KALENDER JAWA ABOGE
MUKADDIMAH
“Waktu” adalah suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, segala kegiatan manusia, baik yang ada kaitanya dengan kehidupan pribadi, kemasyarakatan atau keagamaan, tidak lepas dari penentuan dan perjalanan waktu, Al qur’an sendiri telah merekamnya dalam surat yunus ayat 5 yang berbunyi :
الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدّره منازل لتعلوا عدد السنين والحساب ماخلق الله ذالك الاّ بالحق يفصّل الايات لقوم يعلمون (يونس ,5)
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”.
Rupanya dari berbagai peradaban bangsa telah menangkap hal ini dan lahirlah penanggalan-penanggalan baik berdasarkan tahun syamsiyah maupun tahun qamariyah.
MENGENAL KALENDER JAWA
Pada awalnya kawasan Nusantara ini khususnya Jawa menggunakan hitungan Saka, suatu penanggalan yang beradasarkan perhitungan Hindu dan dikenal dengan Saka yang dinisbahkan kepada seorang raja hindu di India yaitu Aji Saka, tepatnya 1555 saka atau 1633 M atau tepatnya lagi 1043 H Raja Jawa Mataram Islam yaitu Sultan Agung yang bergelar Sri Sultan Muhammad Sultan Agung Prabu Anjokrokusumo telah menyesuaikan penanggalan hindu dan Jawa ke dalam penanggalan Hijriyah yang berdasarkan penanggalan bulan (Lunar Year)[1]. Namun kebijakan ini menjadikan perbedaan antara kalender Jawa dan Kalender Masehi akan muncul perbedaan 1/120 hari , maka dari hal tersebut setiap 120 tahun kalender jawa (15 windu) harus diundur satu hari[2] maksudnya satu tahun yang sebenarnya tahun panjang (wuntu) dijadikan tahun pendek (wastu).
Selanjutnya Sultan Agung menetapkan 12 bulan dengan nama-nama sebagai berikut :Suro, Sapar, Bakdo Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akir, Rejeb, Ruwah, Poso, Syawal (Bodo), Dulkongidah, dan Besar, untuk mengenalnya dalam pergantian tahun diperkenalkan “Huruf”, dengan penjelasan sebagai berikut:
- Mulai 1 Suro Alip th 1555/1043 H (8 Juli 1633 H) sampai permulaan tahun 1627/1115 H (17 Mei 1703 M) hurufnya JAMUNGIYAH Legi.
- Mulai permulaan tahun 1627/1115 H (17 Mei 1703) sampai permulaan tahun 1747/1235 H (20 Oktober 1819 M) hurufnya CHOMSIYAH KLIWON (Amiswon).
- Mulai tahun 1747/1235 H (20 Oktober 1819 M) sampai permulaan tahun 1867/1355 H (24 Maret 1936 M) hurufnya ARBANGIYAH WAGE (Aboge).
- Mulai permulaan tahun 1867/1355 H (24 Maret 1936 M) sampai permulaan tahun 1987/1475 (selama 120 tahun) hurufnya Tsalatsiyah Pon (Asopon)[3]
Dalam aplikasi sehari-hari masyarakat Jawa dikenalkan pasaran yang dahulu digunakan untuk pusat aktivitas dan dikenal kemudian istilah Wage, Kliwon Legi, Pahing dan Pon. Kemudian setiap tahun dalam sewindu diberi nama sebagai berikut : tahun alip, tahun ehe, tahun jim-awal, tahun ze, tahun dal, tahun be, tahun waw, tahun jim akhir.
KALENDER JAWA ABOGE
Walau telah mengalami perubahan tiap 120 tahun, namun dalam masyarakat penggunaan Aboge masih terasa lekat di masyarakat, hal ini berkaitan karena penanggalan pergantian tersebut berdasarkan surat kekancingan (ketetapan) kraton Ngayojakarta, sementara masyarakat Jawa sudah mengalami pergeseran kekuasaan dari sistem kerajaan sudah berubah dalan system kenegaraan dalam kesatuan NKRI, sehingga walaupun sudah berubah lebih 70 tahun Aboge masih banyak dipakai hal ini berkaitan dengan adat tradisi Jawa, dalam sosio kultur yang sudah terbangun oleh masyarakat.
Dalam aboge dikenal beberapa istilah
- Aboge yaitu tahun Alip tanggal suro Rebo Wage
- Apono yaitu tahun Ha’ tanggal suro Ahad Pon
- Jongopono yaitu tahun Jim Awal tanggal Suro Jum’at Pon
- Josahing yaitu tahun Jim akir tanggal Suro Seloso Pahing
- Daltugi yaitu tahun Dal tanggal suro Setu Legi
- Bimisgi yaitu tahun Bak tanggal Suro Kemis Legi
- Woninwon yaitu tahun Wawu tanggal Suro Senin kliwon
- Zongogiyo yaitu tahun Zak tanggal Suro Jumuah Pahing[4]
Disamping tersebut masih banyak penanggalan-penanggalan yang penulis belum bisa sampaikan disini seperti penanggalan Candrasengkolo atau Suryosengkolo oleh K. Maisur Sindhi sering disebut Hisab Thabi’iyyah[5].
Dalam tradisi Jawa banyak kegiatan atau tradisi yang disesuaikan dengan hari yang maksudnya untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat semisal pendirian Masjid Demak yang dilakukan Senin Pahing sementara peletakan fondasi Masjid Demak Kamis Kliwon, hal ini kemudian banyak dikuti oleh para ulama’ – ulama zaman dahulu untuk mengawali membuat masjid[6]. Demikian juga untuk membuat rumah diharapkan pasarane itu jatuh Legi.
Demikian sekelumit catatan kami walau masih banyak yang belum terungkap tentang salah satu kultur jawa dan kultur Islam Jawa.
18 POSO BE 1944
BOPONE OCHA
[1] Wardan, Muhammad, Hisab ‘Urfi dan Hisab Hakiki, Peladjar, Jogjakarta, 1957, hal 12
[2] DEPAG RI, Waktu dan Permasalahnnya, Jakarta, 1986, hal.27
[3] Wardan, Muhammad, Hisab ‘Urfi dan Hisab Hakiki, Peladjar, Jogjakarta, 1957, hal 13
[4] Abdul Wahab, MS, KH, Nahas Aboge, Manuskrip, tt
[5] Maisur Sindi, Al-hawashil Fi al-Ilm al-Falak, manuskrip, Kediri.
[6] Abdul Wahab, MS, KH, Nahas Aboge, Manuskrip, tt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar