Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Jumat, 06 Mei 2016

ISTRI-ISTRI NABI MUHAMMAD SAW

OTOBIOGRAFI ISTRI ISTRI NABI

Istri Pertama                      : Khadijah binti Khuailid
Istri Kedua                         : Saudah Al-A’miriyah
Istri Ketiga                         : A’isyah binti Abu Bakar
Istri Keempat                     : Hafshah binti Umar bin Khattab
Istri kelima                         : Zainab binti Khuzaimah
Istri Keenam                      : Ummu Salamah
Istri Ketujuh                       : Zainab binti Jahsy
Istri Kedelapan                  : Juairiyah binti Harist
Istri Kesembilan                 : Shafiyyah binti Hay
Istri Kesepuluh                   : Ummu Habibah / romlah bint sofyan
Istri Kesebelas                   : Maimunah binti Harist
Istri Keduabelas                 : Mariya Al-Qibthiyyah

BIOGRAFI SITI KHADIJAH
Siti Khadijah adalah putri Khuwailid bin As’ad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiyah al-Asadiyah. Siti Khadijah dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat, pada tahun 68 sebelum hijrah. Khadijah tumbuh dalam lingkungan yang keluarga yang mulia, sehingga akhirnya setelah dewasa ia menjadi wanita yang cerdas, teguh, dan berperangai luhur. Karena itulah banyak laki-laki dari kaumnya yang menaruh simpati padanya. Syaikh Muhammad Husain Salamah menjelaskan bahwa Siti Khadijah, nasab dari jalur ayahnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada kakeknya yang bernama Qushay. Dia menempati urutan kakek keempat bagi dirinya.
Pada tahun 575 Masehi, Siti Khadijah ditinggalkan ibunya. Sepuluh tahun kemudian ayahnya, Khuwailid, menyusul. Sepeninggal kedua orang tuanya, Khadijah dan saudara-saudaranya mewarisi kekayaannya. Kekayaan warisan menyimpan bahaya. Ia bisa menjadikan seseorang lebih senang tinggal di rumah dan hidup berfoya-foya. Bahaya ini sangat disadari Khadijah. Ia pun memutuskan untuk tidak menjadikan dirinya pengangguran. Kecerdasan dan kekuatan sikap yang dimiliki Khadijah mampu mengatasi godaan harta. Karenanya, Khadijah mengambil alih bisnis keluarga.
Pada mulanya, Siti Khadijah menikah dengan Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi. Pernikahan itu membuahkan dua orang anak yang bernama Halah dan Hindun. Tak lama kemudian suamianya meninggal dunia, dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Lalu Siti Khadijah menikah lagi untuk yang kedua dengan Atiq bin ‘A’id bin Abdullah al-Makhzumi. Setelah pernikahan itu berjalan beberapa waktu, akhirnya suami keduanya pun meninggal dunia, yang juga meninggalkan harta dan perniagaan.
Dengan demikian, saat itu Siti Khadijah menjadi wanita terkaya di kalangan bangsa Quraisy. Karenanya, banyak pemuka dan bangsawan bangsa Quraisy yang melamarnya, mereka ingin menjadikan dirinya sebagai istri. Namun, Siti Khadijah menolak lamaran mereka dengan alas an bahwa perhatian Khadijah saat itu sedang tertuju hanya untuk mendidik anak-anaknya. Juga dimungkinkan karena, Khadijah merupakan saudagar kaya raya dan disegani sehingga ia sangat sibuk mengurus perniagaan.
Siti Khadijah mempunyai saudara sepupu yang bernama Waraqah bin Naufal. Beliau termasuk salah satu dari hanif  di Mekkah. Ia adalah sanak keluarga Khadijah yang tertua. Ia mengutuk bangsa Arab yang menyembah patung dan melakukan penyimpangan dari kepercayaan nenek moyang mereka (nabi Ibrahim dan Ismail).
Para sejawatnya mengakui keberhasilan Siti Khadijah, ketika itu mereka memanggilnya “Ratu Quraisy” dan “Ratu Mekkah”. Ia juga disebut sebagai at-Thahirah, yaitu “yang bersih dan suci”. Nama at-Thahirah itu diberikan oleh sesama bangsa Arab yang juga terkenal dengan kesombongan, keangkuhan, dan kebanggaannya sebagai laki-laki. Karenanya perilaku Khadijah benar-benar patut diteladani hingga ia menjadi terkenal di kalangan mereka.
Pertama kali dalam sejarah bangsa Arab, seorang wanita diberi panggilan Ratu Mekkah dan juga dijuluki at-Thahirah. Orang-orang memanggil Khadijah dengan Ratu Mekkah karena kekayaannya dan menyebut Khadijah dengan at-Thahirah karena reputasinya yang tanpa cacat.
Suatu ketika, Muhammad berkerja mengelola barang dagangan milik Siti Khadijah untuk dijual ke Syam bersama Maisyarah. Setibanya dari berdagang Maysarah menceritakan mengenai perjalanannya, mengenai keuntungan-keuntungannya, dan juga mengenai watak dan kepribadian Muhammad. Setelah mendengar dan melihat perangai manis, pekerti yang luhur, kejujuran, dan kemampuan yang dimiliki Muhammad, kian hari Khadijah semakin mengagumi sosok Muhammad. Selain kekaguman, muncul juga perasaan-perasaan cinta Khadijah kepada Muhammad.
Tibalah hari suci itu. Maka dengan maskawin 20 ekor unta muda, Muhammad menikah dengan Siti Khadijah pada tahun 595 Masehi. Pernikahan itu berlangsung diwakili oleh paman Khadijah, ‘Amr bin Asad. Sedangkan dari pihak keluarga Muhammad diwakili oleh Abu Thalib dan Hamzah. Ketika Menikah, Muhammad berusia 25 tahun, sedangkan Siti Khadijah berusia 40 tahun. Bagi keduanya, perbedaan usia yang terpaut cukup jauh dan harta kekayaan yang tidak sepadan di antara mereka, tidaklah menjadi masalah, karena mereka menikah dilandasi oleh cinta yang tulus, serta pengabdian kepada Allah. Dan, melalui pernikahan itu pula Allah telah memberikan keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.
Dari pernikahan itu, Allah menganugerahi mereka dengan beberapa orang anak, maka dari rahim Siti Khadijah lahirlah enam orang anak keturunan Muhammad. Anak-anak itu terdiri dari dua orang laki-laki dan empat orang perempuan. Anak laki-laki mereka, al-Qasim dan dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib meninggal saat bayi. Kemudian, empat anak perempuannya adalah Zainab, Ruqayyah, Ummi Kulsum, dan Fatimah az-Zahra. Siti Khadijah mengasuh dan membimbing anak-anaknya dengan bijaksana, lembut, dan penuh kasih sayang, sehingga mereka pun setia dan hormat sekali kepada ibunya.
Setelah berakhirnya pemboikotan kaum Quraisy terhadap kaum muslim, Siti Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan kehausan. Semakin hari kondisi kesehatan badannya semakin memburuk. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia 60 tahun, wafatlah seorang mujahidah suci yang sabar dan teguh imannya, Sayyidah Siti Khadijah al-Kubra binti Khuwailid.
Siti Khadijah wafat dalam usia 65 tahun pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke-10 kenabian, atau tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah atau 619 Masehi. Ketia itu, usia Rasulullah sekitar 50 tahun. Beliau dimakamkan di dataran tinggi Mekkah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun.
Karena itu, peristiwa wafatnya Siti Khadijah sangat menusuk jiwa Rasulullah. Alangkah sedih dan pedihnya perasaan Rasulullah ketika itu. Karena dua orang yang dicintainya (Khadijah dan Abu Thalib) telah wafat, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah.
Sumber Asli:
Arief, Nurhaeni. Engkau Bidadari Para Penghuni Surga, Kisah Teladan Wanita Saleha. Kafila: Yogyakarta: 2008
Taman, Muslich. Pesona Dua Ummul Mukminin, Teladan Terbaik Menjadi Wanita Sukses dan Mulia. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta. 2008
Razwy, Syeda. A. Khadijah, The Greatest of First Lady of Islam. Alawiyah Abdurrahman (terj.). Mizan Publika: Jakarta. 2007

SAUDAH BINTI ZAM`AH (WAFAT 19 H)
Walaupun Saudah binti Zam’ah tidak terlalu populer dibandingkan dengan istri Rasulullah lainnya, dia tetap termasuk wanita yang memiliki martabat yang mulia dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Dia telah ikut berjihad di jalan Allah dan termasuk wanita yang pertama kali hijrah ke Madinah. Perjalanan hidupnya penuh dengan teladan yang baik, terutama bagi wanita-wanita sesudahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya bukan semata-mata karena harta dan kecantikannya, karena memang dia tidak tergolong wanita cantik dan kaya. Yang dilihat Rasulullah adalah semangat jihadnya di jalan Allah, kecerdasan otaknya, perjalanan hidupnya yang senantiasa baik, keimanan, serta keikhlasannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dia adalah Seorang Janda
Telah kita ketahui bahwa pada tahun-tahun kesedihan karena ditinggal wafat oleh Abu Thalib dan Khadijah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tengah mengalami masa sulit. Kondisi seperti itu dimanfaatkan olah orang-orang Quraisy untuk menyiksa Rasulullah dan kaum muslimin. Pada tahun-tahun ini, terasa cobaan dan kesedihan datang sangat besar dan silih berganti.
Ketika itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpikir untuk kembali ke Tsaqif atau Thaif, dengan harapan agar orang-orang di Thaif memperoleh hidayah untuk masuk Islam dan membantu beliau. Akan tetapi, masyarakat Tsaqif menolak mentah-mentah kehadiran beliau, bahkan mereka memerintahkan anak-anak mereka melempari beliau dengan batu, hingga kedua tumit beliau luka dan berdarah. Walaupun begitu, beliau tetap sabar, bahkan tetap mendoakan mereka agar memperoleh hidayah.
Dalam keadaan kesepian sesudah kematian Khadijah, terjadilah peristiwa Isra’ Mi’raj. Malaikat Jibril membawa Rasulullah ke Baitul Maqdis dengan kendaraan Buraq, kemudian menuju langit ke tujuh, dan di sana beliau menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah. Ketika kembali ke Mekah, beliau menuju Ka’bah dan mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkan kisah perjalanan beliau yang sangat menakjubkan itu. Kaum musyrikin yang mendengar kisah itu tidak memercayainya, bahkan mengolok-olok beliau, Bertambahlah hambatan dan rintangan yang harus beliau hadapi. Dalam kondisi seperti itu, tampillah Saudah binti Zam’ah yang ikut berjuang dan senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian dia menjadi istri Rasulullah yang kedua setelah Khadijah.
Terdapat beberapa kisah yang menyertai pernikahan Rasulullah dengan Saudah binti Zum’ah. Tersebutlah Khaulah binti Hakim, salah seorang mujahid wanita yang pertama masuk Islam. Khaulah adalah istri Ustman bin Madh’um. Dia yang dikenal sebagai wanita yang berpendirian kuat, berani, dan cerdas, sehingga dia memiliki nilai tersendiri bagi Rasulullah. Melalui kehalusan perasaan dan kelembutan fitrahnya, Khaulah sangat memahami kondisi Rasulullah yang sangat membutuhkan pendamping, yang nantinya akan menjaga dan mengawasi urusan beliau serta mengasuh Ummu Kultsum dan Fathimah setelah Zainab dan Ruqayah menikah. Pada mulanya, Utsman bin Madh’um kurang sepakat dengan pemikiran Khaulah, karena khawatir hal itu akan menambah beban Rasulullah, namun dia tetap pada pendiriannya.
Kemudian Khaulah menemui Rasulullah dan bertanya langsung tentang orang yang akan mengurus rumah tangga beliau. Dengan saksama, beliau mendengarkan seluruh pernyataan Khaulah karena baru pertama kali ini ada orang yang memperhatikan masalah rumah tangganya dalam kondisi beliau yang sangat sibuk dalam menyebarkan agama Allah. Beliau melihat bahwa apa yang diungkapkan Khaulah mengandung kebenaran, sehingga beliau pun bertanya, “Siapakah yang kau pilih untukku?” Dia menjawab, “Jika engkau menginginkan seorang gadis, dia adalah Aisyah binti Abu Bakar, dan jika yang engkau inginkan adalah seorang janda, dia adalah Saudah binti Zam’ah.” Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zam’ah, yang sejak keislamannya begitu banyak memikul beban perjuangan menyebarkan Islam, sehingga pilihan beliau jatuh pada Saudah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memilih janda yang namanya hanya dikenal oleh beberapa orang. Pernikahan beliau dengannya tidak didorong oleh keinginan untuk memenuhi nafsu duniawi, tetapi lebih karena Rasulullah yakin bahwa Saudah dapat ikut serta menjaga keluarga dan rumah tangga beliau setelah Khadijah wafat.
Jika kita rajin menyimak beberapa catatan sejarah tentang kehidupan Rasulullah yang berkaitan dengan Saudah binti Zam’ah, kita akan menemukan beberapa keterangan tentang sosok Saudah. Saudah adalah seorang wanita yang tinggi besar, berbadan gemuk, tidak cantik, juga tidak kaya. Dia adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Rasulullah memilihnya sebagai istri karena kadar keimanannya yang kokoh. Dia termasuk wanita pertama yang masuk Islam dan sabar menanggung kesulitan hidup.
Nasab dan Keislamannya
Saudah binti Zam’ah yang bernama lengkap Saudah binti Zam’ah bin Abdi Syamsin bin Abdud dari Suku Quraisy Amiriyah. Nasabnya ini bertemu dengan Rasulullah pada Luay bin Ghalib. Di antara keluarganya, dia dikenal memiliki otak cemerlang dan berpandangan luas. Pertama kali dia menikah dengan anak pamannya, Syukran bin Amr, dan menjadi istri yang setia dan tulus. Ketika Rasulullah menyebarkan Islam dengan terang-terangan, suaminya, Syukran, termasuk orang yang pertama kali menerima hidayah Allah. Dia memeluk Islam bersama kelompok orang dari Bani Qais bin Abdu Syamsin. Setelah berbai’at di hadapan Nabi, dia segera menemui istrinya, Saudah, dan memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang dianutnya. Kecemerlangan pikiran dan hatinya menyebabkan Saudah cepat memahami ajaran Islam untuk selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang muslimah.
Hijrah ke Habbasyah
Keislaman Syukran, Saudah, dan beberapa orang yang mengikuti jejak mereka berakibat cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga terdekat mereka. Karena itu, Syukran menemui Rasulullah beserta beberapa keluarganya yang sudah memeluk Islam, seperti saudaranya (Saud dan Hatib), keponakannya (Abdullah bin Sahil bin Amr), ditambah saudara kandung Saudah (Malik bin Zum’ah). Rasulullah menasihati agar mereka tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan agar mereka hijrah ke Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih dahulu hijrah, seperti Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad. Akhirnya, kaum muslimin memutuskan untuk hijrah. Di antara kaum muslimin yang hijrah ke dua ke Habasyah, terdapat Saudah yang turut merasakan pedihnya meninggalkan kampung halaman serta sulitnya menempuh perjalanan dan cuaca buruk demi menegakkan agama yang diyakininya.
Di Habasyah mereka disambut dan diperlakukan baik oleh Raja Habasyah walaupun keyakinan mereka berbeda, sehingga beberapa hari lamanya mereka menjadi tamu raja. Akan tetapi, rasa rindu mereka dan keinginan untuk melihat wajah Rasulullah mendera mereka. Sambil menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke Mekah, mereka mengisi waktu dengan mengenang kehangatan berkumpul dengan Rasulullah dan saudara-saudara seiman di Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar bin Khaththab, mereka menyambut dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin Khaththab adalah pemuka Quraisy yang disegani. Karena itu, mereka memutuskan untuk kembali ke Mekah dengan harapan Umar dapat menjamin keselamatan mereka dan gangguan kaum Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali adalah Syukran bin Amr. Akan tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit karena kelaparan sejak kakinya menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia meninggal di tengah perjalanan menuju Mekah.
Betapa sedih perasaan Saudah binti Zum’ah ketika mendengar suaminya meninggal dunia. Baru saja dia mengalami betapa sedihnya meninggalkan kampung halaman, sulitnya perjalanan ke Habasyah, cemoohan, dan penganiayaan orang-orang Quraisy, sekarang dia harus merasakan sedihnya ditinggal suami. Dia merasa kehilangan orang yang senantiasa bersamanya dalam jihad di jalan Allah.
Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Saudah binti Zam’ah menanggung semua derita itu dengan kepasrahan dan ketabahan, serta menyerahkan semuanya kepada Allah dengan senantiasa mengharapkan keridhaan-Nya. Dia kembali ke Mekah sebagai satu-satunya janda, dengan perkiraan bahwa keadaan kaum muslimin di Mekah sudah membaik setelah beberapa pemuka Quraisy menyatakan memeluk Islam. Akan tetapi, ternyata kezaliman orang-orang Quraisy tetap merajalela. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain baginya selain kembali ke rumah ayahnya, Zam’ah bin Qais yang masih memeluk agama nenek moyang. Akan tetapi, Zam’ah bin Qais tetap menerima dan menghormati putrinya. Tidak sedikit pun dia berusaha membujuk agar putrinya meninggalkan Islam dan kembali menganut kepercayaan nenek moyang.
Ketika Khaulah binti Hakim berusaha mencarikan istri untuk Rasulullah, dia menyebut nama Saudah. Dalam diri Saudah, Rasulullah tidak meihat kecantikannya, tetapi lebih melihat bahwa Saudah adalah sosok wanita yang sabar, mujahidah yang hijrah bersama kaum muslimin, dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang masih musyrik. Karena itulah, Rasulullah tergerak menikahinya dan menjadikannya sebagai istri yang akan meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan menyampaikan kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah menjadi istri Rasulullah serta menjadi istri manusia yang paling mulia dan hamba pilihan-Nya. Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, “Apa gerangan yang telah engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan nikmat yahg sebesar ini?
Rasulullah mengutusku untuk meminang engkau baginya.” Sungguh, hal itu merupakan berita besar. Saudah tidak pernah memimpikan kehormatan sebesar itu, terutama setelah orang-orang mencampakkannya karena kematian suaminya. Rasulullah yang mulia benar-benar akan menjadikannya sebagai istri. Dengan perasaan terharu dia menyetujui permintaan itu dan meminta Khaulah menemui ayahnya. Setelah Zam’ah bin Qais mengetahui siapa yang akan meminang putrinya, dan Saudah pun sudah setuju, lamaran itu langsung diterimanya, kemudian meminta Rasulullah Muhammad datang ke rumahnya. Rasulullah memenuhi undangan tersebut bersama Khaulah, dan perkawinan itu terlaksana dengan baik.

Berada di Rumah Rasulullah
Saudah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah, dan di dalamnya dia merasakan kehormatan yang sangat besar sebagai wanita. Dia merawat Ummu Kultsum dan Fathimah seperti merawat anaknya sendiri. Ummu Kultsum dan Fathimah pun menghargai dan memperlakukan Saudah dengan baik.
Saudah memiliki kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur hati Rasulullah, sekaligus memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap dirinya dapat sejajar dengan Khadijah di hati Rasulullah. Dia cukup puas dengan posisinya sebagai istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin. Kelembutan dan kemanisan tutur katanya dapat menggantikan wajahnya yang tidak begitu cantik, tubuhnya yang gemuk, dan umurnya yang sudah tua. Apa pun yang dia lakukan semata-mata untuk menghilangkan kesedihan Rasulullah. Sewaktu-waktu dia meriwayatkan hadits-hadits beliau untuk menunjukkan suka citanya di hadapan Nabi.
Beberapa bulan lamanya Saudah berada di tengah-tengah keluarga Rasulullah. Keakraban dan keharmonisan mulai terjalin antara dirinya dan Rasulullah. Dia tidak pernah melakukan apa pun yang dapat menyakitkan Rasulullah. Akan tetapi, pada dasarnya, dia belum mampu mengisi kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia telah memperoleh limpahan kasih dari beliau, sehingga beberapa saat kemudian turun wahyu Allah yang memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar yang masih sangat belia. Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna wahyu Allah kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar menerima putrinya menikah dengan Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah melihat Aisyah, beliau mengumumkan pinangan terhadap Aisyah.
Lantas, sikap apa yang dilakukan Saudah ketika mengetahui pertunangan tersebut? Dia rela dan tidak sedikit pun memiliki perasaan cemburu. Dia merelakan madunya berada di tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa cukup bangga menyandang gelar Ummul-Mukminin, dapat menyayangi Rasulullah, dan dapat meyakini ajarannya, sehingga dia tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi.
Hijrahnya ke Madinah
Pertama kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah tanpa keluarga. Setelah menetap di sebuah rumah, beliau mengutus seseorang membawa keluarganya, termasuk Saudah binti Zam’ah. Bersama Ummu Kultsum dan Fathimah, Saudah menuju Madinah, dan itu merupakan hijrahnya yang kedua setelah ke Habasyah. Bedanya, sekarang ini dia hijrah menuju negeri muslim yang masyarakatnya sudah berbai’at setia kepada Rasulullah.
Setelah masjid Nabawi di Yatsrib selesai dibangun, dibangunlah rumah Rasulullah di samping masjid tersebut. Di rumah itulah Saudah dan putri-putri Nabi tinggal, hingga Ummu Kultsum dan Fathimah menyayangi Saudah seperti kepada ibu kandung sendiri. Setelah masyarakat Islam di Yatsrib terbentuk dan sarana ibadah selesai dibangun, Abu Bakar mengingatkan Rasulullah agar segera menikahi putrinya, “Bukankah engkau hendak membangun keluargamu, ya Rasul?” Ketika itu kehidupan Rasulullah tersibukkan oleh dakwah dan jihad di jalan Allah, sehingga kepentingan pribadinya tidak sempat terpikirkan. Ketika Abu Bakar mengingatkannya, barulah beliau sadar dan segera menikahi Aisyah. Kemudian beliau membangun kamar untuk Aisyah yang bersebelahan dengan kamar Saudah.
Sikap Hidupnya
Sejarah banyak mencatat sikap Saudah terhadap Aisyah binti Abu Bakar. Wajahnya senantiasa ceria dan tutur katanya selalu lembut, bahkan dia sering membantu menyelesaikan urusan-urusan Aisyah, sehingga Aisyah sangat mencintai Saudah. Begitulah kecintaannya kepada Rasulullah sangat melekat erat di dasar hati. Segala sesuatunya dia niatkan untuk memperoleh kerelaan Rasulullah melalui pengabdian yang tulus terhadap keluarga beliau, tanpa keluh kesah. Baginya, kenikmatan yang paling besar di dunia ini adalah melihat Rasulullah senang dan tertawa. Aisyah berkata, “Tidak ada wanita yang lebih aku cintai untuk berkumpul bersamanya selain Saudah binti Zam’ah, karena dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiiki wanita lain.” Itu merupakan pengakuan Aisyah, wanita yang pikirannya cerdas dan senantiasa jernih, yang selalu ingin bersama Saudah dalam jihad, keyakinan, kesabaran, dan keteguhannya. Saudah merelakan malam-malam gilirannya untuk Aisyah semata-mata untuk memperoleh keridhaan Rasulullah. Aisyah mengisahkan, ketika usia Saudah semakin uzur dan Rasulullah ingin menceraikannya, Saudah berkata, “Aku mohon jangan ceraikan diriku. Aku ingin selalu berkumpul dengan istri-istrimu. Aku rela menyerahkan malam-malamku untuk Aisyah. Aku sudah tidak menginginkan lagi apa pun yang biasa diinginkan kaum wanita.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengurungkan niatnya. Sebenarnya Rasulullah ingin menceraikan Saudah dengan baik-baik agar Saudah tidak bermasalah dengan istri-istri beliau yang lainnya. Akan tetapi, Saudah menginginkan Rasulullah tetap mengikatnya hingga akhir hayatnya agar dia dapat berkumpul dengan istri-istri Rasulullah. Alasan itulah yang menyebabkan Rasulullah tetap mempertahankan pernikahannya dengan Saudah.
Saudah mendampingi Rasulullah dalam Perang Khaibar. Biasanya, sebelum berangkat berperang, Rasulullah mengundi dahulu istri yang akan menyertai beliau. Dalam Perang Khaibar, undian jatuh pada diri Saudah, dan kali ini Rasulullah disertai pendamping yang sabar. Dalam perang ini banyak sekali kesulitan yang dialami Saudah, karena banyak juga kaum muslimin yang syahid sebelum Allah memberikan kemenangan kepada mereka. Dalam kemenangannya, kaum muslimin memperoleh banyak rampasan perang yang belum pernah mereka alami pada peperangan lainnya. Saudah pun mendapatkan bagian rampasan perang ini. Pada peperangan ini pula Rasulullah menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab. Mendengar hal itu pun Saudah tetap rela dan menerima kehadiran Shafiyyah karena hatinya bersih dari sifat iri dan cemburu.
Saudah menunaikan haji wada’ bersama istri-istri Rasul lainnya. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. meninggal, Saudah tidak pernah lagi menunaikan ibadah haji karena khawatir melanggar ketentuan beliau. Beberapa saat setelah haji wada’, Shallallahu ‘alaihi wasallam sakit keras. Beliau meminta persetujuan istri-istri beliau yang lain untuk tinggal di rumah Aisyah. Ketika Nabi sakit, Saudah tidak pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan membantu Aisyah sampai beliau wafat. Setelah beliau wafat, dia memutuskan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Harta bagiannya dan BaitulMal sebagian besar dia salurkan di jalan Allah dengan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya. Dia tidak pemah meninggalkan kamarnya kecuali untuk kebutuhan yang mendesak. Pada saat-saat seperti itu Abu Bakar selalu menjenguknya karena dia tahu bahwa Saudah sangat mencintai putrinya.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, Saudah tetap menyendiri untuk beribadah hingga ajal menjemputnya. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa dia meninggal pada tahun ke-19 Hijrah, sementara itu ada juga riwayat yang mengatakan bahwa dia meninggal pada tahun ke-54 Hijrah. Yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat pertama, karena pada masa Rasulullah pun Saudah sudah termasuk tua.
Sifat dan Keutamaannya
Hal istimewa yang dimiliki Saudah adalah kekuatannya dan keteguhannya dalam menanggung derita, seperti pengusiran, penganiayian, dan bentuk kezaliman lainnya, baik yang datangnya dari kaum Quraisy maupun dan keluarganya sendiri. Hal seperti itu tidak mudah dia lakukan, karena perjalanan yang harus ditempuhnya itu sangat sulit serta perasaan yang berat ketika harus meninggalkan keluarga dan kampung halaman.
Sifat mulia yang juga menonjol darinya adalah kesabaran dan keridhaannya menerima takdir Allah ketika suaminya meninggal, harus kembali ke rumah orang tua yang masih musyrik, hingga Rasulullah memilihnya menjadi istri. Selama berada di tengah-tengah Rasulullah, keimanan dan ketakwaannya bertambah. Dia pun bertambah rajin beribadah. Jelasnya, kadar keimanannya berada di atas manusia rata-rata. Di dalam hatinya tidak pernah ada perasaan cemburu terhadap istri-istri Rasulullah lainnya.
Saudah pun dikenal dengan kemurahan hatinya dan suka bersedekah. Pada sebagian riwayat dikatakan bahwa Saudah paling gemar bersedekah di jalan Allah, baik ketika Rasulullah masih hidup maupun pada masa berikutnya, yaitu pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.
Pembawaan yang ceria dan menyenangkan dia curahkan untuk menghibur Rasulullah. Karakter seperti itu merupakan teladan yang baik bagi setiap istri hingga saat ini. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Saudah binti Zam’ah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Tambahan kisah lainnya:
Dia adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepeninggal khadijah, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.
Sebelum menikah dengan Rasulullloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Saudah telah menikah dengan Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk islam dan kemudian berhijrah ke Habasyah bersama dengan rombongan shahabat yang lain.
Ketika Sakran dan istrinya Saudah tiba di Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan meninggal. Maka jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminang saudah dan diterima oleh saudah dan menikahlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Saudah pada bulan Ramadhan.
Saudah adalah tipe seorang istri yang menyenangkan suaminya dengan kesegaran candanya, sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim an-Nakha’i bahwasannya saudah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Wahai Rasulullah, tadi malam aku shalat di belakangmu, ketika ruku’ punggungmu menyentuh hidungku dengan keras, maka aku pegang hidungku karena aku takut keluar darah, Maka tertawalah Rasulullah. Ibrahim berkata: Saudah biasa membuat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tertawa dengan candanya. (Thabaqoh Kubra 8/54).
Ketika Saudah sudah tua Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berniat hendak mencerainya, maka saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Wahai Rasulullah janganlah engkau menceraikanku, bukanlah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya menjadi salah satu dari seorang istrinya sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal. Dalam hal ini turunlah ayat Al-Qur’an, yang artinya: “Dan jika seorang wanita kuatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik..” (QS. An-Nisa’:128). (Sunan Tirmidzi 8/320 dengan sanad yang dihasankan Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah 7/720).
Aisyah berkata: Saudah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu malam Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum berdesak-desakkannya manusia, adalah dia perempuan yang berat jika berjalan, sungguh kalau aku meminta izin kepadanya sungguh lebih aku sukai daripada orang yang dilapangkan. (Thabaqah Qubra 8/54).
Aisyah berkata: Aku tidak pernah melihat seorang wanita yang paling aku ingin sekali menjadi dia daripada Saudah binti Zam’ah, ketika dia tua dia berikan gilirannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Aisyah. ( Shahih Muslim 2/1085).
Di antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat kepada Rasulullah. Ketika haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada para istri-istrinya: Ini adalah saat haji bagi kalian kemudian setelah ini hendaknya kalian menahan diri di rumah-rumah kalian, maka sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, Saudah selalu di rumahnya dan tidak berangkat haji lagi sampai dia meninggal. (Sunan Abu Dawud 2/140).
Aisyah berkata: Sesudah turun ayat tentang hijab, keluarlah saudah di waktu malam untuk menunaikan hajatnya, dia adalah wanita yang perawakannya tinggi besar sehingga mudah sekali dibedakan dari wanita lainnya pada saat itu. Saat itu umar melihatnya dan berkata :wahai saudah demi Allah kami tetap bisa mengenalimu, maka lihatlah bagaimana engkau keluar, maka Saudah segera kembali dan menuju kepada Rasulullah yang pada waktu itu di rumah Aisyah, ketika itu Rasulullah sedang makan malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah Saudah seraya berkata kepadanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku keluar untuk sebagai keperluanku dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan itu, maka saat itu turunlah wahyu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian para wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.. (Shahih Bukhari dan Muslim).
Saudah terkenal juga dengan kezuhudannya, ketika umar mengirin kepadanya satu wadah berisi dirham, ketika sampai kepadanya maka dibagi-bagikannya (Thabaqah kubra 8/56 dan dishahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam al-Ishobah 7/721).
Saudah termasuk deretan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjaga dan menyamapaikan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti Imam Ahmad, Imam Bukhari, Abu Dawud dan Nasa’i.
Saudah meninggal di akhir kekhalifahan Umar di Madinah pada tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.
Sumber : Sirah nabawiyah Ibnu Hisyam, Siyar a’lamin Nubala oleh Adz-Dzahabi, Al-Ishabah oleh Ibnu Hajar, Al-Isti’ab oleh Ibnu Abdil barr, Thabaqah Qubra oleh ibnu Sa’ad.

AISYAH BINTI ABU BAKAR ( WAFAT 57 H)
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membuka lembaran kehidupan rumah tangganya dengan Aisyah  yang telah banyak dikenal. Aisyah laksana lautan luas dalam kedalaman ilmu dan takwa. Di kalangan wanita, dialah sosok yang banyak menghafal hadits-hadits Nabi, dan di antara istri-istri Nabi, dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki istri Nabi yang lain. Ayahnya adalah sahabat dekat Rasulullah yang menemani beliau hijrah. Berbeda dengan istri Nabi yang lain, kedua orang tua Aisyah melakukan hijrah bersama Rasulullah.
Ketika wahyu datang kepada Rasulullah, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah istrinya di dunia dan akhirat, sebagaimana diterangkan di dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah :
‘Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutera hijau kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam., lalu berkata, ini adalah istrimu di dunia dan akhirat.”
Dialah yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah yang menerangkan kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik.
A. Nasab dan Masa KeciI Aisyab
Aisyah adalah putri Abdullah bin Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tamim bin Marrah bin Ka’ab bin Luay, yang lebih dikenal dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq dan berasal dari suku Quraisy at-Taimiyah al-Makkiyah. Ayahnya adalah ash-Shiddiq dan orang pertama yang mempercayai Rasulullah ketika terjadi Isra’ Mi’raj, saat orang-orang tidak mempercayainya.
Menurut riwayat, ibunya bernama Ummu Ruman. Akan tetapi, riwayat-riwayat lain mengatakan bahwa ibunya adalah Zainab atau Wa’id binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams. Aisyah pun digolongkan sebagai wanita pertama yang masuk Islam, sebagaimana perkataannya, “Sebelum aku berakal, kedua orang tuaku sudah menganut Islam.”
Ummu Ruman memberikan dua orang anak kepada Abu Bakar, yaitu Abdurrahman dan Aisyah. Anak Iainnya, yaitu Abdullah dan Asma, berasal dan Qatlah binti Abdul Uzza, istri pertama yang dia nikahi pada masa jahiliyah. Ketika masuk Islam, Abu Bakar menikahi Asma binti Umais yang kemudian melahirkan Muhammad, juga menikahi Habibah binti Kharijah yang melahirkan Ummu Kultsum. Aisyah dilabirkan empat tahun sesudah Nabi diutus menjadi Rasulullah. Ketika dakwah Islam dihambat oleh orang-orang musyrik, Aisyah melihat bahwa ayahnya menanggung beban yang sangat besar. Semasa kecil dia bermain- main dengan lincah, dan ketika dinikahi Rasulullah usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar riwayat disebutkan bahwâ Rasulullah membiarkannya bermain-main dengan teman-temannya.
B. Pernikahan yang Penuh Berkah
Dua tahun setelah wafatnya Khadijah r.a, datang wahyu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. untuk menikahi Aisyah . Setelah itu Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Aku melihatmu dalam tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan membawa gambarmu pada selembar sutera seraya berkata, ‘Ini adalah istrimu.’ Ketika aku membuka tabirnya, tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya, ‘Jika ini benar dari Allah, niscaya akan terlaksana.” Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka dan berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. hijrah ke Madinah bersama para sahabat, sementara istri-istri beliau ditinggalkan di Mekah. Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus orang untuk menjemput mereka, termasuk di dalamnya Aisyah . Karena cuaca buruk yang melanda Madinah, Aisyah sakit keras dan badannya menyusut seperti juga dialami orang-orang Muhajirin. Menyaksikan hal itu, Rasulullah berdoa, “Ya Allah, jadikanlah karni sebagai orang yang mencintai Madinah sebagaimana cinta kami kepada Mekah, atau bahkan lebih lagi. Sembuhkanlah penghuninya dan penyakit. Berikanlah keberkahan kepada kami dalam timbangan dan takarannya. Lindungilah kami dan penyakit, dan alihkanlah penyakit itu ke Juhfah.” Allah mengabulkan doa Rasulullah, dan cuaca berangsur membaik, sehingga hilanglah penyakit yang melanda kaum muhajirin. Aisyah pun sembuh dan bersiap-siap menghadapi hari pernikahan dengan Rasuhillah Shallallahu alaihi wassalam.
Dengan izin Allah menikahlah Aisyah dengan maskawin lima ratus dirham. Ketika ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurrahman tentang jumlah mahar yang diberikan Rasulullah:
“Aisyab menjawab, Mahar Rasulullah kepada istri-irstrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu nasy itu? Dijawab, Tidak. Kemudian lanjut Aisyah. Satu nasy itu sama dengan setengah uqiyah, yaitu lima ratus dirham. Maka inilah mahar Rasulullah terhadap istri-istri beliau.“ (HR. Muslim)
C. Istri Kecintaan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
Aisyah tinggal di kamar yang berdampingan dengan Masjid Nabawi. Di kamar itulah wahyu banyak turun, sehingga kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Di hati Rasulullah, kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan itu tidak dialami oleh istri-istri beliau yang lain. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, “Cinta pertama yang terjadi di dalam Islam adalah cintanya Rasulullah kepada Aisyah .”
Di dalam riwayat Tirmidzi dikisahkan, “Bahwa ada seseorang yang menghina Aisyah di hadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar berseru kepadanya, ‘Sungguh celaka kamu. Kamu telab menyakiti istri kecintaan Rasulullah’.”
Selain itu ada juga kisah lain yang menunjukkan besarnya cinta Nabi kepada Aisyah, dan itu sudah diketahui oleh kaurn muslimin saat itu. Oleh karena itu, kaum muslimin senantiasa menanti-nanti datangnya hari giliran Rasulullah pada Aisyah sebagai hari untuk menghadiahkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Keadaan seperti itu menimbulkan kecemburuan di kalangan istri Rasulullah lainnya. Tentang hal itu Aisyah pernah berkata:
“Orang-orang berbondong-bondong memberi hadiah pada hari giliran Rasulullah padaku. Karena itu, teman-temanku (istri Nabi yang lainnya) berkumpul di tempat Ummu Salamah. Mereka berkata, ‘Hai Ummu Salamah, demi Allah, orang-orang berbondong-bondong mernberikan hadiah pada hari giliranRasulullah di rumah Aisyah, sedangkan kita juga ingin rnemperoleh kebaikan sebagaimana yang diinginkan oleh Aisyah.’ Melihat reaksi seperti itu, Rasulullah meminta kaum muslimin untuk memberikan hadiah kepada beliau pada hari giliran istri Rasulullah yang mana saja. Ummu Salamah pun telah menyatakan keberatan kepada Rasulullah. Dia berkata, “Rasulullah berpaling dariiku. Ketika beliau mendatangi aku, akupun kernbali mernperingatkan hal itu, tetapi beliau berbuat hal yang serupa. Ketika aku rnenginatkan beliau untuk yang ketiga kalinya, beliau tetap berpaling dariku, sehingga akhirnya beliau bersabda, ‘Demi Allah, wahyu tidak turun kepadaku selama aku berada di dekat kalian, kecuali ketika aku dalam satu selimut bersama Aisyah.” (HR. Muslim)
Sekalipun perasaan cemburu istri-istri Rasulullah terhadap Aisyah sangat besar, mereka tetap menghargai kedudukan Aisyah yang sangat terhormat. Bahkan ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata, ”Demi Allah, dia adalah manusia yang paling beliau cintai setelah ayahnya (Abu Bakar).”
Suatu waktu, Rasulullah ditanya oleh Amru bin ‘Aash, “Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah!” Amru bertanya lagi, “Dan dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya!” (Hadits muttafaqirn ‘alaihi)
Di antar istri-istri Rasulullah, Saudah binti Zum’ah sangat memahami keutamaan- keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh malam bagiannya untuk Aisyah.
Suatu hari Shafiyah bin Huyay meminta kerelaan Rasulullah melalui Aisyah, yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Aisyah.
“Suatu ketika Rasulullah enggan mendekati Shafiyah binti Huyay bin Ahthab. Karena itu Shafyyah berkata kepada Aisyah, ‘Hai Aisyah, apakah engkau dapat merelakan Rasulullah kepadaku? Dan engkau akan mendapatkan hari bagianku. ‘Aisyab menjawab, ‘Ya!’ Kernudian Aisyah mengambil kerudung yang ditetesi za’faran dan disiram dengan air agar lebih harum. Setelah itu dia duduk di sebelah Rasulullah, narnun beliau bersabda, ‘Ya Aisyah, menjauhlah engkau dariku. Hari ini bukan hari bagianmu. ‘Aisyab berkata, ‘Ini adalah keutamaan yang diberiikan Allah kepada dia yang dikehendaki-Nya.’ Aisyah kemudian menceritakan duduk permasalahannya dan Rasulullah pun rela kepada Shafyyah.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang menjadikan Rasulullah rela. Dia menjaga agar jangan sampai beliau menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena itu, salah satunya, dia senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah. Menjelang wafat, Rasulullah meminta izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat di rumah Aisyah selama sakitnya hingga wafatnya. Dalam hal ini Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku karena Rasulullah wafat di pangkuanku.”
D. Fitnah Terhadapnya
Aisyah pernah mengalami fitnah yang mengotori lembaran sejarah kehidupan sucinya, hingga turun ayat Al-Q ur’an yang menerangkan kesucian dirinya. Kisahnya bermula dari sini. Seperti biasanya, sebelum berangkat perang, Rasulullah mengundi istrinya yang akan menyertainya berperang. Ternyata undian jatuh kepada Aisyah, sehingga Aisyah yang menyertai beliau dalam Perang Bani al-Musthaliq. Saat itu bertepatan dengan turunnya perintah memakai hijab. Setelah perang selesai dan kaum muslimin memetik kemenangan, Rasulullah kembali ke Madinah. Ketika tentara Islam tengah beristirahat di sebuah pelataran, Aisyah masih berada di dalam sekedup untanya. Pada malam harinya, Rasulullah mengizinkan rombongan berangkat pulang. Ketika itu Aisyah pergi untuk hajatnya, dan kembali. Ternyata, kalung di lehernya jatuh dan hilang, sehingga dia keluar dan sekedup dan mencari-cari kalungnya yang hilang. Ketika pasukan siap berangkat, sekedup yang mereka angkat ternyata kosong. Mereka mengira Aisyah berada di dalam sekedup. Setelah kalungnya ditemukan, Aisyah kembali ke pasukan, namun alangkah kagetnya karena tidak ada seorang pun yang dia temukan. Aisyah tidak meninggalkan tempat itu, dan mengira bahwa penuntun unta akan tahu bahwa dirinya tidak berada di dalamnya, sehingga mereka pun akan kembali ke tempat semula. Ketika Aisyah tertidur, lewatlah Shafwan bin Mu’thil yang terheran-heran melihat Aisyah tidur. Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi untanya dan dia menuntun di depannya. Berawal dari kejadian itulah fitnah tersebar, yang disulut oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketika tuduhan itu sarnpai ke telinga Nabi, beliau mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat mereka. Usamah bin Zaid berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah keluargamu … yang kau ketahui hanyalah kebaikan semata.“ Ali juga berpendapat, “Ya Rasulullah, Allah tidak pernah mempersulit engkau. Banyak wanita selain dia.” Dari perkataan Ali, ada pihak yang memperuncing masalah sehingga terjadilah pertentangan berkelanjutan antara Aisyah dan Ali. Mendengar pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi, bentambah sedihlah Aisyah, terlebih setelah dia melihat adanya perubahan sikap pada diri Nabi.
Ketika Aisyah sedang duduk-duduk bersarna orang tuanya, Rasulullah menghampirinya dan bersabda:
“Wahai Aisyah aku mendengar berita bahwa kau telah begini dan begitu. Jika engkau benar-benar suci, niscaya Allah akan menyucikanmu. Akan tetapi, jika engkau telah berbuat dosa, bertobatlah dengan penuh penyesalan, niscaya Allah akan mengampuni dosamu.” Aisyah menjawab, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau telah mendengar kabar inmi, dan ternyata engkau mempercayainya. Seandainya aku katakan bahwa aku tetap suci pun, niscaya hanya Allahlah yang mengetahui kesucianku, dan tentunya engkau tak akan mempercayaiku. Akan tetapi, jika aku mengakui perbuatan itu, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku tetap suci, maka kau akan mempercayai perkataanku. Aku hanya dapat mengatakan apa yang dikatakan Nabi Yusuf, ‘Maka bersabar itu lebih baik’. Dan Allah pula yang akan menolong atas apa yang engkau gambarkan.”
Aisyah sangat mengharapkan Allah menurunkan wahyu berkaitan dengan masalahnya, namun wahyu itu tidak kunjung turun. Baru setelah beberapa saat, sebelum seorang pun meninggalkan rumah Rasulullah, wahyu yang menerangkan kesucian Aisyah pun turun kepada beliau. Rasulullah segera menemui Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah, Allah telah menyucikanmu dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur:11)
Demikianlah kemulian yang disandang Aisyah, sehingga bertambahlah kemuliaan dan keagungannya di hati Rasulullah.
E. Perjalanan Hidup yang Mulia
Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki kelemahan, begitu juga halnya dengan Aisyah, yang selain memiliki kehormatan dan martabat juga memiliki kekurangan. Dalam hal ini dia pernah berkata,
“Aku tidak pernah melihat pembuat makanan seperti Shafiyyah. Dia selalu menghadiahi makanan kepada Rasulullah. Tanpa sadar aku pernah memecahkan tempat makanan yang dibawa Shafiyyah. Aku bertanya kepada Rasulullah apa yang dapat dijadikan sebagai tempat yang pecah itu. Rasulullab menjawab, ‘Tempat diganti dengan tempat dan makanan diganti dengan makanan.“ (HR. Bukhari)
Aisyah pernah berkata:
“Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, meminta izin kepada Rasulullah. Ketika itu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. merasa bahwa cara Halah meminta izin sama dengan cara Khadijah meminta izin, dan beliau merasa senang atas semua itu. Lalu beliau berkata, ‘Ya Allah, inilah Halah binti Khuwailid.’ Aku berkata, ‘Apa yang engkau sebut itu adalab seorang nenek dari nenek-nenek kaum Quraisy, yang kedua sudut mulutnya merah. Dia telah tua renta ditelan masa. Semoga Allah memberi untukmu pengganti yang lebih baik daripada dia.‘ Mendengar itu Rasulullah menjawab, ‘Allah tidak akan memberikan pengganti yang lebib baik darpada Khadijah. Dia telah beriman kepadaku ketika orang lain mengingkariku. Dia telah mempercayaiku ketika orang lain mendustakanku. Dia telah mendermakan harta bendanya untuk perjuanganku ketika orang lain menolak memberikan harta mereka. Allah telah memberkahiku dengan putra-putri lewat Khadijah ketika yang lain tidak memberiku anak.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Terdapat beberapa pendirian yang tegas dan pemecahan problema hukum yang penting, baik khusus yang berkaitan dengan wanita maupun secara umum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin secara umum. Diriwayatkan bahwa pada zaman dahulu seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya dengan sekehendak hati. Wanita itu akan kembali menjadi istrinya jika suaminya membujuk kembali dalam keadaan iddah, sekalipun dia telah menceraikannya seratus kali. Bahkan suami itu berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku akan menceraikanmu sehingga engkau menjadi jelas, dan aku tidak akan memberimu nafkah selamanya”. Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan. Dia menjawab, Aku menceraikanmu jika iddahmu hampir berakhir, dan jika engkau telah suci kembali, aku akan merujukmu kembali. Istrinya menemui Aisyah dan menceritakan masalah yang dihadapinya. Aisyah terdiarn hingga Rasulullah datang. Beliau pun diam tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut hingga turunlah ayat:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelab itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‘ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik….” (al-Baqarah: 229)
Dalam penetapan hukum pun, Aisyah kerap langsung menemui wanita-wanita yang melanggar syariat Islam. Suatu ketika dia mendengar bahwa kaum wanita dari Hamash di Syam mandi di tempat pemandian umum. Aisyah mendatangi mereka dan berkata,
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, ‘Perempuan yang menanggalkan pakaiannya di rumah selain rumah suaminya maka dia telah membuka tabir penutup antara dia dengan Tuhannya.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Aisyah pun pernah menyaksikan adanya perubahan pada pakaian yang dikenakan wanita-wanita Islam setelah Rasulullah wafat. Aisyah menentang perubahan tersebut seraya berkata, “Seandainya Rasulullah melihat apa yang terjadi pada wanita (masa kini), niscaya beliau akan melarang mereka memasuki masjid sebagaimana wanita Israel dilarang memasuki tempat ibadah mereka.”
Di dalam Thabaqat Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul-Mukminin Aisyah . Ketika itu Hafsyah mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang tebal.
F. Hadist yang Diriwayatkan Aisyah
Aisyah memiliki wawasan ilmu yang luas serta menguasai masalah-masalah keagamaan, baik yang dikaji dari Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi, maupun ilmi fikih. Tentang masalah ilmu-ilmu yang dimiliki Aisyah ini, di dalam Al-Mustadrak, al-Hakim mengatakan bahwa sepertiga dari hukum-hukum syariat dinukil dan Aisyah. Abu Musa al-Asya’ari berkata, “Setiap kali kami menemukan kesulitan, kami temukan kemudahannya pada Aisyah.” Para sahabat sering meminta pendapat jika menemukan masalah yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Aisyah pun sering mengoreksi ayat, hadits, dan hukum yang keliru diberlakukan untuk kemudian dijelaskan kembali maksud yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah perkataan yang diungkapkan oleh Abu Hurairah. Ketika itu Abu Hurairah merujuk hadits yang diriwayatkan oleh Fadhi ibnu Abbas bahwa barang siapa yang masih dalam keadaan junub pada terbit fajar, maka dia dilarang berpuasa. Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Aisyah, Aisyah menjawab, “Rasulullah pernah junub (pada waktu fajar) bukan karena mimpi, kemudian beliau meneruskan puasanya.” Setelah mengetahui hal itu, Abu Hurairah berkata, “Dia lebih mengetahui tentang keluarnya hadits tersebut.” Kamar Aisyah lebih banyak berfungsi scbagai sekolah, yang murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru untuk menuntut ilmu. Bagi murid yang bukan mahramnya, Aisyah senantiasa membentangkan kain hijab di antara mereka. Aisyah tidak pernah mempermudah hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya dari A1-Qur’an dan Sunnah.
Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau, sebagairnana perkataannya ini:
“Aku pernah melihat wahyu turun kepada Rasulullah pada suatu hari yang sangat dingin sehingga beliau tidak sadarkan diri, sementara keringat bercucuran dari dahi beliau.“ (HR. Bukhari)
Aisyah pun memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah jika menemukan sesuatu yang belum dia pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia memperoleh ilmu langsung dan Rasulullah sebagaimana ungkapannya ini:
“Aku bertanya kepada Rasulullah tentang ayat ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut….’ (QS. Al-Mu’minun: 60). Apakah yang dimaksud dengan ayat di atas adalah para peminum khamar dan pencuri?” Beliau menjawab, ‘Bukan, putri ash-Shiddiq! Mereka adalah orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, tetapi takut (amal mereka tidak diterima). Mereka menyegerakan diri dalam kebaikan, tetapi mendahului (menentukan sendiri) kebaikan tersebut.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Aisyah berkata lagi: “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang firman Allah: ‘Yauma tabdalul-ardhu ghairal-ardha was-samawati. Di manakah manusia berada, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Manusia berada di atas shirath.“ (HR. Muslim)
Aisyah termasuk wanita yang banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam, sehingga para ahli hadits menernpatkan dia pada urutan kelima dari para penghafal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. Aisyah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki siapa pun, yaitu meriwayatkan hadits yang langsung dia peroleh dan Rasulullah dan menghafalkannya di rumah. Karena itu, sering dia meriwayatkan hadits yang tidak pernah diriwayatkan oleh perawi hadits lain. Para sahabat penghafal hadits sering mengunjungi rurnah Aisyah untuk langsung memperoleh hadits Rasulullah karena kualitas kebenarannya sangat terjamin. Jika berselisih pendapat tentang suatu masalah, tidak segan-segan mereka meminta penyelesaian dari Aisyah. Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, anak saudara laki-laki Aisyah, mengatakan bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, Aisyah rnenjadi penasihat pemerintah hingga wafat.
Aisyah dikenal sebagai perawi hadits yang mengistinbath hukum sendiri ketika kejelasan hukumnya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits lain. Dalam hal ini, Abu Salamah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih mengetahui Sunnah Rasulullah, lebih benar pendapatnya jika dia berpendapat, lebih mengetahui bagaimana Al-Qur’an turun, serta lebih mengenal kewajibannya selain Aisyah.”
Suatu ketika Saad bin Hisyam menemui Aisyah, dan berkata, “Aku ingin bertanya tentang bagaimana pendapatmu jika aku tetap membujang selarnanya.” Aisyah menjawab, “Janganlah kau lakukan hal itu, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda tentang firman Allah: ‘Telah kami utus rasul-rasul sebelummu, dan Kami telah ciptakan bagi mereka istri-istri dan keturunan.’ Oleh karena itu, janganlah kamu membujang.” Urwah bin Zubeir, salah seorang murid Aisyah, sangat mengagumi keluarbiasaan penguasaan ilmu Aisyah. Dia berkata, “Aku berpikir tentang urusanmu. Sungguh aku mengagumimu. Menurutku engkau adalah manusia yang paling banyak mengetahui sesuatu.” Aisyah berkata, “Apa yang menyebabkanmu berpendapat seperti itu?” Dia menjawab, “Engkau adalah istri Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan putri Abu Bakar. Engkau mengetahui hari-hari, nasab, dan syair orang-orang Arab.” Dia berkata lagi, “Apa yang menyebabkan engkau dan ayahmu menjadi orang yang paling pandai dariipada seluruh orang Quraisy? Aku sangat mengagumi kepandaianmu tentang ilmu medis. Dari manakah engkau mendapatkan ilmu itu?” Aisyah menjawab, “Wahai Urwah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sering sakit, sehingga dokter-dokter Arab dan bukan Arab datang mengobati beliau. Dari merekalah aku belajar.”
Tentang penguasaan bahasa dan sastranya, kembali Urwah berkomentar, “Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih fasih dariipada Aisyah selain Rasulullah sendiri.” Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku telah mendengar khutbah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Alii bin Abi Thalib. Hingga saat ini aku belum pernah mendengar satu perkataan pun dari makhluk Tuhan yang lebih berisi dan baik daripada perkataan Aisyah.” Salah satu contoh kefasihannya dapat kita lihat dari kata-katanya pada kuburan ayahnya, Abu Bakar:
“Allah telah mengilaukan wajahmu, dan bersyukur atas kebaikan yang telah engkau perbuat. Engkau merendahkan dunia karena engkau berpaling darinya. Akan tetapi, untuk engkau adalah mulia, karena engkau selalu menghadap untuknya. Kalau peristiwa terbesar setelah Rasulullah wafat dan musibah terbesar adalah kematianmu, Kitab Allah rnenghibur dengan kesabaran dan menggantikan yang baik selainmu. Aku merasakan janji Allah yang telah ditetapkan bagirnu dan ikhlas atas kepergianmu. Dengan memohon dari-Nya gantimu dan aku berdoa untukmu. Kami hanyalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Bagimu salam sejahtera dan rahmat Allah.”
Dari Aisyah pun sering keluar kata-kata hikmah yang terkenal, seperti:
“Bagi Allah mutiara takwa. Takkan ada kesembuhan bagi orang yang di dalarn hatinya terbersit kemarahan. Pernikahan adalah perbudakan, maka seseorang hendaklah melihat kepada siapa dia mengabdikan putri kemuliaannya.”
G. Rasulullah Wafat dan Dikuburkan di Kamarnya
Bagi Aisyah, menetapnya Rasulullah selama sakit di kamarnya merupakan kehormatan yang sangat besar karena dia dapat merawat beliau hingga akhir hayat. Di bawah ini dia melukiskan detik-detik terakhir beliau menjelang wafat:
“Sungguh merupakan nikmat Allah bagiku, Rasulullab wafat di rurnahku pada hariku dan dalam dekapanku. Allah telah menyatukan ludahku dan ludah beliau menjelang wafat. Abdurrahman menemuiku, di tangannya tergenggam siwak, sementara aku menyandarkan beliau. Aku melihat beliau menoleh ke arah Abdurrahman, aku segera memahami bahwa beliau menyukai siwak. Aku berbisik kepada beliau, ‘Bolehkah aku haluskan siwak untukmu?’ beliau memberi isyarat dengan kepala, sepertinya mengisyaratkan ‘ya’. Kemudian beliau menyuruhku menghentikan menghaluskan siwak, sernentara di tangan beliau ada bejana berisi air. Beliau mernasukkan kedua belab tangan dan mengusapkannya ke wajah seraya berkata, ‘Laa ilaaha illahu… setiap kematian mengalami sekarat (beliau mengangkat tangannya)… pada Allah Yang Maha Tinggi. ‘Beliau menggenggam tangan dan perlahan-lahan tangan beliau jatuh ke bawab.“ (HR. Muttafaq Alaih)
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dikuburkan di kamar Aisyah, tepat di tempat beliau meninggal. Sementara itu, dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh ke kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada ayahnya, Abu Bakar berkata, “Jika yang engkau lihat itu benar, maka di rumahmu akan dikuburkan tiga orang yang paling mulia di muka bumi.” Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar berkata, “Beliau adalah orang yang paling mulia di antara ketiga bulanmu.” Ternyata Abu Bakar dan Umar dikubur di rumah Aisyah.
H. Setelah Rasulullah Wafat
Setelah Rasulullah wafat, Aisyah senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat, namun dia menghadapinya dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap takdir Allah, dan selalu berdiam diri di dalam rumah semata-mata untuk taat kepada Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berrnaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait, dan membersihkan kamu sebersih- bersihnya.” (QS. Al-Ahzab:33)
Rumah Aisyah senantiasa dikunjungi orang-orang dari segala penjuru untuk menimba ilmu atau untuk berziarah ke makam Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Ketika istri-istri Nabi hendak mengutus Utsman menghadap Khalifàh Abu Bakar untuk menanyakan harta warisan Nabi yang merupakan bagian mereka, Aisyah justru berkata, “Bukankah Rasulullah telah berkata, ‘Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Apa yang kami tinggalkan itu adalah sedekah.”
Semasa kekhalifahan Abu Bakar, kadar keilmuan Aisyah tidak begitu tampak di kalangan kaum muslimin, karena dengan jarak waktu wafatnya Rasulullah sangat dekat, juga karena kaum muslimin sedang disibukkan oleh perang Riddah (perang melawan kaum murtad). Setelah dua tahun tiga bulan dan sepuluh malam, khalifah pertama, Abu Bakar, meninggal dunia. Sebelum meninggal, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya agar menguburkannya di sisi Rasulullah. Aisyah melaksanakan perintah ayahnya, dan ketika Abu Bakar rneninggal, Aisyah menguburkan jenazahnya di sisi Nabi, kepalanya diletakkan pada sisi pundak Nabi.
Ilmu Aisyah mulai tampak pada masa kekhalifahan Umar, sehingga para sahabat besar senantiasa merujuk pendapat Aisyah jika mereka dihadapkan pada permasalahan- permasalahan yang berkenaan dengan kaum muslimin. Di dalam Thabaqat, dari Mahmud bin Luhaid, lbnu Saad berkata, “Para istri Nabi banyak rnenghafal hadits Nabi, namun hafalan Aisyah dan Ummu Salamah tidak ada yang dapat menandingi. Aisyah adalah penasihat kekhalifahan Umar dan Utsman hingga dia meninggal. Pada waktu itu, Umar sangat memperhatikan keadaan istri-istri Nabi. Tentang hal itu Aisyah berkata, ‘Umar bin Khaththab selalu memperhatikan keadaan kami dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia memiliki tempat kurma besar yang selalu diisi buah-buahan dan kemudian dikirimkan kepada istri-istrii Nabi Shallallahu alaihi wassalam.’ Begitu juga dengan Utsman bin Affan. Aisyah sangat menghormati Utsman karena kedudukannya sangat terhormat di hati Rasulullah. Utsman bin Affan memiliki kedermawanan dan rasa malu yang besar, sehingga Aisyah pernah berkata, ‘Nabi Shallallahu alaihi wassalam. sangat malu jika bertemu dengan Utsman. Jika Nabi bertemu dengannya, beliau akan duduk di sampingnya dan merapikan bajunya.’ Ketika Aisyah menanyakan hal itu, beliau menjawab, ‘Aku merasa malu kepada seseorang yang kepadanya malaikat sangat malu.”
Di dalam hadits Nabi, Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah berwasiat kepada Utsman agar jangan turun dari kekhalifahan jika belum terlaksana dengan sempurna. Beliau bersabda, “Wahai Utsman, sesungguhnya pada suatu hari nanti Allah akan mengangkatmu dalam urusan ini. Jika orang-orang munafik menginginkan agar engkau meninggalkan baju kebesaran yang Allah pakaikan kepadamu, janganlah engkau melepaskannya.” Beliau mengulang perkataan tersebut tiga kali. Ketika Utsman meninggal di tangan pemberontak, Aisyahlah yang pertama menuntut balas atas kematiannya.
Berkaitan dengan masalah permusuhan Aisyah dan Ali, terdapat hadits dari Aisyah sendiri yang menetralkan isu tersebut. Aisyah dan Ali memiliki kedudukan yang mulia dan terhormat, dan tentunya Aisyah tidak akan melupakan bahwa Ali adalah anak paman Rasulullah sekaligus sebagai suami dari putri Rasulullah. Aisyah pun tentu tidak akan melupakan kegigihan Ali dalam berjihad di jalan Allah dan menjadi orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Isu pertentangan Ali dan Aisyah tentu saja tidak beralasan karena Aisyah sangat meyakini kualitas ilmu dan sifat amanah Ali. Ketika Suraih bin Hani menanyakan kepada Aisyah tentang mengusap khuffain (penutup kepala) ketika berwudhu, maka Aisyah menjawab, “Datanglah kepada Ali, karena dia selalu bepergian (safar) bersama Rasulullah.”
Setelah Ali wafat, Aisyah senantiasa berada di rumah dan memberikan pelajaran hadits dan tafsir ayat Al-Qur’an. Aisyah tidak pernah rela membiarkan sepak terjang Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang banyak bertentangan dengan syariat Islam walaupun Mu’awiyah senantiasa berusaha menarik simpatik dan kerelaan Aisyah. Suatu saat, Mu’awiyah mengutus seseorang untuk meminta fatwa kepada Aisyah yang isinya, “Tuliskan untukku, dan jangan terlalu banyak!” Aisyah menjawab, “Salam sejahtera buatmu. Aku mendengar Rasululiah Shallallahu alaihi wassalam. bersabda, ‘Barang siapa yang mencari keridhaan Allah sementara manusia marah, niscaya Allah cukupkan baginya pemaafan manusia. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan kemurkaan Allah, niscaya Allah wakilkan masalah tersebut kepada manusia. Salam sejahtera untukmu.”
I. Wafatnya Aisyah
Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 hijriah, dan dikuburkan di Baqi’. Kehidupan Aisyah penuh kernuliaan, kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah, selalu beribadah, serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Bahkan dia sering memberikan anjuran untuk shalat malam kepada kaum muslimin. Dari Abdullah bin Qais, Imam Ahmad menceritakan, “Aisyah berkata, ‘Janganlah engkau tinggalkan shalat malam, karena sesungguhnya Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau sedang malas, beliau melakukannya sambil duduk.” Aisyah memiliki kebiasaan untuk memperpanjang shalat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Abdullah bin Abu Musa, “Mudrik atau Ibnu Mudrik mengutusku kepada Aisyah untuk menanyakan segala urusan. Aku tiba ketika dia sedang shalat dhuha, lalu aku duduk sampai dia selesai melaksanakan shalat. Mereka berkata, ‘Sabar-sabarlah kau menunggunya.” Aisyah pun senantiasa memperbanyak doa, sangat takut kepada Allah, dan banyak berpuasa sekalipun cuaca sedang sangat panas. Di dalam Musnad-nya, Ahmad berkata, “Abdurrahman bin Abu Bakar menemui Aisyah pada hari Arafah yang ketika itu sedang berpuasa sehingga air yang dia bawa disiramkan kepada Aisyah. Abdurrahman berkata, ‘Berbukalah.’ Aisyah menjawab, ‘Bagaimana aku akan berbuka sementara aku mendengar Rasulullah telah bersabda, ‘Sesungguhnya puasa pada hari Arafah akan menebus dosa-dosa tahun sebelumnya.”
Selain itu, Aisyah banyak mengeluarkan sedekah sehingga di dalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu dirham atau satu dinar pun. Nabi Shallallahu alaihi wassalam. pernah bersabda, “Berjaga dirilah engkau dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma.”
Di dalam riwayat lain dikatakan, “Aku didatangi oleh seorang ibu yang membawa dua orang putrinya. Dia meminta sesuatu dariku sedangkan aku tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepada mereka selain satu biji kurma. Aku memberikan kurma itu kepadanya, dan ibu itu membaginya kepada kedua anaknya. Dia berdiri kern udian pergi. Setelab itu Rasulullab masuk dan bersabda, ‘Barang siapa mengasuh anak-anak itu dan berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan rnenjadi penghalang baginya dari api neraka.“ (HR. Muttafaq Alaihi).
Ada juga riwayat lain yang membuktikan kedermawanan Aisyah. Urwah berkata, “Mu’awiyah memberikan uang sebanyak seratus ribu dirham kepada Aisyah. Demi Allah, sebelum matahari terbenam, Aisyah sudah membagi-bagikan sernuanya. Budaknya berkata, ‘Seandainya engkau belikan daging untuk kami dengan uang satu dirham.’ Aisyah menjawab, ‘Seandainya engkau katakan hal itu sebelum aku membagikan seluruh uang itu, niscaya akan aku lakukan hal itu untukmu.”
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Aisyah  dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh


HAFSHAH BINTI UMAR  (WAFAT USIA 47 TH )
Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Umar menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.
Jika kita menyebut nama Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung.
Nasab dan Masa Petumbuhannya
Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, “Muhammad bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun sebelum Nabi diutus menjadi Rasul.”
Sayyidah Hafshah Radhiyallahu ‘anha dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannya dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.
Memeluk Islam
Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu Umar mengetahui keislaman saudara perempuannya, Fathimah dan suaminya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya di rumah saudara perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dari dalam rumah, dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia menampar mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga terjadi, hati Umar tersentuh ketika meihat darah mengucur dari dahi adiknya, kemudian diambilnyalah Al Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi yang mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada Islam. Yang dimaksud Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin Khaththab.
Setelah kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia Islam serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun.
Menikah dan Hijrah ke Madinah
Keislaman Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini memotivasi para muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal mereka setelah sekian lama ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya. Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga mereka sangat berbahagia karena dilandasi keimanan dan ketakwaan.
Ketika Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah menemukan sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka sekaligus menjaga mereka dari penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.
Cobaan dan Ganjaran
Setelah kaum muslimin berada di Madinah dan Rasulullah berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba.
Peperangan pertama antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi hamba- hamba-Nya yang ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya.
Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan merninta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa, dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya.
Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegembiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menemui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.
Berada di Rumah Rasulullah
Di rumah Rasulullah, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zam’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang terhormat.
Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun mengetahui bahwa orang yang menyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan mencintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah menjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi, memang sangat manusiawi jika di antara mereka masih saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullah mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri – istrinya. Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah al-Qibtiyah datang rnenemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalam rumah Hafshah yang ketika itu sedang pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir kamar tidurnya tertutup, sementara Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah Hafshah meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah mengharamkan Mariyah baginya kalau Mariyah tidak meminta maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah merahasiakan kejadian tersebut.
Merupakan hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah, karena dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti Khadijah Radhiyallahu ‘anha. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menceraikan Hafshah, namun beberapa saat kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafshah, Umar, sangat resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya, terlebih karena tersebut Hafshah sangat menyesali perbuatannya dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Umar bin Khaththab mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah dan senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab meletakkan keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada tempat terpenting yang harus dilakukan oleh Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena memandang keberadaan Umar dan merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan suaminya. Allah menurunkan ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu yang tersebar.
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya bagimu,- kamu mencari kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dan sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberiitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang haik; dan selain dan itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda, dan yang perawan.” (Qs. At-Tahrim:1-5)
Cobaan Besar
Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar. “ (QS. Al-Ahzab)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.
Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menceraikan istri-istri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Umar bin Khaththab, sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis. Umar berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri beliau. Dan memang benar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.
Setelah genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau mengumumkan penyesalan mereka kepada kaum muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun barat.
Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslimin yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.
Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.
Pemilik Mushaf yang Pertama
Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul, Al-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.
Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah Radhiyallahu ‘anha dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber: buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.


ZAINAB BINTI KHUZAYMA (WAFAT 1H)
Dapat dikatakan bahwa pengetahuan kita tentang Zainab binti Khuzaimah r.a. sangatlah terbatas karena dia telah wafat ketika Rasulullah saw. masih hidup.
Zainab binti Khuzaimah adalah istri Rasulullah yang dikenal dengan kebaikan, kedermawanan, dan sifat santunnya terhadap orang miskin. Dia adalah istri Rasul kedua yang wafat setelah Khadijah r.a.. Untuk memuliakan dan mengagungkannya, Rasulullah mengurus mayat Zainab dengan tangan beliau sendiri.
A. Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah. Ibunya bemama Hindun binti Auf bin Harits bin Hamathah.
Berdasarkan asal-usul keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani. Tanggal lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang rnenyebutkan bahwa dia lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum memeluk Islam dia sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Saad bahwa Zainab binti Khuzaimali bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah adalah Ummul-Masakin. Gclar tersebut disandangnya sejak masa jahiliah. Ath-Thabary, dalam kitab As-Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil Mu’minin pun di terangkan bahwa Rasulullah saw. menikahinya sebelum beliau menikah dengan Maimunah r.a., dan ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan Ummul-Masakin sejak zaman jahiliah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa Zainab binti Khuzaimah terkenal dengan sifat kemurah-hatiannya, kedermawanannya, dan sifat santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia utamakan daripada kepada dirinya sendiri. Sifat tersebut sudah tertanarn dalam dirinya sejak memeluk Islam walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik, penyantun, dan penderma akan memperoleh pahala di sisi Allah.
B. Keislaman dan Pernikahannya
Zainab binti Khuzaimah r.a. termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang baik, menolak syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan jahiliah.
Para perawi berbeda pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia menikah dengan Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama Zainab adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib, yang kemudian menceraikannya. Dia menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada Perang Badar atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami keduanya adalah Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat yang paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak dapat melahirkan (mandul), Thufail menceraikannya ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk mernuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki Thufail) menikahi Zainab. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul-Muththalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam perang tersebut.
Setelah Ubaidah wafat, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga Rasulullah saw. menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin melindungi dan meringankan beban kehidupan yang dialaminya. Hati beliau menjadi luluh melihat Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal dengan kelemah- lembutannya terhadap orang-orang miskin. Scbagai Rasul yang membawa rahmat bagi alam semesta, beliau rela mendahulukan kepentingan kaum muslimin, termasuk kepentingan Zainab. Beiau senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orangorang miskin.
Meskipun Nabi saw. mengingkari beberapa nama atau julukan yang dikenal pada zaman jahiliah, tetapi beiau tidak mengingkari julukan “ummul-masakin” yang disandang oleh Zainab binti Khuzaimah.
Selain dikenal sebagai wanita yang welas asih, Zainab juga dikenal sebagai isteri Rasulullah saw. yang senang meringankan beban saudara-saudaranya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Atha bin Yasir yang mengisahkan, bahwa Zainab mempunyai seorang budak hitam dari Habasyah. Ia sangat menyayangi budak itu, hingga budak dari Habasyah itu tidak diperlakukan layaknya seorang budak, Zainab malah memperlakukan layaknya seorang kerabat dekat. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah menyatakan pujian kepada Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah r.a. dengan sabdanya, Ia benar-benar menjadi ibunda bagi orang-orang miskin, karena selalu memberikan makan dan bersedekah kepada mereka.
C. Menjadi Ummul-Mukminin
Tidak diketahui dengan pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah tangga Nabi saw., apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah saw. menikahinya karena kasih sayang terhadap umamya walaupun wajah Zainab tidak begitu cantik dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya. Tentang lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun banyak tendapat perbedaan. Salah satu pendapat mengatakan bahwa Zainab memasuki rumah tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain delapan bulan. Akan tetapi, yang pasti, prosesnya sangat singkat kanena Zainab meninggal semasa Rasulullah hidup. Di dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia relatif muda, kurang dari tiga puluh tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya. Allahu A’lam.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Zainab binti Khuzaimah r.a. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
(Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed. Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)

UMMU SALAMAH ( WAFAT 59 THN )
Ummu Salamah adalah seorang Ummul-Mukminin yang berkepribadian kuat, cantik, dan menawan, serta memiliki semangat jihad dan kesabaran dalam menghadapi cobaan, lebih-lebih setelah berpisah dengan suami dan anak-anaknya. Berkat kematangan berpikir dan ketepatan dalam mengambil keputusan, dia mendapatkan kedudukan mulia di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Di dalam sirah Ummahatul Mukminin dijelaskan tentang banyaknya sikap mulia dan peristiwa penting darinya yang dapat diteladani kaum muslimin, baik sikapnya sebagai istri yang selalu menjaga kehormatan keluarga maupun sebagai pejuang di jalan Allah.
Nama dan Nasabnya
Nama sebenarnya Ummu Salamah adalah Hindun binti Suhail, dikenal dengan nama Ummu Salamah. Beliau dibesarkan di lingkungan bangsawan dari Suku Quraisy. Ayahnya bernama Suhail bin Mughirah bin Makhzum. Di kalangan kaumnya, Suhail dikenal sebagai seorang dermawan sehingga dijuluki Dzadur-Rakib (penjamu para musafir) karena dia selalu menjamu setiap orang yang menyertainya dalam perjalanan. Dia adalah pemimpin kaumnya, terkaya, dan terbesar wibawanya. Ibu dari Ummu Salamah bernama Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Malik bin Jazimah bin Alqamah al-Kan’aniyah yang berasal dari Bani Faras.
Demikianlah, Hindun dibesarkan di dalam lingkungan bangsawan yang dihormati dan disegani. Kecantikannya meluluhkan setiap orang yang melihatnya dan kebaikan pribadinya telah tertanam sejak kecil.
Pernikahan dan Perjuangannya
Banyak pemuda Mekah yang ingin mempersunting Hindun, dan yang berhasil menikahinya adalah Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, seorang penunggang kuda terkenal dari pahlawan-pahlawan suku Bani Quraisy yang gagah berani. Ibunya bernama Barrah binti Abdul-Muththalib bin Hasyim, bibi Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Abdullah adalah saudara sesusuan Nabi dari Tsuwaibah, budak Abu Lahab. Mereka hidup bahagia, dan rumah tangga mereka diliputi kerukunan dan kesejahteraan.
Tidak lama setelah itu, dakwah Islam menarik hati mereka sehingga mereka memeluk Islam dan menjadi orang-orang pertama yang masuk Islam. Begitu pula dengan Hindun, dia tergolong orang-orang yang pertama masuk Islam, dan bersama suaminya memulai perjuangan dalam hidup mereka.
Orang-orang Quraisy selalu mengganggu dan menyiksa kaum muslimin agar mereka meninggalkan agama Islam dan kembali ke agama nenek moyang mereka. Melihat kondisi seperti itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengizinkan mereka untuk hijrah ke Habasyah, sehingga mereka disebut sebagai kaum muhajirin yang pertama. Mereka menetap di Habasyah, dan di sana Hindun melahirkan anak-anaknya: Zainab, Salamah, Umar, dan Durrah.
Setelah beberapa lama, mereka berniat kembali ke Mekah, terutama setelah mendengar keislaman dua tokoh penting Quraisy, Umar bin Khaththab dan Hamzah bin Abdul-Muththalib. Akan tetapi, ternyata penyiksaan masih terus berlangsung, bahkan bertambah dahsyat. Untuk menjaga kehormatan diri dan keluarganya, Abu Salamah meminta perlindungan dari Abu Thalib (paman Nabi) dari siksaan kaumnya, yaitu Bani Makhzum, dan Abu Thalib menyatakan perlindungannya.
Cobaan Datang
Karena orang-orang Quraisy masih saja menyiksa kaum muslimin, akhirnya Allah membuka hati penduduk Madinah untuk menerima Islam. Kemudian Rasulullah mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah ke sana, baik secara kelompok maupun perorangan. Abu Salamah, istri, dan anaknya (Salamah) hijrah ke sana. Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh kaum Bani Makhzum (kaumnya Ummu Salamah) yang kemudian merampas serta menyandera Ummu Salamah. Keluarga Abu Salamah (Bani Asad) ikut campur tangan dan mereka menolak menyerahkan Salamah, bahkan si anak dirampas dan dijauhkan dari ibunya. Sedangkan Bani Makhzum menculik Ummu Salamah dan dipenjara. Adapun Abu Salamah dibiarkan ke Yatsrib dengan hati penuh kesedihan karena harus berpisah dengan istri dan anaknya.
Keadaan demikian berjalan kurang lebih setahun lamanya. Ummu Salamah terus-menerus menangis karena kecewa atas perbuatan kaumnya, sehingga akhirnya ada seorang laki-laki dari kaumnya yang merasa iba dan membiarkan Ummu Salamah menyusul suaminya di Madinah. Adapun Bani Asad menyerahkan kembali putranya, Salamah, kepadanya. Akan tetapi, banyak rintangan yang harus dia hadapi, dan berkat keimanan dan keinginan yang kuat, dia mampu mengatasi semua itu dan tiba di Madinah.
Pesan Abu Salamah untuk Istrinya
Dalam membela Islam, peran Abu Salamah sangat besar. Dia dikenal berani dalam berperang. Rasulullah menghargainya dengan mengangkatnya sebagai wakil Rasulullah di Madinah ketika beliau pergi memimpin pasukan dalam perang Dzil Asyirah pada tahun kedua hijriah. Abu Salamah ikut dalam Perang Badar dan Uhud. Ketika dalam perang Uhud, Abu Salamah mengalami luka yang cukup parah dan nyaris meninggal, namun beberapa saat kemudian dia sembuh.
Setelah Perang Uhud, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menerima berita bahwa Bani Asad hendak menyerang kaum muslimin di Madinah. Sebelum mereka menyerang, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. berinisiatif mendahului mereka. Dalam misi ini, beliau menunjuk Abu Salamah untuk memimpin pasukan yang berjumlah seratus lima puluh orang dan di dalamnya terdapat Saad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, Amir bin Jarrah, dan yang lainnya. Pasukan diarahkan ke Bukit Quthn, tempat mata air Bani Asad. Kemenangan gemilang diraih oleh pasukan Abu Salamah, dan mereka kembali ke Madinah dengan membawa banyak harta rampasan perang. Di Madinah, luka-luka Abu Salamah kambuh sehingga dia harus beristirahat beberapa waktu. Ketika sakit, Rasulullah selalu menjenguk dan mendoakannya.
Ummu Salamah selalu mendampingi suaminya yang sedang dalam keadaan sakit sehingga dia merawat dan menjaganya siang dan malam. Suatu hari, demam Abu Salamah menghebat, kemudian Ummu Salamah berkata kepada suaminya, “Aku mendapat berita bahwa seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, kemudian suaminya masuk surga, istrinya pun akan masuk surga, jika setelah itu istrinya tidak menikah lagi, dan Allah akan mengumpulkan mereka nanti di surga. Demikian pula jika si istri yang meninggal, dan suaminya tidak menikah lagi sepeninggalnya. Untuk itu, mari kita berjanji bahwa engkau tidak akan menikah lagi sepeninggalku, dan aku berjanji untukmu untuk tidak menikah lagi sepeninggalmu.” Abu Salamah berkata, “Maukah engkau menaati perintahku?” Dia menjawab, “Adapun saya bermusyawarah hanya untuk taat.” Abu Salamah berkata, “Seandainya aku mati, maka menikahlah.” Lalu dia berdoa kepada Allah ”Ya Allah, kurniakanlah kepada Ummu Salamah sesudahku seseorang yang lebih baik dariku, yang tidak akan menyengsarakan dan menyakitinya.”
Pada detik-detik akhir hidupnya, RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu berada di samping Abu Salamah dan senantiasa memohon kesembuhannya kepada Allah. Akan tetapi, Allah berkehendak lain. Beberapa saat kemudian maut datang menjemput. Rasulullah menutupkan kedua mata Abu Salamah dengan tangannya yang mulia dan bertakbir sembilan kali. Di antara yang hadir ada yang berkata, “Ya Rasulullah, apakah engkau sedang dalam keadaan lupa?” Beliau menjawab, “Aku sama sekali tidak dalam keadaan lupa, sekalipun bertakbir untuknya seribu kali, dia berhak atas takbir itu.” Kemudian beliau menoleh kepada Ummu Salamah dan bersabda, “Barang siapa yang ditimpa suatu musibah, maka ucapkanlah sebagaimana yang telah dperintahkan oleh Allah, ‘Sesungguhnya kita milik Allah, dan kepada-Nyalah kita akan dikembalikan. Ya Allah, karuniakanlah bagiku dalam musibahku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya, maka Allah akan melaksanakannya untuknya.”
Setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdo’a: “Ya Allah, berilah ketabahan atas kesedihannya, hiburlah dia dari musibah yang menimpanya, dan berilah pengganti yang lebih baik untuknya.”
Abu Salamah wafat setelah berjuang menegakkan Islam, dan dia telah memperoleh kedudukan yang mulia di sisi Rasulullah. Sepeninggal Abu Salamah, Ummu Salamah diliputi rasa sedih. Dia menjadi janda dan ibu bagi anak-anak yatim.
Setelah wafatnya Abu Salamah, para pemuka dari kalangan sahabat bersegera meminang Ummu Salamah. Hal ini mereka lakukan sebagai tanda penghormatan terhadapat suaminya dan untuk melindungi diri Ummu Salamah. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab meminangnya, tetapi Ummu Salamah menolaknya.
Pada saat dirundung kesedihan atas suami yang benar-benar dicintainya serta belum mendapatkan orang yang lebih baik darinya, ia didatangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan maksud menghiburnya dan meringankan apa yang dialaminya. Rasulullah berkata kepadanya, “Mintalah kepada Allah agar Dia memberimu pahala pada musibahmu serta menggantikan untukmu (suami) yang lebih baik.” Ummu Salamah bertanya, “Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah, wahai Rasulullah?”
Di Rumah Rasulullah
Rasulullah mulai memikirkan perkara Ummu Salamah, seorang mukminah mujahidah yang memiliki kesabaran, dan Ummu Salamah pun telah menolak lamaran dua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar. Rasulullah pun berpikir dengan penuh pertimbangan dan kasih sayang untuk tidak membiarkannya larut dalam kesedihan dan kesendirian.
Dalam keadaan seperti itu Rasulullah mengutus Hathib bin Abi Balta’ah menemui Ummu Salamah dengan maksud meminangnya untuk beliau. Maka oleh Ummu Salamah diterimanya pinangan tersebut. Bagaimana mungkin baginya untuk tidak menerima pinangan dari orang yang lebih baik dari Abu Salamah, bahkan lebih baik dan semua orang di dunia.
Dengan perkawinan tersebut maka Ummu Salamah termasuk kalangan Ummahatul- Mukminin, dan oleh Rasulullah ia ditempatkan di kamar Zainab binti Khuzaimah yang digelari Ummul-Masakiin (ibu bagi orang-orang miskin) sampai Ummu Salamah meninggal dunia.
Hal itu diceritakan oleh Ummu Salamah kepada kami. Ia berkata, “Aku dipersunting oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, lalu aku dipindahkan dan ditempatkan di rumah Zainab (ummul- masakiin).”
Beberapa keistimewaan yang dimiliki Ummu Salamah adalah ketajaman logika, kematangan berpikir, dan keputusan yang benar atas banyak perkara. Karena itu, ia memiliki kedudukan yang agung di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti interaksinya dengan para Ummahatul-Mukminin yang merupakan interaksi yang diliputi rasa kasih sayang dan kelemah-lembutan.
Kedudukannya yang Agung
Di antara perkara yang menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah apa yang diceritakan Urwah bin Zubair; “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menyuruh Ummu Salamah melaksanakan shalat shubuh di Mekah pada hari penyembelihan (qurban) — padahal saat itu merupakan hari (giliran)nya. Oleh sebab itu, Rasulullah merasa senang atas kesetujuannya.”
Begitu juga hadits Ummi Kultsum binti Uqbah yang dimasukkan oleh Ibnu Sa’ad dalam (kitab) Thabaqat-nya. Ummi Kultsum berkata; “Tatkala Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menikahi Ummu Salamah, beliau berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya aku menghadiahkan untuk Raja Najasyi sejumlah bejana berisikan minyak wangi dan selimut. Akan tetapi, aku bermimpi bahwa Raja Najasyi itu telah meninggal dunia, kemudian hadiah yang kuberikan kepadanya dikembalikan kepadaku. Karena dikembalikan kepadaku, maka barang tersebut menjadi milikku.”
Sebagaimana yang dikatakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Raja Najasyi meninggal dunia, dan hadiah tersebut dikembalikan kepadanya. Lalu beliau memberikan kepada setiap istrinya masing-masing satu uqiyah (1/2 liter Mesir) dan beliau memberi (sisa) keseluruhannya serta selimut kepada Ummu Salamah.
Setelah Ummu Salamah menjadi istrinya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memasukkannya dalam kalangan ahlul-bait. Di antara riwayat tentang masalah tersebut adalah bahwasanya pernah pada suatu hari Rasulullah berada di sisi Ummu Salamah, dan anak perempuan Ummu Salamah ada di sana. Rasulullah kemudian didatangi anak perempuannya, Fathimah az-Zahra, disertai kedua anaknya, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma, lalu Rasullah memeluk Fathimah dan berkata, “Semoga rahmat Allah dan berkah-Nya tercurah pada kalian wahai ahlul-bait. Sesungguhnya Dia Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.”
Lalu menangislah Ummu Salamah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menanyakan tentang penyebab tangisnya itu. Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, engkau mengistimewakan mereka sedangkan aku dan anak perempuanku engkau tinggalkan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau dan anak perempuanmu termasuk keluargaku.”
Anak perempuan Ummu Salamah, Zainab, tumbuh dalam peliharaan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam ia termasuk di antara wanita yang memiliki ilmu yang luas pada masanya.
Sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam mempersunting Ummu Salamah, wahyu pernah turun kepada Rasulullah di kamar Aisyah, yang dengan hal itu Aisyah membanggakannya pada istri-stri beliau yang lain. Maka setelah Rasulullah menikahi Ummu Salamah, wahyu turun kepadanya ketika beliau berada di kamar Ummu Salamah.
Beberapa Sikap Cemerlang pada Masa Hidup Ummu Salamah.
Di antara sikap agungnya adalah apa yang ditunjukkannya pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam pada hari (perjanjian) Hudaibiyah. Pada waktu itu ia menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dalam perjalanannya menuju Mekah dengan tujuan menunaikan umrah, tetapi orang-orang musyrik mencegah mereka untuk memasuki Mekah, dan terjadilah Perjanjian Hudaibiyah antara kedua belah pihak.
Akan tetapi, sebagian besar kaum muslimin merasa dikhianati dan merasa bahwa orang-orang musyrik menyia-nyiakan sejumlah hak-hak kaum muslimin. Di antara mayoritas yang menaruh dendam itu adalah Umar bin al-Khaththab, yang berkata kepada Rasulullah dalam percakapannya dengan beliau, “Atas perkara apa kita serahkan nyawa di dalam agama kita?” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Saya adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyia-nyiakanku.”
Akan tetapi, tanda-tanda bahaya semakin memuncak setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyuruh kaum muslimin melaksanakan penyembelihan hewan qurban kemudian bercukur, tetapi tidak seorang pun dari mereka melaksanakannya. Beliau mengulang seruannya tiga kali tanpa ada sambutan.
Beliau menemui istrinya, Ummu Salamah, dan menceritakan kepadanya tentang sikap kaum muslimin. Ummu Salamah berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah engkau menginginkan perintah Allah ini dilaksanakan oleh kaum muslimin? Keluarlah engkau, kemudian janganlah mengajak bicara sepatah kata seorang pun dari mereka sampai engkau menyembelih qurbanmu serta memanggil tukang cukur yang mencukurmu.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kagum atas pendapatnya dan bangkit mengerjakan sebagaimana yang diusulkan Ummu Salamah. Tatkala kaum muslimin melihat Rasulullah mengerjakan hal itu tanpa berkata kepada mereka, mereka bangkit dan menyembelih serta sebagian dari mereka mulai mencukur kepala sebagian yang lain tanpa ada perasaan keluh kesah dan penyesalan atas tindakan Rasulullah yang mendahului mereka.
Ummu Salamah telah menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam di banyak peperangan, yaitu peperangan Khaibar, Pembebasan Mekah, pengepungan Tha’if, peperangan Hawazin, Tsaqif kemudian ikut bersama beliau di Haji Wada’.
Kita tidak melupakan sikapnya terhadap Umar bin al-Khaththab, tatkala Umar datang kepadanya dan mengajak bicara tentang perkara keperluan Ummahatul-Mukminin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam serta kekasaran mereka terhadap Rasulullah. Maka ia berkata, “Engkau ini aneh, wahai anak al-Khaththab. Engkau telah ikut campur di setiap perkara sehingga ingin mencampuri urusan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta istri-istrinya?”
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meninggal dunia ia senantiasa mengenang beliau dan sangat berduka cita atas kewafatannya. Beliau senantiasa banyak melakukan puasa dan beribadah, tidak kikir pada ilmu, serta meriwayatkan hadits yang berasal dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Telah diriwayatkannya sekian banyak hadits shahih yang bersumber dari Rasulullah dan suaminya, Abu Salamah, serta dari Fathimah az-Zahraa Sedangkan orang yang meriwayatkan darinya banyak sekali, di antara mereka adalah anak-anaknya dan para pemuka dan sahabat serta ahli hadits.
Di antara beberapa sikapnya yang nyata adalah pada hari pembebasan kota Mekah. Waktu itu Nabi keluar dari Madinah bersama bala tentaranya dengan kehebatan dan jumlah yang belum pernah disaksikan oleh bangsa Arab, sehingga orang-orang musyrik Quraisy merasa takut, dan mereka keluar dari rumah dengan maksud menemui Rasulullah untuk bertobat dan menyatakan keislaman mereka.
Termasuk dari mereka, Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul-Muththalib (anak paman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.) dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah (anak bibi [dari ayah] Rasulullah, saudara Ummu Salamah sebapak). Ketika mereka berdua meminta izin masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau enggan memberi izin masuk bagi keduanya disebabkan penyiksaan mereka yang keras terhadap kaum muslimin menjelang beliau hijrah dari Mekah.
Maka berkatalah Ummu Salamah kepada Rasulullah dengan perasaan iba terhadap keluarganya sendiri dan juga keluarga Rasulullah, “Wahai Rasulullah, mereka berdua adalah anak pamanmu dan anak bibimu (dan ayah) serta iparmu.” Rasulullah menjawab, “Tidak ada keperluan bagiku dengan mereka berdua. Adapun anak pamanku, aku telah diperlakukan olehnya dengan tidak baik. Adapun anak bibiku (dari ayah) serta iparku telah berkata di Mekah dengan apa yang ia katakan.”
Pernyataan itu telah sampai kepada Abu Sufyan, anak paman Rasulullah. Maka ia berkata, “Demi Allah, ia harus mengizinkanku atau aku mengambil anak ini dengan kedua tanganku -pada saat itu ia bersama anaknya, Ja’far- kemudian kami harus berkelana di dunia sehingga mati kehausan dan kelaparan.”
Lalu Ummu Salamah memberitahukan perkataan Abu Sufyan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. dengan kembali memohon rasa belas kasih. Akhirnya hati beliau menjadi luluh, lalu mengizinkan keduanya masuk. Maka masuklah keduanya dan menyatakan keislaman serta bertobat di hadapan Rasulullah.
Sikapnya terhadap Fitnah
Ummu Salamah selalu berada di rumahnya, senantiasa ikhlas beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menjaga Sunnah suaminya tercinta pada masa (khilafah) Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab.
Pada masa khilafah Utsman bin Affan ia melihat kegoncangan situasi serta perpecahan kaum muslimin di seputar khalifah. Bahaya fitnah semakin memuncak di langit kaum muslirnin. Maka ia pergi menemui Utsman dan menasihatinya supaya tetap berpegang teguh pada petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta petunjuk Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab, tidak menyimpang dan petunjuk tersebut selama-lamanya.
Apa yang dikhawatirkan Ummu Salamah terjadi juga, yaitu peristiwa terbunuhnya Utsman yang saat itu tengah membaca Al-Qur’an dan angin fitnah tengah bertiup kencang terhadap kaum muslimin. Pada saat itu Aisyah telah membulatkan tekad untuk keluar menuju Bashrah disertai Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin al-’Awwam dengan tujuan memobilisasi massa untuk melawan Ali bin Abi Thalib. Maka Ummu Salamah mengirim surat yang memiliki sastra indah kepada Aisyah.
“Dari Ummu Salamah, Istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, untuk Aisyah Ummul-Mu’ minin.
Sesungguhnya aku memuji Allah yang tidak ada ilah (Tuhan) melainkan Dia.
Amma ba’du.
Engkau sungguh telah merobek pembatas antara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan umatnya yang merupakan hijab yang telah ditetapkan keharamannya.
Sungguh Al-Qur’an telah memberimu kemuliaan, maka jangan engkau lepaskan. Dan Allah telah menahan suaramu, maka janganlah engkau mengeluarkannya Serta Allah telah tegaskan bagi umat ini seandainya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui bahwa kaum wanita memiliki kewajiban jihad (berperang) niscaya beliau berpesan kepadamu untuk menjaganya.
Tidakkah engkau tahu bahwasanya beliau melarangmu melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya tiang agama tidak bisa kokoh dengan campur tangan wanita apabila tiang itu telah miring, dan tidak bisa diperbaiki oleh wanita apabila telah hancur. Jihad wanita adalah tunduk kepada segala ketentuan, mengasuh anak, dan mencurahkan kasih sayangnya.”
Ummu Salamah berada di pihak Ali bin Abi Thalib karena beliau menggikuti kesepakatan kaum muslimin atas terpilihnya beliau sebagai khalifah mereka. Karena itu, Ummu Salamah mengirim/mengutus anaknya, Umar, untuk ikut berperang dalam barisan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu .
Saat Wafatnya
Pada tahun ke-59 hijriah, usia Ummu Salamah telah mencapai 84 tahun. Usia tua dan pikun merambah di pertambahan umurnya. Allah ta’ala mengangkat rohnya yang suci naik ke atas menuju hadirat-Nya. Ia meninggal dunia setelah hidup dengan aktivitas yang dipenuhi oleh pengorbanan, jihad, dan kesabaran di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Beliau dishalatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu a’nhu dan dikuburkan di al-Baqi’ di samping kuburan Ummahatul-Mukminin lainnya.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Ummu Salamah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah , Karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh

ZAINAB BINTI JAHSY  ( WAFAT 20 H )
Pernikahan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dengan Zainab binti Jahsy didasarkan pada perintah Allah sebagai jawaban terhadap tradisi jahiliah. Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang berasal dan kalangan kerabat sendiri. Zainab adalah anak perempuan dari bibi Rasulullah, Umaimah binti Abdul Muththalib. Beliau sangat mencintai Zainab.
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin Murrah bin Kabir bin Gham bin Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Rasulullah, namanya adalah Barrah, kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab setelah menikah dengan beliau. Ibu dari Zainab bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai. Zainab dilahirkan di Mekah dua puluh tahun sebelum kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Ri’ab. Dia tergolong pernimpin Quraisy yang dermawan dan berakhlak baik. Zainab yang cantik dibesarkan di tengah keluarga yang terhormat, sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy menyebutnya dengan perempuan Quraisy yang cantik.
Zainab termasuk wanita pertama yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati ayah dan keluarganya sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Ketika itu dia masih gadis walaupun usianya sudah layak menikah.
Pernikahannya dengan Zaid bin Haritsah
Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang memerintahkan Zainab dan Zaid melangsungkan pernikahan. Zainab berasal dan golongan terhormat, sedangkan Zaid bin Haritsah adalah budak Rasulullah yang sangat beliau sayangi, sehingga kaum muslimin menyebutnya sebagai orang kesayangan Rasulullah. Zaid berasal dari keluarga Arab yang kedua orang tuanya beragama Nasrani. Ketika masih kecil, dia berpisah dengan kedua orang tuanya karena diculik, kemudian dia dibeli oleh Hakam bin Hizam untuk bibinya, Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha, lalu dihadiahkannya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Ayah Zaid, Haritsah bin Syarahil, senantiasa mencarinya hingga dia mendengar bahwa Zaid berada di rumah Rasulullah. Ketika Rasulullah menyuruh Zaid memilih antara tetap bersama beliau atau kembali pada orang tua dan pamannya, Zaid berkata, “Aku tidak menginginkan mereka berdua, juga tidak menginginkan orang lain yang engkau pilihkan untukku. Engkau bagiku adalah ayah sekaligus paman.” Setelah itu, Rasulullah mengumumkan pembebasan Zaid dan pengangkatannya sebagai anak. Ketika Islam datang, Zaid adalah orang yang pertama kali memeluk Islam dari kalangan budak. Dia senantiasa berada di dekat Nabi, terutama setelah dia meninggalkan Mekah, sehingga beliau sangat mencintainya, bahkan beliau pernah bersabda tentang Zaid,
“Orang yang aku cintai adalah orang yang telah Allah dan aku beri nikmat. (HR. Ahmad)
Allah telah memberikan nikmat kepada Zaid dengan keislamannya dan Nabi telah memberinya nikmat dengan kebebasannya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan Zaid dengan Hamzah bin Abdul Muththalib. Dalam banyak peperangan, Zaid selalu bersama Rasulullah, dan tidak jarang pula dia ditunjuk untuk menjadi komandan pasukan. Tentang Zaid, Aisyah pernah berkata, “Rasulullah tidak mengirimkan Zaid ke medan perang kecuali selalu menjadikannya sebagai komandan pasukan, Seandainya dia tetap hidup, beliau pasti menjadikannya sebagai pengganti beliau.”
Masih banyak riwayat yang menerangkan kedudukan Zaid di sisi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Sesampainya di Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid bin Haritsah. Semula Zainab membenci Zaid dan menentang menikah dengannya, begitu juga dengan saudara laki-lakinya. Menurut mereka, bagaimana mungkin seorang gadis cantik dan terhormat menikah dengan seorang budak? Rasulullah menasihati mereka berdua dan menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga turunlah ayat kepada mereka:
“Dan tidaklah patut bagi laki -laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.“ (Q.S. Al-Ahzab: 36)
Akhirnya Zainab menikah dengan Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah, meskipun sebenarnya Zainab tidak menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ingin menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan dan amal perbuatan mereka yang baik. Pernikahan itu pun bertujuan untuk menghilangkan tradisi jahiliyah yang senang membanggakan diri dan keturunan. Akan tetapi, Zainab tetap tidak dapat menerima pernikahan tersebut karena ada perbedaan yang jauh di antara mereka berdua. Di depan Zaid, Zainab selalu membangga-banggakan dirinya sehingga menyakiti hati Zaid. Zaid menghadap Rasulullah untuk mengadukan perlakukan Zainab terhadap dirinya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid pun mengikuti nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu lagi hidup bersama Zainab.
Mendengar itu, beliau bersabda, “Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah kepada Allah.” Kemudian beliau mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan perintah Allah. Beberapa saat kemudian turunlah ayat, “Pertahankan terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” Zaid berusaha menenangkan diri dan bersabar, namun tingkah laku Zainab sudah tidak dapat dikendalikan, akhirnya terjadilah talak. Selanjutnya, Zainab dinikahi Rasulullah.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy adalah untuk menghapuskan tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliah. Artinya, Rasulullah ingin menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti halnya Zaid bin Haritsah yang sebelum turun ayat Al-Qur’an telah diangkat sebagai anak oleh beliau. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka,’ itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudara seagama dan maula-maulamu.” (QS. Al-Ahzab:5)
Karena itu, seseorang tidak berhak mengakui hubungan darah dan meminta hak waris dan orang tua angkat (bukan kandung). Karena itulah Rasulullah menikahi Zainab setelah bercerai dengan Zaid yang sudah dianggap oleh orang banyak sebagai anak Muhammad. Allah telah menurunkan wahyu agar Zaid menceraikan istrinya kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Pada mulanya Rasulullab tidak memperhatikan perintah tersebut, bahkan meminta Zaid mempertahankan istrinya. Allah memberikan peringatan sekali lagi dalam ayat:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, ‘Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah, ‘sedang kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah- lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak- anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.“ (QS. Al-Ahzab:37)
Ayat di atas merupakan perintah Allah agar Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menikahi Zainab dengan tujuan meluruskan pemahaman keliru tentang kedudukan anak angkat.
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang perintah Allah tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita tersebut, dan pesta pernikahan pun segera dilaksanakan serta dihadiri warga Madinah.
Zainab mulai memasuki rumah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah satu-satunya istri Nabi yang berasal dari kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta izin jika memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri lainnya beliau selalu meminta izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan kecemburuan di hati istri Rasul lainnya.
Orang-orang munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah bahwa Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang berbunyi,
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…. “ (Qs. Al-Ahzab: 40)
Zainab berkata kepada Nabi, “Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan yang terbaik di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah menikahkanku denganmu atas perintah dari langit, dan Jibril yang membawa perintah tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki hubungan kerabat dengan mereka seperti halnya denganku.” Zainab sangat mencintai Rasulullah dan merasakan hidupnya sangat bahagia. Akan tetapi, dia sangat pencemburu terhadap istri Rasul lainnya, sehingga Rasulullah pernah tidak tidur bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai hukuman atas perkataannya yang menyakitkan hati Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab wanita Yahudiyah itu.
Zainab bertangan terampil, menyamak kulit dan menjualnya, juga mengerjakan kerajinan sulaman, dan hasilnya diinfakkan di jalan Allah.
Wafatnya
Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau, yaitu pada tahun kedua puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalam usianya yang ke-53, dan dimakamkan di Baqi. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Zainab berkata menjelang ajalnya, “Aku telah menyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah satunya. Jika kalian dapat bersedekah dengan semua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang lain.” Semasa hidupnya, Zainab banyak mengeluarkan sedekah di jalan Allah.
Tentang Zainab, Aisyah berkata, “Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalam kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang keras.”
Semoga Allah memberikan kemuliaan kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di akhirat dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.

JUWAIRIYAH BINTI AL-HARITS BIN ABI DHIRAAR  ( WAFAT 56 TH )
Telah kita ketahui bahwa setiap istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam itu memiliki suatu kelebihan. Demikian juga halnya dengan Juwairiyah yang telah membawa berkah besar bagi kaumnya, Bani al-Musthaliq. Bagaimana tidak, setelah dia memeluk Islam, Bani al-Musthaliq mengikrarkan diri menjadi pengikut Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini pernah diungkapkan Aisyah, “Aku tidak mengetahui jika ada seorang wanita yang lebih banyak berkahnya terhadap kaumnya daripada Juwairiyah.”
Juwairiyah adalah putri seorang pemimpin Bani al-Musthaliq yang bernama al-Harits bin Abi Dhiraar yang sangat memusuhi Islam. Rasulullah memerangi mereka sehingga banyak kalangan mereka yang terbunuh dan wanita-wanitanya menjadi tawanan perang. Di antara tawanan tersebut terdapat Juwairiyah yang kemudian memeluk Islam, dan keislamannya itu merupakan awal kebaikan bagi kaumnya.
Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya
Juwairiyah dilahirkan empat belas tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Semula namanya adalah Burrah, yang kemudian diganti menjadi Juwairiyah. Nama lengkapnya adalah Juwairiyah binti al-Harits bin Abi Dhiraar bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin Musthaliq bin Khuzaah. Ayahnya, al-Harits, adalah pemimpin kaumnya yang masih musyrik dan menyembah berhala sehingga Juwairiyah dibesarkan dalam kondisi keluarga seperti itu. Tentunya dia memiliki sifat dan kehormatan sebagai keluarga seorang pemimpin. Dia adalah gadis cantik yang paling luas ilmunya dan paling baik budi pekertinya di antara kaumnya. Kemudian dia menikah dengan seorang pemuda yang bernama Musafi’ bin Shafwan.
Berada dalam Tawanan Rasulullah
Di bawah komando al-Harits bin Abi Dhiraar, orang-orang munafik berniat menghancurkan kaum muslimin. Al-Harits sudah mengetahui kekalahan orang-orang Quraisy yang berturut-turut oleh kaum muslimin. Al-Harits beranggapan, jika pasukannya berhasil mengalahkan kaum muslimin, mereka dapat menjadi penguasa suku-suku Arab setelah kekuasaan bangsa Quraisy. Al-Harits menghasut pengikutnya untuk memerangi Rasulullah dan kaum muslimin. Akan tetapi, kabar tentang persiapan penyerangan tersebut terdengar oleh Rasulullah, sehingga beliau berinisiatif untuk mendahului menyerang mereka. Dalam penyerangan tersebut, Aisyah Radhiyallahu ‘anha turut bersama Rasulullah, yang kemudian meriwayatkan pertemuan Rasulullah dengan Juwairiyah setelah dia menjadi tawanan. Perang antara pasukan kaum muslimin dengan Bani al-Musthaliq pun pecah, dan akhirnya dimenangkan oleh pasukan muslim. Pemimpin mereka, al-Harist, melarikan diri, dan putrinya, Juwairiyah, tertawan di tangan Tsabit bin Qais al-Anshari. Juwairiyah mendatangi Rasulullah dan mengadukan kehinaan dan kemalangan yang menimpanya, terutama tentang suaminya yang terbunuh dalam peperangan.
Tentang Juwairiyah, Aisyah mengemukakan cerita sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Saad dalam Thabaqatnya, “Rasulullah menawan wanita-wanita Bani Musthaliq, kemudian beliau menyisihkan seperlima dari antara mereka dan membagikannya kepada kaum muslimin. Bagi penunggang kuda mendapat dua bagian, dan lelaki yang lain mendapat satu bagian. Juwairiyah jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Samas al-Anshari. Sebelumnya, Juwairiyah menikah dengan anak pamannya, yaitu Musafi bin Shafwan bin Malik bin Juzaimah, yang tewas dalam pertempuran melawan kaum muslimin. Ketika Rasulullah tengah berkumpul denganku, Juwairiyah datang menanyakan tentang penjanjian pembebasannya. Aku sangat membencinya ketika dia menemui beliau. Kemudian dia benkata, ‘Ya Rasulullah, aku Juwairiyah binti al-Harits, pemimpin kaumnya. Sekarang ini aku tengah berada dalam kekuasaan Tsabit bin Qais. Dia membebaniku dengan sembilan keping emas, padahal aku sangat menginginkan kebebasanku.’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau menginginkan sesuatu yang lebih dari itu?’ Dia balik bertanya, ‘Apakah gerangan itu?’ Beliau menjawab, ‘Aku penuhi permintaanmu dalam membayar sembilan keping emas dan aku akan menikahimu.’ Dia menjawab, ‘Baiklah, ya Rasulullah!” Beliau bersabda, ‘Aku akan melaksanakannya.’ Lalu tersebarlah kabar itu, dan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Ipar-ipar Rasulullah tidak layak menjadi budak-budak.’ Mereka membebaskan tawanan Bani al-Musthaliq yang jumlahnya hingga seratus keluarga karena perkawinan Juwairiyah dengan Rasulullah. Aku tidak pernah menemukan seorang wanita yang lebih banyak memiliki berkah daripada Juwairiyah.”
Selain itu, Aisyah sangat memperhatikan kecantikan Juwairiyah, dan itulah di antaranya yang menyebabkan Rasulullah menawarkan untuk menikahinya. Aisyah sangat cemburu dengan keadaan seperti itu. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat baik kepada Juwairiyah bukan semata karena wajahnya yang cantik, melainkan karena rasa belas kasih beliau kepadanya. Juwairiyah adalah wanita yang ditinggal mati suaminya dan saat itu dia telah menjadi tawanan rampasan perang kaum muslimin.
Mendengar putrinya berada dalam tawanan kaum muslimin, al-Harits bin Abi Dhiraar mengumpulkan puluhan unta dan dibawanya ke Madinah untuk menebus putrinya. Sebelum sampai di Madinah dia berpendapat untuk tidak membawa seluruh untanya, namun dia hanya membawa dua ekor unta yang terbaik, yang kemudian dibawa ke al-Haqiq di bawah pengawasan para pengawalnya. Lalu dia pergi ke Madinah dan menemui Rasulullah di masjid. Terdapat dua riwayat yang menerangkan pertemuan al-Harits dengan Rasulullah. Dalam riwayat pertama, seperti yang diungkapkan Ibnu Saad dalam Thabaqat-nya, dikatakan bahwa Rasulullah menyerahkan keputusan kepada Juwairiyah.
Juwairiyah berkata, “Aku telah memilih Rasulullah ..” Ayahnya berkata, “Demi Allah, kau telah menghinakan kami.” Dalam riwayat kedua seperti yang disebutkan Ibnu Hisyam bahwa al-Harits menemui Rasulullah dan berkata, “Ya Muhammad, engkau telah menawan putriku. Ini adalah tebusan untuk kebebasannya.” Rasulullah menjawab, “Di manakah kedua unta yang engkau sembunyikan di al-Haqiq? Di tempat anu dan anu?” Al-Harits menjawab, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan engkau adalah utusanNya. Tiada yang mengetahui hal itu selain Allah.” Al-Harits memeluk Islam dan diikuti sebagian kaumnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminang Juwairiyah dengan mas kawin 400 dirham.
Berada di Rumah Rasulullah
Ketika Juwairiyah menikah dengan Rasulullah, beliau mengubah namanya, yang asalnya Burrah menjadi Juwairiyah, sebagaimana disebutkan dalam Thabaqat-nya Ibnu Saad, “Nama Juwairiyah binti al-Harits merupakan perubahan dari Burrah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggantinya menjadi Juwairiyah, karena khawatir disebut bahwa beliau keluar dari rumah burrah.”
Juwairiyah telah memeluk Islam dan keimanan di hatinya telah kuat. Semata-mata dia mengikhlaskan diri untuk Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Abbas banyak meriwayatkan shalat dan ibadahnya, di antaranya, “Ketika itu Rasulullah hendak melakukan shalat fajar dan keluar dari tempatnya. Setelah shalat fajar dan duduk hingga matahani meninggi, beliau pulang, sementara Juwairiyah tetap dalam shalatnya. Juwairiah berkata, ‘Aku tetap giat shalat setelahmu, ya Rasulullah.’ Nabi bersabda, ‘Aku akan mengatakan sebuah kalimat setelahmu. Jika engkau kerjakan, niscaya akan lebih berat dalam timbangan, ‘Maha Suci Allah, sebanyak yang Dia ciptakan. Maha Suci Allah Penghias Arsy-Nya. Maha Suci Allah, unsur seluruh kalimat-Nya.”
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia, Juwairiyah mengasingkan diri serta memperbanyak ibadah dan bersedekah di jalan Allah dengan harta yang diterimanya dari Baitul-Mal. Ketika terjadi fitnah besar berkaitan dengan Aisyah, dia banyak berdiam diri, tidak berpihak ke mana pun.
Saat Wafatnya
Juwairiyah wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, pada usianya yang keenam puluh. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah rela kepadanya dan kepada semua istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Semoga Allah memberikan kemuliaan kepadanya di akhirat dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin.
(Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh)

SHAFIYYAH BINTI HUYAY BIN AKHTAB ( WAFAT 50 H)
Nama dan Nasabnya
Nama lengkapnya adalah Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhum dari keturunan Harun bin Imran. Ibunya bernama Barrah binti Samaual dari Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa kenabian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Ayahnya adalah seorang pemimpin Bani Nadhir.
Sejak kecil dia menyukai ilmu pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan bangsanya. Dari kitab suci Taurat dia membaca bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah Arab yang akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya tercurah pada masalah kenabian tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di Mekah Dia sangat heran ketika kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut, padahal sudah jelas tertulis di dalam kitab mereka. Demikian juga ayahnya, Huyay bin Akhtab, yang sangat gigih menyulut permusuhan terhadap kaum muslimin.
Sifat dusta, tipu muslihat, dan pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam banyak peristiwa. Di antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay terhadap kaumnya sendiri, Yahudi Bani Quraizhah. Ketika itu, Huyay berjanji untuk mendukung dan memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan perjanjian tidak mengkhianati kaum muslimin (Perjanjian Hudaibiyah). Akan tetapi, ketika kaum Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan tanggung jawab dan tidak menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya terhadap orang-orang Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk menghasut kaum Quraisy agar memerangi kaum muslimin, dan mereka menyuruhnya mengakui bahwa agama mereka (Quraisy) lebih mulia daripada agama Muhammad, dan tuhan mereka lebih baik daripada tuhan Muhammad.
Masa Pernikahannya
Sayyidah Shafiyyah bin Huyay Radhiyallahu ‘anha telah dua kali menikah sebelum dengan Rasulullah. Suami pertamanya bernama Salam bin Musykam, salah seorang pemimpin Bani Quraizhah, namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Suami keduanya bernama Kinanah bin Rabi’ bin Abil Hafiq, yang juga salah seorang pemimpin Bani Quraizhah yang diusir Rasulullah dan kemudian menetap di Khaibar.
Penaklukan Khaibar dan Penawanannya
Perang Khandaq telah membuka tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka sepakati dengan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam segera menyadari ancaman yang akan menimpa kaum muslimin dengan berpindahnya kaum Yahudi ke Khaibar kemudian membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan menyerang kaum muslimin.
Setelah perjanjian Hudaibiyah disepakati untuk menghentikan permusuhan selama sepuluh tahun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam merencanakan penyerangan terhadap kaum Yahudi, tepatnya pada bulan Muharam tahun ketujuh hijriah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memimpin tentara Islam untuk menaklukkan Khaibar, benteng terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung dahsyat hingga beberapa hari lamanya, dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam. Benteng-benteng mereka berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta rampasan perang, dan kaum wanitanya pun menjadi tawanan perang. Di antara tawanan perang itu terdapat Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi yang ditinggal mati suaminya.
Bilal membawa Shafiyyah dan putri pamannya menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di sepanjang jalan yang dilaluinya terlihat mayat-mayat tentara kaumnya yang dibunuh. Hati Shafiyyah sangat sedih melihat keadaan itu, apalagi jika mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memahami kesedihan yang dialaminya, kemudian beliau bersabda kepada Bilal, “Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal, sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memilih Shafiyyah sebagai istri setelah terlebih dahulu menawarkan Islam kepadanya dan kemudian diterimanya.
Seperti telah dikaji di atas, Shafiyyah telah banyak memikirkan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sejak dia belum mengetahui kerasulan beliau. Keyakinannya bertambah besar setelah dia mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Anas Radhiayallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah ketika hendak menikahi Shafiyyah binti Huyay bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau ketahui tentang diriku?’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah mengharapkanmu sejak aku masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah memeluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa percayanya kepada Rasulullah dan rindunya terhadap Islam.
Bukti-bukti yang jelas tentang keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan sesuatu dalarn tidurnya kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya. Mengetahui takwil dan mimpi itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah sehingga berbekas di wajahnya. Rasulullah melihat bekas di wajah Shafiyyah dan bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib, kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku, Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang datang dari Madinah?’ Kemudian dia menampar wajahku.”
Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan dengannya. Pernikahan beliau dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan. Shafiyyah telah memilih Islam serta menikah dengan Rasulullah ketika beliau memberinya pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan beliau atau tetap dengan agamanya dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap bersama Nabi, Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang sangat membahayakan kaum muslimin, di samping itu, juga karena kecintaannya kepada Islam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya beliau terhadap istri-istri yang lain. Akan tetapi, istri-istri beliau menyambut kedatangan Shafiyyah dengan wajah sinis karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga karena kecantikannya yang menawan. Akibat sikap mereka, Rasulullah pernah tidak tidur dengan Zainab binti Jahsy karena kata-kata yang dia lontarkan tentang Shafiyyah. Aisyah bertutur tentang peristiwa tersebut, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara unta Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta tunggangan Shafiyyah sakit, maukah engkau memberikan salah satu dari untamu?’ Zainab menjawab, ‘Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’ Akhirnya, beliau meninggalkan Zainab pada bulan Dzulhijjah dan Muharam. Artinya, beliau tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan. Zainab berkata, ‘Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan tempat tidurku.” Aisyah mengatakan lagi, “Suatu siang aku melihat bayangan Rasulullah datang. Ketika itu Shafiyyah mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah tentang dirinya dan mengungkit-ungkit asal-usul dirinya. Betapa sedih perasannya. Lalu dia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis. Rasulullah menghiburnya, ‘Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih baik dariku, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.” Di dalam hadits riwayat Tirmidzi juga disebutkan, “Ketika Shafiyyah mendengar Hafshah berkata, ‘Perempuan Yahudi!’ dia menangis, kemudian Rasulullah menghampirinya dan berkata, ‘Mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Hafshah binti Umar mengejekku bahwa aku wanita Yahudiah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah nabi, dan kini engkau berada di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia banggakan kepadamu?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian berkata kepada Hafshah, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, Hafshah!”
Salah satu bukti cinta Shafiyyah kepada Nabi terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam Thabaqat-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang beliau wafat. Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau derita juga menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu sama lain. Melihat hal yang demikian, beliau berkata, “Berkumurlah!” Dengan terkejut mereka bertanya, “Dari apa?” Beliau menjawab, “Dari isyarat mata kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”
Setelah Rasulullah wafat, Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka selalu menganggapnya berasal dari Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap Islam dan mendukung perjuangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain itu, dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi’. Semoga Allah memberinya tempat yang lapang dan mulia di sisiNya. Amin.
Sumber: buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
UMMU HABIBA BINT SUFYAN (WAFAT 44 TH / 664 M )
Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat?
Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau menikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa: Nabi itu lebih utama daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang yang beriman.
Keistimewaan Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori pernentangan terhadap dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan.
Masa Kecil dan Nasab Pertumbuhannya
Ummu Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad Shalalahu ‘Alaihi Wasallam dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Unayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal memiliki kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan sangat cantik.
Pernikahan, Hijrah, dan Penderitaannya
Ketika usia Ramlah sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya, dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahirn ‘alaihissalam. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta berjanji untuk memerangi agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya telah menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti kaumnya yang membuat dan menyembah patung-patung. Di dalam hatinya terbesit keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim ‘alaihissalam.
Sementara itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru, yaitu agama Samawi yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada umumnya. Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama baru itu. Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya.
Mendengar misi Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy menyatakan perang terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Di antara mereka terdapat Ramlah dan suaminya, Ubaidillah bin Jahsy. Setelah beberapa lama mereka menanggung penderitaan berupa penganiayaan, pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus mendesak agar mereka kembali kepada agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah tengah mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah lahir yang kemudian diberi nama Habibah. Dari nama bayi inilah kemudian nama Ramlah berubah menjadi Ummu Habibah.
Selama mereka di Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin kuat dan jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali ke negeri asal mereka. Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di Habasyah. Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum muslimin. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah.
Beberapa tahun tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan akan cepat berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun kesedihan belum habis. Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah memiliki keyakinan bahwa kaum muslimin tidak akan pernah kuat. Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit demi sedikit hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.
Ummu Habibah mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan berkata, ‘Demi Allah, keadaannya telah berubah.’ Pagi harinya Ubaidillah berkata, ‘Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu baik bagimu?’ Kemudian aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat, namun dia tidak mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman keras sehingga merenggut nyawanya.”
Demikianlah, Ubaidillah keluar dari agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan hijrah ke Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan kampung halaman bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun berusaha mengajak istrinya untuk keluar dari Islam, namun usahanya sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam Islam dan mempertahankannya hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa terasing di tengah kaum muslimin karena merasa malu atas kemurtadan suaminya. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya, Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaum muslimin. Dalam keadaan seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak aman lagi baginya, sementara keluarga suaminya telah meninggalkan rumah mereka karena telah bergabung dengan Rasulullah. Akhirnya, dia kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita yang berkepanjangan dan menanti takdir dari Allah.

Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam selalu memantau keadaan umat Islam, tidak saja yang berada di Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah. Ketika memantau Habasyahlah beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan Ubaidillah dengan derita yang ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk dan berniat menikahinya.
Ummu Habibah menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, “Dalam tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan Ummul-Mukminin. Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku.” Dia melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis. Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah, seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu, ‘Rasulullah mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.” Aku menjawab, ‘Allah memberimu kabar gembira dengan membawa kebaikan.’ Dia berkata lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak mengawinkanmu’. Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki yang ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku karena kabar yang dibawanya.” Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersama Syarahbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.
Berita pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi Abu Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. …“ (QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.
Hidup bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah dengan membawa dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk kembali ke negeri mereka (Madinah) karena posisi kaum muslimin sudah kuat serta untuk meminang Ummu Habibah untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka mendengar berita kemenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar. Kegembiraan itu pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah kembali dari Habasyah. Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke dalam rumah, yang ketika itu bersamaan juga dengan pernikahan beliau dengan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khaibar yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi membebaskan dan menikahinya. Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu Habibah dengan hangat dan rasa hormat, berbeda dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah.
Perjalanan hidup Ummu Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak menimbulkan konflik antar istri atau mengundang amarah beliau. Selain itu, belum juga ada riwayat yang mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah yang menunjukkan rasa cemburu.
Posisi yang Sulit
Telah kita sebutkan di atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di antara istri-istri Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum musyrik ketika Ummu Habibah mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi kesulitan ketika harus menjelaskan keyakinan itu kepada orang tuanya.
Orang-orang Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di Hudaibiyah bersama Rasulullah. Mereka menyerang dan membantai Bani Qazaah yang telah terikat perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal itu, Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan dan keluarga Ummu Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum muslimin akan menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani Qazaah yang mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan yang dikenal dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai dengan Rasulullah.
Sesampainya di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi terlebih dahulu menemui Ummu Habibah dan berusaha memperalat putrinya itu untuk kepentingannya. Betapa terkejutnya Ummu Habibah ketika melihat ayahnya berada di dekatnya setelah sekian tahun tidak berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah. Di sinilah tampak keteguhan iman dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan menyadari keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak berbicara. Akhirnya Abu Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat itu, Ummu Habibah segera melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu Sufyan. Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata, “Apakah kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau menyingkirkannya dariku?” Ummu Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas duduk Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atasnya.” Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa usahanya untuk menggagalkan serangan kaum muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah menyadari apa yang akan terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim menyerbu Mekah yang di dalamnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat hanya Rasulullah. Dia mendoakan kaum muslimin agar memperoleh kemenangan.
Allah mengizinkan kaum muslimin untuk membebaskan Mekah. Rasulullah bersama ribuan tentara Islam memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan ribu tentara. Dia merasa bahwa telah tiba saatnya kaum muslimin membalas sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu Sufyan menerima ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya dengan kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah, meminta beliau menghormati Abu Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas kebesarannya. Abbas berkata, “Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang sangat suka disanjung.” Di sini tampaklah kepandaian dan kebijakan Rasulullah. Beliau menjawab, “Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan selamat.” Begitulah Rasulullah menghormati kebesaran seseorang, dan Allah telah memberi jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan Ummu Habibah dengan keislaman ayahnya.
Akhir sebuah Perjalanan
Setelah Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak berpihak kepada siapa pun. Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara hadits yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah berkata, “Sungguh aku tidakpernah meninggalkannya setelab aku mendengar dari Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.” (HR. Muslim)
Ummu Habibah wafat pada tahun ke-44 hijrah dalam usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi’ bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah memberinya kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh berkah. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh

MAIMUNAH BINTI AL-HARITS (WAFAT 50 H)
Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyah adalah istri Nabi yang sangat mencintai beliau dengan tulus selama mengarungi bahtera numah tangga bersama. Dialah satu-satunya wanita yang dengan ikhlas menyerahkan dirinya kepada kepada Rasulullah ketika keluarganya hidup dalam kebiasaan jahiliyah. Allah telah menurunkan ayat yang berhubungan dengan dirinya:
“.. dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukminin…” (QS. Al-Ahzab:50)
Ayat di atas merupakan kesaksian Allah terhadap ke ikhlasan Maimunah kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana mungkin Rasulullah menolak wanita yang dengan suka rela menyerahkan dirinya. Hal itu menunjukkan kadar ketakwaan dan keimanan Maimunah. Selain itu, wanita itu berasal dari keturunan yang baik. Kakak kandungnya, Ummul-Fadhal, adalah istri Abbas bin Abdul-Muththalib (paman Nabi) dan wanita yang pertama kali memeluk Islam setelah Khadijah. Saudara perempuan seibunya adalah Zainab binti Khuzaimah (istri Nabi Shallallahu alaihi wasallam.), Asma binti Umais (istri Ja’far bin Abu Thalib), dan Salma binti Umais (istri Hamzah bin Abdul-Muththalib).
Nasab, Masa Pertumbuhan, dan Pernikahan
Nama lengkap Maimunah adalah Barrah binti al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Hazm bin Rabiah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah. Ibunya bernama Hindun binti Aus bin Zubai bin Harits bin Hamathah bin Jarsy.
Dalam keluarganya, Maimunah termasuk dalam tiga bersaudara yang memeluk Islam. Ibnu Abbas meriwayatkan dari Rasulullah, “Al-Mu’minah adalah tiga bersaudara, yaitu Maimunah, Ummu-Fadhal, dan Asma’.” Maimunah dilahirkan enam tahun sebelum masa kenabian, sehingga dia mengetahui saat-saat orang-orang hijrah ke Madinah. Dia banyak terpengaruh oleh peristiwa hijrah tersebut, dan juga banyak dipengaruhi kakak perempuannya, Ummul-Fadhal, yang telah lebih dahulu memeluk Islam, namun dia menyembunyikan keislamannya karena merasa bahwa lingkungannya tidak mendukung.
Tentang suaminya, banyak riwayat yang memperselisihkannya, namun ada juga kesepakatan mereka tentang asal-usul suaminya yang berasal dan keluarga Abdul-Uzza (Abu Lahab). Sebagian besar riwayat mengatakan bahwa nama suaminya adalah Abu Rahm bin Abdul-Uzza, seorang muysrik yang mati dalam keadaan syirik. Suaminya meninggalkan Maimunah sebagai janda pada usia 26 tahun.

Kekokohan Iman
Setelah suaminya meninggal, dengan leluasa Maimunah dapat menyatakan keimanan dan kecintaannya kepada Rasulullah. Sehingga dengan suka rela dia menyerahkan dirinya kepada Rasulullah untuk dinikahi sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hisyam dalam Al-Ishabah-nya Ibnu Hajar dari referensi az-Zuhri.
Tentang penyerahan Maimunah kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam ini telah dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Ahzab:50. Maimunah tinggal bersama saudara perempuannya, Ummul Fadhal, istri Abbas bin Abdul Muththalib. Suatu ketika, kepada kakaknya, Maimunah menyatakan niat penyerahan dirinya kepada Rasulullah. Ummul-Fadhl menyampaikan berita itu kepada suaminya sehingga Abbas pun mengabarkannya kepada Rasulullah. Rasulullah mengutus seseorang kepada Abbas untuk meminang Maimunah. Betapa gembiranya perasaan Maimunah setelah mengetahui kesediaan Rasulullah menikahi dirinya.

Mimpi yang Menjadi Kenyataan
Pada tahun berikutnya, setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah bersama kaum muslimin memasuki Mekah untuk melaksanakan ibadah umrah. Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, Nabi diizinkan untuk menetap di sana selama riga hari, namun orang-orang Quraisy menolak permintaan Nabi dan kaum muslimin untuk berdiam di sana lebih dari tiga hari. Kesempatan itu digunakan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam Untuk melangsungkan pernikahan dengan Maimunah. Setelah pernikahan itu, beliau dan kaum muslimin meninggalkan Mekah.
Maimunah mulai memasuki kehidupan rumah tangga Rasulullah dan beliau menempatkannya di kamar tersendiri. Maimunah memperlakukan istri-istri beliau yang lain dengan baik dan penuh hormat dengan tujuan mendapatkan kerelaan hati beliau semata.
Tentang Maimunah, Aisyah menggambarkannya sebagai berikut. “Demi Allah, Maimunah adalah wanita yang baik kepada kami dan selalu menjaga silaturahmi di antara kami.” Dia dikenal dengan kezuhudannya, ketakwaannya, dan sikapnya yang selalu ingin mendekatkan diri kepada Allah. Riwayat-riwayat pun menceritakan penguasaan ilmunya yang luas.
Saat Wafatnya
Pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bertepatan dengan perjalanan kembali dari haji, di suatu tempat dekat Saraf, Maimunah merasa ajalnya menjelang tiba. Ketika itu dia berusia delapan puluh tahun, bertepatan dengan tahun ke-61 hijriah. Dia dimakamkan di tempat itu juga sebagaimana wasiat yang dia sampaikan. Menurut sebagian riwayat, dia adalah istri Nabi yang terakhir meninggal. Semoga Allah memberi tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Sumber: buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
Mariyah al-Qibtiyah (Wafat-16H/637 M)
Seorang wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir kepada Rasulullah tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang putra bernama Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan meninggal pada masa kekhalifahan Umar.
Seperti halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang kemudian beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah satu-satunya yang melahirkan seorang putra, Ibrahim, setelah Khadijah.
Dari Mesir ke Yastrib
Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agarna Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Rasulullah mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, menyeru raja agar memeluk Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib merasakan kesedihan hati Mariyah karena harus meninggalkan kampung halamannya. Hatib menghibur mereka dengan menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka pun menerima ajakan tersebut.
Rasulullah telah menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid.
Ibrahim bin Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah Radhiyallahu ‘anha. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.
Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim Alaihissalam. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan gembira.
Akan tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu semakin tampak bersamaan dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah mengharamkan Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah menegur lewat firman-Nya:
“Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS. At-Tahriim:1)
Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi kami.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”
Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali Radhiyallahu ‘anhu menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malam, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda,
“Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”
Demikianlah keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.
Saat Wafatnya
Setelah Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-16 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.
Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar