Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Jumat, 27 November 2015

Sesajen Adalah Ayat Kauniyah Allah


Oleh Rikal Dikri (Boedajawan)
http://www.indodialek.com/
Ngedengernya sangatlah kaget dan ngeri kayaknya, bahkan tidak sedikit masyarakat Indonesia yang tak mengenal sesajen sehingga timbul stigma negative terhadap orang-orang yang masih menggunakan sesajen. Yang padahal kenyataannya sesajen adalah karya sastra Tuhan yang mana manusia harus berpikir dengannya. Bagi saya sesajen tidaklah jauh maknanya seperti al-Qur’an, yang mana pada dasarnya adalah budaya, sebagaimana Selo Sumardjan mengatakan budaya adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture). Rasa menghasilkan kaidah dan nilai sosial, termasuk didalmnya agama, ideologi, kebatinan dan kesenian yg merupakan hasil ekspresi jiwa. Cipta merupakan mental dan kemampuan berpikir yang menghasilkan ilmu pengetahuan. Rasa dan cipta dinamakan kebudayaan rohaniyah (Immaterial culture) kebudayaan dan masyarakat.
Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam QS. Nuh (41): 53, yang berbunyi;
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.
Sesajen berasal dari kata Su-Astra Aji Ra Hayu Ning Rat Pangruwat Ing Diyu, dan berubah menjadi Sastra Ajian Ra Hayu ning Rat Pangruwat ing Diyu, berubah lagi menjadiSastra Jen Ra Hayu ning Rat Pangruwat ing Diyu, berubah lagi menjadi Sastra Jenra Hayu Ning Rat, berubah lagi menjadi Sastra Jenra, berubah lagi menjadi Sasajen yang pada akhirnya masyarakat saat ini mengenal dengan kata Sajen atau Sesajen. Jika kita mengacu pada kata asal yang pertama maka makna sesajen secara kata perkata adalah:
  • Su-Astra: Cahaya sejati (setara dengan Ilmu Pengetahuan).
  • Aji/Ajian/Jen: Sesuatu yang harus dipahami dan dimengerti hingga makna yang dalam (saripatinya).
  • Ra Hayu: Sinar, Penerang Selamat dan Sejahtera.
  •  Ning Rat: Bagi jagat semesta.
  • Pangruwat: Untuk memunahkan, membumi hanguskan, menghapuskan, menghilangkan atau menghindari.
  • Ing Diyu: Kebodohan, ketidak tahuan, keragu-raguan, kebingungan, ketidak yakinan.
Jadi makna dari kata Sesajen secara general adalah, ilmu pengetahuan yang harus dimengerti dan dipahami, agar menjadi penerang, selamat dan sejahtera, bagi jagat semesta kehidupan, untuk memunahkan kebodohan, atau sebuah sastra tulisan karya yang maha kuasa (Sang Hyang Kersa), yang harus dimengerti dan dipahami agar menjadi penerang, selamat dan sejahtera, bagi kehidupan di jagat raya, agar terhindar dari kebodohan.

Apa bedanya al-Qur’an dan Sesajen
Secara garis besar al-Qur’an adalah hasil karya Tuhan yang berbentuk ucapan dan dituliskan dalam Bahasa dan Aksara Arab, bahkan al-Qur’an akan menjadi pahala bagi orang yang membacanya meskipun satu huruf, apalagi mengamalkannya. Al-Qur’an juga pernah mengalami perlawanan dari para sastrawan Arab di masa itu, sehingga muncul sebuah tantangan dari pakar sastra yaitu Musaillamah al-Kadzdzab yang mencoba mempengaruhi masyarakat Arab agar tidak beriman terhadap al-Qur’an, bahkan Musaillamah pernah membuat sebuah surat yaitu al-Fiil (gajah), namun apa daya sebuah surah yang diciptakan oleh Musaillamah tidak mampu mengalahkan ayat-ayat karya sastra Tuhan. Al-Qur’an bukan hanya saja menjadikan berkah atau mendapat pahala (anugrah) yang besar jika dibacanya, bahkan al-Qur’an juga mampu mengalahkan musuh-musuh Allah yang berani menantangnya, contohnya seperti kisah Musaillamah tadi. Ada sebuah cerita lagi, suatu hari ada seseorang sedang berjalan di padang pasir, menemukan sebuah lembaran al-Qur’an Surah al-Fatihah, lantas orang itu membacanya, dan ia takjub dengan karya sastra surah al-Fatihah itu, ia pun mengatakan “Ini bukan hasil karya Manusia, melainkan hasil karya Tuhan”, sehingga orang itu beriman dan meyakini Islam sebagai agama muta’akhhirin (akhir), agama yang dibawa oleh Nabi terakhir dan sangatlah mutakhir.
Jika al-Qur’an adalah bentuk karya sastra Tuhan yang luarnya elok dan isinya mengandung makna yang dalam, bahkan al-Qur’an adalah Yanaabi’ al-‘Ulum (Sumber segala ilmu). Saya juga akan mengutarakan bahwa sesajen adalah hasil karya sastra Tuhan yang tak mudah dipahami seseorang manusia apa pun, kecuali jika manusia itu mempelajari atau memfokuskan perhatiannya terhadap dunia spiritual masyarakat Nusantara yang mempunyai sejarah kebudayaan dan peradabn yang adiluhung yang mampu mencetak masyarakat-masyarakat yang berilmu pengetahuan dan berbudi pekerti yang luhur.
Agar mudah dipahami, saya akan menganalogikan Langit dengan Kertas Hitam Kosong, lalu Sang Hyang Kersa (Allah) mencurat-coret langit dengan berbagai sinar yang bercahaya, dan kelak leluhur bangsa kita menyebutnya dengan Tata Surya, kesatuan seluruh Tata Surya dengan segala pola watak kehidupannya disebut jagat agung atau jagat raya, termasuk semua alam semesta seperti Bumi tempat tinggal kita. Secara singkat kita pahami bahwa Langit ibarat kertas kosong, Galaxy (gugusan bintang) dengan segala isinya ibarat coretan atau tulisan, dan pola watak dari kesatuan semesta kehidupan diumpamakan sebagai nilai ungkap, makna ciptaan dan daya kehidupan.
Berdasarkan pola tersebut di atas, tentunya kita sepakat bahwa Yang Maha Kuasa telah menciptakan sebuah karya sastra yang agung nan indah, tak tak seorang pun manusia ciptaannya yang bisa menciptakan hal seperti ini. Karya satra Tuhan ini tak bisa kita sebut satu persatu karena begitu banyaknya ciptaan Tuhan dalam berbagai rupa, warna, watak, bentuk, ukuran, waktu, dll. Hal tersebut ditiru oleh manusia, maka lahirlah "sastrawan" yang melakukan sebuah usaha untuk menciptakan (cipta : pikir) karya-karya dalam bentuk tulisan melalui susunan aksara dengan maksud untuk mengungkapkan keindahan di Jagat Agung ini. Tentu saja begitu, sebab manusia tidak mampu membuat "benda hidup bernyawa dan berwatak". Kelak di jaman modern lahirlah berbagai jenis karya sastra, seperti; Sastra Tulis, Sastra Bunyi, Sastra Gerak, Sastra Gambar, dsb. Yang semuanya berwatak imitasi, tiruan, metafora, palsu dll. Karena, sebuah sastra yang diciptakan manusia berawal dari isi hati dan alam pikiran (imajinasi).
Inilah hasil sebuah karya sastra Tuhan yang mana orang Islam memahaminya dengan istilahAyat Kauniyah Allah (Bukti/Tanda Adanya Tuhan), sebagaimana dalam istilah dalil aqli(rasionalitas) dalam kitab Tijan al-Durari di sebutkan:
وجود الله لوجود هذه المخلوقات
Artinya; Adanya Tuhan dikarenakan adanya ciptaan Tuhan (Makhluk)
Sedangkan definisi Makhluk adalah:
كل ما سوى الله
Artinya; Segala sesuatu kecuali Allah
Menurut Lucky Hendrawan (Budayawan Sunda), mengatakan SESAJEN (Sastra Jen Rahayu ning Rat Pangruwat ing Diyu), merupakan karya SASTRA hasil karya daya cipta para leluhur bangsa kita yang TIDAK MEMPERGUNAKAN AKSARA, melainkan dengan cara"meminjam" karya SASTRA hasil daya cipta YANG MAHA KUASA untuk berbicara / menyampaikan pesan (berkomunikasi) kepada segala lapis kehidupan di Jagat Agung (multi dimensi). Hal ini tentu saja dilakukan karena KESADARAN bahwa; Lidah Manusia terlalu kecil untuk berbicara kepada Jagat Agung (apalagi kepada Yang Maha Kuasa), dan itu artinya para leluhur bangsa kita sangat memahami bahwa bahasa Lisan ataupun Tulisan (aksara) senyatanya tidak dapat mewakili realitas apa pun, dengan demikian punahlah kesombongan, kebodohan, dan ketidakyakinan manusia terhadap dzat Yang Maha Kuasa.
Alhasil al-Qur’an dan Sesajen adalah hasil karya sastra Manusia dengan cara meminjam karya sastra hasil daya cipta yang Maha Kuasa, yang dibawa oleh para Nabi/Hermes/Bathara Guru/Penyampai Pesan Tuhan, di sinilah ada sebuah keterikatan Nabi di zaman sebelum Muhammad bahkan sebelum Nabi-nabi Ibrahimiyah, mereka membawa suhuf-suhuf (lembaran-lembaran) hasil renungan komunikasi dengan Tuhan dan direalisasikan, diimplementasikan dan diaplikasikan dalam bentuk pengejawantahan tradisi, budaya, dan kearifan lokal di Nusantara, yang pada hakikatnya semuanya bermuara pada kearifan perrenial (Tuhan).
Tabe Pun!!!
Mugia Rahayu, Sagung Dumadi!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar