Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri)
adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawahPresiden. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian
di seluruh wilayah Indonesia. Polri dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Kapolri).
Sejarah
Sebelum
kemerdekaan Indonesia
Masa
kolonial Belanda
Pada zaman Kerajaan Majapahit patih Gajah Mada membentuk
pasukan pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara yang bertugas melindungi raja dan kerajaan.[3]
Pada masa kolonial Belanda, pembentukan pasukan keamanan diawali
oleh pembentukan pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang pribumi
untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1867
sejumlah wargaEropa di Semarang, merekrut 78 orang pribumi untuk
menjaga keamanan mereka.[4]
Wewenang operasional
kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie
dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (jaksa
agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk
kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan) , stands politie (polisi
kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong
praja), dan lain-lain.
Sejalan dengan
administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan
jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak
diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan
commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan
jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi.
Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920
adalah merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik
Indonesia saat ini.[5]
Masa
pendudukan Jepang
Pada masa ini Jepang membagi
wiliyah kepolisian Indonesia menjadi Kepolisian Jawa dan Madura yang
berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera yang
berpusat di Bukittinggi, Kepolisian wilayah Indonesia
Timur berpusat di Makassar dan
Kepolisian Kalimantan yang
berpusat di Banjarmasin.[3]
Tiap-tiap kantor polisi
di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia,
tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam
praktik lebih berkuasa dari kepala polisi.
Awal kemerdekaan
Indonesia
Periode
1945-1950
Tidak lama setelah Jepang menyerah
tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun,
sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktuSoekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian
Indonesia yang merdeka.
Inspektur Kelas I
(Letnan Satu) Polisi Mochammad
Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945
memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia sebagai langkah awal yang
dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara
Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotik
seluruh rakyat maupun satuan-satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi dan
kekalahan perang yang panjang.[6] Sebelumnya pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN)
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 29 September
1945 Presiden Soekarno melantik
R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN).[7]
Pada awalnya kepolisian
berada dalam lingkungan Kementerian
Dalam Negeri dengan
nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah
administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.[8]
Kemudian mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946
No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri.[9] Tanggal 1 Juli inilah yang setiap
tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga saat ini.
Sebagai bangsa dan
negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di samping bertugas
sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri
menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi
Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk
perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di Surabaya,
di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI di
Madiun, dan lain-lain.
Pada masa kabinet
presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin
langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana
menteri/wakil perdana menteri.
Pada masa revolusi
fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi
kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang
diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan
Kepolisian dipimpin KBP Umar
Said (tanggal 22
Desember 1948).[10]
Hasil Konferensi Meja
Bundar antara
Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S.
Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto
diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan Keppres RIS No.
22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan
politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa
agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada
menteri dalam negeri.
Umur RIS hanya beberapa
bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada
tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150,
organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan
Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian
negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat
kepolisian maupun administratif, organisatoris.
Periode
1950-1959
Dengan dibentuknya
negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang
menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S.
Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.
Waktu kedudukan Polri
kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S.
Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI
(DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi
gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
Sampai periode ini
kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki
organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi
sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkaritidak
ikut dalam Dharma
Wanita ataupun Dharma
Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan
pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi
di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri berada di
bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan
berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif
lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB).
Masa Orde Lama
Dengan Dekrit Presiden
5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian
banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih
tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres
No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara
diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada tanggal 13 Juli
1959 dengan Keppres
No. 154/1959 Kapolri
juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada
tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959,
ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda
Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan
Kepolisian Negara).
Waktu Presiden Soekarno
menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan
Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga
profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto
mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga
berakhirlah karier Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga
15 Desember 1959.
Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan
Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian
ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan
Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal 19 Juni 1961,
DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan
bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan
TNI AD, AL, dan AU.
Dengan Keppres No.
94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU,
Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri
Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti
menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan
Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak)
dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan
negara. Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri
ditentukan sebagai berikut:
1.
Alat Negara Penegak Hukum.
2.
Koordinator Polsus.
3.
Ikut serta dalam pertahanan.
4.
Pembinaan Kamtibmas.
5.
Kekaryaan.
6.
Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan Keppres No.
155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi Angkatan Perang
dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara di tahun 1964 dan 1965,
pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI
mulai menyusupi memengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.
Masa Orde Baru
Karena pengalaman yang
pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar
unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK
Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi
dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan
bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang
masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan
tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai
Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto dipilih
sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada
Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang
dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang
bukan angkatan perang.
Pada tahun 1969 dengan
Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai
UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak
lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli
1969.
Pada HUT ABRI tanggal 5
Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi Kepala Staf
Angkatan.
Organisasi
Organisasi Polri disusun
secara berjenjang dari tingkat pusat sampai ke kewilayahan. Organisasi Polri
Tingkat Pusat disebut Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes
Polri); sedang organisasi Polri Tingkat Kewilayahan disebut Kepolisian Negara
Republik Indonesia Daerah (Polda).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar