politik, urusan hukum dan korupsi, urusan
pembangunan infrastruktur, biar negara kita itu berkeadilan. Saya sekarang lagi
fokus memikirkan kemajuan pembangunan di negeri ini, mikirkan nasib rakyat
kecil yang ada di desa-desa itu lho. Belum lagi urusan hubungan luar negeri.
Kurang kerjaan apa saya mikirkan demo… demo.. demo. Kok saya terus menerus yang
disudutkan?”
“Karena itu Bapak Presiden, agar situasi kondusif, terima mereka.
Dengarkan keinginannya. Insya Allah suasana akan lebih teduh,” saya meyakinkan.
Presiden tak menjawab. Hanya tepekur, sesaat menatap wajah saya.
“Baiklah, mau di mana pertemuannya?”
“Saran saya Shalat Subuh berjamaah Rabu di Masjid Istana Bogor Pak,
kemudian dilanjutkan sarapan pagi sambil berbincang. Biar suasana santai dan
akrab.”
“Bagus, nanti malam saya kabari Pak Usamah, melalui Mensesneg. Saya
bahas dulu dengan tim kecil Istana,” ujar Presiden dalam pertemuan singkat
selama 10 menit itu.
Hasil rembukan dengan Mensesneg, karena berbagai kesibukan Presiden,
akhirnya disepakati pertemuan berlangsung Ahad siang, 22 April 2018, Shalat
Zhuhur berjamaah di Masjid Istana Bogor.
Hanya enam ulama dari sembilan ulama dan tokoh yang direncanakan bertemu
Presiden yang berada di Jakarta, Ahad itu. Tiga lainnya, KH Husni Thamrin, KH
Misbachul Anam, dan Ustadz Sukma sedang mengadakan pertemuan ulama Jawa Timur
di Malang. Enam yang hadir bersama saya adalah Ketua GNPF Ulama Yusuf Martak,
Ketua PA 212 Ustadz Selamat Ma’arif, Ketua Umum FPI Ustadz Sobri Lubis,
Penasihat Adz-Zikra KH Raud Bahar, dan Sekjen FUI Ustdaz Muhammad
Al-Khaththath.
Apa yang terjadi dalam pertemuan itu, sudah dilansir berbagai media
massa. Memang yang ramai dihebohkan media, utamanya medsos, persoalan yang
tidak substansial, yakni beredarnya foto pertemuan yang semula dianggap
tertutup tersebut. Padahal, pada saat makan siang, setelah semua ulama
menyampaikan tuntutannya atas pemulangan HRS, Presiden secara tegas menyatakan
akan menyampaikan kepada Kapolri.
Beberapa pekan setelah itu, terbit SP3 terhadap dua kasus HRS. Terbitnya
dua SP3 tersebut masih mengundang pro kontra. Apakah benar-benar murni proses
hukum ataukah dampak politis hasil dari silaturahim dengan Presiden. Atau
perpaduan proses hukum dan politis? Wallahul Musta’an.
Begitulah
proses panjang dan berliku-liku upaya yang saya lakukan untuk mencari titik
kompromi antara HRS dan Presiden RI. Tak ada yang meminta, atau membuat
skenario. Semua atas inisiatif saya, tetapi kedua belah pihak tidak
mempersoalkannya. Tak ada pihak ketiga, apalagi Surya Paloh, yang menurut
tulisan Djadjang Nurdjaman, memberikan keuntungan finansial kepada saya.
Sejak saya terlibat Aksi 411 dan bahkan organisasi yang saya pimpin,
Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia) terdepan dalam gerakan Aksi Bela
Islam (ABI) di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang digelar di Departemen
Pertanian Jakarta Selatan, hubungan komunikasi dengan Surya Paloh merenggang.
Bahkan sekitar sembilan bulan terputus, tak pernah berkomunikasi apalagi
bertemu.
Sebagai pemimpin organisasi pergerakan Islam, Parmusi (Partai Muslimin
Indonesia) –yang kelahirannya merupakan reinkarnasi Partai Masyumi, dan sejak
menjadi ormas pada 1973 hingga kini melalui deklarasi kembali pada 26 September
1999, Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia) mewarisi cita-cita perjuangan
Masyumi.
Salah satu peninggalan terbesar tokoh Masyumi, Mohammad Natsir, adalah
Mosi Integral Natsir awal tahun 1950 di parlemen, yang mempersatukan kembali
RIS (Republik Indonesia Serikat) sehingga melahirkan NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia) hingga sekarang. Karena itu, sebagai Ketua Umum Parmusi
adalah kewajiban sejarah dan juga kewajiban konstitusi bagi saya untuk tetap
mempertahankan dan mempersatukan bangsa dan negara dalam naungan NKRI, terutama
umat Islam. Adalah kewajiban juga bagi saya untuk mengupayakan terbangunnya
komunikasi yang kondusif para elit negara, termasuk para tokoh Islam dan ulama dengan
pemerintah, dalam hal ini Presiden RI.
Demikian pula dalam persoalan kepemimpinan negara ke depan, saya
memiliki pandangan pribadi yang sangat prinsipil. Bila mana kita menempatkan
suatu persoalan (kepemimpinan negara) dengan memprioritaskan paradigma
keagamaan, hendaknya kita konsisten dan konsekuen dalam koridor nilai-nilai
paradigma keagamaan tersebut. Sebaliknya, kalau kita menempatkan suatu
persoalan (kepemimpinan negara) dengan memprioritaskan paradigma kebangsaan
saja, ya kita pun harus bersikap konsekuen.
Menurut
hemat saya, Prabowo Subianto adalah capres yang sangat tepat bila mana diusung
oleh koalisi partainya dengan memprioritaskan paradigma kebangsaan. Karena
karakter yang dimiliki Prabowo tak lagi diragukan. Nasionalisme Prabowo secara
jujur harus diberi acungan jempol. Baik latar belakang keluarga, keagamaan,
pemikiran, dan sikap perilaku kesehariannya. Apalagi sebagai prajurit TNI,
Prabowo tidak akan mungkin memihak ke kanan, apalagi ke kiri. Sudah tertanam
dalam jiwa korsa prajurit TNI untuk tetap berada di tengah-tengah. Ibarat
jangkar kapal, ia tak akan goyah mengikuti arah ombak.
Masalahnya, dalam konteks capres yang direkomendasikan oleh PA 212,
Prabowo ditempatkan dalam paradigma keagamaan yang harus diperjuangkan melalui
forum ijtima’ ulama. Bila kita bicara soal figur calon Presiden yang harus
direkomendasikan dalam sebuah ijtima’ ulama, maka kriteria figur yang akan
direkomendasikan haruslah memprioritaskan figur yang mendekati nilai-nilai
syar’i, sesuai syariat Islam, sesuai Al-Quran dan As-Sunnah. Kecuali kita tidak
menggunakan forum ijtima’ ulama, maka tak ada masalah.
Oleh sebab itu, pertanyaan saya sederhana. Bukankah dalam tafsir QS.
Al-Maidah 51 (Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya), yang harus kita perjuangkan
dalam memilih pemimpin (negara) adalah pemimpin muslim? Pertanyaan berikutnya,
“pemimpin muslim” itu apakah “pemimpin muslim minimalis” ataukah “pemimpin
muslim kaffah”?
Sejumlah kawan, dai, ustadz, dan ulama menjawab: “pemimpin muslim kaffah”.
Bila memang “pemimpin muslim kaffah”, maka yang menjadi
pertimbangan utama ijtima’ ulama adalah figur yang akan direkomendasikan
haruslah mencerminkan seorang muslim kaffah.
Seorang muslim kaffah, begitu telah
mengucapkan “laa ilaaha illallahu muhammaddurrasulullah” wajib untuk
melaksanakan perintah Allah dan wajib melaksanakan larangan Allah. Perintah
Allah dalam rukun Islam yang utama adalah taat melaksanakan shalat lima waktu,
taat berpuasa, taat berzakat, (pernah) berhaji bagi yang mampu, dan teguh dalam
meyakini rukun iman, yang bersumber dari kalimat tauhid.
Dengan demikian, kalau saja calon pemimpin shalatnya saja lemah,
bagaimana mungkin dia akan mengajak warganya untuk menegakkan shalat? Kalau
Shalat Subuh di masjid saja tak pernah, bagaimana mungkin mau bicara tentang
kejayaan masa depan Islam? Karena menurut saya, ukuran keislaman seseorang
dalam hal peribadatan nomor satu adalah Shalat Subuh di masjid.
Apalagi kalau berpuasa saja tidak pernah, bagaimana mungkin dapat diyakini
dia akan berjihad fi sabilillah? Menyeru amar
makruf dan nahi munkar? Demikian
pula, kalau kita tak pernah tahu di mana dia melakukan Shalat Tarawih di bulan
Ramadhan, bagaimana mungkin kita bisa meyakini bahwa dia akan taat terhdap
firman-firman Allah?
Belum lagi bila kita bicara kemampuan membaca Al-Quran. Bagaimana
mungkin seorang pemimpin dapat mengajak warganya untuk menaati kitabullah,
bilamana dia tak bisa mengaji atau membaca Al-Quran? Bagaimana mungkin dia bisa
membacakan ayat-ayat Allah, memberikan hikmah contoh keteladanan?
Bahkan bilamana kita harus menggunakan sifat-sifat Rasulullah sebagai
acuan pemimpin muslim, yakni shidiq, amanah, fathonah, tabligh,
maka suatu keputusan ijtima’ ulama harus dibahas secara sungguh-sungguh
berdasarkan standar nilai-nilai Al-Quran dan As-Sunnah, tak boleh asal
mengeluarkan rekomendasi sebagaimana ijtima’ politik. Kalau saja rekomendasi
itu keliru, tidak tepat, maka kita yang turut memutuskan dan melakukan
sosialisasi akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah subhanahu
wa ta’ala di Yaumil Akhir.
Itulah
sesungguhnya sejumlah pertanyaan dan persoalan yang tidak sempat diperdebatkan
dalam forum Dewan Penasihat Alumni 212 di Hotel Sultan, Jakarta, sepekan
sebelum ijtima’ ulama digelar.
Itu pula yang membuat saya bersikukuh agar PA 212 tetap konsisten
terhadap keputusan Rakornas 212, dimana saya turut memperjuangkan Habib Rizieq
Syihab (HRS) sebagai capres rekomendasi pertama. Sungguhpun Amien Rais sudah
mengabarkan, bahwa HRS tidak bersedia dan tidak ada keinginan menjadi Presiden
RI, tetapi mengapa Dewan Penasehat 212 tidak memperioritaskan tiga figur
lainnya, untuk ditetapkan sebagai capres yang dibawa ke ijtima’ ulama? Mereka
adalah Ketua MPR RI dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, Ketua
Umum Partai Bulan Bintang Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, dan Gubernur NTB Tuan
Guru Bajang. Kita semua mengetahui secara persis, insya Allah figur ketiganya
mendekati paramater pemimpin muslim kaffah.
Kalaupun terhadap ketiga figur itu kurang berselera, umat Islam
sesungguhnya masih punya banyak stok pemimpin yang memenuhi standar pemimpin
muslim kaffah.
Seperti Prof Dr Din Syamsuddin, Prof Dr Mahfudz MD, Prof DR Didin Hafidhuddin,
Prof Dr Jimly Asshidiqie, Dr Hidayat Nur Wahid, Dr Salim Segaff Al-Jufri, mantan
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Gubernur DKI Anis Baswedan, Gubernur Sumbar
Irwan Prayitno, dan mantan Ketua GNPF MUI Ustadz Bachtiar Natsir. Seandainya
harus figur berlatar belakang militer, mengapa bukan Jenderal TNI Gatot
Nurmantyo yang justru diperjuangkan oleh sejumlah ulama khas,
seperti KH Husni Thamrin dkk?
Saat ishoma Dewan Penasihat PA 212 berlangsung, ada ulama yang berbisik
kepada saya, “Argumentasi Antum itu benar,
bagus. Tetapi Antum dicurigai menolak Prabowo, biar
Jokowi yang menang.”
“Masya Allah, kita mau bahas ijtima’ ulama kok malah suuzhon?
Bahas dulu figur yang memenuhi kriteria pemimpin muslim kaffah,
baru bicara Jokowi. Bukankah lemah di mata manusia, belum tentu dihadapan Allah subhanahu
wa ta’ala?” jawab saya.
Beberapa pekan sebelumnya, saya berdebat dengan HRS pada suatu dini hari
melalui WhatsApp. Saya mengusulkan, bila HRS memang tidak berminat menjadi
capres, maka sebagai imam besar sebaiknya menyebut sejumlah nama yang patut
diperjuangkan dan didoakan dipilih dalam ijtima’ ulama.
Nama-nama tersebut representasi figur pimpinan parpol Islam atau
berbasis massa Islam, yang sangat jelas keislamannya, antara lain bisa dari
pimpinan ormas Islam, tokoh cendekiawan/aktivis pergerakan Islam, atau
gubernur/mantan gubernur. Tentu semuanya memenuhi standar pemimpin muslim kaffah.
Saya minta HRS melempar nama-nama tersebut ke publik, sebagai test
the water, sekaligus masukan bagi peserta ijtima’ ulama.
“Afwan, Ana tidak
tertarik dengan konsep Antum,” tandas HRS setelah
berdebat.
Pada Maret 2018 saat bertemu di Turki, saya menyampaikan kembali saran
kepada HRS bila yang diusung sebaiknya figur pemimpin muslim kaffah,
yang latar belakang perjuangan keislamannya juga jelas. Saya lebih mendesak
agar gerakan umat Islam tetap teguh dengan standar pemimpin muslim kaffah yang
memenuhi nilai-nilai syariat. Umat Islam yang tergabung dalam PA 212 harus
konsekuen.
Mengapa? Ketika menjatuhkan Ahok dari jabatan Gubernur, kita menggunakan
standar syariat Islam, pemimpin harus muslim kaffah, mendengungkan
kalimat tauhid. Tetapi ketika memilih figur pemimpin negara, kita justru
abaikan standar pemimpin muslim kaffah yang memenuhi
syariat. Sebaliknya, kita cenderung membenturkan umat Islam terhadap pilihan
yang sulit. Tentu sangat berat pertanggung jawaban kita di hadapan Allah subhanahu
wa ta’ala di Yaumil Akhir.
Tetapi, HRS secara tegas menganggap, realitas politik hanya Prabowo yang
bisa mempersatukan koalisi parpol pendukung. “Prabowo memang bukan yang ideal.
Tetapi realitas politiknya, dia yang punya partai, dia yang bisa mempersatukan
koalisi partai. Kelemahan Prabowo nanti kita perkuat dengan wakilnya. Ana pikir
bisa Anies Baswedan,” tandas HRS.
Begitulah dilema politik yang dihadapi dalam perjuangan untuk melahirkan
pemimpin yang benar-benar Islami. Dalam arti, benar-benar memihak kepentingan
umat, bukan pura-pura memihak umat. Kita umat Islam sudah capai dari waktu ke
waktu hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik lima tahunan, tetapi
kemiskinan dan kebodohan tetap saja tidak terentas.
Setelah
ishoma berakhir, tepat pukul 19.30 seluruh Penasihat PA 212 kembali ke ruang
rapat. Tak lama berselang, Prabowo Subianto masuk ke ruang rapat, menyusul
sejumlah Sekjen Partai, seperti Ahmad Muzani (Gerindra), Eddy Suparno (PAN),
dan Afriansyah Ferry Noor (PBB).
Setelah Amien Rais mencabut skorsing rapat, beliau mempersilakan Prabowo
Subianto untuk berbicara, memberikan penjelasan apa yang akan diperjuangkan
bila didukung PA 212.
Di luar dugaan, pada mukadimah, Prabowo bicara kencang. Dengan nada suara
tinggi, ia memprotes pihak-pihak yang meragukan kualitas keislamannya,
ibadahnya, kemampuannya mengaji dan menjadi imam shalat. Yang sangat
mengejutkan, ia berbicara sambil meninju keras meja rapat di depannya, sampai
lima kali tinju, sehingga para ulama dan tokoh-tokoh yang hadir terperangah.
Suasana menjadi tegang.
Sampai presentasi Prabowo selesai, forum rembuk Dewan Penasihat 212 itu
pun tak pernah lagi membahas rekomendasi pencalonan Prabowo Subianto. Pertemuan
malam itu seakan-akan menjadi legitimasi bahwa PA 212 secara resmi
merekomendasikan Prabowo Subianto. Tak ada lagi musyawarah, apalagi voting.
Saya juga tak bisa berbuat apa pun lagi. Kecuali terpekur, bagaimana bila
suasana rapat kabinet seperti itu? Wallahu a’lam.
Akhirnya, Ijtima’ Ulama 1 berlangsung secara mulus mengajukan nama
tunggal Prabowo sebagai capres. Sejumlah ustadz dan tokoh pergerakan Islam yang
dianggap akan memperjuangkan HRS dan akan menolak pencalonan Prabowo, tak
memperoleh undangan sebagai peserta ijtima’ ulama. Mereka dianggap barisan yang
hendak menggagalkan pencalonan Prabowo. Mereka tak diundang dalam ijtima ulama,
termasuk saya. Itulah permainan politik tingkat tinggi panitia dengan
menggunakan baju ijtima’ ulama.
Berdasarkan pengalaman dan argumentasi prinsipil itulah, saya tak ingin
ikut bertanggung jawab di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala atas
pencalonan Prabowo Subianto sebagai capres dengan baju ijtima’ ulama. Apalagi
bisa dihitung dengan jari ulama khas yang tergabung
dalam ijtima tersebut. Terlalu berat beban yang bakal saya pikul di Yaumil
Akhir. Apalagi semua yang diperdebatkan ini adalah urusan dunia. Karena itu
saya pribadi juga tak ingin menjadi tim sukses Prabowo. Ini pilihan politik
pribadi.
Seperti tahun 2014, saya memang tak mendukung pencalonan Prabowo
Subianto. Demikian pula menghadapi Pilpres 2019, secara pribadi saya juga tak
mendukung Pasangan Nomor 02. Apalagi keputusan Mukernas ke-4 Parmusi telah
merekomendasikan kepada kader dan dai agar dalam Pileg/Pilpres memilih figur
yang taat beribadah.
Karena itu saya sangat menyesalkan sikap kawan-kawan PA 212 yang
menjadikan PA 212 sebagai Timses Prabowo Subianto. Itulah sebabnya saya
mengundurkan diri. Mungkin juga para tokoh dan ulama besar yang tak lagi muncur
di panggung Reuni 212 tahun 2018. (Selesai)
Sumber : https://muslimobsession.com