Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Jumat, 27 November 2015

FALSAFAH PUNAKAWAN



PUNAKAWA/PUNAKAWAN adalah suatu falsafah kehidupan yang diambil dari tokoh pewayangan yang bersifat samar,dimana tokoh ini hanya sebagai tambahan yang berfungsi menyemarakan dan hadir sebagai penghibur dalam pentas pewayangan yang bermaksud memberikan pesan-pesan nasehat yang mendalam dan sebagai penengah untuk meredam keangkara murkaan. 

PUNA (terminologi Jawa) artinya pemahaman tentang makna hakekat di balik kejadian/peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia.

KAWA  artinya  Teman yaitu sesuatu yang bisa menjadi suatu bentuk pemahaman dalam pencapaian hakekat kehidupan yang berada didalam/diluar dirinya,baik manusia lain,hewan,tumbuhan dan semua makhluk dialam semesta. 

Punakawa menggambarkan cipta,rasa dan karsa dari manusia itu sendiri yang meliputi dua sisi kehidupan antara baik dan buruk

Karna itu Punakawa dapat pula diartikan sebagai suatu sosok pribadi  seorang yang bisa menjadi pamong/pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan dalam berfikir, ketajaman bathin,memiliki wawasan luas, sikapnya arif dan bijaksana,ucapannya dapat dipercaya, antara pemikiran,perkataan,niat dan tindakannya sama, tidaklah bertentangan.

Dalam sisi lain Punakawa dapat pula diartikan sebagai suatu sosok pribadi yang penuh dengan sifat keangkara murkaan,angkuh,sombong,dan segala perbuatan buruk.
Dalam cerita pewayangan Jawa, punakawa tersebut dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing memiliki peranan yang sama sebagai penasehat spiritual dan politik, namun masing-masing mengasuh tokoh yang karakternya saling kontradiksi. 


1.Kelompok  Semar Badranaya

Kelompok ini terdiri Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong dan Cepot (wayang golek sunda). Mereka menggambarkan kelompok punakawa yang jujur, sederhana, tulus, berbuat sesuatu tanpa pamrih, tetapi memiliki pengetahuan yang sangat luas, cerdik, dan mata bathinnya sangat tajam. Semar, memiliki hati yang “nyegoro” atau seluas samudra serta kewaskitaan dan kapramanan-nya sedalam samudra. Hanya satria sejati yang akan menjadi asuhan Semar. Semar hakekatnya sebagai manusia setengah dewa, yang bertugas mendidik para kesatria sejati. 

Semar disebut pula Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya, karena eksistensinya yang teramat misterius sebagai putra Sang Hyang Tunggal umpama dewa mangejawantah. Sedangkan julukan Ismaya artinya tidak wujud secara wadag/fisik, tetapi yang ada dalam keadaan samar/semar. Dalam uthak-athik-gathuk secara Jawa, Semar dapat diartikan guru sejati (sukma sejati), yang ada dalam jati diri kita. Guru sejati merupakan hakekat Zat tertinggi yang terdapat dalam badan kita.

Maka bukanlah hal yang mustahil bila hakekat guru sejati yang disimbolkan dalam wujud Semar, memiliki kemampuan sabda pendita ratu, ludahnya adalah ludah api (idu geni). Apa yang diucap guru sejati menjadi sangat bertuah, karena ucapannya adalah kehendak Tuhan. Para kesatria yang diasuh oleh Semar sangat beruntung karena negaranya akan menjadi adil, makmur, gamah ripah, murah sandang pangan, tenteram, selalu terhindar dari musibah.

Kelompok punakawa ini bertugas Menemani (mengabdi) para tuannya yang memiliki karakter luhur budi pekertinya. Tugas punakawa adalah sebagai “pembantu” atau abdi sekaligus “pembimbing”. Tugasnya berlangsung dari masa ke masa. 
Dalam cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual, kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama, penghibur di kala susah. Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon  atau saran, usulan dan kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan kalimat. Namun di dalamnya selalu terkandung makna yang tersirat berbagai saran dan usulan, dan sebagai pepeling akan sikap selalu eling dan waspadha yang harus dijalankan secara teguh.
Pada intinya,Semar  bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya untuk selalu melakukan kebaikan atau kareping rahsa (nafsu al mutmainah). Dalam terminologi Islam barangkali sepadan dengan istilah amr ma’ruf.
Adapun watak kesatria adalah: halus, luhur budi pekerti, sabar, tulus, gemar menolong, siaga dan waspada, serta bijaksana.


2.Kelompok  Togog 

Kelompok ini terdiri tiga personil yakni:  Togog,Sarawita dan Mbilung. Punakawa ini bertugas menemani Tuan-nya yang berkarakter angkaramurka yakni para Ratu Sabrang.
Misalnya Prabu Baladewa di negeri Mandura, Prabu Basukarna di negeri Ngawangga, Prabu Dasamuka (Rahwana) di negeri Ngalengka, Prabu Niwatakawaca di negeri Iman-Imantaka dan beberapa kesatria dari negara Sabrangan yang berujud (berkarakter) raksasa, pemarah, bodoh, namun setia dalam prinsip. Lurah Togog disebut pula Lurah Tejamantri.  Togog  secara garis besar bertugas mencegah asuhannya yang angkaramurka, untuk selalu eling dan waspadha, meninggalkan segala sifat buruk, dan semua nafsu negatif. 

Beberapa tugas mereka antara lain:

1. Mereka bersuara lantang untuk selalu memberikan koreksi, kritikan dan saran secara kontinyu kepada bendhara-nya.

2. Memberikan pepeling kepada Tuannya agar selalu eling dan waspadha jangan menuruti kehendak nafsu jasadnya (rahsaning karep).

Gambaran tersebut sesungguhnya memproyeksikan pula karakter dalam diri manusia (jagad alit). Sebagaimana digambarkan bahwa kedua kesatria di atas memiliki karakter yang berbeda dan saling kontradiksi. Maknanya, dalam jagad kecil (jati diri manusia) terdapat dua sifat yang melekat, yakni di satu sisi sifat-sifat kebaikan yang memancar dari dalam cahyo sejati (nurulah) merasuk ke dalam sukma sejati (ruhulah). Dan di sisi lain terdapat sifat-sifat buruk yang berada di dalam jasad atau ragawi. Kesatria yang berkarakter baik diwakili oleh kelompok Pendawa Lima beserta para leluhurnya. Sedangkan kesatria yang berkarakter buruk diwakili oleh kelompok Kurawa 100. walaupun keduanya masing-masing sudah memiliki penasehat punakawa, namun tetap saja terjadi peperangan di antara dua kelompok kesatria tersebut. Hal itu menggambarkan betapa berat pergolakan yang terjadi dalam jagad alit manusia, antara nafsu negatif dengan nafsu positif. Sehingga dalam cerita pewayangan digambarkan dengan perang Brontoyudho antara kesatria momongan Semar dengan kesatria momongan Togog. Antara Pendawa melawan Kurawa 100. Antara nafsu positif melawan nafsu negatif. Medan perang dilakukan di tengah Padhang Kurusetra, yang tidak lain menggambarkan hati manusia.


Makna di Balik Simbol Punakawa


1. Semar (simbol ketentraman dan keselamatan hidup)

Semar sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar digunakan untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini Semar tiada lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata, tapi jika melihat tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi ragu.  Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya manusia Jawa. Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir kembali setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran kepada momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya kembali, yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para satria momongannya  Semar ibarat menjadi jimat; mung siji tur dirumat. 
Selain menjadi penasehat, punakawa akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala para satria momongannya dalam keadaan bahaya.

Dalam cerita pewayangan Semar jumeneng sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka  Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan.  Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. 

Semar menggambarkan figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari perbuatan angkaramurka. 

Semar juga dijuluki Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan.

Dan seorang figur yang memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam sikap watak santun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan. 

Dalam khasanah spiritual Jawa, khususnya mengenai konsep manunggaling kawula Gusti, Semar dapat menjadi personifikasi hakekat guru sejati setiap manusia. Semar adalah samar-samar, sebagai perlambang guru sejati atau sukma sejati wujudnya samar bukan wujud nyata atau wadag, dan tak kasad mata. Sedangkan Pendawa Lima adalah personifikasi jasad/badan yang di dalamnya terdapat panca indera. Karena sifat jasad/badan cenderung lengah dan lemah, maka sebaik apapun jasad seorang satria, tetap saja harus diasuh dan diawasi oleh sang guru sejati agar senantiasa eling dan waspadha. Agar supaya jasad/badan memiliki keteguhan pada ajaran kebaikan sang guru sejati. Guru sejati merupakan pengendali seseorang agar tetap dalam “laku” yang tepat, pener dan berada pada koridor bebener. Siapa yang ditinggalkan oleh pamomong Semar beserta Gareng, Petruk, Bagong, ia akan celaka, jika satria maka di negerinya akan mendapatkan banyak malapetaka seperti : musibah, bencana, wabah penyakit (pageblug), paceklik. 

Semua itu sebagai bebendu karena manusia (satria) yang ditinggalkan guru sejati-nya telah keluar dari jalur bebener. 
Jika ditinjau dari perspektif politik, kelompok Punakawa Semar dan anak-anaknya Gareng, Petruk, Bagong sebagai lambang dari lembaga aspirasi rakyat yang mengemban amanat penderitaan rakyat. Atau semacam lembaga legislatif. Sehingga kelompok punakawan ini bertugas sebagai penyambung lidah rakyat, melakukan kritikan, nasehat, dan usulan. Berkewajiban sebagai pengontrol, pengawas, pembimbing jalannya pemerintahan di bawah para Satria asuhannya yakni Pendhawa Lima sebagai lambang badan eksekutif atau lembaga pemerintah. Dengan gambaran ini, sebenarnya dalam tradisi Jawa sejak masa lampau telah dikenal sistem politik yang demokratis. 


2. Nala Gareng 

Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang “laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad. Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu tekad bulat yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan hanya untuk netepi kodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita, kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala Gareng merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:

-Mata Juling:
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.

-Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.

-Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit : 
Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. 

-Mulut Gareng : 
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.


3. Petruk Kanthong Bolong

Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena  Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat  Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan.

Petruk Kanthong Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak samudra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel. 

Dawala, juga menggambarkan adanya pertalian batin antara para leluhurnya di kahyangan (alam kelanggengan) dengan anak turunnya, yakni  Petruk yang masih hidup di mercapada. Lurah Petruk selalu mendapatkan bimbingan dan tuntunan dari para leluhurnya, sehingga  Petruk memiliki kewaskitaan mumpuni dan mampu menjadi abdi dalem (pembantu) sekaligus penasehat para kesatria. 

Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua anggota Punakawa membantu para kesatria Pandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.


4. Bagong

Bagong adalah anak ketiga Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk mengasuh para kesatria yang baik, Semar memohon didampingi seorang teman. Permohonan Semar dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman tersebut diambil dari bayangan Semar sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa bayangan Semar, maka diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika menghadapi situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah Bagong seperti orang dungu. Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh, selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati para kesatria. Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan. 

Dalam pagelaran wayang kulit, kelompok punakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong selalu mendapatkan tempat di hati para pemirsa. Punakawa tampil pada puncak acara yang ditunggu-tunggu pemirsa yakni goro-goro, yang menampilkan berbagai adegan dagelan, anekdot, satire, penuh tawa yang berguna sebagai sarana kritik membangun sambil bercengkerama (guyon parikena). 

Punakawa menyampaikan kritik, saran, nasehat, maupun menghibur para kesatria yang menjadi asuhan sekaligus majikannya. Suara punakawan adalah suara rakyat jelata sebagai amanat penderitaan rakyat, sekaligus sebagai “suara” Tuhan menyampaikan kebenaran, pandangan dan prinsip hidup yang polos, lugu namun terkadang menampilkan falsafah yang tampak sepele namun memiliki esensi yang sangat luhur. Itulah sepak “terjang punakawa” bala tengen yang suara hatinuraninya selalu didengar dan dipatuhi oleh para kesatria asuhan sekaligus majikannya. 

5.Togog

Dalam cerita wayang sebagaimana kisah-kisah dalam legenda lainnya, terdapat kelompok antagonis. Dalam cerita wayang tokoh-tokoh antagonis berasal dari negri seberang atau Sabrangan. Punakawan Togog atau Tejamantri, Sarawita dan Mbilung merupakan punakawan kontroversif yang selalu membimbing tokoh pembesar antagonis, para “ksatria” angkara murka, hingga para pimpinan raksasa jahat. Sebut saja misalnya Prabu Dasamuka, Prabu Niwatakawaca, Prabu Susarma, hingga para kesatria dur angkara dari Mandura seperti Raden Kangsa dan seterusnya. Pada intinya  Togog  selalu berada di pihak tokoh antagonis, sehingga disebut sebagai bala kiwa. Namun demikian bukan berarti kelompok punakawa  ini memiliki karakter buruk.

Ciri fisik Togog  memiliki mulut yang lebar. Artinya mereka selalu berkoar menyuarakan kebaikan, peringatan (pepeling) kepada majikannya agar tetap waspada dan eling, menjadi manusia jangan berlebihan. Ngono ya ngono ning aja ngono. Manusia harus mengerti batas-batas perikemanusiaan. Sekalipun akan mengalahkan lawan atau musuhnya tetap harus berpegang pada etika seorang kesatria yang harus gentle, tidak pengecut, dan tidak memenangkan perkelahian dengan jalan yang licik. 

Sekalipun menang tidak boleh menghina dan mempermalukan lawannya (menang tanpa ngasorake). Itulah ajaran  Togog  yang sering kali diminta nasehat dan saran oleh para majikannya. Namun toh akhirnya setiap nasehat, saran, masukan, aspirasi yang disampaikan  Togog  tetap saja tidak pernah digubris oleh majikannya mereka tetap setia. 

Togog , walaupun menjabat posisi sentral sebagai penasehat, pengasuh dan pembimbing, yang selalu bermulut lantang menyuarakan pepeling, seolah peran mereka hanya sebagai obyek pelengkap penderita. Walaupun Togog  selalu gagal mengasuh majikannya para kesatria dur angkara, hingga sering berpindah majikan untuk bersuara lantang mencegah kejahatan. Bukan berarti mereka tidak setia. Sebaliknya dalam hal kesetiaan sebagai kelompok penegak kebenaran, Togog patut menjadi teladan baik. Karena sekalipun sering dimaki, dibentak dan terkena amarah majikannya,  Togog  tidak mau berkhianat.

Sekalipun selalu gagal memberi kritik dan saran kepada majikannya, mereka tetap teguh dalam perjuangan menegakkan keadilan. Dan lagi-lagi, mereka selalu dimintai saran dan kritikan, namun serta-merta diingkari pula oleh majikan-majikan barunya. Itulah nasib Togog, yang mengisyaratkan nasib rakyat kecil yang selalu mengutarakan aspirasi dan amanat penderitaan rakyat namun tidak memiliki bargaining power. Ibarat menyirami gurun, seberapapun nasehat dan kritikan telah disiramkan di hati para “pemimpin” angkaramurka, tak akan pernah membekas dalam watak para majikannya.


6.Cepot / Sastrajingga

Aktor cepot diambil dari wayang golek sunda yang sering bertingkah bodor/humor  walaupun begitu lewat humornya dia tetap memberi nasehat petuah dan kritik.
Lakonnya biasanya dikeluarkan oleh dalang di tengah kisah. Selalu menemani para ksatria, terutama Arjuna, Ksatria Madukara yang jadi majikannya. Cepot digunakan dalang untuk menyampaikan pesan-pesan bebas bagi pemirsa dan penonton baik itu nasihat, kritik maupun petuah dan sindiran yang tentu saja disampaikan sambil guyon.

Dalam berkelahi atau perang, Sastrajingga biasa ikut dengan bersenjata bedog alias golok. Dalam pengembangannya Cepot juga punya senjata panah. Para denawa (raksasa/buta) biasa jadi lawannya.

Sastra adalah tulisan. Jingga adalah merah. Si Cepot adalah gambaran tokoh wayang yang mempunyai kelakuan buruk,cepat marah ibarat seorang siswa yang mempunyai rapot merah. Karna itu wajah dan tubuhnya berwarna merah yang menggambarkan nafsu amarah. Namun demikian ia sangat setia mengikuti Semar kemana saja dia pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar