Sukarno gemar menanam pohon, mulai dari tanah Karo sampai jazirah Arab. Orang-orang menamainya Pohon Sukarno.
Pohon Sukarno di Arafah, Arab Saudi. Foro: kemenag.go.id.
MANTAN wakil komandan Resimen Tjakrabirawa Maulwi Saelan ingat betul kebiasaan Sukarno di Istana Negara saat mengisi waktu senggang. “Selain membaca atau bercengkerama, biasanya dia berkebun,” ujarnya kepada Historia.
Kecintaan Sukarno pada pohon atau tanaman berangkat dari masa kecilnya yang dekat dengan alam. Dalam otobiografinya karya Cindy Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, dia dan teman-temannya suka bila sebuah pohon tumbuh. Dengan daun dari pohon itu mereka bisa bermain sado-sadoan. Daun pohon tersbut berbentuk lebar di tengah dan runcing di ujung. Bagian tengah mereka jadikan kereta sado yang mengangkut penumpang, sementara ujungnya ditarik oleh kuda yang diperankan oleh salah satu di antara mereka. Berbeda dari teman-temannya, yang kebanyakan memilih menjadi penumpang, Sukarno lebih sering menjadi kuda atau kusir.
Sewaktu menjalani pembuangan di Ende, Sukarno senang merenung di bawah sebuah pohon sukun. Pohon itu terletak di tanah lapang yang –berjarak sekira 700 meter dari rumahnya– menghadap Teluk Sawu dan bercabang lima. Pemandangan indah teluk dan rimbunnya dedaunan pohon yang memayunginya mampu mengusir kesepiannya. Di bawah pohon itulah dia menggali nilai-nilai leluhur. Lima cabang pohon itu konon menginspirasi Sukarno mensintesiskan nilai-nilai leluhur ke dalam lima sila (Pancasila). Kelak, penduduk menamakan pohon itu sebagai pohon Pancasila.
Saat sudah berkuasa, Sukarno menaruh perhatian pada upaya pelestarian hutan. Hal itu tercermin dalam pidatonya pada Kongres Boeroeh Kehoetanan di Malang, 27 September 1946. Menurutnya, sebagaimana dikutip harian Merdeka, 1 Oktober 1946, “350 tahun kita tak bernegara. Kita ingin hidup bernegara. Kita berjuang menumpahkan darah untuk hidup. Hidup minta makan, makan minta padi, padi minta hutan. Tidak ada hutan, tidak ada sumber, tidak ada air.”
Di berbagai tempat yang dia kunjungi, Sukarno biasa menyempatkan menanam sebuah pohon. Di Berastagi, ketika dia dan beberapa pemimpin Republik dibuang saat agresi militer Belanda kedua, sempat menanam sebuah pohon beringin di pekarangan rumah yang menjadi tempat penahanannya. “Itu beringin Sukarno. Pak Sukarno yang menanam,” ujar istri Sumpeno, penjaga rumah, kepada Historia. Pada 1960, Sukarno juga menanam pohon beringin di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pohon ini kemudian dikenal dengan nama “Beringin Sukarno.”
Pada 1955, ketika naik haji, Sukarno tak hanya membawa banyak bibit pohon mimba tapi juga beberapa ahli untuk mengurusnya. Bibit-bibit itu kemudian ditanam di padang Arafah, dan pada gilirannya menghijaukan padang gersang. Kerajaan Saudi menyebut pohon itu “Syajarah Sukarno atau Pohon Sukarno” sebagai penghargaan atas jasa baik Sukarno.
Ketika melihat kondisi Jakarta yang dianggapnya sudah tak representatif sebagai ibukota negara, Sukarno membuat rencana pemindahan ibukota ke Palangkaraya. Sukarno ikut membuat master plan, lengkap dengan sabuk hijaunya. “Oleh karenanya dapat dipastikan sabuk pohon atau jalur hijau atau hutan kota akan ditanam di sepanjang jalan-jalan protokol Kota Palangkaraya,” tulis Wijanarka dalam Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya. Pada 17 Juli 1957, Sukarno melakukan pemancangan tiang pertama sebagai penanda dimulainya pembangunan Palangkaraya. Namun, ibukota tak jadi pindah kesana, tetap di Jakarta.
Tak hanya di luar, Sukarno juga menanam pohon di Istana Negara. “Itu pohon beringin yang di Istana dia yang tanam,” ujar Maulwi kepada Historia. Keterangan Maulwi diperkuat kesaksian ajudan Sukarno, Bambang Widjanarko dalam Sewindu Dekat Bung Karno. Menurutnya, sang presiden sangat perhatian kepada taman dan pepohonan yang mengisinya. Hampir tiap pagi dia meminta Bambang menemaninya berkeliling memperhatikan taman-taman Istana.
Apabila ada pohon yang terlantar atau rusak, dia akan sangat marah. Selain menanyakan penyebab mengapa pohon yang dilihatnya bisa terlantar, Sukarno biasanya segera memanggil tukang kebun untuk merawat pohon tersebut. Seringkali, kata Bambang, Sukarno menanyakan nama-nama tanaman yang mereka berdua lihat untuk mengetes pengetahuan Bambang soal tanaman.
Hal yang sama juga terjadi ketika Sukarno berada di Istana Tampaksiring, Bali. “Sukarno senang bekerja di kebun pagi hari dan menanam banyak pohon dan menghabiskan waktu di Istana dengan tangannya sendiri,” tulis Horst Henry Geerken dalam A Magic Gecko: Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno.
Kecintaan Sukarno terhadap pohon itu pula yang membuatnya ingin dimakamkan di sebuah tempat yang teduh oleh pepohonan. Dia tak ingin dimakamkan secara mewah. Dia hanya ingin dimakamkan secara sederhana yang mengesankan ketenangan dan kedekatannya dengan alam dan rakyatnya.
Sukarno berwasiat: “Aku mendambakan bernaung di bawah pohon yang rindang, dikelilingi oleh alam yang indah, di samping sebuah sungai dengan udara segar dan pemandangan bagus…Dan aku ingin rumahku yang terakhir ini terletak di daerah Priangan yang sejuk, bergunung-gunung dan subur, dimana aku pertama kali bertemu dengan petani Marhaen.” Namun, rezim Orde Baru dengan alasan politik tidak memakamkan Sukarno di tempat yang diinginkannya itu, tapi di Blitar.
http://historia.id/persona/kisah-sukarno-dan-pohonpohonnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar