Soedirman Bapak Tentara dari Banyumas
Ia mungkin telah jadi ikon: sepotong jalan utama dan sebuah negara negeri telah menggunakan namanya. Raut lelaki tirus itu pernah tertera pada sehelai uang kertas.
Di Jakarta, tubuh yang diperbesar diabadikan dalam bentuk patung setinggi 6,5 meter di atas penyangga 5,5 meter. Menghadap utara, dibalut jas yang kedodoran, ia memberi hormat – entah kepada siapa.
Barangkali, hanya sedikit cerita yang kita ingat dari Soedirman-sejumput dari buku sejarah sekolah menengah. Ia panglima tentara yang pertama, orang yang keras hati. Ia pernah bergerilya dalam gering yang akut – tuberkulosis menggerogoti paru-parunya.
Sejak ia remaja, orang seganekerja: karena alim, dia dijuluki kaji. Ia aktif dalam gerakan Hizbul Wathan – kepanduan di bawah payung Muhammadiyah.
Dipilih melalui pemungutan suara sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat pada 12 November 1945, sosok Soedirman yang sulit dilewatkan begitu saja. Ia mungkin sudah ditakdirkan obrolan tentara.
Dengan banyak pengalaman, tidak sulit digunakan sebagai panglima dalam tiga tahap. Dia menyisihkan calon-calon yang lain, termasuk Oerip Soemohardjo –bersertifikat lain yang mengenyam tugas militer Belanda.
Soedirman, Sang Jenderal Klenik
Kepercayaan dan kegemaran Soedirman pada supranatural tidak hanya terjadi saat gerilya, tapi juga dalam diplomasi formal dengan Belanda. Muhammad Roem Punya kisah menarik tentang klenik Soedirman. Syahdan, beberapa hari menjelang Natal perundingan Renville di Yogyakarta pada 17 Januari 1948, Roem mp3 Presiden Soekarno.
Presiden Delegasi Indonesia dalam perundingan itu berhubungan dengan Soedirman di rumah. "Sebagai ketua delegasi, jiwa Saudara harus diperkuat," kata Presiden. “Temuilah segera Panglima Soedirman.” Meski awalnya menolak, Roem, yang tidak mengerti urusan klenik, menuruti saran itu.
Diajang, Soedirman sudah menunggu. Sang Panglima ditemani seorang anak muda yang ia kenalkan kepada Roem sebagai “orang pintar”. Rupanya, anak muda yang terkenal Roem tak punya pekerjaan tetap itu yang akan "mengangkat jiwa" Menteri Dalam Negeri ini. Dukun itu kemudian Susu secarik kertas. "Jimat ini tak bisa memisahkan dari Saudara," kata Soedirman. “Kalau hilang, kekuatannya bisa berbalik. Jagalah sebaik -udukan. ”
Jimat itu menemani Roem menghadapi delegasi Belanda yang keras kepala tak mau hengkang dari Indonesia. Seorang diplomat Amerika Serikat yang jadi penengah rundingan itu adalah pilihan Roem dan delegasi Indonesia. “Saya sudah kesal karena Belanda jadi legalistik, tapi kalian bisa melawannya dengan legalistik juga. Kamu luar biasa, ”katanya, seperti ditulis Roem dalam Jimat Diplomat. Sekolah Roem, Pengadilan Rechts (Sekolah Hukum) di Jakarta, hanya mesem sambil meraba jimat itu di saku celananya.
Akan tetapi, cerita yang absurd yang pernah didengar anak bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman, adalah kisah santri dari Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kepadanya, santri itu menceritakan kisah gurunya yang ikut bergerilya bersama Soedirman. Dalam sebuah masalah sengit, menurut santri itu, Soedirman menjatuhkan pesawat Belanda dengan memperingatkankan bubuk merica. Teguh berkomentar, “Gila, ini tak masuk nalar.”
Cerita Kesaktian Soedirman
Soedirman terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Anak bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman, mendengar banyak cerita "kesaktian" transparan. Teguh lahir pada tahun 1949 ketika sedang bersembunyi di Keraton Yogyakarta saat bergerilya. Dia tidak pernah bertemu dengan, yang meninggal setelah lahir, dan hanya mendengar kisah Soedirman dari sang ibu, Siti Alfiah.
Inilah kesaktian yang menyanyikan Jenderal yang merupakan perokok berat ini. Ceritanya menghubungkan Soedirman sampai di Gunungkidul. Ia tidak mengizinkan pasukannya beristirahat lama-lama. Benar saja, beberapa saat kemudian, pasukan sendiri tiba di lokasi peristirahatan pasukannya. Jika Soedirman, yang dalam sakit bengek dan tubuh rapuh, tak segera Menyatakan mereka jalan lagi, pertandingan tak akan bisa dihindari. “Dan bisa jadi tentara Bapak kalah,” kata Teguh.
Soedirman, yang selalu menyamar sepanjang gerilya, dan kerap persyaratan mengolah orang sakit. Di sebuah desa di Pacitan, Teguh bercerita, Soedirman dan pasukannya tidak bisa berhubungan dengan makanan berhari-hari. Mau minta untuk warga desa, takut ada mata-mata Belanda. Saat rombongan ini beristirahat, seorang warga menghampiri mereka dan meminta mantra udara untuk kesembuhan istri lurah di situ.
Sang Panglima mengambil udara dari sumur, lalu meniupkan doa. Ajaib, istri lurah yang terbaring payah itu bisa bangun setelah minum. Pak Lurah pun menyilakan Soedirman dan anak buahnya beristirahat. Ia menjamunya dengan pelbagai makanan. “Baru setelah itu Bapak mengenalkan diri,” kata Teguh.
Soedirman Penganut Kejawen Sumarah
Soedirman terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Jenderal dari Banyumas dan percaya klenik ini dikabarkan memiliki bermacam kesaktian.
Soedirman disebut sebagai penganut aliran kejawen Sumarah. Ia gemar mengoleksi keris. Ia juga percaya benda pusaka itu punya tuah yang bisa melindunginya.
Anak bungsu Soedirman, Mohamad Teguh Sudirman, bercerita tentang masalah terpojok di lereng Gunung Wilis, Tulungagung, kerisundang bisa menyelamatkan pasukannya. Pemutaran itu adalah tentara gerilyawan tak punya celah meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda.
Soedirman tiba-tiba tiba mencabut cundrik, keris kecil untuk seorang kiai di Pacitan, dan mengarahkannya ke langit. Tak berapa lama, awan hitam bergulung-gulung, petir dan angin menghantam-hantam. Hujan lebat pun turun dan membuyarkan kesolidan pengepungan Belanda. Lagi-lagi pasukan Soedirman selamat.
Cundrik itu ia meluncurkan di rumah penduduk. Beberapa tahun setelah Soedirman menghilang pada tahun 1950, Panglima Kodam V Brawijaya Kolonel Sarbini datang ke tempat di Kota Baru, Yogyakarta, ditemani seorang petani.
Menurut Teguh, Sarbini bercerita kepada ibunya, Siti Alfiah, petani itu harus memperbaiki cundrik Soedirman yang dititipkan pada saat gerilya. “Cundrik itu kami titipkan di Museum Soedirman di Bintaran Timur, Yogya,” ujar Teguh. "Tapi sekarang hilang."
Soedirman dan Keris Penolak Mortir
Desing proyek membangunkan Desa Bajulan yang senyap, hari di awal Januari 1949. Penduduk kampung di Nganjuk, Jawa Tengah, yang tengah berada di sawah, halaman, dan jalan, itu masuk ke rumah atau bersembunyi ke sebalik tengahan
Warga Nganjuk tahu bahwa proyek yang sedang mencari para gerilyawan dan terus tiba-tiba memuntahkan bom atau peluru. Tak kecuali Jirah. Perempuan 16 tahun itu gemetar di dapur seraya membayangkan gubuknya dihujani peluru.
Dira ada sembilan laki-laki asing tamu ayah angkatnya, Pak Kedah, yang ia layani makan dan minum. Meski tak paham siapa orang-orang ini, Jirah menyebut mereka sedang sedang mencari tentara Belanda. Sewaktu pesawat mendekat, dia melihat seorang yang memakai beskap duduk di depan pintu menangani delapan lainnya. “Saya mengintip dan menguping apa yang akan dibuat dari kopi,” kata Jirah, September lalu.
Lelaki pemakai beskap yang oleh semua orang sebut "Kiaine" atau Pak Kiai yang mengeluarkan keris dari pinggangnya. Keris itu ia taruh diaskan. Tangannya merapat dan mulutnya komat-kamit merapal doa. Ajaib. Keris itu berdiri dengan ujung lancipnya menghadap ke langit-langit. Kian kedekatan suara pesawat, kian nyaring doa mereka.
Keris itu otomatis miring, lalu jatuh bercampur bunyi pesawat menjauh. Kiaine menyarungkan keris itu lagi dan para pendoa meminta undur diri dari ruang tamu. Kepada Jirah, seorang pengawal Kiaine bercerita bahwa keris dan doa itu telah menyamarkan rumah dan kampung dari pengampilan prajurit Belanda.
Dari curi-dengar obrolan para tamu dengan terpisah itu, Jirah samar-samar tahu, orang yang memakai beskap bertubuh tinggi, kurus, dan pendiam dengan tungkai yang disebut Kiain adalah Jenderal Soedirman. "Saya mendapat kepastian itu Pak Dirman. Ia telah melewati desa itu," ujarnya.
Waktu itu Panglima Tentara Indonesia ini sedang bergerilya melawan Belanda, yang secara resmi menginvasi kembali Indonesia untuk Kedua Tahun Tiga Tahun setelah Proklamasi. Jirah ingat, rombongan itu –yang kekacauan 77 orang – datang ke Bajulan pada Jumat Kliwon Januari 1949. Diajang, Soedirman ditemani delapan orang, antara lain Dr Moestopo, Tjokropranolo, dan Soepardjo Roestam. Yang lain menginap di rumah tetangga.
Selama lima hari di Bajulan, tak sekali pun orang-orang Belanda melahirkan atau menembaki penduduk. “Itu berkat keris dan doa-doa,” kata Jirah. Soedirman seolah-olah tahu setiap kali Belanda akan datang mencarinya. Karena itu, operasi Belanda mencari buron nomor wahid tersebut selalu gagal.
Soedirman, Bintang Lapangan Sepak Bola
Senin Pon, 18 Maulud 1846 dalam almanak Jawa atau 24 Januari 1916. Seorang bayi lahir di Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Purbalingga. Ia lahir dari rahim Siyem, wanita asal Purwokerto, istri Karsid Kartoworidji, seorang pekerja pabrik gula.
bayi laki-laki itu diberi nama Soedirman. Nama itu diberikan ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang, Purbalingga. Lahir, memang langsung diurus dan tinggal di rumah bersama Tjokrosoenarjo dan Toeridowati.
Soedirmanasikan masa sekolah pada tahun 1923. Kala itu, berkat status Raden Tjokrosoenarjo yang bekas pejabat, Soedirman kecil bisa diperoleh pendidikan formal di Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat sekolah dasar) pada tahun tujuh tahun.
Di sekolah inilah bintang Soedirman mulai bersinar terang. Salah satunya lewat olahraga kegemarannya: sepak bola. Menurut Teguh, saking piawainya peran si kulit bundar, Soedirman, yang biasa berposisi sebagai penyerang dijuluki si bintang lapangan.
Pria 62 tahun itu mengatakan lulus juga bekerja dan sepak bola. Lantaran dikenal sebagai sosok yang jujur, Soedirman kemudian kerap didaulat menjadi wasit. “Kebiasaan sepak bola ini terbawa terus sampai Bapak remaja menuju dewasa,” kata Teguh.
Di Sekolah, Jenderal Soedirman Dijuluki Kaji
Soedirmanasikan masa sekolah pada tahun 1923. Kala itu, berkat status Raden Tjokrosoenarjo, ayah angkatnya yang bekas pejabat, Soedirman kecil bisa diambil pendidikan formal di Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat sekolah dasar) pada tahun ke tujuh. Di sekolah milik pemerintah ini, ia dikenal sebagai murid yang sangat rajin, berdisiplin, dan pandai.
Soedirman dikenal sebagai sosok yang tak segan membantu teman-teman dalam hal apa pun, termasuk Pelajaran. Ia sangat bersemangat. Bahasa, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah kebangsaan, dan agama Islam. "Sambil tekunnya pada Pelajaran agama, Soedirman diberi julukan Kaji atau Haji," ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Cara bergaul maju pun luwes, kata anak bungsunya, Mohammad Teguh. Dia bisa menjamin hal itu berdasarkan cerita ibunya. Soedirman bisa berkawan dan menempatkan diri di antara senior atau juniornya. “Bapak biasa berada di tengah banyak orang. Soalnya Bapak sangat piawai berpidato, ”ujarnya. Intrusekolah Putra-Putri Wiworotomo.
Soedirman lulus HIS pada 1930. Ia baru masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwij (MULO, dengan sekolah menengah pertama) Parama Wiworotomo, Cilacap, dua tahun setelahnya dan lulus pada tahun 1935.
Bersekolah di MULO merupakan bagian penting bagi Soedirman. Di sekolah juga pendidikan nasionalisme dari para guru yang aktif di organisasi Boedi Oetomo, seperti Raden Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono, lulusan Akademi Militer Breda di Belanda.
Soedirman, Kisah Asmara di Wiworo Tomo
Soedirman memang begitu sayang kepada opera. Menurut Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, 63 tahun, putra bungsu Soedirman, ibu pernah bercerita bagaimana bapaknya tergolong teliti untuk urusan kosmetik dan busana. “Bapak selalu memilihkan bedak dan busana untuk Ibu. Ibu tinggal mengenakan, ”ujar Teguh. Bapaknya ternyata juga suka menjaga penampilan agar rapi dan berwibawa, terutama saat berpidato.
Ibunya sekali waktu bercerita, pernah saat Soedirman berpidato, ia merasa cemburu. Soedirman saat itu berpidato diutar putri-putri Keraton Solo. Mereka terlihat kagum pada penampilannya yang besus atau selalu rapi. Selesai pidato, Alfiah berseloroh, “Kamu senang, ya? Kalau begitu mau lagi? ”Soedirman langsung menjawab,“ Ya tidak, kan aku sudah punya kamu. ”
Kisah asmara Soedirman dan Alfiah memulai di Perkumpulan Wiworo Tomo, Cilacap. Soedirman tersohor sebagai pemain sepak bola dan pemain tonil atau teater. Dia dijuluki Kajine karena alim. Tatkala menjadi ketua, Soedirman memilih Alfiah sebagai bendahara Perkumpulan. Salah seorang teman Soedirman, menurut Teguh, bercerita, banyak pemuda naksir kepada ibunya tapi tak berani karena segan kepada sang ayah.
Gosip Soedirman menaksir Alfiah, kata Teguh, bermula dari kebiasaan Soedirman berkunjung ke rumah Sastroatmodjo, orang tua Alfiah. Silaturahmi itu berkedok konsultan internal Muhammadiyah. Kala itu Soedirman termasuk pengurus Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Orang orang tua Alfiah pengurus Muhammadiyah.
Saat menjadi guru HIS Muhammadiyah, Soedirman yang dikenal dermawan. Gajinya kerap bermain membantu tetangga. Tatkala menjadi anggota Badan Penyediaan Pangan, lembaga penarik upeti di bawah Jepang, Soedirman bahkan tidak dapat digunakan jika ada kekurangan.
“Nenek tahu betul Soedirman muda naksir Alfiah. Nenek merestui karena kagum pada kealimannya. Nenek membujuk Kakek mau menerima Soedirman menjadi menantu. Saat itu, 20 tahun Bapak, Ibu 16 tahun. ”
Menurut Teguh, paman keluarga yang bernama Haji Mukmin, Saudagar Pemilik Hotel, yang konon tidak merujukkan perkimpoian Alfiah dan Soedirman. Mukmin berkeras Alfiah harus mendapatkan suami dari kelompok orang kaya. Seperti Soedirman anak ajudan wedana, yang bergaji kecil. “Akhirnya, semua ongkos pernikahan diam-diam persiapan Nenek. Strategi itu agar-agar Bapak tidak disepelekan keluarga besar Kakek. ”
Dari mereka, Teguh Dengar, pada saat makan bersama keluarga besar, Haji Mukmin, melambaikan tangan yang paling enak dari hadapan bapaknya. Sang ibu tersinggung, tapi bapaknya memilih mengalah. Sikap Haji Mukmin berubah setelah Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar. Ketika diarak ke Cilacap, dia melihat pamannya itu berdiri di pinggir jalan. Soedirman menghentikan mobil, lalu mengajaknya masuk ke mobil.
Soedirman, Kisah Seorang Perokok Berat
Soedirman adalah seorang perokok kelas berat. Ia suka sejak remaja. Rokok kreteknya tak bermerek, tingwe alias nglinthing dewe artinya meramu sendiri. Sepulang bergerilya, kondisi kesehatan Soedirman memburuk. Ia masuk Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, 63 tahun, putra bungsu Soedirman, ingat cerita ibunya, Siti Alfiah, bagaimana saat sakit bapaknya tetap ingin merokok.
“Bapak pintar berhenti merokok oleh dokter. Karena perokok berat, Bapak tak bisa benar-benar berangkat rokok. Bapak Menawarkan Ibu merokok dan meniupkan secepatnya ke mukanya. ”
Menurut Teguh, rentang ibu menjadi perokok. "Barangkali terdengar konyol, tapi Ibu berprinsip menaati Pak," katanya.
Pada Ahad pagi, 29 Januari 1950, setelah lama terkulai lemas sejak Oktober di rumah peristirahatan tentara di Magelang, mendadak wajah Soedirman tampak cerah. Pagi itu, Ahmad Yani, Gatot Soebroto, dan beberapa petinggi militer dan sipil hadir. Tidak ada apa-apa yang dibicarakan.
“Waktu itu, menurut Ibu, tiba-tiba saja tiba-tiba terdengar suara dan botol pecah mendadak. Bersamaan dengan itu, bendera di halaman melorot setengah tiang. Sampai Ibu katakan ke beberapa pengawal, 'Ah, itu hanya angin'. "
Setelah salat magrib, ruang didengar dari Alfiah, Soedirman ke kamar. Di dalam, dia berkata, “Bu, aku tidak kuat. Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing tahlil. ”Alfiah menuntunnya mengucap Laa Ilaha Illallah, dan Soedirman mengembuskan napas terakhir.
http://ubkm-mandala.com/?p=764
Tidak ada komentar:
Posting Komentar