Santri-santri Pondok Pesantren Nurulhuda Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut, Jawa barat, kerap menulis nama gurunya dengan NUh Ad-Dawami. N dan U yang kapital sebagai takaran kekentalan gurunya kepada NU. Guru yang selalu membicarakan Aswaja dan NU kepada santri-santrinya. Bahkan di pengajian umum.
Nama lengkapnya Nuh Ad-Dawami. Ia lahir Garut, Jawa Barat tahun 1946. Sejak usia 12 tahun, ia nyantri ke berbagai pesantren; mulai Pesantren Kubang, Munjul, Al-Huda (Garut), Cikalama (Sumedang), Sadang (Garut), Cibeureum (Tasikmalaya). Di antara pesantren-pesantren itu, ia nyantri paling lama di Al-Huda, dibawah bimbingan Ajengan KH Syirojuddin. Sebelum mukim (1968), ia kembali nyantri di pesantren tersebut.
Ajengan Nuh tinggal di Cisurupan, sekitar 35 km dari pusat kota Garut. Ia aktif di NU mulai dari bawah, dari tingkat Ranting. Kemudian MWCNU sampai di tingkat kabupaten. Dan kini, ia menjadi salah seorang Musytasar PWNU Jabar. Dalam ber-NU, menurut dia, kekompakan antara syuriyah dan tanfidziyah ibarat suami dan istri. Syuriyah bagaikan suami dan tanfidziyah seperti isteri. Keduanya adalah orang tua bagi warga NU. Tentunya harus akur dan memberikan contoh dengan perilaku yang akhlakul karimah bagi anak-anaknya agar mereka bertindak baik dan saleh.
Sementara hubungan NU dan pesantren, menurut dia, harus saling menjaga laksana hutan dan macan. Hutan akan jadi sasaran empuk pembalakan liar bila ditinggalkan macan. Sebaliknya, bila macan meninggalkan hutan, paling banter nasibnya hanya menjadi penghuni kebun binatang.
Untuk pesantren, Ajengan Nuh menekankan soal kaderisasi pelanjut. Para pelanjutnya sedari awal harus dipelihara pikiran dan hatinya. Harus seimbang. Jangan sampai pesantren hanya mengedepankan tasawuf, karena itu akan tertipu. Jangan pula melulu fiqih, karena itu akan menipu.
Nama lengkapnya Nuh Ad-Dawami. Ia lahir Garut, Jawa Barat tahun 1946. Sejak usia 12 tahun, ia nyantri ke berbagai pesantren; mulai Pesantren Kubang, Munjul, Al-Huda (Garut), Cikalama (Sumedang), Sadang (Garut), Cibeureum (Tasikmalaya). Di antara pesantren-pesantren itu, ia nyantri paling lama di Al-Huda, dibawah bimbingan Ajengan KH Syirojuddin. Sebelum mukim (1968), ia kembali nyantri di pesantren tersebut.
Ajengan Nuh tinggal di Cisurupan, sekitar 35 km dari pusat kota Garut. Ia aktif di NU mulai dari bawah, dari tingkat Ranting. Kemudian MWCNU sampai di tingkat kabupaten. Dan kini, ia menjadi salah seorang Musytasar PWNU Jabar. Dalam ber-NU, menurut dia, kekompakan antara syuriyah dan tanfidziyah ibarat suami dan istri. Syuriyah bagaikan suami dan tanfidziyah seperti isteri. Keduanya adalah orang tua bagi warga NU. Tentunya harus akur dan memberikan contoh dengan perilaku yang akhlakul karimah bagi anak-anaknya agar mereka bertindak baik dan saleh.
Sementara hubungan NU dan pesantren, menurut dia, harus saling menjaga laksana hutan dan macan. Hutan akan jadi sasaran empuk pembalakan liar bila ditinggalkan macan. Sebaliknya, bila macan meninggalkan hutan, paling banter nasibnya hanya menjadi penghuni kebun binatang.
Untuk pesantren, Ajengan Nuh menekankan soal kaderisasi pelanjut. Para pelanjutnya sedari awal harus dipelihara pikiran dan hatinya. Harus seimbang. Jangan sampai pesantren hanya mengedepankan tasawuf, karena itu akan tertipu. Jangan pula melulu fiqih, karena itu akan menipu.
Sementara NU, sebagai organisasi yang mepertahankan dan memperjuangakan Alussunah wal Jamaah, yang paling esensi dipegang adalah sikap “at-tawasuth”, yakni tengah-tengah. Orangnya disebut “mutawasith”, penengah. Seorang mutawasith, wajib kiranya menyimpan enam prinsip ini, ar-ri’ayah (kepemimpinan), dzulhimmatil’aliyah (idealistis), al-mujahadah (patriotis), riyadlotunnafsi (melatih jiwa dengan latihan), al-akhlakul karimah (akhlah luhur), hubbul’isyatil akhiroh (lebih mencintai kehidupan akhirat).
Ajengan Bilkalam
Sejak aktif di PCNU Garut awal tahun 1990an, ia kerap ceramah ke MWC-MWCNU. Tapi kemudian mulai tahun 1998, hal itu menjadi kegiatan rutin bulanan. Kini berarti 17 tahun sudah sang Ajengan Nuh melakukannya.
“Harita mah ka Garut Selatan teh di 3 titik. Bungbulang, Cisompet, Singajaya (waktu itu, ke Garut Selatan berceramah di tiga tempat. Bungbulang, Cisompet, dan Singajaya),” katanya kepada NU Online beberapa waktu lalu. Pengajian di tiga titik tersebut dihadiri para ajengan NU dari kecamatan sekitar. Tempatnya biasanya di masjid atau di pesantren.
Pengjian ke Cisompet kemudian berhenti setelah salah seorang tokoh penggerak pengajian, Ajengan Anwar, meninggal dunia tahun 2005. Sementara di Singajaya berhenti di tahun 2010 karena jalanan hancur berat. Sampai sekarang belum ada perbaikan. Sementara ke Bungbulang masih berlanjut karena panitia masih aktif dan jalanan masih bisa ditempuh.
Menurut penilaian Ajengan Nuh, orang Garut selatan tetap memintanya berceramah bukan karena ia dianggap ajengan kharismatik. Tapi lebih karena dia tidak menyalahkan dan mencaci pihak lain. Di Masjid Besar Bungbulang, misalnya, ia dijadikan penceramah penyeimbang. Sebab di situ berkembang pesat pemahaman agama berhaluan keras. Orang Bungbulang menyebutnya Islam Baiat. Islam jenis itu, menganggap orang yang belum masuk golongannya sebagai kafir, harus diislamkan kembali. Islam tersebut sudah merambah setiap desa di Garut Selatan. Selain itu, masih kuat juga Islam bergaya DI/TII.
Tapi menurut salah seorang jamaah dari Ranca Buaya, Veri Ardiansyah, yang hadir pada pengajian di Liung Gunung, dalam pengajiannya, Ajengan Nuh mampu menyederhanakan hal-hal yang rumit. Di sisi lain sang ajengan ahli bahasa Sunda dengan gaya yang murwakanti. Soal ini, diakui Ajengan Nuh sendiri, ia sering dikirimi majalah Mangle beragam edisi (sebuah majalah berbahasa Sunda sejak tahun 1950an) oleh salah seorang tokoh NU Garut, Enas Mabarti.
Selain ke Bungbulang, ia juga rutin berceramah ke Selawi, Garut utara, juga tiap bulan. Di samping mengajar santri di pesantren yang dipimpinnya, Nurulhuda, ia juga sering diundang ceramah ke hampir seluruh kecamatan Garut. Kemudian jangkauannya kini ke daerah-daerah lain di Jawa Barat dalam berbagai acara, mulai peringatan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, pernikahan, dan lain-lain.
Salah satu kebiasaannya adalah tepat waktu. Ada cerita khusus Ajengan Nuh tentang waktu. Ketika ia masih nyantri di pesantren Cilendek, Tasikmalaya, sekitar tahun 1966-an, kampungnya menyelenggarakan peringatan Hari Besar Islam. Ratusan orang sudah berkumpul di depan panggung. Panitia gelisah menanti penceramah undangan datang. Tapi sampai usai yang ditunggu, tidak hadir tanpa kabar berita.
Waktu itu, Nuh sampai menitikkan air mata mendapati kekecewaan lautan hadirin. Dalam hati ia bicara, jika Allah memberinya kemampuan berceramah, ia akan mendatangi tiap undangan. Walaupun tidak diberi apa-apa, pasti datang. Kedua, ia tidak akan membuat panitia gelisah menunggu dengan hadir, paling lambat, sejam sebelum waktunya.
Kemudian seperti diakuinya sendiri, sampai kini, ia tak pernah abai mengahadiri undangan yang sudah disepakati. Dan selalu datang lebih awal. Soal tepat waktu, diakui salah seorang menantunya, Irham Ali. Menurut Irham, Ajengan Nuh tak ingin membuat orang lain menunggu. Ia juga tak akan menunggu orang lain, jika akan mengganggu ketepatannya waktunya.
Ajengan Nuh mengakui sebagai penceramah untuk kalangan masyarakat bawah. “Levelna bapak mah keur level bawah (level bapak untuk masyarakat biasa). Saya dicetak untuk orang kampung,” ungkapnya.
Penceramah harus tahu kapan, dimana, dan siapa yang dihadapi. Juga jangan datang ke undangan dengan sombong untuk memberi tahu mereka. Niatkan saja dengan mengingatkan mereka dan diri sendiri.
Karena semua orang senang dengan ketawa, menurut Ajengan Nuh, penceramah harus pandai berhumor. Tapi ia membatasi humor ceramahnya dengan ketat. Bukan humor jika membuat satu pihak senang, tersakiti pihak lain. “Contohnya melecehkan orang pincang, buta mata sebelah. Itu bukan humor. Itu penghinaan,” tegasnya.
Soal tarif, ia mengkritik sebagian penceramah, meski dengan gaya humor, menyebut amplopnya harus besar. Ia mencontohkan perkataan yang mengatakan, karena perjalanannya jauh, amplopnya harus tebal. “Nyontoan teu baleg ka mustami’ (itu mencontohkan tidak baik kepada pendengar, red.). Itu geus hubbud dunya (sikap seperti tandanya orang cinta duniawi, red). Ulah samisil kitu (jangan seperti itu, red.),” tegasnya.
Menurut dia, penceramah seperti itu merendahkan harga dirinya sendiri. Perkataan penceramah seperti itu akan diterima oleh telinga manusia, tapi ditolak hati manusia. “Saya sering malu, jika ada orang mengundang bertanya berapa tarifnya. Pokoknya saya sehat, saya sampai.”
Urusan uang, tak ingin membuat susah orang mengundang. Sebab menurut dia, wama min dabbatin fil-ardhi ila allahi rizquha. Ia pernah punya pengalaman untuk menghadiri undangan ke Kuningan, Jawa Barat. Padahal waktu itu hanya cukup untuk bensin. Ia tidak risau. “Belum sampai pengajian, saya sudah menerima uang,” kenangnya. Di sana, ada orang-orang yang mengaku kenal dan sudah lama menunggunya datang. Padahal ia merasa belum pernah bertemu dengan mereka. “Jadi, saya tidak risau dengan rezeki,” katanya.
Lagi-lagi ia mengkritik gaya penceramah yang terkenal di televisi yang pernah datang di kampungnya. Penceramah itu menyebutkan bahwa tarif biasanya 10 juta. Untuk orang kampung sini boleh kurang. Menurut dia, jangan seperti itu. Orang akan mendengar dengan telinganya. Sementara hatinya menolak.
Berceramah harus ikhlas, jangan dijadikan lapangan untuk menumpuk kekayaan, melainkan pangabdian. Ketika masih menggunakan motor, ia pernah mendorongnya karena ban kempes hingga belasan km, melewati tanjakan Halimun yang panjang dan curam. “Bukan menjadi kekecewaan, tapi inilah berjuang di jalan Allah. Zaman Rasulullah bercucuran darah. Kita cuma bercucuran keringat,” katanya.
Ketika awal-awal menjadi penceramah tahun 1968, ia selalu berjalan kaki. Sekali waktu ia diundang kke daerah Cukang Batu. Ia jalan kaki menempuh jarak 40 km melewati hutan dan sungai. Waktu itu tak pernah diberi uang. Paling juga gula atau ayam. “Teu naon-naon (tidak apa-apa, red.),” katanya.
Ajengan bil-qolam
Selain dengan lisan (kalam), Ajengan Nuh juga berceramah dengan tulisan (qolam). Dari tangannya, mengalir puluhan karya tulis. Tapi sayang, belum terdokumentasi dengan rapi. Menurut puteri ketiganya, Ai Sadidah, karya ayahnya dalam bentuk tukilan dari kitab lain dan terjemahan. “Setiap bulan puasa, pasti melahirkan karya tulis. Dan kitab itulah yang akan dikaji selama sebulan bersama santri,” katanya.
Karya-karya masih ditulis tangan karena Ajengan Nuh tidak bisa mengetik. Ia pernah membeli mesin tik, tapi tidak nyaman, disamping tidak ada fasilitas menulis huruf Arabnya. Menurut putera keempatnya, Cecep Jaya Krama, karya-karya ayahnya pernah diketik orang lain menggunakan komputer. Ketika diperiksa Ajengan Nuh ditemukan salah tulis, ia tak percaya orang lain menuliskannya kembali.
Ajengan Nuh menulis menggunakan bahasa Sunda, Indonesia, dan Arab. Penggunaan abjadnya ada yang berhuruf Latin, umumnya Arab Pegon. Sementara bentuk penulisannya, ada yang naratif dan syair. Secara umum, karya-karya itu bernuansa tasawuf, tauhid, balaghah, di samping nahwu dan fiqih.
Cecep menjelaskan alasan sebagain besar karya ayahnya menggunakan bahasa Sunda. Hal itu untuk mempermudah pemahaman santri yang rata-rata orang Sunda. Juga melestarikan bahasa Sunda itu sendiri.
Ajengan Nuh menulis sejak dipercaya menjadi Rais Syuriyah PCNU Garut tahun 1993. Ia kemudian sering berceramah di hadapan kiai-kiai. Sastrawan Sunda yang waktu itu jadi Ketua PCNU Garut, Enas Mabarti, tertarik akan ceramah-ceramahnya yang bernas. Enas mengusulkan cermah-cermahnya untuk ditulis.
Sekitar tahun 1995, ia mulai menuliskan ceramahnya untuk keperluan khutbah Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha. Mulai tahun 2000an ia mulai menulis di luar keperluan khutbah. Lahirlah karya dalam bidang Ilmu Bayan, Ilmu Ushul Fiqh, Bab Tarawih, Bab Syahadat. “Secara serius dalam satu buku seperti Bentang Salapan, sejak tahun 2000,” kata Cecep.
Di antara karya lain adalah Mustika Akidah: Widuri Pamanggih, Tauhid Praktis ala Thariqah Ahli Sunah wal-Jamaah, Peperenian Lantera Cacaang Jalan Ambahan Kabagjaan Jalma Awam, Taraweh Qiyam Ramadhan, Tutungkusan Permata, Tauhid Amaly Ahlu Sunah wal-Jamaah, Hizb Tafrij Kurab Qodhai Hajati (Sanjata Panyinglar Kasusah Nutupan Pangabutuh), Al-Mukhtashar fi Tauhidy wa-Ta’biruhu bil-Adzkari, Karakteristik Ahl Sunah wal-Jamaah, al-Muhtaj Ilaih.
Salah satu karya dalam bentuk syair bidang ilmu tauhid, menurut Ajengan Nuh, muncul saat mengajar santri-santrinya sebait demi sebait. Kemudian ia meminta santri-santri untuk menghafalnya. Setelah semua hafal, baru dituliskan. (Abdullah Alawi)
Ajengan Bilkalam
Sejak aktif di PCNU Garut awal tahun 1990an, ia kerap ceramah ke MWC-MWCNU. Tapi kemudian mulai tahun 1998, hal itu menjadi kegiatan rutin bulanan. Kini berarti 17 tahun sudah sang Ajengan Nuh melakukannya.
“Harita mah ka Garut Selatan teh di 3 titik. Bungbulang, Cisompet, Singajaya (waktu itu, ke Garut Selatan berceramah di tiga tempat. Bungbulang, Cisompet, dan Singajaya),” katanya kepada NU Online beberapa waktu lalu. Pengajian di tiga titik tersebut dihadiri para ajengan NU dari kecamatan sekitar. Tempatnya biasanya di masjid atau di pesantren.
Pengjian ke Cisompet kemudian berhenti setelah salah seorang tokoh penggerak pengajian, Ajengan Anwar, meninggal dunia tahun 2005. Sementara di Singajaya berhenti di tahun 2010 karena jalanan hancur berat. Sampai sekarang belum ada perbaikan. Sementara ke Bungbulang masih berlanjut karena panitia masih aktif dan jalanan masih bisa ditempuh.
Menurut penilaian Ajengan Nuh, orang Garut selatan tetap memintanya berceramah bukan karena ia dianggap ajengan kharismatik. Tapi lebih karena dia tidak menyalahkan dan mencaci pihak lain. Di Masjid Besar Bungbulang, misalnya, ia dijadikan penceramah penyeimbang. Sebab di situ berkembang pesat pemahaman agama berhaluan keras. Orang Bungbulang menyebutnya Islam Baiat. Islam jenis itu, menganggap orang yang belum masuk golongannya sebagai kafir, harus diislamkan kembali. Islam tersebut sudah merambah setiap desa di Garut Selatan. Selain itu, masih kuat juga Islam bergaya DI/TII.
Tapi menurut salah seorang jamaah dari Ranca Buaya, Veri Ardiansyah, yang hadir pada pengajian di Liung Gunung, dalam pengajiannya, Ajengan Nuh mampu menyederhanakan hal-hal yang rumit. Di sisi lain sang ajengan ahli bahasa Sunda dengan gaya yang murwakanti. Soal ini, diakui Ajengan Nuh sendiri, ia sering dikirimi majalah Mangle beragam edisi (sebuah majalah berbahasa Sunda sejak tahun 1950an) oleh salah seorang tokoh NU Garut, Enas Mabarti.
Selain ke Bungbulang, ia juga rutin berceramah ke Selawi, Garut utara, juga tiap bulan. Di samping mengajar santri di pesantren yang dipimpinnya, Nurulhuda, ia juga sering diundang ceramah ke hampir seluruh kecamatan Garut. Kemudian jangkauannya kini ke daerah-daerah lain di Jawa Barat dalam berbagai acara, mulai peringatan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, pernikahan, dan lain-lain.
Salah satu kebiasaannya adalah tepat waktu. Ada cerita khusus Ajengan Nuh tentang waktu. Ketika ia masih nyantri di pesantren Cilendek, Tasikmalaya, sekitar tahun 1966-an, kampungnya menyelenggarakan peringatan Hari Besar Islam. Ratusan orang sudah berkumpul di depan panggung. Panitia gelisah menanti penceramah undangan datang. Tapi sampai usai yang ditunggu, tidak hadir tanpa kabar berita.
Waktu itu, Nuh sampai menitikkan air mata mendapati kekecewaan lautan hadirin. Dalam hati ia bicara, jika Allah memberinya kemampuan berceramah, ia akan mendatangi tiap undangan. Walaupun tidak diberi apa-apa, pasti datang. Kedua, ia tidak akan membuat panitia gelisah menunggu dengan hadir, paling lambat, sejam sebelum waktunya.
Kemudian seperti diakuinya sendiri, sampai kini, ia tak pernah abai mengahadiri undangan yang sudah disepakati. Dan selalu datang lebih awal. Soal tepat waktu, diakui salah seorang menantunya, Irham Ali. Menurut Irham, Ajengan Nuh tak ingin membuat orang lain menunggu. Ia juga tak akan menunggu orang lain, jika akan mengganggu ketepatannya waktunya.
Ajengan Nuh mengakui sebagai penceramah untuk kalangan masyarakat bawah. “Levelna bapak mah keur level bawah (level bapak untuk masyarakat biasa). Saya dicetak untuk orang kampung,” ungkapnya.
Penceramah harus tahu kapan, dimana, dan siapa yang dihadapi. Juga jangan datang ke undangan dengan sombong untuk memberi tahu mereka. Niatkan saja dengan mengingatkan mereka dan diri sendiri.
Karena semua orang senang dengan ketawa, menurut Ajengan Nuh, penceramah harus pandai berhumor. Tapi ia membatasi humor ceramahnya dengan ketat. Bukan humor jika membuat satu pihak senang, tersakiti pihak lain. “Contohnya melecehkan orang pincang, buta mata sebelah. Itu bukan humor. Itu penghinaan,” tegasnya.
Soal tarif, ia mengkritik sebagian penceramah, meski dengan gaya humor, menyebut amplopnya harus besar. Ia mencontohkan perkataan yang mengatakan, karena perjalanannya jauh, amplopnya harus tebal. “Nyontoan teu baleg ka mustami’ (itu mencontohkan tidak baik kepada pendengar, red.). Itu geus hubbud dunya (sikap seperti tandanya orang cinta duniawi, red). Ulah samisil kitu (jangan seperti itu, red.),” tegasnya.
Menurut dia, penceramah seperti itu merendahkan harga dirinya sendiri. Perkataan penceramah seperti itu akan diterima oleh telinga manusia, tapi ditolak hati manusia. “Saya sering malu, jika ada orang mengundang bertanya berapa tarifnya. Pokoknya saya sehat, saya sampai.”
Urusan uang, tak ingin membuat susah orang mengundang. Sebab menurut dia, wama min dabbatin fil-ardhi ila allahi rizquha. Ia pernah punya pengalaman untuk menghadiri undangan ke Kuningan, Jawa Barat. Padahal waktu itu hanya cukup untuk bensin. Ia tidak risau. “Belum sampai pengajian, saya sudah menerima uang,” kenangnya. Di sana, ada orang-orang yang mengaku kenal dan sudah lama menunggunya datang. Padahal ia merasa belum pernah bertemu dengan mereka. “Jadi, saya tidak risau dengan rezeki,” katanya.
Lagi-lagi ia mengkritik gaya penceramah yang terkenal di televisi yang pernah datang di kampungnya. Penceramah itu menyebutkan bahwa tarif biasanya 10 juta. Untuk orang kampung sini boleh kurang. Menurut dia, jangan seperti itu. Orang akan mendengar dengan telinganya. Sementara hatinya menolak.
Berceramah harus ikhlas, jangan dijadikan lapangan untuk menumpuk kekayaan, melainkan pangabdian. Ketika masih menggunakan motor, ia pernah mendorongnya karena ban kempes hingga belasan km, melewati tanjakan Halimun yang panjang dan curam. “Bukan menjadi kekecewaan, tapi inilah berjuang di jalan Allah. Zaman Rasulullah bercucuran darah. Kita cuma bercucuran keringat,” katanya.
Ketika awal-awal menjadi penceramah tahun 1968, ia selalu berjalan kaki. Sekali waktu ia diundang kke daerah Cukang Batu. Ia jalan kaki menempuh jarak 40 km melewati hutan dan sungai. Waktu itu tak pernah diberi uang. Paling juga gula atau ayam. “Teu naon-naon (tidak apa-apa, red.),” katanya.
Ajengan bil-qolam
Selain dengan lisan (kalam), Ajengan Nuh juga berceramah dengan tulisan (qolam). Dari tangannya, mengalir puluhan karya tulis. Tapi sayang, belum terdokumentasi dengan rapi. Menurut puteri ketiganya, Ai Sadidah, karya ayahnya dalam bentuk tukilan dari kitab lain dan terjemahan. “Setiap bulan puasa, pasti melahirkan karya tulis. Dan kitab itulah yang akan dikaji selama sebulan bersama santri,” katanya.
Karya-karya masih ditulis tangan karena Ajengan Nuh tidak bisa mengetik. Ia pernah membeli mesin tik, tapi tidak nyaman, disamping tidak ada fasilitas menulis huruf Arabnya. Menurut putera keempatnya, Cecep Jaya Krama, karya-karya ayahnya pernah diketik orang lain menggunakan komputer. Ketika diperiksa Ajengan Nuh ditemukan salah tulis, ia tak percaya orang lain menuliskannya kembali.
Ajengan Nuh menulis menggunakan bahasa Sunda, Indonesia, dan Arab. Penggunaan abjadnya ada yang berhuruf Latin, umumnya Arab Pegon. Sementara bentuk penulisannya, ada yang naratif dan syair. Secara umum, karya-karya itu bernuansa tasawuf, tauhid, balaghah, di samping nahwu dan fiqih.
Cecep menjelaskan alasan sebagain besar karya ayahnya menggunakan bahasa Sunda. Hal itu untuk mempermudah pemahaman santri yang rata-rata orang Sunda. Juga melestarikan bahasa Sunda itu sendiri.
Ajengan Nuh menulis sejak dipercaya menjadi Rais Syuriyah PCNU Garut tahun 1993. Ia kemudian sering berceramah di hadapan kiai-kiai. Sastrawan Sunda yang waktu itu jadi Ketua PCNU Garut, Enas Mabarti, tertarik akan ceramah-ceramahnya yang bernas. Enas mengusulkan cermah-cermahnya untuk ditulis.
Sekitar tahun 1995, ia mulai menuliskan ceramahnya untuk keperluan khutbah Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha. Mulai tahun 2000an ia mulai menulis di luar keperluan khutbah. Lahirlah karya dalam bidang Ilmu Bayan, Ilmu Ushul Fiqh, Bab Tarawih, Bab Syahadat. “Secara serius dalam satu buku seperti Bentang Salapan, sejak tahun 2000,” kata Cecep.
Di antara karya lain adalah Mustika Akidah: Widuri Pamanggih, Tauhid Praktis ala Thariqah Ahli Sunah wal-Jamaah, Peperenian Lantera Cacaang Jalan Ambahan Kabagjaan Jalma Awam, Taraweh Qiyam Ramadhan, Tutungkusan Permata, Tauhid Amaly Ahlu Sunah wal-Jamaah, Hizb Tafrij Kurab Qodhai Hajati (Sanjata Panyinglar Kasusah Nutupan Pangabutuh), Al-Mukhtashar fi Tauhidy wa-Ta’biruhu bil-Adzkari, Karakteristik Ahl Sunah wal-Jamaah, al-Muhtaj Ilaih.
Salah satu karya dalam bentuk syair bidang ilmu tauhid, menurut Ajengan Nuh, muncul saat mengajar santri-santrinya sebait demi sebait. Kemudian ia meminta santri-santri untuk menghafalnya. Setelah semua hafal, baru dituliskan. (Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar