Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Jumat, 27 November 2015

MAKNA GALUH DAN CIAMISMAKNA GALUH DAN CIAMIS

MAKNA GALUH DAN CIAMIS
Pengembalian Nama Galuh dari Perpektif Sosial Budaya+
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra*)


w Galuh
            Kata ”galuh” memiliki beberapa arti dan makna. Kata ”galuh” dipahami secara umum berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti permata. Dalam kehidupan kerajaan di Indonesia, khususnya di Jawa, sebutan “Galuh” biasa ditujukan pada pada putri raja yang masih lajang, tetapi sudah turut dalam pemerintahan.
            Dalam budaya masyarakat Galuh (Sunda), makna kata ”galuh” identik dengan ”galeuh”, bagian tengah (inti) pohon/kayu berwarna kehitam-hitaman dan keras, bukan galeuh yang berarti beli. Kata ”galuh” juga dipahami identik dengan “galih” (qolbu), sehingga ada ungkapan dalam bahasa Sunda, ”Galuh galeuhna galih” (“Galuh intinya hati” atau “inti hati adalah galuh”). Ungkapan itu menunjukkan bahwa kata ”galuh” memiliki makna filosofis yang dalam.
            W.J. van der Meulen S.J. dalam bukunya berjudul Indonesia di Ambang Sejarah (1988), menyatakan kata ”galuh” berasal dari kata “saka lo” (bahasa Tagalog) yang berarti “dari sungai asalnya” = air. Kata itu berubah menjadi “segaluh/sagaluh”.

w Ciamis
            Secara etimologis (bahasa Sunda), “ciamis” berasal dari kata “ci” yang berarti air dan “amis” yang berarti manis. Dalam konteks kesejarahan Galuh, sebutan “Ciamis” bukan baru muncul pada peristiwa perubahan nama Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis (diudangkan dalamStaatsblad tahun 1915). Sebutan “Ciamis” yang ditujukan pada tempat/daerah sudah muncul jauh sebelumnya.
            Menurut sumber-sumber tradisi, sebutan “amis” dalam kata “ciamis” yang ditujukan pada tempat/daerah (Galuh), bukan “amis” dalam arti “manis”, melainkan “amis” dalam bahasa Jawa yang berarti “anyir”. Hal itu berkaitan dengan peristiwa penyerangan pasukan Mataram ke pussat Kerajaan Galuh (akhir abad ke-16). Peristiwa itu mengakibatkan “banjir darah” di daerah Galuh. “Banjir darah” yang terhebat terjadi di Ciancang (1739), sehingga peristiwa itu disebut “Bedah Ciancang”. Kata “amis” yang berarti “anyir” dilontarkan oleh pejabat Mataram yang mengontrol ke daerah pusat Kerajaan Galuh dan ditujukan pada bau darah manusia. Berarti sebutan “ciamis” yang dilontarkan oleh pihak Mataram adalah cemoohan atau hinaan.
            Informasi itu beralasan untuk dipercaya, karena bila kata ”ciamis” dimunculkan oleh orang Galuh (orang Sunda), tentu ”amis” yang dimaksud adalah rasa manis atau amis yang bermakna baik. Misal, ungkapan ”amis budi”, ”adu manis” dan lain-lain. Tidak masuk akal bila orang Galuh (orang Sunda) memberi nama daerahnya dengan nama yang memiliki arti jelek. Sampai saat, saya belum menemukan sumber akurat yang memuat penjelasan lain mengenai asal-usul dan pengertian kata “ciamis” pada awal kemunculannya.
            Penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa asal-usul nama Ciamis mengandung makna yangjelek dan penghinaan terhadap orang Galuh.


Penggunaan Nama Galuh dan Ciamis
            Beberapa sumber tertulis menunjukkan, bahwa nama “Galuh” telah digunakan jauh sebelum berdirinya Kerajaan Galuh (awal abad ke-7) yang berpusat di Bojong Galuh (sekarag Karangkamulyan). Mungkin nama atau sebutan “galuh” mulai dikenal oleh sejumlah warga masyarakat melalui cerita bersifat mitos, karena cerita itu menyebar di kalangan masyarakat. Tokoh sentral dalam cerita itu adalah Ratu Galuh, penguasa di daerah yang kemudian bernama Galuh. Ia adalah seorang ratu yang memiliki kesaktian. Diduga cerita itu muncul jauh sebelum berdirinya Kerajaan Galuh. Boleh jadi sang ratu dalam cerita tersebut menggunakan kata “galuh” menjadi bagian nama dirinya atau julukan pada dirinya (Ratu Galuh), karena parasnya yang cantik dan bersih, sehingga seolah-olah bersinar seperti permata.
            Nama ”Galuh” kemudian digunakan menjadi nama beberapa tempat, kerajaan, dan lain-lain
w Galuh Sebagai Nama Tempat dan Kerajaan
            Pada peta Pulau Jawa, khususnya peta kuno, tercatat tempat-tempat yang menggunakan kata “galuh”, antara lain Galuh (Probolinggo), Galuh Timur (Bumiayu), Samigaluh (Purworejo), Sagaluh (Purwodadi), Sirah Galuh (Cilacap), Rajagaluh, Ujung Galuh, Tatar Galuh (wilayah Kerajaan Galuh). Nama kerajaan: Kerajaan Galuh Purba (abad ke-5 Masehi) di sekitar Gunung Slamet, Kerajaan Galuh, Kerajaan Galuh-Kawali.
w Galuh Dalam Sumber Tradisi
            Sejalan dengan keberadaan kerajaan dan kabupaten bernama Galuh, kata/sebutan ”Galuh” juga dikenal oleh masyarakat melalui sumber-sumber tradisi (sumber tertulis) berupa babad/naskah, antara lain Babad Bojong GaluhBabad Galuh-ImbanagaraCarita Ciung Wanara,Carita Lutung KasarungCarita ParahyanganSanghyang Siksa Kandang KaresianWawacan Sajarah Galuh, dan lain-lain.
w Galuh dan Ciamis Dalam Panggung Sejarah
            Nama ”Galuh muncul dalam panggung sejarah terutama berkaitan dengan Kerajaan Galuh dan Kabupaten Galuh. Kerajaan Galuh berlangsung selama lebih-kurang 10 abad (awal abad ke-7 hingga awal abad ke-17). Fakta sejarah menunjukkan Kabupaten Galuh (kabupaten bernama Galuh) di Tatar Sunda berlangsung selama lebih-kurang tiga abad (awal abad ke-17 hingga awal abad ke-20).
            Eksistensi kerajaan dan kabupaten bernama Galuh, diikuti oleh corak kehidupan masyarakat yang melahirkan budaya Galuh. Dalam budaya Galuh terkandung hal-hal yang berupa kearifan lokal, sekaligus bersifat falsafah yang disebut ”Falsafah Kagaluhan”. Falsafah ini merupakan suatu ilmu yang diciptakan oleh Prabu Haurkuning – keturunan raja Galuh --, sehingga ilmu itu disebut ”Elmu Kagaluhan Haurkuning”. Inti ilmu/falsafah itu adalah prinsip dalam kehidupan manusia:
Hirup kumbuh téh kudu didasaran ku silih asih. Ananging hirup téh teu cukup ku asih baé, tapi kudu dipirig ku budi pekerti anu hadé. Kudu aya pamilih antara hadé jeung goréng. Ari nu sok kaseungitkeun teh taya lian anging anu berbudi”.
(Hidup bermasyarakat harus dilandasi oleh kasih-mengasihi. Namun tidak cukup demikian, tetapi harus disertai pula oleh budi pekerti yang baik. Harus dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang buruk. Orang berbudi baik, namanya akan ”harum”).
            Kearifan lokal yang bersifat falsafah dan merupakan bagian dari Falsafah Kagaluhan antara lain terkandung dalam kalimat penutup pada Prasasti Kawali I:
Pakéna gawé rahayu pakeun heubeul jaya di buana[1].
            (”Membiasakan melakukan hal-hal yang baik, agar lama berjaya
            di dunia”).
            Setelah Writekandayun mendirikan Kerajaan Galuh dan melepaskan diri dari kekuaaan Kerajaan Tarumanagara yang telah berubah menjadi Kerajaan Sunda, ia mengadakan perundingan dengan Raja Sunda Maharaja Tarusbawa mengenai batas wilayah kedua kerajaan. Kedua belah pihak sepakat, batas wilayah kedua kerajaan adalah sungai Citarum. Perundingan itu disebut ”Perjanjian Galuh”.
            Hal-hal tersebut adalah contoh penggunaan nama/kata ”galuh” dalam panggung sejarah. Contoh-contoh dimaksud mengandung arti nama Galuh memiliki nilai historis yang tinggi[2].
            Fakta sejarah menujukkan, nama ”Ciamis pertama kali digunakan secara formal sebagai nama ibukota baru Kabupaten Galuh, menggantikan kedudukan Cibatu. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Bupati Pangeran Sutawijaya (1812-1815) yang berasal dari Cirebon. Mengapa ibukota baru ittu diberi nama Ciamis, belum diketahui secara pasti. Boleh jadi nama itu diberikan oleh Pangeran Sutawijaya, sehingga ”amis” yang dimasud adalah ”amis” yang berarti ”anyir”, karena dalam bahasa Jawa Cirebon pun kata ”amis” memang berarti ”anyir”.
            Perpindahan ibukota Kabupaten Galuh dari Cibatu ke Ciamis terjadi pada masa pemerintahan Bupati Wiradikusumah (1815-1819). Masih pada awal abad ke-19, Kabupaten Galuh masuk ke dalam wilayah Keresidenan Cirebon yang berlangsung sampai tahun 1915. Dalam kurun waktu itu, nama Ciamis digunakan menjadi nama distrik dalam lingkungan Kabupaten Galuh. Setelah Kabupaten Galuh dikembalikan ke dalam wilayah Keresidenan Priangan, Bupati Galuh R.A.A. Sastrawinata (1914-1936) mengubah nama kabupaten menjadi Kabupaten Ciamis. Namun alasan perubahan nama itu tidak jelas.[3] Nama Kabupaten Ciamis – seperti telah disebutkan – dikukuhkan/diresmikan oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1915.[4]  Berarti penggunaan nama Ciamis sampai sekarang (2012) berlangsung selama lebih-kurang dua abad (awal abad ke-19 hingga awal abad ke-21).
            Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa nama Ciamis pun memang memiliki nilai historis. Namun nilai itu menjadi rendah karena dikotori oleh arti kata ”amis” menurut asal-usulnya, dan nama Ciamis tidak mengandung makna filosofis.

w Galuh dan Ciamis Dalam Kehidupan Sosial Budaya
            Meskipun sampai sekarang Ciamis digunakan secara formal sebagai nama kabupaten/pemerintahan, namun dalam kehidupan sosial budaya warga masyarakat pituin (asli) Galuh, penggunaan nama Galuh lebih menonjol dibandingkan dengan penggunaan nama Ciamis. Nama Galuh melekat kuat seolah-olah terpatri dalam diri urang Galuh. Boleh jadi, hal itu disebabkan urang Galuh memahami makna filosofis dan daya magis dalam nama itu, selain nilai historis yang menunjukkan kebesaran nama Galuh. Bagi orang Galuh yang memahami budaya Galuh, nama Galuh menjadi bagian dari jati diri atau identitas diri, sekaligus menjadi kebanggaan.
            Bahwa nama Galuh demikian terpatri dalam hati dan pikiran orang Galuh, ditunjukan oleh pemakaian kata Galuh menjadi nama lembaga, organisasi/ perkumpulan, nama perusahaan, acara seni buddaya, dan lain-lain.
Contoh antara lain:
Ÿ Paguyuban Rundayan Galuh Pakuan, perkumpulan tokoh-tokoh yang masih merupakan keturunan Bupati Galuh tempo dulu.
Ÿ Universitas Galuh.
Ÿ Galuh Taruna, organisasi mahasiswa asal Galuh.
Ÿ KPM (Keluarga Pelajar dan Mahasiswa) Galuh Rahayu, perkumpulan pelajar dan mahasiswa asal Galuh di Yogyakarta. Mereka tinggal di Asrama Mahasiswa Galuh.
Ÿ KBM (Keluarga Besar Mahasiswa) Galuh Jaya, perkumpulan mahasiswa asal Galuh di Jakarta.
Ÿ Galuh Sangga Buana, organisasi pramuka.
Ÿ Yayasan Galum Imbanagara.
Ÿ Bale Sawala Galuh Raya.
Ÿ Stadion Galuh (stadion olah raga).
Ÿ Orang-orang Galuh di perantauan membentuk organisasi dengan nama ”Wargi Galuh” di Bandung, Paguyuban Wargi Galuh di Jakarta, Galuh Pamitran di Purwokerto, dengan pusat di Bandung, sehingga organisasi di Bandung disebut ”Wargi Galuh Puseur”.
Ÿ Di beberapa tempat, Galuh dijadikan nama kegiatan usaha skala besar dan kescil, seperti PT Pratama Galuh Perkasa, Toko Galuh, Bengkel Motor Galuh, dan lain-lain.
Ÿ Museum Galuh Pakuan, diresmikan tanggal 18 Juli 2010.
Ÿ Lembaga Adat Keraton Galuh Pakuan di Subang, dideklarasikan bulam Maret 2012.
Ÿ Hurug ”G” dari kata Galuh.
   Huruf ”G” biasa digunakan menjadi unsur nama oleh orang-orang keturunan ménak (bangsawan) Galuh.
Ÿ Helaran Budaya Galuh.
   Pertunjukan berbagai jenis kesenian tradisional Galuh. Acara itu pernah digelar            di halaman pendopo Kabupaten Ciamis tanggal 18 Agustus 2009, dalam rangka             memperingati HUT RI ke-64.
Ÿ Pemda Ciamis sendiri nenamakan wilayahnya dengan sebutan Tatar Galuh. Sebutan ini antara lain ditulis pada spanduk yang dipasang pada jembatan besi di daerah perbatasaan dengan Tasikmalaya. Tulisan itu berbunyi ”Selamat Datang di Tatar Galuh”.
Contoh tersebut menunjukkan ”semangat kagaluhan”, dalam arti orang Galuh pada umumnya lebih senang menggunakan nama Galuh daripada nama Ciamis.

Pengembalian Nama Galuh dan Alasannya
            Gagasan pengambalian nama Galuh sebagai nama kabupaten dan wilayahnya, telah muncul beberapa tahun yang lalu. Wacana itu digulirkan lagi pada momentum peresmian Museum Galuh Pakuan (Juli 2010) dan beberapa waktu kemudian. Gagasan/wacana itu menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Hal itu diekspos dalam berbagai media masa dan media elektonik (internet), sehingga diketahui secara umum. Ternyata, pihak yang pro jumlahnya lebih banyak, termasuk Wakil Gubernur Jawa Barat Dede M. Yusuf. Hal itu diberitakan antara lain dalam koran Pikiran Rakyatedisi 20 Juli 2010 dengan judul ”Dukungan Perubahan nama Semakin Luas”. Dengan demikian, wacana tersebut dapat dikatakan merupakan aspirasi masyarakat.
            Pihak yang pro terhadap gagasan tersebut tentu memiliki alasan, demikian pula pihak yang kontra. Bila ditelaah secara seksama, alasan pihak yang pro secara garis besar menyangkut beberapa hal.
1)      ”Semangat kagaluhan” dilandasi oleh pemahaman akan arti, makna, dan nilai yang terkandung dalam nama Galuh, seperti telah disebutkan.
2)      Perubahan nama daerah memiliki payung hukum, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 7 ayat 1 dan 2, Tentang Pemerintah Daerah. Pasal itu antara menyatakan: ”..... perubahan nama daerah bisa dilakukan atas usul dan persetujuan daerah yang bersangkutan”.
            Berdasarkan undang-undang itulah, nama Ujung Pandang kembali menjadi                    Makasar dan Irian kembali menjadi Papua.
    3)  Harapan warga masyarakat, khususnya tokoh-tokoh yang pro terhadap gaga-                               san tersebut, bahwa secara psikologis pengembalian nama Galuh diharapkan                        dapat mewujudkan ”semangat kagaluhan” dalam kegiatan bidang ekonomi,                                  sosial budaya, dan juga dalam bidang pemerintahan.
            Alasan utama pihak yang kontra, menyangkut finansial. Katanya pengembalian nama Ciamis ke Galuh akan mengakibatkan pemborosan biaya besar, karena harus mengganti atribut dan label-label sarana administrasi pemerintahan. Perlu dikemukakan, bahwa di antara anggota DPRD Kabupaten Ciamis, ada yang pro dan menyangkal pelaksanaan pengembalian nama Galuh akan memelukan biaya besar. Oleh karena itu, pemeritah harus merespon wacana tersebut dan ”jangan takut menjadi Kabupaten Galuh” (PRLM, 19 Juli2010 dan Kabar Ciamis, 23 November 2011).
            Mengapa Pemerintah Kabupaten Ciamis tidak/belum tanggap terhadap hal-hal tersebut?


PENUTUP
            Bila nilai dan makna Galuh dipahami secara seksama dan dibandingkan dengan asal-usul nama Ciamis, gagasan/tuntutan dan harapan dikembalikannya nama Ciamis menjadi Galuh, bukan primordialisme dan bukan pula subyektif kesukuan. Secara umum, pengembalian nama itu diharapkan dapat membangkitkan ”semangat kagaluhan”, semangat untuk mempererat persatuan dan kesatuan warga Galuh, sehingga segala potensi Galuh menunjang pengembangan Tatar Galuh dan masyarakatnya. Hal itu kiranya sejalan dengan kebanggaan warga masyarakat umumnya akan pamor nama Galuh.
            Oleh karena itu, sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, seyogyanya DPRD Kabupaten Ciamis menyambut baik (menyetujui) aspirasi mayoritas warga untuk mengembalikan nama Ciamis ke Galuh. Digunakannya kembali nama Galuh, diharapkan budaya Galuh pun akan ”bersinar” kembali. Semoga!

SUMBER ACUAN
(Seketif)


Anonim. 2010.
            ”Dukungan Perubahan Nama Semakin Luas”. Pikiran Rakyat, 20 Juli 2010.
--------. 2010.
”Wacana Kab. Ciamis Jadi Kab. Galuh; Dukungan Perubahan Semakin Luas”. PRLM, 20 Juli 2010. http://islam-kucinta.blogspot.com. Posted by Admin.
--------. 2011.
            “Jangan Takut Menjadi Kabupaten Galuh”. http://kabarcamis.word-  press.com/author/kabarciamis.
Dase, Achmad. 2000.
            ”Ciamis Rawuh Ka Galuh”. Mangle, No, 1765, 15 Juni 2000.
Hardjasaputra, A. Sobana. 2003.
Sejarah Galuh Abad ke-7 s.d. Pertengahan Abad ke-20. Bandung: Fakultas Sastra Unpad.
--------. 2003
            ”Ciamis Pulangkeun Deui Ka Galuh”. Galura, November 2003.
--------. 2004.
Semangat Kegaluhan Dan Maknanya Dalam Perspektif SejarahBandung: Fakultas Sastra Unpad.
Van der Meulen S.J., W.J. 1988.
            Indonesia di Ambang Sejarah. Yogyakarta: Kanisius.
Mustafid. 2010.
”Wagub Setuju Perubahan Nama Kab. Ciamis Menjadi Galuh”. Tribun, 19 Juli 2010.
--------. 2010.
”Semangat Kegaluhan di Perantauan; Galuh Sebagai Identitas Diri”. http://priangan-online.com, 22 Juli 2020.
Sofiani, Yulia. 2012.
R.A.A. Kusumadiningrat & R.A.A. Kusumasubrata; Gaya Gidup Bupati-Bupati Galuh 1839-1914. Yogyakarta: Ombak.
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1915 No. 670.


                + Makalah Seminar Sejarah dengan tema Menelusuri Nama Galuh dan Ciamis; Tuntutan dan Harapan. Padepokan Rengganis Ciamis, 12 September 2012. Diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.
                *) Guru Besar Ilmu Sejarah Unigal dan Unpad.
                [1] Kalimat itu merupakan bagian dari motto Pemda Kabupaten Ciamis.
                [2] Nilai historis nama Galuh dibahas oleh pembicara lain.
            [3] Mengenai perubahan nama Galuh menjadi Ciamis oleh Bupati R.A.A. Sastrawinata, terkesan mengandung muatan politik. Pertama, ia tidak mau disebut keturunan bupati Galuh, karena ia adalah keturunan bupati Karawang, padahal Bupati Karawangan pertama, yakni Adipati Singaperbangsa I adalah keturunan Bupati Galuh. Kedua, ia seolah-olah tidak mengetahui asal-usul kata “amis” dalam nama Ciamis. Ketiga, Bupati R.A.A. Sastrawinata meminta pemerintah Hindia Belanda mengukuhkan/meresmikan nama Kabupaten Ciamis untuk menunjukkan loyalitasnya kepada pemerintah Hindia Belanda, guna memperkuat kedudukannya sebagai bupati.
                [4] Berarti penetapan tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis, harus dikaji ulang.

http://sobhar.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar