”Hana nguni hana mangke,tan hana nguni tan hana mangke, aya ma baheula aya tu ayeuna,hanteu ma baheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hanama tunggulna aya tu catangna.”
Senin, 31 Agustus 2015
Minggu, 30 Agustus 2015
Sabtu, 15 Agustus 2015
Militan ISIS hancurkan makam Nabi Yunus di Irak
Merdeka.com - Para militan dari Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dikabarkan menghancurkan batu nisan dari beberapa makam bersejarah di Irak dengan palu hingga berkeping-keping.
Para miltan itu, yang tergabung dalam kelompok teror Negara Islam (sebelumnya ISIS), terekam tengah menyerang kuburan berusia berabad-abad di Kota Mosul, Provinsi Niniwe, sebelah utara Irak, seperti dilansir surat kabar the Daily Mail, Kamis (10/7/2014).
Sambil mengenakan penutup kepala dan pakaian serba hitam, mereka mengayunkan palu godam ke arah makam, hingga menghasilkan kepulan debu dan pecahan batu beterbangan di udara.
Salah satu batu nisan yang hancur dikatakan milik Nabi Yunus, seorang nabi yang dihormati baik oleh umat Islam maupun Kristen, menurut pihak berwenang Irak.
Nabi Yunus, yang merupakan tokoh sentral dalam Kitab Yunus di Alkitab Perjanjian Lama (Ibrani), dikenal dengan kisahnya yang ditelan oleh ikan atau ikan paus, tergantung pada terjemahan.
Serangan itu adalah kekerasan terbaru dilakukan ISIS di seluruh Irak.
Awal pekan ini, serangkaian gambar muncul memperlihatkan aksi penghancuran hampir lusinan masjid Syiah dan Sunni di Mosul, kota terbesar kedua di Irak, dan Kota Tal Afar, saat ini juga berada di bawah kendali ISIS.
Militan ISIS percaya bahwa memberikan penghormatan khusus kepada makam dan peninggalan-peninggalan bertentangan dengan ajaran Islam.
Ketika berbicara tentang serangan terbaru ini, pejabat Niniwe, Zuhair al-Chalabi, mengatakan kepada situs IraqiNews.com bahwa militan ISIS (telah) menguasai masjid Nabi Yunus di Kota Mosul sejak mereka menginvasi kota itu.
"Mereka terlibat dalam proses perusakan isi masjid. Masjid itu masih dikuasi oleh mereka sampai sekarang," ujar
Kuil Nabi Set juga dikatakan dihancurkan oleh para militan, menurut laporan itu.
Selasa, 04 Agustus 2015
Memahami Islam Nusantara dalam Bingkai Ilmu Nahwu
Muslimedianews.com ~
Oleh Umar A.H.*
Oleh Umar A.H.*
Akhir-akhir ini banyak perdebatan muncul tentang “islam nusantara” yang jadi tema besar Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur, pada 1 - 5 Agustus mendatang. Sebagian pakar setuju dengan konsep tersebut, namun tidak sedikit yang meragukan (baca : sinis) dengan gagasan tersebut karena dianggap bagian dari rangkaian proses sekularisasi, liberisasi pemikiran Islam yang telah digelorakan sejak tahun 80-an oleh Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid.
Sebagian lagi menilai bahwa gagasan Islam Nusantara juga berpotensi besar untuk memecah-belah kesatuan kaum Muslim, sehingga akan muncul istilah Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Australia, dan sebagainya. Gagasan Islam nusantara disinyalir akan memicu sikap saling menonjolkan kedaerahannya didalam eksistensinya ber-Islam. Seperti cara membaca Qur’an dengan langgam Jawa yang akan memunculkan berbagai egoisme Islam yang bersifat kedaerahan seperti gaya baca Sunda, Batak, Makassar, Aceh, Palembang.
Bagi pengusung ide “islam nusantara”, - sebagaimana dikatakan oleh Moqsith Ghazali- Ide Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Islam nusantara bukan sebuah upaya sinkretisme yang memadukan Islam dengan "agama Jawa", melainkan kesadaran budaya dalam berdakwah sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendahulu kita walisongo. Islam nusantara tidak anti arab, karena bagaimanapun juga dasar-dasar islam dan semua referensi pokok dalam ber-islam berbahasa Arab.
Terlepas dari perbedaan prespektif di atas, untuk memahami istilah islam nusantara -bagi kami orang awam-, tidak diperlukan pembahasan yang jlimet, ruwet bin ndakik-ndakik sebagaimana yang dipaparkan oleh para cendekiawan, kiai, professor, tetapi dengan memahami kata dari term islam nusantara yang mana terdiri dari dua kata yang digabung menjadi satu, atau dalam kamus santri dinamakan idhafah yaitu penyandaran suatu isim kepada isim lain sehingga menimbulkan makna yang spesifik, kata yang pertama disebut Mudhaf (yang disandarkan) sedang yang kedua Mudhaf ilaih (yang disandari).
Imam ibnu malik, pakar nahwu dari Andalusia spanyol menyatakan :
نُوناً تَلِي الإعْرَابَ أو تَنْوِينَا # ممّا تُضِيفُ احْذِفْ كَطُورِ سِينَا
وَالثَّانِيَ اجْرُرْ وانو من أَوْ فِي إذا # لَمْ يَصْلُحِ الّا ذَاكَ وَالّلامَ خُذَا
لِمَا سِوَى ذَيْنِكَ واخصص أولا # أو أعطه التعريف بالذي تلا
Terhadap Nun yang mengiringi tanda i’rob atau Tanwin dari pada kalimah yg dijadikan Mudhaf, maka buanglah! demikian seperti contoh: thuuri siinaa’
Jar-kanlah! lafazh yg kedua (Mudhof Ilaih). Dan mengiralah! makna MIN atau FI bilamana tidak pantas kecuali dengan mengira demikian. Dan mengiralah! makna LAM
pada selain keduanya (selain mengira makna Min atau Fi). Hukumi Takhshish bagi lafazh yg pertama (Mudhaf) atau berilah ia hukum Ta’rif sebab lafazh yg mengiringinya (Mudhaf Ilaih
Dari teori di atas dapat dipahami bahwa istilah islam nusantara merupakan gabungan kata islam yang berarti agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad serta kata nusantara yang dalam KBBI merupakan nama bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia, penggabungan ini bertujuan untuk mencapai makna yang spesifik. Namun penggabungan kata ini masih menyisakan berbagai pemahaman, karena sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Malik diatas, bahwa penggabungan (idhafah) harus menyimpan Huruf Jar (harf al-hafd) yg ditempatkan antara Mudhaf dan Mudhaf Ilaih untuk memperjelas hubungan pertalian makna antara Mudhaf dan Mudhaf Ilaih-nya. Huruf-huruf simpanan tersebut berupa MIN, FI dan LAM.
Peng-Idhafah-an dengan menyimpan makna huruf MIN memberi faidah Lil-Bayan (penjelasan) apabila Mudhaf Ilaih-nya berupa jenis dari Mudhaf. Teori ini tidak bisa di aplikasikan pada susunan Islam nusantara karena nusantara bukan jenis dari kata islam, jika dipaksakan akan memunculkan pemahaman bahwa islam nusantara merupakan islam min (dari) Nusantara, toh pada kenyataannya Islam hanya satu yaitu agama yang dibawa oleh Rasul akhir zaman.
Peng-Idhafah-an dengan menyimpan makna huruf LAM berfaidah Kepemilikan atau Kekhususan (Li-Milki, Li-Ikhtishash). Memahami dengan teori ini akan memunculkan takhsis dalam terhadap islam, islam untuk orang nusantara, realitanya islam agama yang universal, bukan agama yang khusus golongan atau bangsa tertentu.
Sedangkan Idhafah dengan menyimpan makna huruf FI berfaidah Li-Dzarfi apabila Mudhaf Ilaih-nya berupa Dzaraf bagi lafazh Mudhaf. Teori ini merupakan yang paling tepat digunakan dalam memahami term islam nusantara, karena sebagaimana disebut di atas kata nusantara merupakan nama bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia, artinya Islam Fi Nusantara, agama islam yang berada dinusantara, yaitu agama islam yang dibawa oleh Nabi yang diimani oleh orang-orang nusantara. Makna kata islam disini tidak tereduksi karena di-idhafah-kan dengan kata nusantara, karena hubungan antara Mudhaf-Mudhaf ilaih disini sebatas menunjukan spesifikasi tempat atas Mudhaf ilaih.
Dari uraian singkat diatas, dapat dipahami bahwa term Islam Nusantara bukan merupakan upaya me-lokal-kan islam, atau bahkan membuat “agama” Islam Nusantara akan tetapi usaha dalam memahami dan menerapkan islam tanpa mengesampingkan tempat islam di imani dan dipeluk.
Wa Allahu ‘Alam bi al-Shawab
*Umar A.H
santri ndeso
sumber via nu.or.id
Khasiat Membaca Surat Al Fatihah, Bisa Untuk Penyembuhan
Pentingnya Membaca Surat Al Fatihah
Surat Al Fatihah dikenal sebagai surat paling awal dalam Al Quran, tapi apakah kita tahu tentang keutamaan dan khasiat membaca surat Al Fatihah? Umat Islam mengetahui bahwa shalat yang mereka lakukan tidak akan sah jika mereka tidak membaca surat Al Fatihah ini, dan inilah pentingnyasurat Al Fatihah.
Masalah penting ini juga diriwayatkan oleh beberapa sahabat Rasul, bahwa Rasulullah Saw mengatakan shalat orang yang tidak membaca surat Al Fatihah tidak akan diterima oleh Allah Swt. Melalui hadist ini menyiratkan secara jelas bahwa ternyata surat Al Fatihah memiliki peranan yang sangat penting, sampai-sampi shalat seseorang tidak sah jika mereka terlupa membaca surat Al Fatihah.
Khasiat Membaca Surat Al Fatihah
Rasulullah Saw pernah berkata pada Abu Sa’id bin Al-Mu’alla yang pada saat itu sedang shalat di masjid. Rasulullah ingin mengajarkannya sebuah surat yang paling agung dari seluruh surat yang ada dalam Al-Qur’an, dan Abu Sa’id setuju untuk diajarkan.
Al-Imam Ibnu At-tiin mengatakan bahwa maksud Nabi Muhammad Saw dengan ucapannya tadi adalah bahwa keutamaan dan khasiat membaca surat Al Fatihah lebih banyak jika dibandingkan dengan membaca surat lainnya yang ada di dalam Al Quran.
Apabila dikaji dari penjelasan para ulama Islam, maka bisa ditemukan setidaknya ada 13 khasiat dan atau manfaat yang bisa diperoleh ketika seseorang banyak membaca surat Al Fatihah sebagai zikirnya, yaitu:
- Dengan Membaca Surat Al fatihah stelah beramal kebaikan maka amal kebaikan orang tersebut diterima oleh Allah Swt
- Dengan banayak membaca surat al Fatihah, seluruh dosanya yang ada di dunia diampuni
- Mereka yang banyak membaca surat Al Fatihah akan selamat dari api neraka yang sangat panas
- Mereka yang banyak membaca Surat Al Fatihah akan terhindar dari murka Allah swt
- Mereka yang banyak membaca surat Al Fatihah, kelak akan mampu berjumpa dengan Allah Swt di akhirat
- Akan terbebas dari azab kubur ketika mereka berada di alam kubur nanti
- Mendapat derajat yang lebih tinggi dibanding mereka yang tidak membaca, nanti ketika di Surga
- Keutamaan dan Khasiat membaca surat Al Fatihah sebelum tidur akan membuat seseorang aman dari segala hal, kecuali kematian
- Rumah yang sering dibacakan surat al Fatihah dan surat al Ikhlas akan bebas dari kefakiran, serta akan berlimpah kebaikan. Membaca Al Fatihah sudah seakan-akan menyedekahkan emas di jalan Allah
- Satu ayat dari surat Al Fatihah menutup satu pintu neraka bagi orang tersebut
- Membaca surat al fatihah dengan ayat kursi dan dua ayat surat Ali Imran ketika selesai shalat akan dibalas dengan surga
- Manfaat membaca surat Al Fatihah, kita seakan telah membaca kitab injil, zabur, taurat, Qur’an, suhuf Ibrahim, dan suhuf Idris sebanyak tujuh kali
Penyembuhan dengan Surat Al Fatihah pada Zaman Rasulullah Saw
Pada zaman sekarang di kalangan kaum santri, Surat Al Fatihah sering juga dibaca ketika melakukan ruqyah pada seseorang yang sakit. Tapi ternyata pada zaman Rasulullah Saw, surat al Fatihah pernah digunakan untuk mengobati orang yang sakit parah karena disengat kalajengking, sebagaimana telah masyhur dalan suatu riwayat hadits shahih.
dalam riwayat hadits shahih, Surat Al Fatihah ini pernah dibacakan ketika para sahabat Rasulullah Saw mencoba menyembuhkan orang yang terkena sengatan kalajengking, dan inilah manfaat surat Al Fatihah untuk penyembuhan pada masa itu. Karena dengan izin Allah SWT maka orang yang terkena sengatan kalajengking tadi sembuh setelah dibacakan Surat Al Fatihah.
Alasan lain mengapa seorang Muslim disarankan banyak membaca surat al Fatihah dalam masa hidupnya adalah karena ternyata surat Al Fatihah memiliki kandungan do'a untuk meminta petunjuk langsung kepada Allah, doa itu dipanjatkan kepada Allah untuk kebaikan diri si pembaca dan umat Islam demi lancarnya urusan kebaikan.
Untuk mendapatkan pemahaman dari khasiat dan atau manfaat bacaan surat Al Fatihah bisa dilakukan dengan melakukan pengkajian mendalam terhadap tafsir surat Al Fatihah. Sudah banyak ulama Islam yang telah menuliskan penjelasannya dalam beberapa kitab tafsir yang secara khusus membahas surat Al Fatihah ini. Dari beberapa kajian dan penjelasan para Ulama Islam, ternyata banyak yang bisa diambil manfaatnya dari surat Al Fatihah. Melalui pengkajian kitab-kitab tersebut, kita bisa lebih mengetahui keutamaan dan khasiat membaca surat Al Fatihah.
Kisah Nabi Khidir dan Nabi Ilyas
Di dalam kitab "Al-Asror Rabbaniyyah wal Fuyudhatur Rahmaniyyah" karya Syeikh Ahmad Shawi Al-Maliki halaman 5 diterangkan yang artinya sebagai berikut:
Telah berkata guru dari guru-guru kami, Sayyid Mushtofa Al-Bakri: Telah berkata Al-'Ala'i di dalam kitab tafsirnya bahwa sesungguhnya Nabi Khidir dan Nabi Ilyas as hidup kekal sampai hari kiamat. Nabi Khidir as berkeliling di sekitar lautan sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat di lautan.
Sedangkan, Nabi Ilyas berkeliling di sekitar gunung-gunung sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat di gunung-gunung. Inilah kebiasaan mereka di waktu siang hari. Sedangkan di waktu malam hari mereka berkumpul di bukit Ya'juj wa Ma'luj (يأجوج و مأجوج) sambil mereka menjaganya.
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Khidir dan Nabi Ilyas berjumpa pada tiap-tiap tahun di Mina (Saudi Arabia). Mereka saling mencukur rambutnya secara bergantian. Kemudian mereka berpisah dengan mengucapkan kalimat:
بسم الله ما شاء الله لا يسوق الخير الا الله
بسم الله ما شاء الله لا يصرف السو ء الا الله
بسم الله ما شاء الله ما كان من نعمة فمن الله
بسم الله ما شاء الله لا حول و لا قوة الا بالله
بسم الله ما شاء الله لا يصرف السو ء الا الله
بسم الله ما شاء الله ما كان من نعمة فمن الله
بسم الله ما شاء الله لا حول و لا قوة الا بالله
Maka barangsiapa mengucapkan kalimat-kalimat ini pada waktu pagi dan sore hari, maka ia akan aman dari tenggelam, kebakaran, pencurian, syaitan, sultan, ular, dan kalajengking.
Dan telah dikeluarkan oleh Ibnu 'Asakir bahwa sesungguhnya Nabi Khidir dan Nabi Ilyas itu berpuasa Ramadhan di Baitul Maqdis (Palestina) dan mereka melakukan ibadah haji pada tiap-tiap tahun. Mereka minum air zamzam dengan sekali tegukan, yang mencukupkan mereka seperti minuman dari Kabil.
Sebagian ulama menceritakan bahwa sesungguhnya Nabi Khidir itu putera Nabi Adam as yang diciptakan dari tulang iganya. Menurut segelintir kecil ulama lagi beliau putera Halqiya. Ada yang mengatakan putera Kabil bin Adam. Adapula yang mengatakan beliau itu cucunya Nabi Harun as, yaitu putera bibinya Iskandar Dzul Qarnain. Dan Perdana Menterinya benar-benar aneh mengatakan bahwa Nabi Khidir itu dari golongan malaikat.
Sedangkan, menurut pendapat ulama yang paling shohih adalah bahwa Khidir itu adalah seorang Nabi. Menurut ulama jumhur beliau itu masih hidup dan beliau tidak akan pernah meninggal terkecuali pada hari kiamat apabila Al-Qur'an telah diangkat dan Dajjal telah membunuhnya. Kemudian, Allah menghidupkannya kembali. Sesungguhnya, beliau itu masa hidupnya panjang sekali. Karena, beliau meminum air kehidupan.
Sumber : DR KH Thobary Syadzily, MKub
Abdul Karim, Peletak Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terakhir yang mampu menyatukan kepemimpinan keseluruhan cabang tarekat itu. Dia murid dan salah satu khalifah Syaikh Ahmad Khatib Sambas, penyusun Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Lewat Abdul Karim yang berpusat di Banten, tarekat ini tersebar ke berbagai daerah di Nusantara. Tidak hanya dalam soal olah batin, lingkaran tarekat Abdul Karim juga terkenal karena sebagian murid terdekatnya dihubungkan dengan pemberontakan petani melawan Belanda tahun 1888.
Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, tetapi sebuah sumber memperkirakan dia dilahirkan pada tahun 1830 M/1250 H. di desa Lampuyang, Serang, Banten. Nama orang tua dan masa pendidikan kecilnya juga tidak banyak diketahui, kecuali dia tinggal di daerah Banten. Tokoh ini dikenal kemudian belajar ke Mekkah, sezaman dengan para sahabat yang ditemuinya, yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikhona Muhammad Cholil, Syaikh Mahfudz at-Tirmasi, dan lain-lain.
Di Kota Mekkah ini, dia belajar di antaranya kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang saat itu sudah menjadi pengajar di Masjidil Haram, sekaligus mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dari bimbingan Ahmad Khatib Sambas ini, Abdul Karim mumpuni di bidang ilmu tasawuf, dan diangkat sebagai salah satu khalifahnya.
Selain Abdul Karim, Ahmad Khatib juga dikenal mengangkat beberapa khalifah untuk menyebarkan tarekatnya ke Nusantara, yaitu: Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah al-Maduri yang tinggal di Mekkah. Beberapa murid Ahmad Khatib juga mengajarkan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah meskipun tidak ada keterangan apakah benar-benar telah diangkat sebagai khalifah ataukah sekadar sebagai badal.
Setelah memperoleh ilmu di Mekkah, Abdul Karim kembali ke Banten, diperkirakan pada tahun 1860-an, kemudian mendirikan pesantren dan menyebarkan tarekat yang diperoleh dari gurunya. Nama pesantrennya, sayang tidak diketahui, kecuali hanya informasi bahwa pesantren ini berkembang dan murid-murid tersebar di berbagai pelosok Banten dan daerah lain.
Lewat Abdul Karim yang berpusat di Banten, tarekat ini tersebar ke berbagai daerah di Nusantara. Tidak hanya dalam soal olah batin, lingkaran tarekat Abdul Karim juga terkenal karena sebagian murid terdekatnya dihubungkan dengan pemberontakan petani melawan Belanda tahun 1888.
Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, tetapi sebuah sumber memperkirakan dia dilahirkan pada tahun 1830 M/1250 H. di desa Lampuyang, Serang, Banten. Nama orang tua dan masa pendidikan kecilnya juga tidak banyak diketahui, kecuali dia tinggal di daerah Banten. Tokoh ini dikenal kemudian belajar ke Mekkah, sezaman dengan para sahabat yang ditemuinya, yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikhona Muhammad Cholil, Syaikh Mahfudz at-Tirmasi, dan lain-lain.
Di Kota Mekkah ini, dia belajar di antaranya kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang saat itu sudah menjadi pengajar di Masjidil Haram, sekaligus mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dari bimbingan Ahmad Khatib Sambas ini, Abdul Karim mumpuni di bidang ilmu tasawuf, dan diangkat sebagai salah satu khalifahnya.
Selain Abdul Karim, Ahmad Khatib juga dikenal mengangkat beberapa khalifah untuk menyebarkan tarekatnya ke Nusantara, yaitu: Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah al-Maduri yang tinggal di Mekkah. Beberapa murid Ahmad Khatib juga mengajarkan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah meskipun tidak ada keterangan apakah benar-benar telah diangkat sebagai khalifah ataukah sekadar sebagai badal.
Setelah memperoleh ilmu di Mekkah, Abdul Karim kembali ke Banten, diperkirakan pada tahun 1860-an, kemudian mendirikan pesantren dan menyebarkan tarekat yang diperoleh dari gurunya. Nama pesantrennya, sayang tidak diketahui, kecuali hanya informasi bahwa pesantren ini berkembang dan murid-murid tersebar di berbagai pelosok Banten dan daerah lain.
Di antara murid-muridnya adalah Tubagus Muhammad Falak Pandeglang. Para pejabat pemerintah juga menghormatinya, karena Abdul Karim telah menjadi tokoh terkenal, karismatik, dan oleh masyarakat disebut sebagai Kiai Agung dan waliyullah.
Pada saat dia tinggal di Banten ini, kondisi sosial masyarakat tengah terhimpit oleh pemerintah kolonial, utamanya di kalangan petani. Semangat melakukan perlawanan telah muncul lama di kalangan masyarakat, hingga sebagian murid-murid dan tokoh-tokoh di Banten ingin melakukan pemberontakan kepada pemerintah kolonial.
Pada saat dia tinggal di Banten ini, kondisi sosial masyarakat tengah terhimpit oleh pemerintah kolonial, utamanya di kalangan petani. Semangat melakukan perlawanan telah muncul lama di kalangan masyarakat, hingga sebagian murid-murid dan tokoh-tokoh di Banten ingin melakukan pemberontakan kepada pemerintah kolonial.
Sebagai tokoh karismatik, dia selalu dimintai restu oleh tokoh-tokoh Banten, baik pejabat pemerintah maupun para pemimpin perancang pemberontakan. Beberapa muridnya yang kemudian dianggap berperan dalam mengajak pemberontakan adalah Tubagus Ismail dan H. Mardjuki (yang menjadi salah satu khalifahnya dalam tarekat).
Hanya saja, sebelum pemberontakan benar-benar pecah di Banten tahun 1888, Abdul Karim pergi ke Mekkah, diperkirakan terjadi pada tahun 1876, setahun setelah meninggalnya Ahmad Khatib Sambas. H. Mardjuki kemudian juga menyusul pergi ke Mekkah sebelum pemberontakan terjadi.
Di Mekkah, Abdul Karim semakin dipandang sebagai khalifah yang ditaati oleh para khalifah yang telah diangkat Ahmad Khatib. Sampai akhir hayatnya, dia tinggal di Mekkah dan memimpin tarekat ini, tetapi angka tahunnya tidak diketahui pasti.
Hanya saja, sebelum pemberontakan benar-benar pecah di Banten tahun 1888, Abdul Karim pergi ke Mekkah, diperkirakan terjadi pada tahun 1876, setahun setelah meninggalnya Ahmad Khatib Sambas. H. Mardjuki kemudian juga menyusul pergi ke Mekkah sebelum pemberontakan terjadi.
Di Mekkah, Abdul Karim semakin dipandang sebagai khalifah yang ditaati oleh para khalifah yang telah diangkat Ahmad Khatib. Sampai akhir hayatnya, dia tinggal di Mekkah dan memimpin tarekat ini, tetapi angka tahunnya tidak diketahui pasti.
Sepeninggal Abdul Karim, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak memiliki pemimpin tunggal yang ditaati oleh seluruh anggota dan hanya menjadi kelompok tarekat dengan kepemimpinan lokal, meskipun memiliki pengikut yang sangat besar. (Sumber: Ensiklopedia NU)
Mbah Subkhi, Kiai Bambu Runcing
KH Syaifuddin Zuhri mengisahkan: “Berbondong-bondong barisan-barisan Lasykar dan TKR menuju ke Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua gunung penganten sundoro Sumbing..... Diantaranya yang paling terkenal adalah Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan KH Masykur.
“Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia” di bawah pimpinan Bung Tomo, “Barisan Banteng” di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman, “Laskar Pesindo” dibawah pimpinan Krissubbanu dan masih banyak lagi. Sudah beberapa hari ini baik TKR maupun badan-badan kelasykaran berbondong-bondong menuju ke Parakan……”.
KH Saefudin Zuhri, mantan Menteri agama itu mengantar sendiri KH.A.Wahid Hasyim,KH.Zainul Arifin dan beberapa petinggi negara untuk datang ke Parakan. Mengapa ke Parakan?
Parakan terkenal dengan kota bambu runcingnya yang ampuh. Bambu runcing adalah sebatang bambu berkisar panjangnya kurang lebih dua meter yang dibuat runcing pada salah satu ujung atau kedua ujungnya. Peralatan yang sederhana ini, ternyata pada masa perang kemerdekaan telah menjadi senjata massal yang pakai rakyat dalam melawan penjajah.
Bambu Runcing pada masa Jepang juga sudah di gunakan. Menurut sumber sejarah pada masa Jepang mengadakan pelatihan-pelatihan untuk para anak-anak, remaja dan pemuda dalam Senendan, senjata yang di pakai untuk latihan antara lain senjata bambu runcing.
Namun sebelum bambu runcing digunakan, para santri dan pejuang terlebih dahulu meminta berkah doa dari kiai di Parakan, terutama kiai Subkhi. Tidak banyak cerita mengenai doa apa yang di bacakan oleh Kiai Subkhi. Namun bambu runcing Parakan menjadi senjata utama sebelum para pejuang berhasil merampas senjata milik tentara penjajah.
Dan ketika sudah ribuan pejuang yang datang ke Parakan menemui Kiai Subkhi utuk mencium jemari tangannya dan meminta do’a, Kiai Subkhi malah bertanya “mengapa tidak datang kepada Kiai Dalhar,Kiai Hasbullah dan Kiai Siraj?”
Mbah Subkhi, putra salah anggota pasukan Diponegoro yang kemudian berjuang dan menetap di daerah Parakanadalah kiai yang sangat sederhana dan rendah hati. KH.Saifudin Zuhri dalam bukunya berangkat dari Pesantren bercerita, “KH Wahid Hasyim, KH Zainul Arifin dan KH Masykur pernah juga mengunjunginya. Dalam pertemuan itu, KH Subeki menangis karena banyak yang meminta doanya. Ia merasa tidak layak dengan maqam itu.
“Mendapati pernyataan ini, tergetarlah hati panglima Hizbullah, KH Zainul Arifin, akan keikhlasan sang kiai. Tapi, kiai Wahid Hasyim menguatkan hati Kiai Bamburuncing itu, dan mangatakan bahwa apa yang dilakukannnya sudah benar.” (Ahmad Muzan-Wonosobo)
KH Masruri Abdul Mughni Figur Murabbi Sejati
Nama lengkapnya adalah KH Muhammad Masruri Abdul Mughni. Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah Benda Sirampog, yang lebih dikenal Al Hikmah Bumiayu. Masyarakat memanggilnya Abah Yai Masruri Mughni. Lahir di Desa Benda pada 23 Juli 1943, putra pertama dari dua bersaudara buah hati pasangan H Abdul Mughni dan Hj Maryam, Abah adalah cucu KH Kholil bin Mahalli, salah satu muassis (pendiri) Pesantren Al Hikmah.
Abah hidup di lingkungan pesantren yang didirikan oleh sang kakek. Sehingga sejak kecil ia mulai belajar agama langsung di bawah asuhan kakek yang dibantu KH. Suhaemi bin Abdul Mughni (keponakan KH. Kholil) di pesantren tersebut hingga usia 13 tahun. Ketika menginjak usia 14 tahun, tepatnya pada tahun 1957 ia mulai mondok di Pesantren Tasik Agung Rembang, di bawah asuhan KH Sayuti dan KH Bisri Mushtofa. Ia belajar di pesantren tersebut hanya sekitar dua tahun, yakni sampai tahun 1959.
Setelah itu ia hijrah ke Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, Jawa Timur, yang saat itu salah satu pengasuhnya adalah KH. Wahab Hasbullah tokoh penggerak Nahdlatul Ulama pada saat itu. Selain nyantri, ia juga aktif tabarukan atau mengaji di beberapa pesantren di Indonesia, seperti belajar pada Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang.
Sejak muda, Abah dikenal telah memiliki jiwa kepemimpinan dan selalu dituakan oleh orang- orang di sekitarnya. Di pesantren Tambak Beras dalam usia yang relatif muda, ia telah didaulat oleh para masyakikh untuk menjadi qori’ (pembaca kitab kuning untuk santri).
Menurut KH Mukhlas Hasyim, seorang guru penulis, pada saat itu Abah sebetulnya masih punya cita-cita ingin sekali melanjutkan nyantri di Pesantren di daerah Pacitan Jawa Timur dan Pesantren di daerah Magelang Jawa Timur. Hanya saja ketika itu, ia diminta kakeknya untuk segera pulang membantu mengajar di Pesantren Al Hikmah, karena pada saat itu sangat membutuhkan tenaga pengajar. Akhirnya keinginan tersebut tidak terlaksana, karena pada tahun tersebut juga, yakni tahun 1965 dalam usia 22 tahun ia dinikahkan dengan Adzkyah binti KH Kholil yang waktu itu masih berusia 18 tahun. Dan sejak saat itulah rutinitasnya adalah mengajar.
Figur Murobbi Sejati
Sejak pulang dari nyantri di Tambak Beras Jombang, setiap hari Abah harus berjalan kaki cukup jauh untuk mengajar, karena pada saat itu letak asrama dan kelas untuk mengaji sekitar 2 km. Kadang dalam satu hari ia harus pulang pergi beberapa kali untuk mengajar. Sampai pada akhirnya ada wali santri yang datang khusus ke ndalem menitipkan putri-putri mereka untuk belajar atau nyantri di ndalem, karena saat itu ia belum memiliki kamar atau asrama untuk santri. Atas saran dari guru di Tambak Beras Jombang akhirnya ia mendirikan Asrama Pesantren Putri yang sekarang dikenal dengan Pesantren Al Hikmah 2.
Dengan adanya santri yang tinggal di rumahnya, aktifitas mengajar Abah bertambah. Di samping di asrama lama yakni di komplek Masjid Jami’ desa Benda – yang sekarang Al Hikmah 1 – serta dindalem. Namun setelah mulai agak sepuh dan sibuk dengan amanah umat yang diberikan kepada Abah seperti di Nahdlatul Ulama (NU), Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi lainnya, pengajian dilaksanakan di ndalem dan masjid An Nur Komplek Putri.
Dengan segudang kesibukan, Abah selalu istiqomah mengaji, walaupun dalam waktu yang cukup singkat. Ketika tidak ada kesibukan keluar, dari pagi sampai malam aktifitasnya diisi dengan kegiatan mengajar berbagai fan ilmu seperti tafsir, hadist, tasawuf, faraidl, mawaris, dan fan ilmu lainnya. Aktifitas tiap harinya ditutup dengan mengajar kitab tasawuf Ihya Ulumudin untuk santri senior sampai tengah malam. Dalam setiap pengajian, tak pernah terbersit sedikit pun kesan capek dan lelah dari seorang Abah. Meski baru sepulang dari bepergian sekalipun, Abah selalu terlihat bersemangat dalam membacakan kitab yang diajarkannya.
Dalam kesehariannya, Abah adalah seorang murabbi (pendidik) yang alim, murah senyum, pembawaanya luwes, memiliki tanggung jawab tinggi, dekat dengan semua orang dan penuh dengan keteladanan. Bagi Abah Yai, transformasi ilmu tak hanya sebatas teoritikal belaka, tapi setiap ilmu mesti diajarkan lewat keteladanan nyata. Para santri tiap hari menjadi saksi, bagaimana keteladanan sosok Abah dalam setiap sendi kehidupan. Abah selalu berupaya memberikan teladan pertama dalam setiap hal, besar ataupun kecil.
Abah adalah seorang yang tak pernah lelah berjuang untuk umat. Setiap detik waktu, ia gunakan untuk berjuang di jalan Allah. Di tengah padatnya jadwal, sebagai Rais Syuriah NU Jawa Tengah, pengurus Majelis Ulama Indonesia, Ketua MUI Brebes, dan ketua dewan pengawas Masjid Agung Jawa Tengah ( MAJT), Abah selalu mengedepankan keistiqomahan dalam mendidik para santrinya.
Abah seakan ingin memberikan teladan langsung bagi para santrinya tentang arti dan makna hidup yang sebenarrnya. Seperti yang sering disampaikan di depan ribuan para santrinya ”Innal Hayata ’Aqidatun Wajihadun”. Makna hidup adalah aqidah dan perjuangan. Aqidah Islam yang benar dan mesti diperjuangkan sepanjang hayat dengan mengisi kehidupan untuk mencari ridha Allah Subhanu Wata’ala semata.
Dalam tataran sosial kemasyarakatan, Abah adalah seorang yang memiliki pembawaan luwes, hangat, dan mampu dekat dengan semua orang. Setiap tamu yang datang di ndalem, jika Abah tidak sedang bepergian pasti ditemui. Abah menyambut para tamu dengan ramah dan penuh kehangatan pukul berapapun juga. Abah selalu berusaha bungahake (membuat senang) tamunya. Abah pun tak segan untuk mengajak setiap tamuanya bersantap bersama di meja makan, jika si tamu kebetulan datang di waktu Abah daharan (makan).
Dalam rangka mengawal keberadaan para alumni, setiap alumni yang sowan ke ndalem, termasuk penulis sering ditanya. Pertanyaan yang pertama disampaikan oleh Abah pasti “Dimana kamu sekarang? Mengajar dimana?” Bagi sebagian orang, pertanyaan ini mungkin sepele. Tapi, ibarat saripati, pertanyaan itu merupakan saripati kehidupan seorang Abah Kiai. Pertanyaan itu menunjukkan betapa ia tak menomorsatukan kesuksesan materi santrinya, ia justru mendorong santrinya untuk pertama-tama melakukan perubahan sosial dengan melakukan sesuatu yang paling mungkin dan paling dekat, yakni mengajar.
Sikap seperti inilah yang sejatinya dimiliki oleh para Kiai, ustadz, guru, dan para pengajar atau pendidik lainnya. Sehingga kalau penulis bisa istilahkan sosok Abah Yai Masruri adalah seorang figur murobbi atau pendidik sejati, yakni figur yang betul-betul mengabdikan hidup dan segala sesuatunya untuk ilmu, santri, dan umat. Sebagai salah satu contoh lagi karena keinginannya yang tinggi untuk terus mengembangkan pesantren, ia tidak pernah mengambil segala bentuk honor yang didapat. Semua dikumpulkan untuk dipergunakan pembangunan Pondok Pesantren.Subhanallah.
Sang Murabbi Sejati dipanggil ke haribaan Allah Swt, Ahad pagi 20 Nopember 2011 di Arab Saudi dalam usia 68 tahun. Setelah dishalati di Masjid Nabawi selepas shalat shubuh, atas permintaan Abah sendiri jenazah disemayamkan di komplek pemakaman Baqi’ di dekat masjid Nabawi bersama istri, para sahabat Rasulullah dan para masyayikh.
Ismail Ridlwan
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dan muqim di Pesantren Darul Falah Be-Songo Semarang
Kiai Romly Tamim, Penyusun Doa Istighotsah
Kata "Istighotsah" (إستغاثة) adalah bentuk masdar dari Fi'il Madli Istaghotsa (إستغاث) yang berarti mohon pertolongan. Secara terminologis, istigotsah berarti beberapa bacaan wirid (awrad) tertentu yang dilakukan untuk mohon pertolongan kepada Allah SWT atas beberapa masalah hidup yang dihadapi.
Istighotsah ini mulai banyak dikenal oleh masyarakat khususnya kaum Nahdliyyin baru pada tahun 1990 an. Di Jawa Timur, ulama yang ikut mempopulerkan istighotsah adalah Almarhum KH Imron Hamzah (Rais Syuriyah PWNU Jatim waktu itu). Namun di kalangan murid Thariqah, khususnya Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, Isighotsah ini sudah lama dikenal dan diamalkan.
Bacaan istighotsah yang banyak diamalkan oleh warga Nahdliyyin ini, bahkan sekarang meluas ke seluruh penjuru negeri sebenarnya disusun oleh KH Muhammad Romly Tamim, seorang Mursyid Thariqah Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, dari Pondok Pesantren Rejoso, Peterongan, Jombang. Hal ini dibuktikan dengan kitab karangan beliau yang bernama Al-Istighatsah bi Hadrati Rabb al-Bariyyah" (tahun 1951) kemudian pada tahun 1961 diterjemah ke dalam bahasa Jawa oleh putranya KH Musta'in Romli.
KH Muhammad Romly Tamim adalah salah satu putra dari empat putra Kiai Tamim Irsyad (seorang Kiai asal Bangkalan Madura). Keempat putra Kiai Tamim itu ialah Muhammad Fadlil, Siti Fatimah, Muhammad Romly Tamim, dan Umar Tamim.
KH Muhammad Romly Tamim lahir pada tahun 1888 H. di Bangkalan Madura. Sejak masih kecil, beliau diboyong oleh orang tuanya KH. Tamim Irsyad ke Jombang. Di masa kecilnya, selain belajar ilmu dasar-dasar agama dan Al-Qur'an kepada ayahnya sendiri juga belajar kepada kakak iparnya yaitu KH Kholil (pembawa Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Rejoso).
Setelah masuk usia dewasa, beliau dikirim orang tuanya belajar ke KH. Kholil di Bangkalan, sebagaimana orang tuanya dahulu dan juga kakak iparnya belajar ke beliau. Kemudian setelah dirasa cukup belajar ke Kiai Kholil Bangkalan, beliau mendapat tugas untuk membantu KH Hasyim Asy'ari mengajarkan ilmu agama di Pesantren Tebuireng, sehingga akhirnya beliau diambil sebagai menantu oleh Kiai Hasyim yaitu dinikahkan dengan putrinya yang bernama Izzah binti Hasyim pada tahun 1923 M. Namun pernikahan ini tidak berlangsung lama karena terjadi perceraian.
Setelah perceraian tersebut, Mbah Yai Romly, begitu biasa dipanggil, pulang ke rumah orang tuanya, Kiai Tamim di Rejoso Peterongan. Tak lama kemudian beliau menikahi seorang gadis dari desa Besuk, kecamatan Mojosongo. Gadis yang dinikahi tersebut bernama Maisaroh. Dari pernikahannya dengan Nyai Maisaroh ini, lahir dua orang putra yaitu Ishomuddin Romly (wafat tertembak oleh tentara Belanda, saat masih muda), dan Musta'in Romly.
Putra kedua Kiai Romly yang tersebut terakhir ini kemudian menjadi seorang Kiai besar yang berwawasan luas. Hal ini terbukti saat beliau menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Darul'Ulum Rejoso, beliau mendirikan sekolah-sekolah umum di dalam pesantren disamping madrasah-madrasah diniyah yang sudah ada. Sekolah-sekolah umum itu di antaranya SMP, SMA, PGA, SPG, SMEA, bahkan juga memasukkan sekolah negeri di dalam pesantren yaitu MTs Negeri dan MA Negeri. Sekolah-sekolah tersebut masih berjalan hingga sekarang.
Di samping menjadi Ketua Umum Jam'iyyah Ahli Thariqoh Mu'tabaroh dan Mursyid Thariqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah pada saat itu, Dr. KH. Musta'in Romly yang kemudian menjadi menantu KH. Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas ini juga merupakan satu-satunya Kiai pertama di Indonesia yang mendirikan sebuah Universitas Islam yang cukup ternama pada saat itu (tahun 1965), yaitu Universitas Darul'Ulum Jombang.
Kemudian setelah Nyai Maisaroh wafat, Mbah Yai Romly menikah lagi dengan seorang gadis putri KH. Luqman dari Swaru Mojowarno. Gadis itu bernama Khodijah. Dari pernikahannya dengan istri ketiga ini lahir putra-putra beliau yaitu: KH Ahmad Rifa'iy Romli (wafat tahun 1994), beliau adalah menantu Kiai Mahrus Ali Lirboyo, KH A. Shonhaji Romli (wafat tahun 1992), beliau adalah menantu Kiai Ahmad Zaini Sampang, KH. Muhammad Damanhuri Romly (wafat tahun 2001), beliau adalah menantu Kiai Zainul Hasan Genggong, KH. Ahmad Dimyati Romly (menantu Kiai Marzuki Langitan), dan KH. A. Tamim Romly, M.Si. (menantu Kiai Shohib Bisri Denanyar).
KH. Muhammad Romly Tamim, adalah seorang Kiai yang sangat alim, sabar, sakhiy, wara', faqih, seorang sufi murni, seorang Mursyid Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, dan pengasuh Pondok Pesantren Darul'Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang.
Di antara murid-murid beliau yang terkenal dan menjadi Kiai besar ialah KH. Muhammad Abbas (Buntet Cirebon), KH. Muhammad Utsman Ishaq (Sawahpuluh Surabaya), KH. Shonhaji (Kebumen), KH. Imron Hamzah (Sidoarjo).
KH. Muhammad Romly Tamim, disamping seorang mursyid, beliau juga kreatif dalam menulis kitab. Di antara kitab-kitab karangannya ialah: al-Istighotsah bi Hadrati Rabbil-Bariyyah, Tsamratul Fikriyah, Risalatul Waqi'ah, Risalatush Shalawat an-Nariyah. Beliau wafat di Rejoso Peterongan Jombang pada tanggal 16 Ramadlan 1377 H atau tanggal 6 April 1958 M.
Tata Cara Istighotsah
Melaksanakan istighotsah, boleh dilakukan secara bersama-sama (jamaah) dan boleh juga dilakukan secara sendiri-sendiri. Demikian juga waktunya, bebas dilakukan, boleh siang, malam, pagi, atau sore. Seseorang yang akan melaksanakan istighotsah, sayogianya ia sudah dalam keadaan suci, baik badannya, pakaian dan tempatnya, dan suci dari hadats kecil dan besar.
Juga tidak kalah pentingnya, seseorang yang mengamalkan istighotsah menyesuaikan dengan bacaan dan urutan sebagaimana yang telah ditentukan oleh pemiliknya (Kiai Romly). Hal ini penting disampaikan, sebab tidak sedikit orang yang merubah bacaan dan urutan istighotsah bahkan menambah bacaan sehingga tidak sama dengan aslinya. Padahal urutan bacaan istighotsah ini, menurut riwayat santri-santri senior Kiai Romli adalah atas petunjuk dari guru-guru beliau, baik secara langsung maupun lewat mimpi.
Diceritakan, sebelum membuat wirid istighotsah ini, beliau Kiai Romli melaksanakan riyaddloh dengan puasa selama 3 tahun. Dalam masa-masa riyadlohnya itulah beliau memperoleh ijazah wirid-wirid istighotsah dari para waliyulloh. Wirid pertama yang beliau terima adalah wirid berupa istighfar, dan karena itulah istighfar beliau letakkan di urutan pertama dalam istighosah. Demikian juga urutan berikutnya adalah sesuai dengan urutan beliau menerima ijazah dari para waliyyulloh lainnya. Oleh karena itu sebaiknya dalam mengamalkan istighotsah seseorang menyesuaikan urutan wirid-wirid istighotsah sesuai dengan aslinya.
Setelah siap semuanya, barulah seseorang menghadap qiblat untuk memulai istighotsah dengan terlebih dahulu menghaturan hadiah pahala membaca surat al-Fatihah untuk Nabi, keluarga dan shahabatnya, tabi'in, para wali dan ulama khususnya Shahibul Istighatsah Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Romly Tamim. (Ishomuddin Ma’shum, dosen Universitas Darul Ulum Jombang)
AHLUL HALLI WAL AQDI (Nuh Ad-Dawami, Ajengan bil-Kalam wal-Qolam dari Garut)
Santri-santri Pondok Pesantren Nurulhuda Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut, Jawa barat, kerap menulis nama gurunya dengan NUh Ad-Dawami. N dan U yang kapital sebagai takaran kekentalan gurunya kepada NU. Guru yang selalu membicarakan Aswaja dan NU kepada santri-santrinya. Bahkan di pengajian umum.
Nama lengkapnya Nuh Ad-Dawami. Ia lahir Garut, Jawa Barat tahun 1946. Sejak usia 12 tahun, ia nyantri ke berbagai pesantren; mulai Pesantren Kubang, Munjul, Al-Huda (Garut), Cikalama (Sumedang), Sadang (Garut), Cibeureum (Tasikmalaya). Di antara pesantren-pesantren itu, ia nyantri paling lama di Al-Huda, dibawah bimbingan Ajengan KH Syirojuddin. Sebelum mukim (1968), ia kembali nyantri di pesantren tersebut.
Ajengan Nuh tinggal di Cisurupan, sekitar 35 km dari pusat kota Garut. Ia aktif di NU mulai dari bawah, dari tingkat Ranting. Kemudian MWCNU sampai di tingkat kabupaten. Dan kini, ia menjadi salah seorang Musytasar PWNU Jabar. Dalam ber-NU, menurut dia, kekompakan antara syuriyah dan tanfidziyah ibarat suami dan istri. Syuriyah bagaikan suami dan tanfidziyah seperti isteri. Keduanya adalah orang tua bagi warga NU. Tentunya harus akur dan memberikan contoh dengan perilaku yang akhlakul karimah bagi anak-anaknya agar mereka bertindak baik dan saleh.
Sementara hubungan NU dan pesantren, menurut dia, harus saling menjaga laksana hutan dan macan. Hutan akan jadi sasaran empuk pembalakan liar bila ditinggalkan macan. Sebaliknya, bila macan meninggalkan hutan, paling banter nasibnya hanya menjadi penghuni kebun binatang.
Untuk pesantren, Ajengan Nuh menekankan soal kaderisasi pelanjut. Para pelanjutnya sedari awal harus dipelihara pikiran dan hatinya. Harus seimbang. Jangan sampai pesantren hanya mengedepankan tasawuf, karena itu akan tertipu. Jangan pula melulu fiqih, karena itu akan menipu.
Nama lengkapnya Nuh Ad-Dawami. Ia lahir Garut, Jawa Barat tahun 1946. Sejak usia 12 tahun, ia nyantri ke berbagai pesantren; mulai Pesantren Kubang, Munjul, Al-Huda (Garut), Cikalama (Sumedang), Sadang (Garut), Cibeureum (Tasikmalaya). Di antara pesantren-pesantren itu, ia nyantri paling lama di Al-Huda, dibawah bimbingan Ajengan KH Syirojuddin. Sebelum mukim (1968), ia kembali nyantri di pesantren tersebut.
Ajengan Nuh tinggal di Cisurupan, sekitar 35 km dari pusat kota Garut. Ia aktif di NU mulai dari bawah, dari tingkat Ranting. Kemudian MWCNU sampai di tingkat kabupaten. Dan kini, ia menjadi salah seorang Musytasar PWNU Jabar. Dalam ber-NU, menurut dia, kekompakan antara syuriyah dan tanfidziyah ibarat suami dan istri. Syuriyah bagaikan suami dan tanfidziyah seperti isteri. Keduanya adalah orang tua bagi warga NU. Tentunya harus akur dan memberikan contoh dengan perilaku yang akhlakul karimah bagi anak-anaknya agar mereka bertindak baik dan saleh.
Sementara hubungan NU dan pesantren, menurut dia, harus saling menjaga laksana hutan dan macan. Hutan akan jadi sasaran empuk pembalakan liar bila ditinggalkan macan. Sebaliknya, bila macan meninggalkan hutan, paling banter nasibnya hanya menjadi penghuni kebun binatang.
Untuk pesantren, Ajengan Nuh menekankan soal kaderisasi pelanjut. Para pelanjutnya sedari awal harus dipelihara pikiran dan hatinya. Harus seimbang. Jangan sampai pesantren hanya mengedepankan tasawuf, karena itu akan tertipu. Jangan pula melulu fiqih, karena itu akan menipu.
Sementara NU, sebagai organisasi yang mepertahankan dan memperjuangakan Alussunah wal Jamaah, yang paling esensi dipegang adalah sikap “at-tawasuth”, yakni tengah-tengah. Orangnya disebut “mutawasith”, penengah. Seorang mutawasith, wajib kiranya menyimpan enam prinsip ini, ar-ri’ayah (kepemimpinan), dzulhimmatil’aliyah (idealistis), al-mujahadah (patriotis), riyadlotunnafsi (melatih jiwa dengan latihan), al-akhlakul karimah (akhlah luhur), hubbul’isyatil akhiroh (lebih mencintai kehidupan akhirat).
Ajengan Bilkalam
Sejak aktif di PCNU Garut awal tahun 1990an, ia kerap ceramah ke MWC-MWCNU. Tapi kemudian mulai tahun 1998, hal itu menjadi kegiatan rutin bulanan. Kini berarti 17 tahun sudah sang Ajengan Nuh melakukannya.
“Harita mah ka Garut Selatan teh di 3 titik. Bungbulang, Cisompet, Singajaya (waktu itu, ke Garut Selatan berceramah di tiga tempat. Bungbulang, Cisompet, dan Singajaya),” katanya kepada NU Online beberapa waktu lalu. Pengajian di tiga titik tersebut dihadiri para ajengan NU dari kecamatan sekitar. Tempatnya biasanya di masjid atau di pesantren.
Pengjian ke Cisompet kemudian berhenti setelah salah seorang tokoh penggerak pengajian, Ajengan Anwar, meninggal dunia tahun 2005. Sementara di Singajaya berhenti di tahun 2010 karena jalanan hancur berat. Sampai sekarang belum ada perbaikan. Sementara ke Bungbulang masih berlanjut karena panitia masih aktif dan jalanan masih bisa ditempuh.
Menurut penilaian Ajengan Nuh, orang Garut selatan tetap memintanya berceramah bukan karena ia dianggap ajengan kharismatik. Tapi lebih karena dia tidak menyalahkan dan mencaci pihak lain. Di Masjid Besar Bungbulang, misalnya, ia dijadikan penceramah penyeimbang. Sebab di situ berkembang pesat pemahaman agama berhaluan keras. Orang Bungbulang menyebutnya Islam Baiat. Islam jenis itu, menganggap orang yang belum masuk golongannya sebagai kafir, harus diislamkan kembali. Islam tersebut sudah merambah setiap desa di Garut Selatan. Selain itu, masih kuat juga Islam bergaya DI/TII.
Tapi menurut salah seorang jamaah dari Ranca Buaya, Veri Ardiansyah, yang hadir pada pengajian di Liung Gunung, dalam pengajiannya, Ajengan Nuh mampu menyederhanakan hal-hal yang rumit. Di sisi lain sang ajengan ahli bahasa Sunda dengan gaya yang murwakanti. Soal ini, diakui Ajengan Nuh sendiri, ia sering dikirimi majalah Mangle beragam edisi (sebuah majalah berbahasa Sunda sejak tahun 1950an) oleh salah seorang tokoh NU Garut, Enas Mabarti.
Selain ke Bungbulang, ia juga rutin berceramah ke Selawi, Garut utara, juga tiap bulan. Di samping mengajar santri di pesantren yang dipimpinnya, Nurulhuda, ia juga sering diundang ceramah ke hampir seluruh kecamatan Garut. Kemudian jangkauannya kini ke daerah-daerah lain di Jawa Barat dalam berbagai acara, mulai peringatan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, pernikahan, dan lain-lain.
Salah satu kebiasaannya adalah tepat waktu. Ada cerita khusus Ajengan Nuh tentang waktu. Ketika ia masih nyantri di pesantren Cilendek, Tasikmalaya, sekitar tahun 1966-an, kampungnya menyelenggarakan peringatan Hari Besar Islam. Ratusan orang sudah berkumpul di depan panggung. Panitia gelisah menanti penceramah undangan datang. Tapi sampai usai yang ditunggu, tidak hadir tanpa kabar berita.
Waktu itu, Nuh sampai menitikkan air mata mendapati kekecewaan lautan hadirin. Dalam hati ia bicara, jika Allah memberinya kemampuan berceramah, ia akan mendatangi tiap undangan. Walaupun tidak diberi apa-apa, pasti datang. Kedua, ia tidak akan membuat panitia gelisah menunggu dengan hadir, paling lambat, sejam sebelum waktunya.
Kemudian seperti diakuinya sendiri, sampai kini, ia tak pernah abai mengahadiri undangan yang sudah disepakati. Dan selalu datang lebih awal. Soal tepat waktu, diakui salah seorang menantunya, Irham Ali. Menurut Irham, Ajengan Nuh tak ingin membuat orang lain menunggu. Ia juga tak akan menunggu orang lain, jika akan mengganggu ketepatannya waktunya.
Ajengan Nuh mengakui sebagai penceramah untuk kalangan masyarakat bawah. “Levelna bapak mah keur level bawah (level bapak untuk masyarakat biasa). Saya dicetak untuk orang kampung,” ungkapnya.
Penceramah harus tahu kapan, dimana, dan siapa yang dihadapi. Juga jangan datang ke undangan dengan sombong untuk memberi tahu mereka. Niatkan saja dengan mengingatkan mereka dan diri sendiri.
Karena semua orang senang dengan ketawa, menurut Ajengan Nuh, penceramah harus pandai berhumor. Tapi ia membatasi humor ceramahnya dengan ketat. Bukan humor jika membuat satu pihak senang, tersakiti pihak lain. “Contohnya melecehkan orang pincang, buta mata sebelah. Itu bukan humor. Itu penghinaan,” tegasnya.
Soal tarif, ia mengkritik sebagian penceramah, meski dengan gaya humor, menyebut amplopnya harus besar. Ia mencontohkan perkataan yang mengatakan, karena perjalanannya jauh, amplopnya harus tebal. “Nyontoan teu baleg ka mustami’ (itu mencontohkan tidak baik kepada pendengar, red.). Itu geus hubbud dunya (sikap seperti tandanya orang cinta duniawi, red). Ulah samisil kitu (jangan seperti itu, red.),” tegasnya.
Menurut dia, penceramah seperti itu merendahkan harga dirinya sendiri. Perkataan penceramah seperti itu akan diterima oleh telinga manusia, tapi ditolak hati manusia. “Saya sering malu, jika ada orang mengundang bertanya berapa tarifnya. Pokoknya saya sehat, saya sampai.”
Urusan uang, tak ingin membuat susah orang mengundang. Sebab menurut dia, wama min dabbatin fil-ardhi ila allahi rizquha. Ia pernah punya pengalaman untuk menghadiri undangan ke Kuningan, Jawa Barat. Padahal waktu itu hanya cukup untuk bensin. Ia tidak risau. “Belum sampai pengajian, saya sudah menerima uang,” kenangnya. Di sana, ada orang-orang yang mengaku kenal dan sudah lama menunggunya datang. Padahal ia merasa belum pernah bertemu dengan mereka. “Jadi, saya tidak risau dengan rezeki,” katanya.
Lagi-lagi ia mengkritik gaya penceramah yang terkenal di televisi yang pernah datang di kampungnya. Penceramah itu menyebutkan bahwa tarif biasanya 10 juta. Untuk orang kampung sini boleh kurang. Menurut dia, jangan seperti itu. Orang akan mendengar dengan telinganya. Sementara hatinya menolak.
Berceramah harus ikhlas, jangan dijadikan lapangan untuk menumpuk kekayaan, melainkan pangabdian. Ketika masih menggunakan motor, ia pernah mendorongnya karena ban kempes hingga belasan km, melewati tanjakan Halimun yang panjang dan curam. “Bukan menjadi kekecewaan, tapi inilah berjuang di jalan Allah. Zaman Rasulullah bercucuran darah. Kita cuma bercucuran keringat,” katanya.
Ketika awal-awal menjadi penceramah tahun 1968, ia selalu berjalan kaki. Sekali waktu ia diundang kke daerah Cukang Batu. Ia jalan kaki menempuh jarak 40 km melewati hutan dan sungai. Waktu itu tak pernah diberi uang. Paling juga gula atau ayam. “Teu naon-naon (tidak apa-apa, red.),” katanya.
Ajengan bil-qolam
Selain dengan lisan (kalam), Ajengan Nuh juga berceramah dengan tulisan (qolam). Dari tangannya, mengalir puluhan karya tulis. Tapi sayang, belum terdokumentasi dengan rapi. Menurut puteri ketiganya, Ai Sadidah, karya ayahnya dalam bentuk tukilan dari kitab lain dan terjemahan. “Setiap bulan puasa, pasti melahirkan karya tulis. Dan kitab itulah yang akan dikaji selama sebulan bersama santri,” katanya.
Karya-karya masih ditulis tangan karena Ajengan Nuh tidak bisa mengetik. Ia pernah membeli mesin tik, tapi tidak nyaman, disamping tidak ada fasilitas menulis huruf Arabnya. Menurut putera keempatnya, Cecep Jaya Krama, karya-karya ayahnya pernah diketik orang lain menggunakan komputer. Ketika diperiksa Ajengan Nuh ditemukan salah tulis, ia tak percaya orang lain menuliskannya kembali.
Ajengan Nuh menulis menggunakan bahasa Sunda, Indonesia, dan Arab. Penggunaan abjadnya ada yang berhuruf Latin, umumnya Arab Pegon. Sementara bentuk penulisannya, ada yang naratif dan syair. Secara umum, karya-karya itu bernuansa tasawuf, tauhid, balaghah, di samping nahwu dan fiqih.
Cecep menjelaskan alasan sebagain besar karya ayahnya menggunakan bahasa Sunda. Hal itu untuk mempermudah pemahaman santri yang rata-rata orang Sunda. Juga melestarikan bahasa Sunda itu sendiri.
Ajengan Nuh menulis sejak dipercaya menjadi Rais Syuriyah PCNU Garut tahun 1993. Ia kemudian sering berceramah di hadapan kiai-kiai. Sastrawan Sunda yang waktu itu jadi Ketua PCNU Garut, Enas Mabarti, tertarik akan ceramah-ceramahnya yang bernas. Enas mengusulkan cermah-cermahnya untuk ditulis.
Sekitar tahun 1995, ia mulai menuliskan ceramahnya untuk keperluan khutbah Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha. Mulai tahun 2000an ia mulai menulis di luar keperluan khutbah. Lahirlah karya dalam bidang Ilmu Bayan, Ilmu Ushul Fiqh, Bab Tarawih, Bab Syahadat. “Secara serius dalam satu buku seperti Bentang Salapan, sejak tahun 2000,” kata Cecep.
Di antara karya lain adalah Mustika Akidah: Widuri Pamanggih, Tauhid Praktis ala Thariqah Ahli Sunah wal-Jamaah, Peperenian Lantera Cacaang Jalan Ambahan Kabagjaan Jalma Awam, Taraweh Qiyam Ramadhan, Tutungkusan Permata, Tauhid Amaly Ahlu Sunah wal-Jamaah, Hizb Tafrij Kurab Qodhai Hajati (Sanjata Panyinglar Kasusah Nutupan Pangabutuh), Al-Mukhtashar fi Tauhidy wa-Ta’biruhu bil-Adzkari, Karakteristik Ahl Sunah wal-Jamaah, al-Muhtaj Ilaih.
Salah satu karya dalam bentuk syair bidang ilmu tauhid, menurut Ajengan Nuh, muncul saat mengajar santri-santrinya sebait demi sebait. Kemudian ia meminta santri-santri untuk menghafalnya. Setelah semua hafal, baru dituliskan. (Abdullah Alawi)
Ajengan Bilkalam
Sejak aktif di PCNU Garut awal tahun 1990an, ia kerap ceramah ke MWC-MWCNU. Tapi kemudian mulai tahun 1998, hal itu menjadi kegiatan rutin bulanan. Kini berarti 17 tahun sudah sang Ajengan Nuh melakukannya.
“Harita mah ka Garut Selatan teh di 3 titik. Bungbulang, Cisompet, Singajaya (waktu itu, ke Garut Selatan berceramah di tiga tempat. Bungbulang, Cisompet, dan Singajaya),” katanya kepada NU Online beberapa waktu lalu. Pengajian di tiga titik tersebut dihadiri para ajengan NU dari kecamatan sekitar. Tempatnya biasanya di masjid atau di pesantren.
Pengjian ke Cisompet kemudian berhenti setelah salah seorang tokoh penggerak pengajian, Ajengan Anwar, meninggal dunia tahun 2005. Sementara di Singajaya berhenti di tahun 2010 karena jalanan hancur berat. Sampai sekarang belum ada perbaikan. Sementara ke Bungbulang masih berlanjut karena panitia masih aktif dan jalanan masih bisa ditempuh.
Menurut penilaian Ajengan Nuh, orang Garut selatan tetap memintanya berceramah bukan karena ia dianggap ajengan kharismatik. Tapi lebih karena dia tidak menyalahkan dan mencaci pihak lain. Di Masjid Besar Bungbulang, misalnya, ia dijadikan penceramah penyeimbang. Sebab di situ berkembang pesat pemahaman agama berhaluan keras. Orang Bungbulang menyebutnya Islam Baiat. Islam jenis itu, menganggap orang yang belum masuk golongannya sebagai kafir, harus diislamkan kembali. Islam tersebut sudah merambah setiap desa di Garut Selatan. Selain itu, masih kuat juga Islam bergaya DI/TII.
Tapi menurut salah seorang jamaah dari Ranca Buaya, Veri Ardiansyah, yang hadir pada pengajian di Liung Gunung, dalam pengajiannya, Ajengan Nuh mampu menyederhanakan hal-hal yang rumit. Di sisi lain sang ajengan ahli bahasa Sunda dengan gaya yang murwakanti. Soal ini, diakui Ajengan Nuh sendiri, ia sering dikirimi majalah Mangle beragam edisi (sebuah majalah berbahasa Sunda sejak tahun 1950an) oleh salah seorang tokoh NU Garut, Enas Mabarti.
Selain ke Bungbulang, ia juga rutin berceramah ke Selawi, Garut utara, juga tiap bulan. Di samping mengajar santri di pesantren yang dipimpinnya, Nurulhuda, ia juga sering diundang ceramah ke hampir seluruh kecamatan Garut. Kemudian jangkauannya kini ke daerah-daerah lain di Jawa Barat dalam berbagai acara, mulai peringatan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, pernikahan, dan lain-lain.
Salah satu kebiasaannya adalah tepat waktu. Ada cerita khusus Ajengan Nuh tentang waktu. Ketika ia masih nyantri di pesantren Cilendek, Tasikmalaya, sekitar tahun 1966-an, kampungnya menyelenggarakan peringatan Hari Besar Islam. Ratusan orang sudah berkumpul di depan panggung. Panitia gelisah menanti penceramah undangan datang. Tapi sampai usai yang ditunggu, tidak hadir tanpa kabar berita.
Waktu itu, Nuh sampai menitikkan air mata mendapati kekecewaan lautan hadirin. Dalam hati ia bicara, jika Allah memberinya kemampuan berceramah, ia akan mendatangi tiap undangan. Walaupun tidak diberi apa-apa, pasti datang. Kedua, ia tidak akan membuat panitia gelisah menunggu dengan hadir, paling lambat, sejam sebelum waktunya.
Kemudian seperti diakuinya sendiri, sampai kini, ia tak pernah abai mengahadiri undangan yang sudah disepakati. Dan selalu datang lebih awal. Soal tepat waktu, diakui salah seorang menantunya, Irham Ali. Menurut Irham, Ajengan Nuh tak ingin membuat orang lain menunggu. Ia juga tak akan menunggu orang lain, jika akan mengganggu ketepatannya waktunya.
Ajengan Nuh mengakui sebagai penceramah untuk kalangan masyarakat bawah. “Levelna bapak mah keur level bawah (level bapak untuk masyarakat biasa). Saya dicetak untuk orang kampung,” ungkapnya.
Penceramah harus tahu kapan, dimana, dan siapa yang dihadapi. Juga jangan datang ke undangan dengan sombong untuk memberi tahu mereka. Niatkan saja dengan mengingatkan mereka dan diri sendiri.
Karena semua orang senang dengan ketawa, menurut Ajengan Nuh, penceramah harus pandai berhumor. Tapi ia membatasi humor ceramahnya dengan ketat. Bukan humor jika membuat satu pihak senang, tersakiti pihak lain. “Contohnya melecehkan orang pincang, buta mata sebelah. Itu bukan humor. Itu penghinaan,” tegasnya.
Soal tarif, ia mengkritik sebagian penceramah, meski dengan gaya humor, menyebut amplopnya harus besar. Ia mencontohkan perkataan yang mengatakan, karena perjalanannya jauh, amplopnya harus tebal. “Nyontoan teu baleg ka mustami’ (itu mencontohkan tidak baik kepada pendengar, red.). Itu geus hubbud dunya (sikap seperti tandanya orang cinta duniawi, red). Ulah samisil kitu (jangan seperti itu, red.),” tegasnya.
Menurut dia, penceramah seperti itu merendahkan harga dirinya sendiri. Perkataan penceramah seperti itu akan diterima oleh telinga manusia, tapi ditolak hati manusia. “Saya sering malu, jika ada orang mengundang bertanya berapa tarifnya. Pokoknya saya sehat, saya sampai.”
Urusan uang, tak ingin membuat susah orang mengundang. Sebab menurut dia, wama min dabbatin fil-ardhi ila allahi rizquha. Ia pernah punya pengalaman untuk menghadiri undangan ke Kuningan, Jawa Barat. Padahal waktu itu hanya cukup untuk bensin. Ia tidak risau. “Belum sampai pengajian, saya sudah menerima uang,” kenangnya. Di sana, ada orang-orang yang mengaku kenal dan sudah lama menunggunya datang. Padahal ia merasa belum pernah bertemu dengan mereka. “Jadi, saya tidak risau dengan rezeki,” katanya.
Lagi-lagi ia mengkritik gaya penceramah yang terkenal di televisi yang pernah datang di kampungnya. Penceramah itu menyebutkan bahwa tarif biasanya 10 juta. Untuk orang kampung sini boleh kurang. Menurut dia, jangan seperti itu. Orang akan mendengar dengan telinganya. Sementara hatinya menolak.
Berceramah harus ikhlas, jangan dijadikan lapangan untuk menumpuk kekayaan, melainkan pangabdian. Ketika masih menggunakan motor, ia pernah mendorongnya karena ban kempes hingga belasan km, melewati tanjakan Halimun yang panjang dan curam. “Bukan menjadi kekecewaan, tapi inilah berjuang di jalan Allah. Zaman Rasulullah bercucuran darah. Kita cuma bercucuran keringat,” katanya.
Ketika awal-awal menjadi penceramah tahun 1968, ia selalu berjalan kaki. Sekali waktu ia diundang kke daerah Cukang Batu. Ia jalan kaki menempuh jarak 40 km melewati hutan dan sungai. Waktu itu tak pernah diberi uang. Paling juga gula atau ayam. “Teu naon-naon (tidak apa-apa, red.),” katanya.
Ajengan bil-qolam
Selain dengan lisan (kalam), Ajengan Nuh juga berceramah dengan tulisan (qolam). Dari tangannya, mengalir puluhan karya tulis. Tapi sayang, belum terdokumentasi dengan rapi. Menurut puteri ketiganya, Ai Sadidah, karya ayahnya dalam bentuk tukilan dari kitab lain dan terjemahan. “Setiap bulan puasa, pasti melahirkan karya tulis. Dan kitab itulah yang akan dikaji selama sebulan bersama santri,” katanya.
Karya-karya masih ditulis tangan karena Ajengan Nuh tidak bisa mengetik. Ia pernah membeli mesin tik, tapi tidak nyaman, disamping tidak ada fasilitas menulis huruf Arabnya. Menurut putera keempatnya, Cecep Jaya Krama, karya-karya ayahnya pernah diketik orang lain menggunakan komputer. Ketika diperiksa Ajengan Nuh ditemukan salah tulis, ia tak percaya orang lain menuliskannya kembali.
Ajengan Nuh menulis menggunakan bahasa Sunda, Indonesia, dan Arab. Penggunaan abjadnya ada yang berhuruf Latin, umumnya Arab Pegon. Sementara bentuk penulisannya, ada yang naratif dan syair. Secara umum, karya-karya itu bernuansa tasawuf, tauhid, balaghah, di samping nahwu dan fiqih.
Cecep menjelaskan alasan sebagain besar karya ayahnya menggunakan bahasa Sunda. Hal itu untuk mempermudah pemahaman santri yang rata-rata orang Sunda. Juga melestarikan bahasa Sunda itu sendiri.
Ajengan Nuh menulis sejak dipercaya menjadi Rais Syuriyah PCNU Garut tahun 1993. Ia kemudian sering berceramah di hadapan kiai-kiai. Sastrawan Sunda yang waktu itu jadi Ketua PCNU Garut, Enas Mabarti, tertarik akan ceramah-ceramahnya yang bernas. Enas mengusulkan cermah-cermahnya untuk ditulis.
Sekitar tahun 1995, ia mulai menuliskan ceramahnya untuk keperluan khutbah Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha. Mulai tahun 2000an ia mulai menulis di luar keperluan khutbah. Lahirlah karya dalam bidang Ilmu Bayan, Ilmu Ushul Fiqh, Bab Tarawih, Bab Syahadat. “Secara serius dalam satu buku seperti Bentang Salapan, sejak tahun 2000,” kata Cecep.
Di antara karya lain adalah Mustika Akidah: Widuri Pamanggih, Tauhid Praktis ala Thariqah Ahli Sunah wal-Jamaah, Peperenian Lantera Cacaang Jalan Ambahan Kabagjaan Jalma Awam, Taraweh Qiyam Ramadhan, Tutungkusan Permata, Tauhid Amaly Ahlu Sunah wal-Jamaah, Hizb Tafrij Kurab Qodhai Hajati (Sanjata Panyinglar Kasusah Nutupan Pangabutuh), Al-Mukhtashar fi Tauhidy wa-Ta’biruhu bil-Adzkari, Karakteristik Ahl Sunah wal-Jamaah, al-Muhtaj Ilaih.
Salah satu karya dalam bentuk syair bidang ilmu tauhid, menurut Ajengan Nuh, muncul saat mengajar santri-santrinya sebait demi sebait. Kemudian ia meminta santri-santri untuk menghafalnya. Setelah semua hafal, baru dituliskan. (Abdullah Alawi)
Langganan:
Postingan (Atom)