PIDATO H. AS'AD SAID ALI DI ISTAMBUL
Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokaatuh
Hadirin yang kami hormati,
Sebuah kehormatan bagi kami, karena diberi kesempatan untuk mengikuti pertemuan dalam rangka mempromosikan perdamaian di Afghanistan. Turki tepat mengadakan pertemuan ini karena Turki adalah negara yang mengembangkan moderasi Islam sebagai wujud dari nilai kerahmatan Islam.
Tentunya kami sangat menghargai berbagai pihak yang melakukan inisiatif, demi terselenggaranya pertemuan ini. Mungkin kami diundang pada pertemuan ini, karena pada Juli yang lalu, kami Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyelenggarakan pertemuan dengan 20 ulama Afghanistan, untuk berbagi pandangan dan pengalaman tentang Islam moderat, serta merumuskan langkah-langkah demi terwujudnya perdamaian di Afghanistan. Karena kemampuan kami terbatas, maka kami memohon maaf, jika ulama-ulama yang diundang bersifat terbatas.<>
Pertemuan ini secara strategis merupakan second track diplomacy, yakni diplomasi antar-masyarakat yang dipelopori oleh para ulama. Second track diplomacy ini merupakan alternatif, demi mewujudkan perdamaian, sebab meskipun para ulama bukan pihak berwenang pengambil kebijakan, namun ulama memiliki kewajiban untuk mendorong dan memberikan pemikiran bermakna, demi terwujudnya perdamaian. Hal ini wajar sebab ulama adalah penerang bagi umat. Ulama sebagai pewaris nabi (warastatul anbiya’) memiliki peran signifikan dalam proses transformasi masyarakat.
Oleh karena itu, perwujudan perdamaian di Afghanistan penting, sebab ia menjadi parameter perdamaian di dunia Islam, dan ikut menyumbangkan usaha berharga bagi penanggulangan terorisme. Pada pertemuan di Indonesia, kami telah memberikan pandangan dan pengalaman ulama-ulama NU dalam rangka mengawal perjalanan bangsa. Kami bukan partai politik, tetapi secara konsisten ikut memikirkan dan mengawal Republik Indonesia (RI), sejak pra-kemerdekaan, hingga pasca-kemerdekaan. Dalam pertemuan itu, ada 9 prinsip yang disepakati oleh ulama-ulama Afghanistan dan PBNU. Salah satu ulama besar yang ikut merumuskan 9 prinsip ini adalah almarhum al-maghfurlah Prof Dr Burhanuddin Rabbani. Beliau dengan optimis ikut merumuskan prinsip-prinsip ini dan menganjurkan agar prinsip tersebut digulirkan secara terus-menerus, sehingga bisa memberikan inspirasi bagi perwujudan Islam moderat dan perdamaian di dunia Islam. 9 prinsip tersebut meliputi:
1. To affirm the principle of Islam as religion of compassion "Rahmatan lil 'alamin", which upholds the principle of good morality (al-Akhlaq al-Karimah), Islamic brotherhood (al-Ukhuwah al-Islamiyah), and the principles of being moderate (al-Tawassuth), balanced (al-Tawazun), tolerance (al-Tasamuh) and just (al-I'tidal).
2. To affirm the need to rebuild mutual acceptance, mutual trust and mutual brotherhood between various components of the nation in Afghanistan (al-Ukhuwah ak-Sya'biyyah al-Wathoniyyah al-Afghaniyyah).
3. To encourage the formation of independent and soverign Afhan that is free from all intervention, Colonialism in all its manifestations.
4. To return the role of representative institutions with attention to the comprehensive representativeness in the nation building (al-Tanmiyyah al-Watthoniyyah).
5. Expressing sincere will to end all forms of conflicts and dispute that occurred in all regions of Afghanistan, and to return the refugees into their home place gradually.
6. To assure the right of residence for all citizens in all parts of the country, as they have the right to reside anywhere, to join organizations, with attention to the local culture and wisdom.
7. As to implement the national reconciliation, it is necessary to reinforce the role of Peace Council and Reconciliation Commission in Afghanistan, and also to reinforce the integration of Afghanistan, and also to reinforce the integration of Afghanistan in order to resolve all problems of the past.
8. For all parties to participate in creating public goodness (al-Mashalih al-'Ammah) including the rehabilitation of economic facilities and infrastrucuture, educational facilities, health facilities, and religious facilities.
9. As the making for peace is necessary, we need further reconciliation efforts that require advanced involvement of a facilitator which is accepted by all components of the nations of Afghanistan.
Dengan sembilan perinsip ini, Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, bisa menjadi katalisator bagi upaya strategis dalam perwujudan perdamaian di Afghanistan. Tentu selain prinsip keislaman, upaya ini juga membutuhkan langkah-langkah demokratis dalam menyatukan berbagai pihak di Afghanistan, sehingga kepentingan bangsa bisa menjadi "titik pemersatu" atau kebaikan bersama (common good) yang melampaui segenap perbedaan kepentingan.
Hadirin yang kami hormati,
Dalam kaitan inilah, izinkan kami berbagi pandangan dan pengalaman terkait dengan peran ulama dalam mengawal perjalanan bangsa, melalui prinsip keislaman yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini penting, sebab sebagai muslim nahdliyyin, pertama-tama kami memahami diri sebagai orang Indonesia yang beragama Islam. Bukan sebaliknya, orang Islam yang berada di Indonesia. Positioning ini menjadi penting, sebab dengan memahami diri pertama kali sebagai orang Indonesia, maka corak keberislaman kami pun bisa sesuai dengan kebutuhan mendasar bangsa kami. Dengan memahami diri sebagai muslim Indonesia, maka kami tidak tercerabut dari akar kebudayaan kami, dan akhirnya tidak memaksakan pandangan serta persoalan yang bukan menjadi persoalan bangsa kami.
Oleh karena itu dalam sejarah NU, organisasi yang pertama kali didirikan para ulama-pesantren (sebelum kelahiran NU) bukanlah Nahdlatul Muslimin, melainkan Nahdlatul Wathon (Kebangkitan Bangsa, 1916). Karena berada dalam konteks kolonialisme, maka ulama-ulama pesantren tidak lagi mengedepankan kekelompokan Islam yang bersifat terbatas, melainkan suatu kebangkitan bangsa demi perjuangan mengusir penjajahan. Nahdlatul Wathon sebagai pusat pergerakan kemerdekaan ini kemudian diperkuat dengan pendirian Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) yang merupakan upaya para ulama untuk membangun kemandirian ekonomi masyarakat, vis a vis kolonialisme. Nahdlatut Tujjar kemudian menjadi perjuangan praksis pada level ekonomi, di samping perjuangan pada level kebangsaan melalui Nahdlatul Wathon.
Segenap pola perjuangan ini kemudian disempurnakan melalui pembentukan Tashwirul Afkar (1918), sebuah forum diskusi para ulama, untuk mengembangkan wawasan keislaman yang kontekstual dengan kebutuhan bangsa. Berpijak dengan pembentukan ketiga organisasi inilah, NU sebagai naungan organisasional bagi perjuangan ulama-ulama pesantren, didirikan pada 31 Januari 1926.
Kesadaran kebangsaan ini bisa terbentuk, karena kami memahami Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Artinya, karena rahmat Islam tidak hanya untuk umat muslim, maka perjuangan Islam bisa diperluas ke dalam konteks kebangsaan yang tentunya melampaui sekat-sekat keagamaan. Kami, Nahdlatul Ulama (NU), secara prinsipil memang memahami Islam terutama sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).
Artinya, Islam ketika dilaksanakan secara benar, akan mendatangkan rahmat, baik untuk orang Islam maupun bagi seluruh alam. Islam sebagai agama penyempurna tidak hanya membatasi kebaikannya, murni untuk umat Islam semata, melainkan untuk semesta alam, baik seluruh manusia, makhluk dan kehidupan itu sendiri. Kesempurnaan Islam terletak di dalam kesemestaan ini, yang akhirnya tidak membatasi dirinya dalam klaim kelompok, klaim golongan, apalagi klaim pribadi. Kebaikan, kebenaran dan keadilan Islam bersifat menyeluruh, karena Kemahakuasaan Alloh SWT meliputi segala sesuatu.
Dalam QS. Al-Baqarah: 163 Alloh berfirman: وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha pemurah lagi Maha Penyayang.
Hal serupa ditegaskan di QS. Al-Anbiya’: 107:وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Sifat Rahman dan Rahim Alloh, serta derajat Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat bagi semesta alam, telah menunjukkan ketinggian nilai Islam, yang sempurna, justru karena ia meliputi segala sesuatu. Rahmat yang berakar pada asma terpuji Alloh, al-Rahman, adalah Kasih Sayang Alloh yang tentu mencakup seluruh ciptaan-Nya. Oleh karena itu, Islam tidak bisa membatasi rahmat-Nya, hanya untuk umat Islam, karena ciptaan Alloh melampaui sekat keagamaan, organisasi, negara, dan bahkan batasan manusiawi.
Hadirin yang kami hormati,
Pemahaman Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin mengandaikan sebuah pengertian, bahwa Islam telah mengatur tata hubungan, menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan kemanusiaan. Karena dasar dari pemahaman Islam rahmatan lil ‘alamin adalah Kasih Sayang Allah, maka nilai kerahmatan ini menjadi dasar bagi seluruh tata hubungan tersebut.
Dalam kaitan ini, sebagai organisasi yang menjalankan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin, NU memiliki nilai-nilai operasional yang mengejawantahkan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin tersebut. Pertama, tawasuth. Yakni sikap mengambil jalan tengah ketika berada di dua titik ekstrim, dengan menampilkan keberislaman yang moderat dan kontekstual. Pilihan atas sikap tawasuth ini didasari oleh kemampuan NU untuk menemukan nilai-nilai substantif dari Islam, dengan pengamalan ajaran Islam yang kontekstual dengan kebutuhan umat.
Kedua, i’tidal. Sikap adil ini menjadi substansi, konsistensi, dan akurasi yang senantiasa dijaga di dalam posisi tawasuth tersebut, sehingga jika tawasuth berkaitan dengan posisi, maka i’tidal adalah substansi yang dijaga di dalam posisi tawasuth tersebut. Dalam praktiknya, sikap tawasuth dan i’tidal ini kemudian melahirkan sikap-sikap nahdliyyah lainnya, yakni tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang) dan tasyawur (musyawarah).
Oleh karena itu, NU kemudian menjadi garda depan moderatisme Islam di Indonesia, karena ia telah menemukan pemahaman yang seimbang dan adil dari ajaran-ajaran Islam.
Dalam menjalankan tawasuth dan i’tidal ini, NU menggunakan tiga pendekatan. Pertama, fiqh al-ahkam, yakni pendekatan syari’ah untuk masyarakat yang telah siap melaksanakan hukum positif Islam (umat ijabah). Kedua, fiqh al-da’wah, yakni pengembangan agama di kalangan masyarakat melalui pembinaan. Ketiga, fiqh al-siyasah, yang merupakan upaya NU dalam mewarnai politik kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam politik kenegaraan inilah, ulama-ulama NU telah menggariskan suatu kebijaksanaan fiqhiyyah sebagai mekanisme logis untuk menghadapi persoalan bangsa. Jadi, sah tidaknya suatu persoalan kenegaraan, sering dilihat dari sah tidaknya persoalan itu menurut cara-pandang fiqh. Salah satu contoh yang populer di kalangan kami adalah penggunaan kaidah fiqh, ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu: apa yang tidak bisa didapatkan semuanya, jangan ditinggal prinsip dasarnya. Kaidah ini kemudian menjadi landasan normatif dalam menetapkan sikap NU terhadap corak kenegaraan Indonesia yang memang bukan negara Islam.
Hal ini dipraktikkan dalam beberapa fase sejarah. Pertama, pra-kemerdekaan. Dalam Muktamar NU di Banjarmasin (1935), NU dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apa hukum pemerintahan yang secara konstitusional berada dalam kekuasaan Hindia-Belanda? Apakah ia berarti negara kafir (dar al-harb), ataukah bisa diupayakan suatu negara Islam (dar al-Islam)?
Dengan berpijak pada tradisi fiqh, maka wilayah Hindia-Belanda ini kemudian ditetapkan sebagai dar al-salam atau dar al-shulh (negeri damai). Argumentasinya jelas: meskipun pemerintahannya tidak Islami, tetapi umat Islam di dalamnya memiliki hak untuk melaksanakan syari’at Islam dengan nyaman dan aman. Hal ini menegaskan sutu prinsip, bahwa ketika prinsip dasar Islam, yakni pelaksanaan syari’at bisa dilaksanakan di sebuah negara yang struktur konstitusionalnya tidak Islami; hukum bagi negara tersebut bukanlah dar al-harb, melainkan dar al-salam, negeri damai.
Kedua, fase pembentukan negara-bangsa RI. Dalam perumusan konstitusi dan bentuk kenegaraan Indonesia (1945), masyarakat kami dihadapkan pada persoalan krusial dan sensitif: apa corak kenegaraan Indonesia? Apakah ia harus menjadi negara agama, ataukah negara sekular? Umat Islam, sebagai umat mayoritas, tentu memiliki harapan agar kenegaraan RI menjadi negara Islam.
Dalam kaitan ini, NU memiliki pemikiran lain. Karena sejak awal, kebangsaan Indonesia bersifat majemuk, maka corak kenegaraan yang berdasar pada satu konsepsi keagamaan, akan bertabrakan dengan kondisi majemuk tersebut. Hal ini sebenarnya telah diwadahi oleh kebijaksanaan falsafah negara kami, yakni Pancasila.
Di dalam falsafah yang digali dari kebijaksanaan kebudayaan Nusantara ini, terdapat prinsip Bhinneka Tunggal Ika tanhana Dharma Mangrwa: kemajemukan itu hakikatnya satu, karena tidak ada Kebenaran yang mendua. Meskipun bangsa kami memiliki suku, agama, dan budaya yang begitu majemuk, namun ia tetap berada dalam satu kebenaran, karena tidak ada Kebenaran yang mendua.
Dengan ajaran bijak dari local wisdom ini, maka ulama NU akhirnya menentukan sikap: negara RI bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekular. Ia adalah negara yang didasari oleh nilai-nilai keagamaan. Hal ini dengan baik dijaga oleh keberadaan sila pertama dari Pancasila itu sendiri, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan menempatkan nilai ketuhanan sebagai prinsip (sila) pertama dalam Pancasila, maka negara RI adalah negara yang mendasarkan diri pada nilai ketuhanan. Hal ini memiliki konsekuensi strategis, yang jika dilihat dari prinsip ke-NU-an, menggambarkan sikap tawasuth dan i’tidal. Yakni, di satu sisi, negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama.
Sementara di sisi lain, agama memiliki peran signifikan: ia menjadi dasar etis bagi pembentukan suatu masyarakat madani yang dibutuhkan demi terbangunnya kenegaraan yang beradab. Agama akhirnya menjadi “agama publik” (public religion) yang digerakkan oleh para pemuka dan organisasi keagamaan, untuk membentuk etika sosial dan etika kewarganegaraan yang berlandaskan nilai-nilai etis keagamaan.
Pada titik ini, prinsip ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu menemukan ruangnya lagi. Sebab, ketika nilai-nilai substantif Islam, seperti keadilan, kejujuran, saling mengasihi, kemashlatan, dsb bisa diterapkan untuk membentuk etika publik, perjuangan pendirian struktur kenegaraan Islam tidak lagi menjadi persoalan utama. Hal ini terkait dengan prinsip keislaman dalam NU, yang tidak terjebak dalam penerapan aspek formalis atau institusional dari syari’at, melainkan upaya demi terwujudnya tujuan utama syari’at (maqashid al-syari’ah). Tujuan utama syari’at itu terdapat dalam kemashlatan, yang mewujud dalam pembelaan terhadap lima hak dasar manusia, yakni hak hidup, hak beragama, hak berpikir, hak bekerja, dan hak berkeluarga.
Fase ketiga, adalah fase azas tunggal Pancasila. Kami pernah mengalami satu masa, di mana negara (era Orde Baru) secara koersif, menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi politik, yang mengeliminir ideologi-ideologi lainnya. Di segenap lini masyarakat, baik partai politik maupun organisasi kemasyarakatan, Pancasila harus menjadi satu-satunya azas yang mengganti azas lainnya, termasuk azas Islam.
NU pada Muktamar ke-27 di Situbondo (1984) kemudian mengambil sikap. Pancasila adalah azas kenegaraan, bukan azas agama. Selama tidak hendak menggantikan akidah Islam, maka Pancasila bisa diterima. Penetapan ini bisa kita pahami dengan menyimak ungkapan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dengan simbolis, beliau menjelaskan: “Pancasila adalah rumah kita. Sementara Islam adalah rumah tangganya”.
Artinya, Pancasila adalah bangunan rumah bersama, yang bisa ditempati oleh siapa saja. Sementara itu bagi warga NU, rumah tangga untuk menata rumah itu, tetaplah akidah Islam. Sikap dan ketetapan seperti ini bukan suatu logika taktis atau bahkan oportunisme politik. Melainkan sebuah sikap tawasuth yang lahir dari pemahaman atas substansi ajaran Islam, serta kesadaran atas kebutuhan untuk membangun kenegaraan yang beradab. Dengan menerima azas Pancasila ini, NU ikut membangun pola kenegaraan konstitusional, sebab dasar konstitusional tersebut, yakni Pancasila, adalah nilai-nilai luhur yang selaras dengan syari’at Islam.
Berdasarkan pada pengalaman historis di atas, maka NU secara konsisten mengiringi perjalanan kenegaraan RI. Sebab menurut NU, struktur kenegaraan RI, dengan Pancasila sebagai falsafah, dan konstitusi yang memuat perlindungan dan pemenuhan atas hajat hidup masyarakat, adalah struktur kenegaraan yang secara substantif, sesuai dengan nilai-nilai dasar Islam. Di dalam kesesuaian dasariah inilah, NU menempatkan peran kenegaraannya. Oleh karenanya, di tengah upaya-upaya ideologis yang digerakkan oleh sayap ekstrim, seperti komunisme dan gerakan fundamentalis Islam, NU tetap berada di titik tawasuth dan i’tidal, sehingga di setiap fase sejarah kenegaraan RI, sikap NU senantiasa sama, yakni mengawal nilai-nilai keadilan yang menjadi prinsip utama dari syari’at Islam.
Hadirin yang kami hormati,
Demikianlah pandangan dan pengalaman NU dalam mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara substantif bisa diambil kesimpulan bahwa dengan memahami Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, maka pergerakan Islam tidak akan terbatas pada kelompoknya sendiri. Dalam kaitan ini, Islam adalah agama yang sempurna, justru karena ia bisa merangkul segenap persoalan yang berada di luar batas kediriannya. Paradigma perjuangan Islam untuk bangsa, untuk masyarakat, dan untuk kemashlahatan semua golongan akan menunjukkan kebesaran Islam, sebab sebagai agama rahmat, ia memiliki keluasan tak terbatas untuk menyelesaikan segala persoalan. Dengan keluasan Islam inilah, diharapkan berbagai perbedaan di dunia Islam bisa ditemukan kembali pada titik yang sama, yakni kebesaran Islam itu sendiri, sebagai agama yang rahmatnya meliputi semesta alam.
Semoga sumbangan pandangan dan pengalaman ini bisa menjadi inspirasi dan pijakan berharga bagi upaya perwujudan perdamaian di Afghanistan dan dunia Islam secara umum.
Wassalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh
Hormat kami, 9 November 2011
Atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
H. As’ad Said Ali
http://www.nu.or.id/post/read/35031/islam-rahmatan-lil-amplsquoalamin-nu-dan-peran-kenegaraannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar