Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Rabu, 12 April 2017

Etika Menuntut ilmu

sumber : http://ilmu-islamic.blogspot.co.id/2014/05/talimul-mutaallim-etika-menuntut-ilmu.html
cover+talim+mutaallim




1. Pengertian Ilmu
Ilmu secara bahasa mempunyai arti mengetahui. Sedangkan secara istilah adalah pengetahuan tentang suatu hal yang dikaji secara sistematis logis yang dibakukan menjadi pengetahuan tertentu. Suatu missal ilmu agama, ilmu matematika dan sebagainya. Secara bahasa, orang yang berilmu menunjukkan ia banyak tahu tentang suatu hal. Makna ilmu disini tidak hanya ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah, tapi mempunyai makna yang lebih luas lagi, yaitu ilmu yang dapat memberikan pengetahuan luas sehingga menjadikan orang tersebut lebih bijak, sempurna pola fikirnya dan sejahtera lahir dan batin.
Mencari ilmu tidak dibatasi pada bidang tertentu dan jangka waktu. Lebih lama menuntut ilmu lebih banyak pula ilmu yang dimiliki dan banyaknya ilmu akan menunjukkan kesempurnaan orang tersebut.
2.  Kewajiban Menuntut Ilmu
Ilmu mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan ini. Berkembangnya zaman ini tidak lain karena ilmu, negara yang menguasai ilmu pengetahuan akan menjadi negara yang maju. Sehingga ada istilah; “Orang tanpa ilmu pengetahuan bagaikan mayat berjalan”
Dalam Islampun menekankan pentingnya ilmu, dan menjadi hokum wajib menuntut ilmu. Sabda Rasulullah SAW: “Menuntut ilmu diwajibkan bagi orang Islam laki-laki dan perempuan.”
Menuntut ilmu hukumnya wajib. Hokum wajib akan membawa konsekuensi buruk bagi mereka yang meninggalkannya. Keburukan ini bisa didapat di dunia, lebih-lebih lagi di akhirat.
Kalau kita perhatikan wahyu yang pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah Al-Alaq ayat 1-5. Ayat pertama yang disampaikan Allah kepada nabinya, Iqra’ yang artinya bacalah. Membaca adalah sumber utama menggali ilmu pengetahuan. Jadi ini menunjukkkan perintah untuk menuntut ilmu.
Pada masa Rasulullah, sampai ia memerintah mencari ke negeri kaumnya orang kafir. Hadits: “Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina, karena menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.”
Hadits di atas mengisyarakatkan betapa pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan inilah yang hanya mengantarkan manusia bahagia dunia dan akhirat. Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa ingin (memperoleh kebahagiaan) di dunia, hendaklah ia berilmu. Dan barangsiapa ingin (memperoleh kebahagiaan) di akhirat, hendaklah ia berilmu. Dan barangsiapa ingin memperoleh kebahagiaan keduanya, hendaklah ia berilmu.”
Tujuan menuntut ilmu dibagi dua: fardhu’ain dan fardhu kifayah. Ketahuilah, bahwa kewajiban setiap muslim bukanlah menuntut segala macam ilmu. Tetapi yang wajib baginya adalah menuntut ilmu haal (ilmu yang menyangkut kewajiban sehari-hari sebagai muslim seperti ilmu tauhid, akhlak, dan fikih) sebagaimana diterangkan dalam hadits: “Ilmu yang paling utama adalah ilmu haal dan amal yang paling utama adalah menjaga haal (hal-hal yang merupakan kewajiban sehari-hari seperti menghindari penyia-nyiakan harta dan kerusakan).”
Diwajibkan bagi setiap muslim mempelajari ilmu yang berhubungan dengan kewajiban sehari-hari dalam kondisi apapun. Karena ia wajib menjalankan salat, maka wajib baginya mempelajari ilmu yang dibutuhkan di dalam salatnya sesuai dengan batasan, agar ia dapat menunaikan kewajiban itu secara sempurna.
Demikian juga wajib baginya mempelajari ilmu yang mengantarkannya (ilmu yang menjadi prasyarat) menunaikan segala sesuau yang menjadi kewajibannya. Karena segala sesuatu yang menjadi prasyarat bagi sesuatu yang wajib itu hukumnya menjadi wajib pula. Wajib pula mempelajari ilmu tentang puasa; zakat bila ia berharta dan haji bila sudah wajib baginya, begitu pula ilmu mengenai jual-beli bila ia berdagang.
Demikian pula wajib mempelajari ilmu-ilmu mengenai aturan-aturan yang berhubungan dengan orang lain dan berbagai pekerjaan. Setiap orang terjun pada salah satu dari urusan-urusan tersebut harus mempelajari ilmu yang menghindarkannya dari perbuatan haram di dalamnya.
Setiap muslim juga wajib mempelajari ilmu mengenai hal-hal yang berhubungan dengan hati, seperti tawakkal (pasrah kepada Allah), kembali kepada Allah (inabah atau tobah) takut (kepada murka Allah) dan ridha. Semua itu selalu dibutuhkan dalam kondisi apapun.
Ilmu yang hokum fardhu kifayah adalah ilmu yang diperlukan pada saat-saat tertentu saja. Bila di suatau daerah ada seseorang yang melakukanna, maka kewajiban itu gugur bagi yang lain, namun apabila tidak seorang pun yang melakukannya, maka semua orang bersama-sama menanggung dosa. Adalah kewajiban para pemimpinnya menyuruh orang-orang untuk menegakkan dan memaksa kepada penduduk setempat untuk menegakkannya.
Adapun ilmu nujum (meramal sesuatu berdasarkan ilmu perbintangan) hukumnya haram, karena ilmu tersebut berbahaya pada keyakinan seseorang dan tidak ada manfaatnya. Lari dari ketentuan dan takdir Allah jelas tidak mungkin. Begitu pula ilmu-ilmu yang merugikan orang lain bagi dari segi fisik maupun keyakinan seseorang.



2. Keutamaan Menuntut Ilmu
Keutamaan ilmu sudah tidak diragukan lagi bagi siapapun, karena ilmu inilah yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya. Sebab potensi fisik (biologis) dan potensi insting/rasa juga dimiliki oleh mahluk lainnya. Binatang mempunyai struktur biologis yang sama dengan manusia, rasa marah, kekuatan, kasih sayang, mempertahankan diri juga dimiliki oleh binatang. Satu hal yang tidak dimiliki oleh binatang adalah ilmu.
Dengan ilmu pula Allah memberikan keunggulan kepada Nabi Adam AS atas para malaikat. Dan menyuruh mereka sujud kepada Ada. Keutamaan ilmu hanya karena ia menjadi wasilah (pengantar) menuju ketakwaan yang menyebabkan seseorang berhak mendapatkan kemuliaan di sisi Allah dan kebahagiaan dunia.
Secara bahasa halus, Allah menanyakan kepada manusia, samakah orang yang berpengetahuan dengan yang tidak: “Katakanlah : Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berhak Allah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9).
Selanjutnya, malah Allah mempertegas posisi orang yang berilmu yaitu Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu. “Niscaya Allah akan menegaskan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadalah: 11).
Rasulullah pun menegaskan keutamaan orang yang berilmu:
“Barangsiapa keluar untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah SWT sehingga kembali.”
“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah SWT akan memudahkan baginya jalan ke surga.”
Dari firman Allah dan sabda Rasulullah SAW, dapat diuraikan bahwa keutamaan orang yang berilmu adalah:
-          Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu baik di dunia lebih-lebih di akhirat
-          Orang yang berilmu akan lebih mulia kehidupannya, karena segala sepak tanduknya selalu dipertimbangkan baik buruknya
-          Orang yang sedang menuntut ilmu, berada di jalan Allah dan apabila ia meninggal karena mencari ilmu ia mati syahid
-          Allah akan memberikan kemudahan jalan ke surga.



B. Niat dalam menuntut ilmu
Di dalam kamus bahasa Indonesia, niat mempunyai arti berkehendak. Pengertian yang lebih luas mendalam lagi, niat adalah keinginan untuk melakukan sesuatu yang tulus dan ikhlas dalam rangka ingin mendapatkan sesuatu. Niat tidak hanya didasari keinginan melakukan sesuatu semata, tetapi merupakan aktifitas jiwa yang mendalam. Ketika seseorang berniat melakukan sesuatu, maka sebelum melakukannya sudah tertanam dalam ahtinya kesungguhan dan keyakinan.
Orang yang mempunyai niat seperti yang dimaksud di atas, ia tidak akan bombing dan goyah dalam melakukan sesuatu, dan timbul semangat serta tidak pantang menyerah selagi tujuan tidak tercapai. Sangat logis sekali Rasulullah mengatakan, seseorang akan meraih sesuatu sesuai dengan niatnya. Sabda Rasulullah SAW: “sesungguhnya semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya.”
Kaitannya dengan menuntut ilmu seorang pelajar seharusnya sebelum berangkat ke sekolah, ia sudah tanamkan niat yang kuat dan benar. Dari niat yang kuat dan benar, akan pengaruh pada kondisi jiwa yaitu
-          Ada ketulusan dan keikhlasan dalam mencari ilmu, sehingga tidak mudah lelah dan tidak gelisah
-          Adanya tujuan yang jelas, tidak akan mudah dipengaruhi teman lainnya untuk melakukan sesuatu yang tidak berkaitan dengan keilmuan
-          Akan timbul semangat, karena orientasinya jelas
-          Orang yang diniati mencari ridha Allah akan mendapatkan 2 keuntungan yaitu; kebaikan dunia dan kebaikan akhirat.
Oleh sebab itu, sebaiknya pelajar berniat mencari ridha Allah SWT mengharap kebahagiaan akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari segenap orang-orang bodoh, menghidupkan agama dan melestarikan Islam, karena sesungguhnya kelestarian Islam hanya dapat dipertahankan dalam ilmu dan perilaku zuhud serta takwa tidak lah sah dengan kebodohan.
Syekh Al Imam Al Ajjal Al Ustadz Qopmaruddin Hammad Bin Ibrahim Bin Ismail Ash Shaffar Al Anshori memberikan nasehat kepada kita lewat sebuah syairnya yang didiktekan oleh Imam Abu Hanifah:
-          “Barangsiapa mencari ilmu untuk tujuan akhirat, maka beruntunglah ia dengan keutamaan dari petunjuk Allah”
-          “Sungguh amat merugi orang yang mencari ilmu hanya untuk mendapatkan keuntungan  dari hamba Allah (manusia)”
Namun apabila seseorang mencari kedudukan untuk dapat menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, menegakkan kebenaran dan mengagungkan agama bukan untuk kepentingan hawa nafsu, maka hal itu diperbolehkan sebatas kedudukan dimana ia sudah dapat menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Setiap pencari ilmu hendaklah memikirkan hal tersebut. Ia sudah menuntut ilmu dengan perjuangan yang berat. Jangan sampai ia memalingkannya pada tujuan duniawi yang hina, sedikit dan binasa.
Sebuah syair mengatakan:
-          “Dunia itu sedikit dari yang sedikit dan seorang yang tenggelam di dalamnya lebih hina dari orang hina”
-          Dunia dengan sihirnya membutakan dan menulikan orang sehingga mereka bingung tanpa pegangan.”



C.  Ketetapan dalam memilih ilmu, guru, dan teman

  1. Memilih ilmu

Terbentuknya watak seseorang tidak begitu saja terbentuk seperti watak orang dewasa. Pembentukan watak/karakter memerlukan proses yang begitu lama, serta membutuhkan pendukung-pendukung lainnya seperti lingkungan, pendidikan, keluarga, dan sebagainya.

Materi pendidikan (ilmu) sangat mempengaruhi sekali baik buruknya watak seseorang. Ketika seseorang, dari kecil sampai dewasa banyak dikenal pada materi pengetahuan dunia semata, maka terbentuk watak orang yang materialitik-hedonestik, yang jauh dari nilai-nilai agama.
Jadi seharusnya ada skala prioritas dalam mendahulukan menuntut ilmu. Ilmu yang lebih awal dikuasai adalah ilmu yang digunakan saat ini dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya shalat, membaca AL-Quran, tata karma, dll. Maka ilmu yang seharusnya diutamakan adalah ilmu tata cara shalat yang benar, ilmu membaca AL-Quran dan ilmu akhlak. Jika ilmu ini semua dikuasai, baru menginjak pada ilmu yang kebutuhannya jangka panjang.
Di atas telah dijelakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib/fardhu. Tapi karena ada kebutuhan ilmu yang mendesak dipenuhi dan ilmu yang kebutuhannya untuk jangka panjang . Sehingga kewajiban menuntut ilmu dibagi dua, yaitu ilmu fardhu’ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu’ain, kewajiban menuntut ilmu bagi tiap-tiap muslim karena berkaitan dengan ibadah yang dilaksanakan setiap hari. Fardhu Kifayah, kewajiban menuntut ilmu bagi segolongan masyarakat muslim karena ilmu ini penyempurna ibadah. Contohnya, orang tidak bisa shalat dengan sempurna dan melaksanakan rukun-rukunnya dengan baik, jika orang tersebut lagi sakit. Disinilah kewajiban kifayah menuntut ilmu kedokteran dalam rangka menyehatkan orang untuk beribadah dan seterusnya.



2. Memilih guru
“Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”, pepatah ini perlu kita renungkan. Guru adalah sumber pengetahuan bagi kita, khususnya bagi anak-anak. Memori otak anak masih bersih/kosong, tatkala sang anak sering melihat perilaku guru jelek, berarti secara tidak langsung maupun langsung guru tersebut telah mengisi memori otak anak dengan perilaku salah/jelek. Lama-kelamaan terbentuklah pola fikir anak yang jelek, bisa jadi anak yang demikian ini akan lebih buruk lagi perilakunya daripada gurunya. Jadi sangat betul pepatah di atas.
-          “Dari ibnu Abbas, ia berkata: Ada orang bertanya: wahai Rasulullah, siapakah teman-teman berkumpul kamu yang baik? Beliau bersabda: Orang yang dapat mengingatkan kamu kepada Allah saat kamu melihatnya, pembicaraannya menambah ilmu kamu dan perbuatannya mengingatkan kamu kepada hari akhirat” (HR. Abu Ya’la)
-          “Wahai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shof: 2-3).
Dari kedua nash di atas, hendaklah guru memiliki criteria sebagai berikut:
-          Apa yang guru sampaikan sesuai dengan perilakunya sehari-hari. Ia mengajarkan kebaikan dan ia sendiri maupun mengamalkan apa yang ia sampaikan kepada muridnya. Guru yang hanya pintar ngomong saja, pasti dibenci oleh Allah. Maukah kalian diajari guru yang dibenci Allah. (Ash-Shof: 2-3).
-          Pembicaraannya menambah ilmu seorang guru jika berbicara selayaknya mengandung pengetahuan (nasehat), baik ia berada di dalam kelas maupun di luar kelas. Sudah tentu guru seperti ini mempunyai pengetahuan yang luas.
-          Akhlaknya sangat terpuji
-          Ucapannya penuh dengan ajakan untuk takut kepada Allah dan hari akhirat.
3. Memilih teman
Dalam mencapai tujuan, banyak faktor yang mempengaruhinya tidak hanya pada kemampuan pribadi. Mencapai tujuan belajarpun juga ada beberapa faktor yang mempengaruhi, di antaranya adalah teman.
Di dalam memilih sahabat sebaiknya pilihlah orang yang tekun, warak, bertabiat lurus serta tanggap. Hindarilah orang yang malas, pengangguran, pembual, suka berbuat onar, dan suka memfitnah.
Inilah nasehat, yang dikemas dalam bentuk syair untuk para pelajar yang mencari teman bermain atau belajar:
-          Janganlah kamu tanyakan mengenai jati diri seseorang, tetapi lihatlah siapa temannya. Karena seseorang akan mengikuti perilaku temannya.
-          Bila teman orang jahat, maka hindarilah segera. Bila temannya adalah orang baik, maka bersahabatlah dengannya, niscaya kamu akan mendapat petunjuk.
-          Janganlah kamu bersahabat dengan pemalas dalam segala perilakunya. Banyak orang yang rusak karena ulah orang lain.
-          Begitu cepat pengaruh orang bodoh menjalar kepada orang yang pandai. Bagaikan bara api yang diletakkan pada abu, maka padamulah ia.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Setiap orang dilahirkan dalam keadaan suci (Islam), kecuali kedua orang tuanya menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Sebuah syair berbahasa Persia mengungkapkan:
-          Teman yang buruk lebih berbahaya daripada ular berbisa. Demi Allah zat yang maha benar dan maha suci
-          Teman yang buruk mengantarkan menuju neraka Jahim. Teman yang baik mengantarkan menuju surge Na’im
-          Bila kamu ingin mendapat ilmu dari ahlinya atau ingin mengetahui dan mengabarkan mengenai kebaikan
-          Maka renungkanlah bumi dengan nama-namanya dan renungkanlah (ambillah pelajaran) dan sahabat (teman) mengenai dirinya.




D. Menghormati guru dan menghormati ilmu serta memuliakan kitab

  1. Menghormati ilmu

Ketahuilah bahwa pelajar tidak akan dapat meraih ilmu dan memanfaatkan ilmunya kecuali dengan menghormati ilmu dan ahli ilmu serta menghormati dan mengagungkan gurunya.

Diungkapkan: “Orang yang ingin mencapai sesuatu tidak akan berhasil kecuali dengan menghargai dan orang tidak akan jatuh dalam kegagalan kecuali dengan meninggalkan respek (rasa hormat) dan mengagungkan.
Diungkapkan lagi: “Rasa hormat lebih baik daripada kepatuhan. Ingat, bahwa manusia tidak menjadi kafir (kepada Allah) karena berbuat maksiat, tetapi ia kafir karena meninggalkan rasa hormat (kepada-Nya).”



2. Menghormati guru
Salah satu cara menghormati ilmu adalah menghormati guru. Sayyidina Ali ra. Mengatakan: “Aku adalah hamba sahaya bagi orang yang mengajarku, walaupun saru huruf saja. Bila ia bermaksud memerdekakanku, maka ia bisa memerdekaknku dan bila ia bermaksud memperbudakku maka ia bisa memperbudakku.”
Dalam hal ini pernah didendangkan sebuah syair untukku:
-          Menurutku hak paling utama adalah hak guru, dan hak itu wajib dijaga bagi setiap muslim
-          Sungguh ia berhak diberi kemuliaan. Setiap ia mengajar satu huruf tak cukup memberinya seribu uang dirham.
Sesungguhnya  orang yang mengajarimu satu huruf yang kamu butuhkan dalam urusan dan agamamu, maka ia merupakan ayahmu dalam kehidupan agamamu. Guru kami Syekh Al Imam Sadiduddin Asy Syairazi berkata: “Guru-guru kami mengatakan: barangsiapa mengharap anaknya menjadi orang alim, hendaklah ia memelihara, memuliakan dan memberikan sesuatu kepada para ahli agama yang mengembara. Bila anaknya ternyata tidak menjadi orang alim, tentu cucunya yang kana menjadi orang alim.”
Salah satu cara menghormati guru adalah tidak kencang berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, tidak memulai percakapan dengannya kecuali atas izinnya, tidak memperbanyak omongan di sisinya, tidak menanyakan sesuatu ketika ia sudah bosan, menjaga waktu dan tidak mengetuk rumah atau kamarnya, tetapi harus menunggu sampai keluar. Kesimpulannya, seorang murid harus berusaha mendapat ridhanya, menghindari kemurkaannya dan patuh kepadanya selain dalam perbuatan maksiat kepada Allah SWT sebab tidak boleh patuh kepada mahluk untuk melakukan perbuatan maksiat kepada Pencipta.
Juga salah satu menghormati guru adalah menghormati anak-anaknya dan orang yang mempunyai hubungan dengannya. Gru kami Syaikhal Islam Burhanuddin Shahibul Hidayah pernah bercerita, bahwa seorang ulama besar dari Bukhara sedang duduk dalam suatu majelis pengajian, sesekali ia berdiri dan duduk lagi. Ketika ditanyakan kepadanya mengenai sikapnya ieu, ia menjawab: “Sesungguhnya putra guruku sedang bermain bersama anak-anak lain di halaman rumah, setiap kali aku melihatnya, aku berdiri sebagai penghormatana pada guruku.”
Hakim Agung Fahruddin Al Arsabandi, seorang pemimpin para imam di Marwa sangat dihormati oleh sultan (raja), ia berkata: “Saya dapat merasakan kedudukan ini karena berkah hormat saya kepada guru. Saya melayani guru saya, yaitu Abu Yaizid Dabusi. Saa memasak makanan untuk berlian dan saya tidak ikut memakannya.”
Syekh Al Imam Al AJjal Syamsul Aimmah Al Khulwani terpaksa keluar dari Bukhara dan pindah ke suatu desa karena suatu peristiwa yang menimpanya. Murid-muridnya mengunjungi kecuali Syekh AL Imam Al Qadhi Abu Bakar Az Zagauni, saat mereka bertemu. Imam Al Khulwani bertanya: “Mengapa kamu tidak mengunjungiku?” Syekh Abu Bakar menjawab: “Saya sangat sibuk melayani ibu saya.” Al Khalwani kemudian berkata: “Kamu akan dapat karunia umur panjang, tetapi kamu tidak akan mendapat anugerah nikmatnya belajar.” Ternyata hal itu memang terbukti Syekh Abu Bakar lebih banyak tinggal di desa dan tidak teratur dalam belajar.
Maka barangsiapa membuat sakit hati gurunya, maka ia tidak akan mendapat berkah ilmu dan tidak dapat memanfaatkan ilmunya kecuali hanya sedikit, sebuah syair mengungkapkan:
-          Sesungguhnya guru dan dokter tidak akan berguna nasehatnya bila tidak dihormati
-          Bersabarlah dengan penyakitmu bila kamu menentang dokter. Dan bersabarlah kamu dengan kebodohanmu bila kamu menentang guru.
Dikisahkan bahwa khalifah Harun Al Rasyid mengutus putranya kepada Al Ashma’I diajarkan ilmu dan tata karma. Pada suatu hari Khalifah melihat Al Ashma’u berwudlu dan membasuh kakinya, sementara putra khalifah menyiram air pada kakinya, khalifah pun menegur pada Al Ashma’I, katanya: “Saya mengutus kepadamu agar kamu mengajarkan ilmu dan tata karma kepadanya, mengapa kamu tidak menyuruh menyiram air dengan salah satu tangannya dan membasuh kakinya dengan tangan yang lainnya?”
3. Memuliakan kitab
Salah satu cara menghormati ilmu adalah memuliakan kitab. Pelajar sebaiknya tidak mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci dari hadas. Dikisahkan dari Syekh Al Khulwani, ia berkata: “Sesungguhnya aku dapat memperoleh ilmu hanya dengan mengagungkannya, aku tidka meraih kertas pelajaranku kecuali dalam keadaan suci.”
Syekh Asy Syarkasyi suatu malam mengulang pelajarannya dalam kondisi perut sakit. Naka terpaksa ia berwudlu tujuh belas kali malam itu, karena ia tidak mau mengulang pelajarannya kecuali dalam keadaan suci. Hal ini dilakukannya karena ilmu adalah cahaya dan wudlu juga cahaya dengan demikian cahaya ilmu akan semakin cemerlang dengan adanya wudlu.
Salah satu sikap memuliakan kitab adalah tidak menelonjorkan kaki kea rah kitab. Letakkanlah kitab tafsir di atas kitab-kitab yang lain, dan tidak meletakkan sesuatu di atas kitab. Guru kami Burhanudddin menuturkan cerita dari seorang guru, bahwa seorang ahli fiqih meletakkan botol tinta di atas kitab, maka dikatakannya kepadanya: “Tidak bermanfaat ilmumu.”
Tetapi guru kita Hakim Agung Fakhrul Islam terkenal dengan nama Qadhi Khan berpendapat, bahwa hal itu bila tidak dimaksudkan untuk apa-apa, tetapi lebih baik tindakan itu dihindari.
Juga termasuk memuliakan kitab adalah menulis dengan baik, jelas dan tidak kabur. Tidak membuat catatan pinggir yang mengaburkan kitab, kecuali dalam keadaan terpaksa. Imam Abu Hanifah pernah melihat seorang yang menulis kabur (semrawut/tidak jelas), maka ia berkata: “Jangan membuat tulisan tidak jelas, sebab bila kamu hidup berumur panjang, maka kamu akan menyesal, dan bila kamu meninggal maka kamu akan tercela.” Maksudnya bila kamu semakin tua dan penglihatanmu sudah semakin rabun, maka kamu akan menyesali tindakanmu itu. dikisahkan  dari Syekh Imam Muhammad Majduddin Ash Sharhaki, bahwa ia berkata: “Saya menyesal karena menulis tidak jelas, telah mencatat terlalu ringkas dan tidak membandingkan kitabku dengan kitab yang lain.” Sebaiknya bentuk kitab itu persegi empat simetris. Karena untuk kitab ala Abu Hanifah itu lebih muudah diangkat, diletakkan dan dipelajari. Hindari warna merah dalam kitab. Wana itu merupakan ciri para filosof bukan cirri ulama shalih. Banyak di antara para guru kita yang tidak suka memakai kendaraan yang berwarna merah.




E. Kesungguhan , kontinu dan cita-cita luhur

  1. Kesungguhan dan kerja keras

Merupakan suatu keharusan bagi seorang pelajar untuk bersungguh-sungguh, kontinu, dan tidak kenal berhenti dalam belajar, hal itu telah diisyaratkan dalam firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang berjihad (mencari keridhaan). Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami, dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69).

Diungkapkan: “Barangsiapa bersungguh-sungguh mencari sesuatu, niscaya akan menemukannya seseorang akan mendapatkan sesuatu yang dicarinya, sejauh usaha yang dilakukannya. Dalam menuntut ilmu dibutuhkan kesungguhan hati tiga pihak, yaitu pelajar, guru dan ayah bila ia masih hidup.”
Syekh Al Imam Al Ajjal Ustadz Sadiduddin mendendangkan syair gubahan Imam Syafi’I untukku:
-          Kesungguhan akan mendapatkan sesuatu yang jauh dan membukakan pintu yang terkunci
-          Hak Allah yang paling utama bagi mahluknya adalah orang yang bercita-cita tinggi justru diuji dengan hidup yang sempit.
-          Kau idam-idamkan menjadi ahli fiqih yang ahli menganalisa tanpa mau bersusah payah. Memang kegiatan itu beraneka ragam bentuknya.
-          Harta benda saja takkan kau dapatkan tanpa susah payah apalagi dengan ilmu!
Abu Thayyib berkata: “Saya tidak melihat di antara aib-aib manusia sebuah cela yang lebih besar sebagaimana kekurangan orang-orang yang sebenarnya mampu, tetapi tidak dapat melakukan sesuatu dengan sempurna.



Adalah suatu keharusan bagi pelajar untuk berjaga pada malam hari sebagaimana diungkapkan oleh seorang penyair:
-          Keluhuran derajat akan dicapai sebatas usaha yang dilakukan. Barangsiapa mengaharapkan kemuliaan maka ia harus mau berjaga pada malam hari.
-          Kau ingin mendapatkan kemuliaan tetapi kau terlelap di malam hari, padahal orang yang mencari mutiara, ia harus menyelami lautan
-          Derajat yang tinggi harus dengan kemauan yang tinggi pula. Dan kemuliaan seseorang tergantung ada keterjagaannya di malam hari
-          Ya Tuhan kutinggalkan tidur di malam hari untuk mendapat ridha-Mu, wahai Tuhan bagi segala tuan.
-          Barangsiapa bercita-cita tinggi tanpa mau bersusah payah sama dengan mengulur umur dalam meraih sesuatu yang mustahil
-          Maak tolonglah aku untuk mendapatkan ilmu dan sampaikan aku pada puncak keluhuran
-          Jadikanlah malam sebagai kendaraanmu untuk mendapatkan cita-citamu.
Saya juga menggubah syair yang senada dengan syair-syair di atas:
-          Barangsiapa menghendaki untuk mendapatkan cita-citanya, maka jadikanlah malam sebagai saranya
-          Kurangkanlah makan agar kamu dapat terjaga di waktu malam. Kalau itu semua dapat kamu lakukan, niscaya kamu dapat mencapai kesempurnaan
-          Baransiapa membiarkan dirinya terjaga di malam hari, hatinya akan ceria di malam hari
2. Kontinu dan tidak memaksa diri
Adalah suatu keharusan bagi pelajar untuk kantinu atau rutin dalam belajar serta mengulangi setiap awal dan akhir malam, karena antara waktu maghrib dan isya’ serta waktu sahur adalah waktu yang penuh berkah. Kata seorang penyair:
-          Wahai pelajar, bergaullah dengan orang-orang yang warak. Hindari banyak tidur dan kekenyangan
-          Rutinlah belajar jangan sampai meninggalkannya. Dengan belajar ilmu akan tertanam dan berkembang.
Ambillah kesempatan pada masa awal remaja sebagaimana dikatakan oleh syair:
-          Kamu akan dianugerahi apa yang menjadi angan-anganmu sebesar udahamu. Barangsiapa yang menggunakan cita-cita luhur, maka ia harus terjaga di malam hari
-          Raihlah kesempatan di waktu muda, karena masa itu tidak akan lama
Ia juga tidak boleh memaksa diri sendiri dan membebani terlalu berat sehingga menjadi lemah dan tidak mampu melakukan sesuatu. Tetapi ia harus memperlakukan diri sendiri dengan santun, karena sikap santun merupakan modal yang besar dalam meraih segala sesuatu. Rasulullah SAW bersabda: “Ingatlah, bahwa agama Islam itu kokoh, maka perhatikanlah dirimu dalam menjalankan agama dan jangan kau menyakiti dirimu dalam menjalankan agama dan jangan kau menyakiti dirimu sendiri dalam beribadah kepada Allah, karena orang yang lemah tidak mampu melintasi dunia dan tidak mempunyai sarana yang utuh.” Sabdanya lagi: “Dirimu adalah kendaraanmu, maka kasihanilah ia.”…
3. Cita-cita luhur
Seorang pelajar harus memiliki cita-cita yang luhur dalam berilmu. Karena sesungguhnya seseorang akan terbang dengan cita-citanya sebagaimana burung terbang dengan dua sayapnya. Abu Thayyib berkata:
-          Cita-cita akan tercapai sejauh orang-orang akan bercita-cita. Kemuliaan akan tercapai sejauh seseorang berbuat mulia.
-          Sesuatu yang kecil akan tampak besar bagi orang-orang yang bercita-cita kecil. Dan sesuatu yang besar akan tampak kecil bagi orang-orang yang bercita-cita besar.
Modal untuk mencapai segala sesuatu adalah kerja keras dan cita-cita luhur. Seseorang yang bercita-cita menghafalkan kitab-kitab Muhammad Bin Hasan misalnya, dengan disertai kerja keras dan kontinuitas, maka secara lahir ia tentu dapat menghafalkan sebagian besarnya, atau paling tidak setengahnya. Adapun orang-orang yang cita-cita tinggi, tetapi tidak memiliki kesungguhan atau memiliki kesungguhan tetapi tidak memiliki cita-cita tinggi, maka ia tidak akan mendapatkan ilmu kecuali hanya sedikit.
Dalam kirab Makarimul Akhlak, Imam an Naisaburi menuturkan bahwa ketika Raja Dzul Qurnain hendak menaklukan negeri timur dan barat, ia bermusyawarah dengan para bijak bestari, katanya: “Bagaimana, aku akan pergi untuk meraih kekuasaan kerajaan ini, sementara dunia ini hanya kecil, akan binasa dan kekuasaan adalah hina.” Berangkatlah untuk meraih kebesaran dunia dan akhirat.” Kemudian raja Dzul Qurnain berkata: “Nah, ini berarti sesuatu yang baik.”
Rasulullah bersabda: “Allah menyukai perkara yang luhur dan membenci perkara yang hina.”
Diungkapkan dalam sebuah syair:
-          Janganlah engkau tergesa-gesa dalam menghadapi masalahmu, tetapi biarkanlah dulu. Tak ada yang dapat diluruskan tongkatmu seperti sediakala.
Diungkapkan pula, bahwa Abu Hanifah pernah berkata kepada Abu Yusuf: “Kamu bukanlah orang yang cerdas, tetapi kamu bisa mengatasinya dengan rajin belajar. Hindarilah kemalasan, karena kemalasan adalah sesuatu yang buruk dan akibat buruknya juga sangat besar.”
Syekh Abu Nasr Ash Shaffar Al Anshari bersyair:
-          Wahai jiwa, janganlah kau bermalas-malasan dalam berbuat taat, keadilan, dan kebaikan
-          Siapapun yang berbuat baik, pastikan mendapatkan keuntungan sedangkan orang yang malas pasti akan mendapatkan bencana dan kesukaran
-          Wahai jiwaku, tinggalkan kemalasan dan penundaan masalah. Sebab, jika tidak, maka kau jatuhkan aku dalam kehinaan
-          Tak pernah kulihat sesuatu yang dapat diraih bagi pemalas kecuali penyesalan dan cita-cita yang tak terwujud
-          Banyak perasaan malu, lemah dan sesal manusia lahir dari kemalasan
-          Hindarilah rasa malas untuk membahas sesuatu yang belum jelas dengan alasan sudah tahu atau masih ragu
Adapun ungkapan rasa mala situ disebabkan oleh kurangnya penghayatan terhadap keutamaan dan kelebihan ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar