Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Kamis, 01 September 2016

Tri Tangtu – Filosofi Adat

Tri artinya tiga, tangtu (bhs. Sunda) artinya pasti atau tentu. Tangtu, diperkirakan berasal dari bahasa Sansakerta, yakni tan yang berarti jaring labah-labah dan tantu yang artinya benang atau ikatan. Tri tangtu, pikukuh tilu, atau hukum tilu, adalah sebuah konsep atau gagasan berpikir filosofis yang rasionalitasnya digunakan untuk menjaga keselarasan dalam berkehidupan, baik secara vertikal maupun horizontal. Filosofi tri tangtu adalah, ”tiga untuk ber-satu, satu untuk ber-tiga”. Prinsipnya, bahwa ”tiga hal” itu sebenarnya adalah ”satu hal”, demikian sebaliknya. Bersifat paradoksal, menyatu ke dalam dan mengembang ke luar. dari luar tampak tenang, teguh, satu; dan di dalam aktif dengan berbagai aktivitas.
Di dalam masyarakat adat Jawa Barat, tri tangtu adalah pakem atau ’kitab ahlak budaya’ sebagai rujukan perilaku yang meliputi tiga aspek berkehidupan: 1) tri tangtu dina raga atausalira,  2) tri tangtu di buana dan 3) tri tangtu di nagara. Masing-masing gagasan dan konsep berkehidupan itu mempunyai pembagian, peranan, tatacara, dan pelaksanaannya sendiri.
Konsep tri tangtu dina raga, misalnya, adalah pakem atau tuntunan yang menyangkut pribadi (ego) sebagai manusia. Melalui konsep ini, manusia diberi tuntunan untuk memahami dan mempertanyakan dirinya sendiri: dari mana asal, mau ke mana, dan apa tujuan hidup ini? Oleh sebab itu, gagasan tri tangtu dina raga, senantiasa mengingatkan kita pada hal-hal yang berkaitan dengan moralitas kehidupan atau ahlak budaya. Konsep ini pun menyadarkan pada kita tentang pentingnya ’hidup dalam berketuhanan’ dan hidup dalam berkemasyarakatan.
Ungkapan, dzat, sifat, atma; sir, rasa, pikir; tekad, ucap, lampah; silih asah, silih asuh, silih asih; nyawa, raga, pakean, naluri, nurani, nalar (SQ, EQ, dan IQ) dan sederet ungkapan lainnya, pada dasarnya adalah rucita (tuntunan) berkehidupan itu. Ungkapan tiga yang disatukan itu, adalah sebuah sistem hubungan yang masing-masing menjelaskan dan mempunyai makna kausalitasnya. Persoalannya, bagaimana kita bisa membaca sistem hubungan dibalik masing-masing aktivitas itu. Bahwa konsep pemikiran primordial tersebut memang memerlukan perenungan, namun intinya adalah, bagaimana manusia mengubah dirinya menjadi manusia yang lebih luhur sehingga bisa mencapai yang transenden, yakni mencapai apa yang berada di luar dunia nyata. Tekad dan Ucap tidak akan berbuah apapun tanpa Lampah. Demikian pula, tidak akan ada Lampah tanpa Tekad dan Ucap. Itulah salah satu makna asas kesatuan tiga dina raga.
Konsep tri tangtu di buana (nagara), adalah hukum yang mengatur kehidupan masing-masing individu dan kelompok di dalam sebuah wilayah kekuasaan, atau ketatanegaraan, baik luas maupun sempit. Secara luas, konsep tersebut adalah tuntunan kehidupan bernegara secara umum, dan secara sempit adalah tuntunan kehidupan bermasyarakat di wilayah kehidupan adat yang mereka anut. Tri tangtu di nagara di dua wilayah kekuasaan yang berlainan itu terkadang menimbulkan perubahan bagi pihak-pihak yang terlibat. Hubungan di antara keduanya membentuk sistemnya sendiri dengan tetap berpedoman pada makna yang disebut baik, benar, dan bagus. Ungkapan resi, ratu, rama, misalnya, adalah sebuah pengaturan potensi dari sebuah sistem kekuasaan. Resi adalah mahaguru agama, adat, dan yang menciptakan ajaran-ajaran. Ia adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya, namun tidak menjalankan mandat kekuasaan. Ratu adalah yang menjalankan dan melaksanakan pemerintahan yang dikenal dengan raja. Rama adalah rakyat yang menjalankan apa yang diperintahkan Resi dan diundangkan Ratu dan segala aturannya harus ditaati. Di kalangan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur-Kuningan, dikenal ungkapan Rama Panyipta, Rama Pangwedar, dan Rama Panyusun. Hal ini sejalan dengan ungkapan lainnya, parentah, panyaur dan pamundut yang berlaku di masyarakat adat Kampung Naga.
Tri tangtu di buana, sejajar dengan konsep Tria Politika (Montesquieu) yang membagi kekuasaan menjadi tiga: Yudikatif, Legislatif, dan Eksekutif. Dalam kaitannya dengan penataan lingkungan kehidupan, dikenal pula ungkapan yang membagi ekosistem ke dalam tiga bagian: leuweung larangan, leuweung tutupan, dan leuweung garapan. Dengan demikian, makna tri tangtu adalah keseimbangan dalam berkehidupan. Sistemnya bersifat atomik, seperti halnya atom yang terdiri atau neutron, proton, dan elektron. Jika salah satu dari ketiga hal itu lepas, maka kehidupan menjadi tidak harmonis dan akhirnya menimbulkan ketidakselarasan, kekacauan, dan bencana. Kekacauan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat akhir-akhir ini, atau kerusakan alam yang mengakibatkan berbagai bencana, adalah akibat dari lepasnya salah satu ikatan tadi.
http://tikarmedia.or.id/ensiklopedia/ensiklopedia_detail/103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar