A. PENDAHULUAN
1. Kitab Waruga Jagat hanyalah sebagian kecil saja dari pada isi sebuah naskah yang tersimpan di Museum Yayasan Pangerang Sumedang (YPS) di Sumedang. Bagian yang lainnya dari naskah tersebut merupakan semacam perimbon, yang isinya terdiri dari bermacam-macam hal, sebagai catatan yang berhubungan dengan ilmu kebatinan.
Naskah tersebut tidak berasal dari kertas biasa, melainkan dari bahan yang dikenal dengan nama “kulit sach”, sejenis daluang yang terbuat dari kulit kayu. Hingga kini pembuatan daluang dari kulit sach itu masih diproduksi orang di daerah Wanaraja, kabupaten Garut, dipergunakan sebagai alat pembungkus.
Naskah itu berukuran kwarto, yang tidak mengenai Kitab Waruga Jagat tertulis dalam huruf ‘pegon’ (Arab Jawa) dengan bahasa Jawa-Sunda, tebalnya hanya terdiri dari atas 12 lembar. Kecuali sebuah naskah yang tersebut diatas, pada YPS, tersimpan pula dua buah naskah yang lain, sebuah di antaranya ialah Silsilah Keturunan Bupati-bupati Sumedang, mempergunakan bahasa Jawa-Sunda, berhuruf pegon, dengan bahan kertas biasa, berukuran folio, ditulis atas nama Raden Adipati Suryalaga II, yang pernah menjadi bupati di Bogor, Karawang dan Sukapura, masa hidupnya sezaman dengan Pangeran Kornel, pada abad ke 18 – 19 M.
Yang sebuah lagi ialah naskah dengan bahan kulit sach dalam keadaan sangat rusak, paling tebal di antaranya yang ketiga, sukar ditebak apa isinya, mempergunakan bahasa dan huruf Jawa-Sunda yang sulit dibaca, dalam bentuk puisi/kidung.
Setelah dibaca dengan susah payah, karena hanya bagian tengahnya yang dapat dibaca agak lengkap, berhubung sebagian terbesar telah hancur dimakan tikus, dan barulah diketahui isinya, antara lain mengenai uraian masa percintaan antara Mundingsari dengan puteri Ambetkasih di Negara Sindangkasih. Setelah bagian itu diketahui, barulah dapat ditentukan, bahwa naskah yang sangat rusak itu adalah “babad Siliwangi”, naskah aslinya, sedangkan di Museum Pusat Jakarta, hanya tersimpan copy/turunannya, dengan judul yang sama, turunan naskah itu dikerjakan oleh Raden Panji Surya Wijaya, Betawi tahun 1866. (R.Ng. Porbatjaraka, 1933, “lijst Javaansche Handschriften”, Yaarbook KBG, hal. 293)
2. Pada dasarnya Kitab Waruga Jagat menguraikan tokoh-tokoh yang pernah memegang peranan penting dalam sejarah diwarnai oleh kepercayaan yang diselimuti dengan suasana Islamisasi khususnya Jawa Barat. Di dalam naskah itu selain dapat kita telaah deretan silsilah penguasa-penguasa yang menurut kepercayaan masyarakat pernah berkuasa di tanah air kita, juga dihubungkan dengan penguasa-penguasa yang pernah memegang peranan dalam penyebaran agama Islam di dunia, yang menurut anggapan penulis, secara tradisionil kesemuanya itu bertalian kerluarga satu sama lainnya. Dan demikianlah makna sesungguhnya istilah Waruga Jagat.
Jika kita perhatikan arti kata ‘Waruga’ itu sendiri, maka perlu diperingatkan akan makna yang diberikan oleh S.M. Pleyte (C.M. Pleyte, 1913, “De Patapan Adjar Soekasari, anders Gezegd de kluizenarij op de Goeneong Padang”, TBG, Dool LV, hal. 380, catatan 2) ketika ia mencoba mengupas pengertian ‘waruga’, dalam kesempatan membicarakan naskah Carita Waruga Guru, C.M. Pleyte member makna bagi kita ‘waruga’ dengan ‘belichaning’, ‘lichaan’, dan ‘lifj’. Dari ketiga makna yang diberikan C.M. Pleyte itu, yang lebih mendekati dalam istilah bahasa Indonesia adalah ‘penjelmaan’, kiasan untuk tokoh yang memegang peranan penting di dunia ditinjau dari sudut pandang penulis, penulis tradisionil.
Kata ‘waruga’ adalah betul-betul sebuah kata dari bahasa Sunda bukan pinjaman dari salah satu bahasa asing. Dalam bahasa Sunda, kata waruga berarti: awak, badan, seperti kita dapati dalam bahasa: “kuru aking ngajangjawing, waruga ngan kari tulang”, yang ditujukan kepada seseorang yang badannya yang sangat kurus kering. Kata-kata yang lainnya, yang merupakan sinonim dengan ‘waruga’ ialah ‘raga’ dan ‘kurungan’. Sup bayu ka kurungan, adalah sebagian dari rangkaian mantera yang biasa diucapkan terhadap anak kecil yang dalam keadaan setengah sadar, supaya lekas siuman dalam bahasa Melayu dapat kita bandingkan dengan ucapan ‘kur’, semangat.
Dalam beberapa bahasa yang bersaudara dengan bahasa Sunda, terdapat juga kata ‘waruga’, dalam bentuk dan atau pengertian yang bergeser, hal tersebut dapat kita temukan dalam uraian Van Tuuk (H.N. van der Tuuk, 1901, Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenbook, Dool III, s.v. waruga) ,antara lain dinyatakan, bahwa arti waruga dalam bahasa Bali, bale; Sasak, barugaq = bala, Bima, parusa berarti rumah-rumahan di atas kuburan; Sangir: bahugha, Rojang, Bugis. Makasar: baruga; Lampung: parugan, berugu (baruga) seperti kubah atau anjung di muka atau di samping rumah, tempat wanita bertenun; Bengkulu: brogo, berarti kamar duduk.
3. Apabila kita bandingkan isi Kitab Waruga Jagat dengan Carita Waruga Guru, pada dasarnya banyak persamaannya, hanya dalam beberapa hal uraian dalam Kitab Waruga Jagat serba singkat, tetapi isinya lebih meluas, padahal dalam Carita Waruga Guru dalam beberapa hal diuraikan dengan mendalam, terutama mengenai episode Ciungmanarah dengan Hariang Banga.
Naskah Kitab Waruga Jagat, baru kami ketemukan sebuah saja, sedangkan yang sebuah tersimpan di Leiden, maka dengan demikian belum sempat kami perbandingkan isinya, seangkan dalam koleksi naskah-naskah di Museum Pusat Jakarta, naskah jenis demikian sepanjang pengetahuan kami tidak ada. Adapun Kitab Waruga Jagat milik YPS itu karena dalam keadaan rusak maka tidak dapat dibaca dengan sempurna, kami coba untuk menyempurnakannya berdasarkan nama-nama yang terdapat dalam Carita Waruga Guru. Dan meskipun terdapat banyak persamaan, tetapi sering tertulis agak berbeda, dalam hal-hal yang sedemikian, kami biarkan sebagaimana adanya.
Sebagai contoh dapat kami kemukakan beberapa perbedaan, dalam Kitab Waruga Jagat. Lembaran (1), Bakarbuwana, pada Carita Waruga Guru, Fol. 2, Babarbwana; pada Kitab Waruga Jagat . Lembaran (1) … gantungan, pada Carita Waruga Guru, Fol.2 Gandulgantung. Pada Kitab Waruga Jagat Lembaran (1) Sayar, pada Carita Waruga Guru. Fol. 2, Siar. Pada Kitab Waruga Jagat lembaran (2) Ratu,… tasari, pada Carita Waruga Guru.. Fol.9 Ratu Perwatasari.
4. Mengenai riwayat banjir pada zaman Nabi Noh, antara dua jenis naskah itu ternyata sangan bersesuaian; dalam kedua naskah itu diriwayatkan, bahwa pulau Jawa tidak terendap banjir seluruhnya, karena Ratu Galuh (Kitab Waruga Jagat , lembaran {3,4}), atau Ratu Perwatasari Jagat (Kitab Waruga Jagat, Fol.9) terlebih dahulu telah menciptakan gunung yang tingginya mencapai langit dan semua rakyatnya diselamatkan dengan jalan naik ke atas gunung itu. Setelah air surut, mereka semuanya turun dan tiba di suatu tempat yang kemudian disebut Bojonglopang.
Mengapa Ratu itu bergelar Ratu Galuh, dikatakan bahwa hal itu disebabkan oleh karena “cahya kang metu saking netra’ cahaya yang keluar dari mata, begitulah menurut Kitab Waruga Jagat Lembaran (3), dan menurut Kitab Waruga Jagat Fol 11, karena “lebak karagragan ci banyu eluh, mana jumeneng Ratu Galuh” , sungai/lembah kejatuhan air mata, maka bergelar Ratu Galuh.
Dalam kedua naskah di atas, Galuh adalah gelar seorang raja, belum lagi berarti nama sebuah kerajaan. Ratu Galuh itulah yang berputera tiga orang, yang sangat dikenal dalam babad yang telah diwarnai dengan usaha Islamisasi. Ketiga putera itulah Hariang Banga, Ciungmanarah dan Marajasakti.
Dalam Kitab Waruga Jagat, nama putra yang kedua, pada lembaran (2) tertulis dengan Ciungmanarah, Ciungmanarah adalah sebutan yang lebih kita kenal dalam cerita-cerita lisan yang biasa didongengkan oleh ki Jurupantun dan merupakan bentuk nama yang sangat muda.
Dalam Carita Parahyangan, Fol. 32,31, nama tokoh itu disebut ‘Sang Manarah”, merupakan bentuk sebutan yang tertua yang kita ketemukan dalam bentuk tertulis. (Atja, 1968, Tjarita Parahiyangan, Bandung, hal. 28-29).
5. Dalam Carita Waruga Guru, bagian yang bertalian dengan episode Hariang Banga dan Ciungmanarah merupakan bagian yang terpanjang, dari Fol.12 hingga Fol.21, padahal Carita Waruga Guru itu seluruhnya hanya terdiri dari 24 Folio. Adapun dalam Kitab Waruga Jagat episode tersebut hanya disinggung dalam Lembaran (2) sebanyak 2 baris dan pada Lembaran (4) hanya beberapa baris saja. Maka dengan demikianCarita Waruga Guru itu merupakan sebuah naskah yang isinya memusatkan kepada peristiwa Ratu Galuh sebagai cikal bakal bagi para raja, baik yang berkuasa di Majapahit maupun di Pajajaran. Adapun Kitab Waruga Jagat ternyata lebih memusatkan uraiannya terhadap peristiwa runtuhnya Pajajaran yang tersebarnya cucu-cicit Prabu Siliwangi ke seluruh daerah sebelah timur dari bekas kekuasaan Pakuan Pajajaran, khususnya daerah Priangan.
Lepas dari hal-hal yang telah dikemukakan di atas, antara kedua naskah itu dalam episode tersebut terdapat persesuaian isi, bahwa Hariang Bangan menduduki tahta kerajaan Majapahit, sedangkan Ciungmanarah mendirikan kerajaan Pajajaran. Selanjutnyam dalam Carita Waruga Guru dijelaskan bahwa Hariang Banga menurunkan para ratu Majapahit dan kemudian Mataram, dan berakhir dengan menyebut ‘Pangeran Dipati’, putra Pangeran Mangkunegara. Menurut catatan C.M. Pleyte (C.M. Pleyte, 1913, op.cit, hal. 403; cf B. Schrieke, 1959, Indonesian Sociological Studies, Rural and Realm in Early Java, Brusse’s Gravenhage, hal. 151), Pangeran Mengkunegara naik tahta Mataram pada tahun 1719, dan memerintah hingga tahun 1725, dengan gelar Amangkurat IV, kemudian digantikan oleh Pangeran Dipati dengan gelar Pakubuwana II, yang berkuasa antara 1725 hingga tahun 1749, maka dengan demikian Carita Waruga Guru kemungkinan besar tersusun pada masa di Mataram berkuasa Amangkurat IV, atau mungkin sebelumnya. C.M. Pleyte memberikan ancer-ancer tersusunnya Carita Waruga Guru antara tahun 1705-1709, karena dalam deretan silsilah disebutkan juga Susunan Puger, baru setelah bertahta di Mataram menggantikan kakaknya dengan kekerasan, bergelar Pakubuwana I.
Adapun Kitab Waruga Jagat menyebut keturunan Hariang Banga yang terakhir ialah Pangeran Dipati Anom, putra Susunan Amangkurat (II), cucu Susunan Tegalwangi (Amangkurat I), maka dengan demikian dapat kita mengajukan dugaan bahwa Kitab Waruga Jagat, tersusun pada masa di Mataram berkuasa Susunan Amangkurat II, sedangkan masa pemerintahannya dari tahun 1677 hingga tahun 1705, pada tahun 1703 Pangeran Dipati ANom naik tahta dengan gelar Amangkurat III. Terkenal dengan gelar Sunan Mas, yang dibuang pada tahun 1708. (P.J.Voth, 1878, Java, Geograpisch, Ethnologisch, Historisch, Haarlem, Theede Deel, hal. 420-421).
Bagian terakhir pada Kitab Waruga Jagat ada tersebut bahwa selesai ditulisnya pada malam Selasa, bulan Rayagung, tanggal 8, tahun Alip, Hijrah 1117.
Berdasarkan pengamatan kami, Tahun Alip tidak bersesuaian dengan Hijrah 1117. Menurut Th.Pigeaud (Th.Pigeaud, 1932, Javaans_nedelads Handwoorddenboek, Batavia, Hal. X; cf. Harry W. Hazard, 1951, Atlas of Islamic History, Conversion Table-Islamic and Christian Dates, 44-45). Tahun Alip jatuh pada Hijrah 1107 atau Masehi 1695, sedangkan tahun Alip berikutnya jatuh pada Hijrah 1115 atau tahun Masehi 1703. Adapun tahun Hijrah 1117 bersamaan dengan tahun Jimawal atau tahun Masehi 1705/1706.
Pada masa itu di Sumedang memeritah Pangeran Rangga Gempol III, pada masa pemerintahannya pernah mengalami musibat, karena pada tahun 1678, semasa orang-orang sedang bersembahyang Idul Fitri, bertepatan dengan hri Jum’at, kota Sumedang diserbu oleh lasykar Banten yang dikepalai oleh Kiai Cilikwidara, Sumedang berhasil diduduki. Adapun Pangeran Rangga Gempol III sempat melarikan diri ke daerah pedalaman Indramayu. Baru setelah tercapai persetujuan antara Pemerintah Kompeni dengan Banten pada tahun 1681, lasykar Banten di Sumedang ditarik mundur dan Pangeran Rangga Gempol III ditempatkan lagi sebagai Bupati Sumedang, sampai wafatnya pada tahun 1707. Dan berdasarkan keterangan di atas kami menduga, bahwa Kitab Waruga Jagat tersusun pada masa Pangeran Rangga Gempoll III berkuasa, meskipun demikian tidak terasa sama sekali, bahwa Kitab Waruga Jagat ditulis dalam rangka usaha untuk mengembalikan kewibawaan Bupati tersebut terhadap rakyat Sumedang.
6. Perbedaan yang sangat menarik antara isi Carita Waruga Guru dan Kitab Waruga Jagat, yaitu yang berkenaan dengan silsilah keturunan raja-raja Pajajaran.
Pada CWG Fol. 23-24, disebutkan bahwa Ciungmanarah mendirikan Pajajaran dengan para pengikutnya, pandai besi yang berjumlah 800 kurang seorang. Keturunannya yang berkuasa di Pajajaran berakhir dengan Prabu Siliwangi. Padahal dalam Kitab Waruga Jagat, titik pusat perhatian penulis ialah menguraikan secara lebih luas mengenai penyebaran anak-cucu Prabu Siliwangi, setelah Pakuan Pajajaran runtuh.
Dalam Kitab Waruga Jagat disebutkan, bahwa Pajajaran ‘burak’, pada hari Selasa tanggal 12 Sapar tahun Jimakhir. Biarpun sesungguhnya perhitungan tahun yang disebut ‘Windu”, yang berjangka 8 tahun, baru diperkenalkan secara resmi kepada masyarakat Jawa oleh Sultan Agung, bertepatan dengan menyesuaian perhitungan tahun Caka 1555 = Hijrah 1043 – Masehi 1633, tetapi para penulis babad atau silsilah sering terjadi sebelum terjadinya penyesuaian tersebut (Soebardi, q. 965, “Calendrical Tradisions in Indonesia”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid III Nomor 1, Hal 59-60. Atmamihardja, “Tanggapan terhadap Prasaran Sdr. Drs. Didi Suryadi mengenai “Sekitar Keturunn Kerajaan Pajajaran”, Lembaran Diskusi Sejarah, Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran, Bandung, 1972, hal. 30).
Hal tersebut kita dapati juga misalnya pada “Sejarah Banten: didasarkan atas telaah Hoesein Djajadiningrat almarhum (H. Djajadiningrat, 1913, Cristiche Beschouwing van de Sajarah Banten, Haarlem, hal. 131-132; cf H. ten Dam, 1957, ‘Verkenningen random Padjadjaran”, Indonesie, Tiende jaargang, hal. 304, 306) dalam kitab sejarah Banten itu disebutkan tentang keberangkatan laskar gabungan Banten, Pakungwati, Angke dan Demak, waktu mereka berangkat itu disebut pada hari Ahad, 1 Muharam, tahun Alip, yang berarti nama hari yang pertama, tanggal 1, bulan Muslimin yang pertama dan perhitungan tahun berjangka 8 tahun, yang pertama pula, oleh Hoesein Djajadiningrat dianggap sebagai perhitungan yang dibuat-buat dan tidak historis, adapun candrasangkala yang berbunya: bumi rusak rekeh (nagke) iki ditafsirkan sebagai tahun Caka 1501, yaitu tahun 1579/1580M. dan oleh beliau dianggap merupakan tahun terjadinya penyerangan lasykar gabungan tersebut ke pusat kerajaan yaitu ibu-kota Pakuan Pajajaran.
Bahwa lasykar gabungan itu ketika tiba di ibukota Pakuan tidak menemukan perlawanan yang berarti dari pihak Pajajaran dapat kita ketahui secara luas, baik berdasarkan catatan-catatan yang tertulis maupun yang berasal dari berita-berita lisan yang diberitakan melalui juru pantun dan sebangsanya.
Dari Kitab Waruga Jagat sendiri, ada tersirat mengenai ‘burak’ Pajajaran, yang pada dasarnya disebabkan adanya kekacauan yang berlarut-larut di dalam negeri sendiri, Sebab-sebab yang sebenarnya masih diperlukan inventarisasi dari berbagai aspek dan metodologi.
Dalam perkiraan kami tahun Jimakhir yang disebutkan di atas bila bukan hanya khayalan penulis Kitab Waruga Jagat semata-mata, melainkan berdasarkan catatan yang dianggap sebagai peringatan yang secara seksama diturunkan kepada cucu-cicit Pajajaran, maka kita boleh merasa puas dengan hanya mengajukan dugaan, bahwa tahun Jimakhir tersebut mestinya lebih tua dari tahun 1579/1580 Masehi, dan tahun Jimakhir yang paling dekat jaraknya dengan tahun tersebut, ialah tahun 1578 Masehi. Dan berdasarkan perhitungan secara mundur ke belakang, 14 Sapar tahun Jimakhir itu bertepatan dengan tahun 986 Hijrah atau 22 April tahun 1578 Masehi.
7. Yang memina perhatian khusus. Ialah tentang tokoh Kian Santang; dalam versi yang terdapat di Priangan, disebutkan sebagai salah seorang putra Prabu Siliwangi, yang menyebarkan ajaran Islam di pusat Kerajaan Pajajaran (Bandingkan dengan karangan C.M. Pleyte, 1916, “Padjadjaran’s overgang tot den Islam, colgens de Buitenzorgsche overlevering”, TBG, Deel LVII, hal,537, 557-560.). Pada mulanya ‘Kian Santang’ berangkat ke Campa bersama-sama adik perempuan yang dalam Kitab Waruga Jagat, lembaran (9), bergelar ‘Sarikabunan’. Sarikabunan di Campa menikah dengan Duta Samud, cicit Ki Jatiswara. Sepulangnya ke Pakuan, Kian Santang menyebarkan agama Islam dengan sangat gigih, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan masyarakat terutama di antara para pembesar yang kukuh pengkuh memegang agama karuhun mereka, dengan demikian merupakan salah satu faktor yang mendorong kepada timbulnya kericuhan di dalam negri, sehingga banyak di antara para pembesar dan anak cucu Prabu Siliwangi yang menyingkirkan dirinya terutama ke arah Timur dari pusat kerajaan, karena ke arah Utara dan Barat telah jatuh ke dalam kekuasaan Banten (1526) dan Jakarta (1527); menurut tradisi antara lain termasuk Kian Santang sendiri. Menurut versi Priangan, Kian Santang menyebarkan ajarannya di daerah sebelah Selatan Priangan. Keramat Godog hingga dewasa ini terkenal sebagai salah satu ‘patilasan’ Kian Santang, yang terletak di lereng gunung Keracak, Garut. Menurut sementara pendapat Kian Santang dimakamkan di Cilauteureun.
Dalam versi Cirebon, salah seorang putra Prabu Siliwangi yang memeluk agama Islam ialah Walangsungsang, karena itu diusir oleh ayahnya, Walangsungsang mengembara ke arah Timur dari Pakuan Pajajaran dan akhirnya tiba dibukit Jati dan berguru kepada Syekh Datuk Kahpi (Mungkin datuk Upih, seorang ulama yang pernah tinggal di pulau Upih, dekat Melaka, atau memang berasal dari situ), kemudian bersama dengan adiknya, Nyai Lara Santang berangkat ke Mekah.
Apabila dalam versi Priangan Sarikabunan nikah dengan Duta Samud, cicit Ki Jatisawara, maka Nyai Lara Santang nikah dengan Ratu Mesir, dari pernikahan itu nyai Lara Santang berputra Syarif Hidayatullah, pembangun dinasti Cirebon dan Banten. Meskipun demikian adanya bahan-bahan yang bersimpang-siur itu, meminta perhatian kita untuk penelaahan lebih lanjut. {Periksalah terbitan J.L.A. Barandes, “Babad Tjerbon”, Vorhandlingon BG Deel LIX, Theede Stuk, cerste gedeelte. Naskah yang baru diketemukan dari daerah Indramayu berjudul “Purwaka Caruban Nagari”. Telah disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh Penanggung Jawab Sejarah Tjirebon; dan diterbitkan olej Bharatara, 1972. Penerbitan teksnya disertai terjemahan dengan diberikan uraian yang bersifat sementara telah dikerjakan oleh penulis ini dan dikeluarkan secara terbatas sebagai monografi No.5, dari Ikatan Karyawan Museum, Museum Pusat Jakarta, tahun 1972.}.
Dalam KWJ ada uraian tentang asal-usul Susunan Gunung Jati, pada permulaan dan pada bagian terakhir. Penulis ternyata memberikan silsilahnya secara tidak konsisten; Ayah Susuhunan Sunan Gunung Jati pada Lembaran (1) adalah Ratu Mesir, sesuai dengan versi Cirebon. Berdasarkan versi Cirebon, Pangeran Dipati Balegayam adalah cucu Susuhunan Gunung Jati dan berputra Panembahan Ratu, dan bukan bercucu Panembahan Ratu seperti pada KWJ, Lembaran (1), 9. Begitu pula Panembahan Girilaya yang wafat pada tahun 1662, dimakamkan di tempat yang bernama Girilaya, letaknya di sebelah timur laut Imogiri, Yogyakarta. (F. de Haan, 1911, Priangan, Deel III, hal. 228). Panembahan Girilaya berputra Samsudin, Sultan Kasepuhan yang pertama; Badriddin, Sultan Kanoman yang pertama dan Wangsakarta, yang bergelar Panembahan Cirebon. Maka dengan demikian Panembahan Girilaya tidaklah berputra Sultan Komaruddin, karena Sultan Komaruddin adalah Sultan Kanoman ke 5, setelah Sultan Badriddin. (J.L.A. Brandes, 1911, op. cit, hal. 24 atau P.S. Sulendraningrat, 1968, Nukilan Sejarah Tjirebon Asli, Tjirebon, hal.40.).
Dengan terdapatnya kekeliruan yang sangan jelas itu, kami menduga bahwa naskah KWJ ini bukanlah yang asal, yang tertulis pada tahun Hijrah 1117 atau 1705/1706 M, kemungkinan besar hanyalah sebuah ‘turunan’, yang dikerjakan oleh seseorang, yang tidak atau kurang memahami silsilah keluarga kesultanan Cirebon.
Dalam bagian terakhir Kitab Waruga Jagat, kita dapati pula silsilah yang menguraikan bahwa Susuhunan Gunung Jati adalah putra Nyai Gedeng Jatiswara dan cucu Haji Duta Samud, dengan tidak menyebur-nyebut ayah Susunan Gunung Jati. Dalam bagian lain seperti telah kita kemukakan terlebih dahulu, Sarikabunan diperistrikan oleh Duta Samud, dan berhubung dengan itu mungkin pula Nyai Rara Santang itulah yang bergelar Nyai Gedeng Jatiswara. Bahan-bahan yang diperlukan untuk memperoleh kejelasan tentang masalah di atas, masih perlu kita kumpulkan sebanyak-banyaknya.
8. Biarpun baskah Kitab Waruga Jagat merupakan pusaka keturuan Bupati-bupati Sumedang, tetapi bagian yang memberi penjelasan tentang asal-usul karuhun Bupati-Bupati Sumedang, tidak dapat kita ambil manfaatnya dengan seksama. Pada lembaran (8-9), tersebutlah Sang Dewaguruhaji berputra Sang Ratu Guruhaji, beliau berputra Tajimalela dan Tajimalela berputra Gsanhulun, sedangkan Gösanhulun berputra Pangeran Sumedang, yang bertempat di Sumedanglarang.
Dalam bagian lain, pada Lembaran (1), diriwayatkan, bahwa karuhun Susuhunan Gösanhulun adalah Ratu Komara. Ratu Komara berputra Dewa Guru, sedang Dewaguru berputra Guruhaji. Adapun Guruhaji berputra Hajiputih dan Hajiputih-lah yang berputrakan Gösanhulun. Susuhunan Gösanhulun berputra Pangeran Sumedang Kahiangan. Diceritakan bahwa penjelmaan Komara dinamai Batara Tungtungbuwana, yang tiba di Medanglarang dan bernama Tajimalela, itulah yang memerintah di Sumedanglarang.
Memperhatikan bagian tersebut, pusing kita dibuatnya. Pada kutipan tadi kita memperoleh dua nama, yaitu Gösanhulun dan sebagai putra Tajimalela dan Susunan Gösanhulun putra Hajiputih, selanjutnya Gösanhulun berputra Pangeran Sumedang, sedangkan Susunan Gösanhulun berputra Pangeran “Sumedang Kahiangan”.
Dalam hubungan dengan bagian yang mengutarakan ‘tetesing komara’, dapatlah kami jelaskan bawa kata ‘komara’ bahasa Jawa ‘kumara’, berarti ‘esensi’, jiwa kehidupan, dalam pertailannya dengan wibawa keratuan atau sebutan yang lebih populer ialah ‘pulung’. Dan yang dimaksudkan dengan Batara Tungtungbuwana adalah esensi keratuan dan tempat penjelmaannya, diwujudkan dalam bentuk sebuah ‘lingga’ atau ‘taji’ dan ‘halu’. Maka dengan demikian, ‘Tajimalela’ tidak hanya berarti nama seorang tokoh, melainkan juga bermakna esensi keratuan. Adapun kata ‘malela’ dalam pikiran dan kepercayaan orang Sunda dikhayalkan sebagai besi/baja. Maka kami memperkirakan bahwa tokoh-tokoh yang sering disebut-sebut dalam babad-babad di kalangan masyarakat Sunda khususnya, ialah “Tajimalela”, “Susuktunggal” dan “Haluwesi” adalah nama-nama untuk menyebut esensi keratuan, yang diwujudkan dalam bentuk lingga.
Karena silsilah itu sangat bersifat mitologis, maka kiata hanya bertumpu kepada Gösanhulun, yang menurut penelitian sementara orang, merupakan tokoh sejarah yang muncul setelah runtuhnya Pakuan Pajajaran dan mengaku sebagai pewaris dan memang diakui oleh masyarakatnya sebagai penerus tradisi Pajajaran dan berkuasa di daerah yang sangat luas di Jawa Barat, sedangkan di belahan Utara Jawa Barat, sebelah Timur dikuasai oleh Cirebon dan sebelah Barat oleh Banten.
Penjelasan mengenai karuhun Gösanhulun hanya kita dapat dari naskah-naskah yang lebih muda, antara lain dari silsilah Keluarga Bupati-Bupati Sumedang; yang disusun atas nama Raden Adipati Suryalaga II, milik YPS, yang telah disinggung dimuka.
Silsilahnya sebagai berikut: Ratu Mesir, Syekh Najmuddin Rohmatullah berputra Sunan Gunung Jati, sedangkan Sunan Gunung Jati berputra Ratu Petek berputra Pangeran Panjunan, Pangeran Panjunan berputra Pangeran Pamelekaran dan Pangeran Pamelekaran berputra Pangeran Santri, yang kemudian berputra Gösanhulun.
Silsilah tersebut sesuai dengan yang pernah dikutip oleh J. Hageman(J. Hageman, J. Cz, 1867, Geschiedenis der Soenda-lander”, TBG, Deel XVI, hal.21) – tetapi Ratu Petek sebagai salah seorang putra Susunan Gunung Jati tidak pernah disebut-sebut dalam “Babad Cirebon”, juga dalam “Purwaka Caruban Nagari”, yang ditulis oleh Pangeran Arya Carbon, pada tahun 1720 (Periksa edisi Penanggung Djawan Sedjarah Tjirebon, Jakarta, 1972, hal. 21).
Suatu hal yang member kelonggaran kepada kita untuk mengajukan dugaan, ialah karena biasanya para penulis babad atau silsilah jarang yang menuliskan nama-nama keturunan seseorang secara lengkap, biasanya hanya dipilih yang dianggap sangat penting-penting saja, untuk kelurusan rangkaian keturunan yang menjurus kepada keluarga yang member perintah kepadanya untuk menuliskan deretan nama-nama orang yang sangat penting bagi yang bersangkutan, atau bagi kelengkapan keluarga penulis sendiri.
Dalam “Purwaka Caruban Nagari” misalnya putra Sunan Gunung Jati hanya disebut seorang ialah ‘Ratu Ayu’. Karena Ratu Ayu itulah yang menurunkan keluarga Kesultanan Cirebon kemudian. Dalam naskah itu diterangkan, bahwa Ratu Ayu adalah kakak perempuan Pangeran Pasarean dari ibu yang sama yaitu Nyai Tepasansari. Ratu Ayu bersuamikan Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak II, setelah Sultan Demak II wafat tahun 1521, Ratu Ayu kembali ke Cirebon dan pada tahun 1524 menikah dengan Ratu Bagus dari Pase, yaitu Fadhillah Khan, dari pernikahannya yang kedua ini mempunyai putri yang bernama Ratu Wanawati Raras, setelah dewasa Ratu Wanawati Raras menikah dengan Pangeran Dipati Carbon yang pertama, Pangeran Dipati Balegayam, salah seorang putra Pangeran Pasarean, dari pernikahan itulah lahirnya Panembahan Ratu, yang kemudian menggantikan kedudukan Sunan Gunung Jati.
Selanjutnya kita ketengahkan nama salam seorang istri Pangeran Gösanhulun, yaitu yang bergelar Nyai Mas Gedeng Waru putri Raden Mömöt, adapun Raden Mömöt adalah salah seorang putra Prabu Siliwangi. Di sini tampak adanya ‘anachronisme’, ‘piut’ Sunan Gunung Jati nikah dengan ‘cucu’ Prabu Siliwangi.
9. Usaha-usaha untuk mengesahkan kekuasaan Kompeni di Indonesia secara tidak langsung ditanamkan melalui berbagai cara dan antara lain melalui para penulis babad dengan memasukan cerita-cerita legendari yang berselubung dan Jawa Barat khususnya dilambangkan dengan dongeng “Tanduran Gagang”, seperti yang diketengahken secara singkat dalam KWJ, Lembar (9). Diceritakan bahwa Tanduran Gagang, cucu Prabu Siliwangi dari putrinya Sekar Mandapa. Memiliki kemaluan yang panas bagaikan api, hingga Pangeran Jakarta, Ratu Banten, Cirebon dan Mataram yang berhasrat untuk memperistrikannya, tidak mampu untuk menggaulinya, karena dianggap tidak berguna lagi, lalu dijual kepada Belanda dan mendapat tukarannya 3 pucuk meriam. (J.L.A. Brandes, 1920, “Pararaton (Ken Arok), of het Book den-Koningen van Toemapel en van Majapahit”. Theede druk, beverkt door Dr. N.J. Krom met mederwerking van Prof. Mr. Dr. J.C.C. Jonker, H. Kraemer en R. Ng. Porbatjaraka, Verhadelingen, Deel LXIIm hal. 67 ).
Dongeng tentang terjadinya padi dan berjenis-jenis bahan pangan yang berguna bagi kita, begitu pula tentang terjadinya berbagai bisa dan lain-lain menjadi pengganggu kehidupan manusia terdapat juga dalam Kitab Waruga Jagat, biarpun hanya diulas secara singkat. Uraian itu tidak berbeda jauh dengan cerita yang terdapat dalam “Wawacan Sulanjana” yang telah dikerjakan oleh Raden Satjadibrata dan telah diterbitkan oleh Bale Pustaka dan juga diterbitkan oleh C,M, Pleyte dan malahan menjadi bahan disertasi oleh K.A.H. Hidding. (K.A.H. Hidding, 1929, Nyi Pohatji Sangjang Sri, Leiden, dan Soelandjana, edisi C.M. Pleyte dalam “De Inlandsche Nijverheid in West-Java” 4de stuk, hal. 1-17).
10. Dalam Kitab Waruga Jagat di samping terdapat uraian-uraian singkat mengenai tokoh-tokoh yang pernah berkuasa di dalam masyarakat Jawa Barat, malahan oleh para penulis babad dipertegas lagi, bahwa tokoh-tokoh itu bukan hanya terdiri atas manusia belaka, melainkan juga tokoh-tokoh mahluk halus dan lebih-lebih lagi bahwa manusia itu berasal dari keturunan Ratu Galuh. Maka karena adanya kepercayaan itu, dalam Kitab Waruga Jagat terdapat uraian silsilah para tokoh-tokoh Siluman yang memegang kekuasaan di wilayah-wilayah tertentu di Jawa Barat.
B. KITAB WARUGA JAGAT
TRANSKRIPSI DARI HURUF PEGON
(1) Kosim, Kosim apuputra Abdulmuthalib, Abdulmuthalib apuputra Abdullah apuputra nabi kita, Muhammad s.a.w. nabi kita apuputra Fatimah. Fatimah apuputra Hasan Husein, Husein apuputra Zainal Abidin, Zainal Abidin apuputra nabi Ratu Israil, apuputra Ratu Rajayuta. 5. Ratu Rajayuta apuputra …… Raja Mesir apuputra Susunan Gunung Jati, Susunan Gunung Jati apuputra Pangeran Pasarean, Pangeran Pasarean apuputra Dipati Balegayan, Pangerat Dipati Balegeyan iku apuputra Panembahan, Panembahan apuputra Panembagan Ratu. Pa 10. nembahan ratu apuputra Pangeran Ratu, Pangeran Ratu apuputra Pangeran Dipati, Pangeran Dipati apuputra Girilaya, Panembahan Girilaya apuputra Sultan Komarudin, Sultan Komarudin apuputra Pangeran Rajaningrat ing nagara Carbon. Tamat.
punika carita hadith sing sapa angrungukaken amaca pitutur punika 15. pinadahaken qur’an tigangpuluh juz laa masih pinadahaken perang sabil ping sewu lan lamun angening dadi tatamba lawan ………… ing umahe ora adawah saking pitnah setan iblis lan lamun malebu ia ing naraka nisun ika ilang pangandika den mumule. punika carita putra nabi saking kanga nom ingaranan bagindha Sam, apuputra Bakarbuwana, 20. Bakarbuwana apuputra Manaputih ….. Gantungan …. Gantungan apuputra Ongkalarang, Ongkalarang apuputra Sayar, Ratu Sayar apuputra Ratu Majakane, Ratu Majakane apuputra Parmana, Parmana apuputra lilima, kang satunggal Ratu Galuh.
(2) Ratu Sirputih, kang satunggal Sang Rasaputih, kang satunggal Atmasuci kang satunggal Ratu Barahma. Ratu Barahma binakta saking Selan maring Nusa Arah dudukuh ing Medangkamulan kalih kang rayi wadon nama Ratu Dewi Hasta Terusgumuling maka ananandur tatanduran jawawut mulane den arane Nusa Jawa maka arabi putra Ratu Mesir nama Ratu ….tasari kang rayi lanang. Kang nama Ahmad atetemu pada rayi saking Selan sewu saking Mesir sewu maka angalih ing Gunung Kidul apuputra titiga kang satunggal ki Dipati Hariyang Banga 30. kapingrwa ki Dipati Ciungmanarah, lan ratu Marajasakti ana dene tingalaken ing Hujung Kulon deningkaki begawat sang …… maka den haturaken maring Ratu Mesir maka sang ratu angandika maring Bagawat maka kinon rumaksa pisan dening kaki Bagawat. Maka lawas pejah maka nuli den kubur iya, maka metu ruray istri kang pejah ika iku anangis bocah anjeluk wowohan kang luwih enak, banget pana – 5. ngisne bocah iku maka nuli mati ia, sawuse mati nuli den kubur sawane den kubur lawas-lawas cukul lan tutuwuh saking netrane dadi watange pari lan sakehe papanganan kang anaka. Maka kang putra Ratu Mesir mati Ratu Parwatasari maka den katuraken maring Medangkamulan balang sewu babaktane alaki sri karana iku ing nusa Jawa ana dene Ratu Barahma tibane 10. ing nagarane putra kang istri
(3) Ingaturaken maring Ratu Medangkamulan maka apuputra saking ratu istri kang …….. panas ing nagara ….. maka den atundung dateng kulon. Maka atetemu Ki Jakahtawa nuli …. Tegal kapanasan 15. nagarane pernahe ing basisir baline den buang ing sagara. Maka dadi sakehe kang mandi-mandi ing sagara. Sang Rasaputih tiba ing Balumbangan puputra istri ingaturaken maring Ratu Medangkamulan, apuputra saking Ki Jakatahwa. Maka akarama masring Nyi Rarawisa. Maka putra kakayon. Demi awoh metu bocah lan lelenge 20. rujak hanger pada karana wisa iku ana ing nusa Jawa. Ana dene atmasuci tapane ing Sam Lor, pernahe maka ……. maring Ki Sadana. Apuputra wadon namane Dwirasa …….ika maring Raden Jayakeling ia iku purwaning sakehe …… kang sinujudan. Cah 25. ya kang metu saking netra karana den arani Ratu Galuh sebab Ratu anyakrawati maka wonten kersa sing Allah angwedeni maring kaulane sebab a aranut ing sareat Nabi Noh. Maka metu angin topan saking pojok sagara maka nuli kalenger wong alam dunya antara patang puluh dina. Maka nuli anut ing sareat Nabi Noh. Maka pada munggah 30. ing baitra sadaya ana dene Ratu Galuh ika acita gunung luhur pitung langit.
(4). Maka sami munggah maring gunung balane kabeh demi sampun asat maka tumurun saking gunung, maka munggah ing Bojonglopang, gawe dukuh maka den wujudi gunung kulon dipun panah dening malaikat. Maka nuli remuk gunung iku, maka pepecahan iku dadi sakehe kabuyutan kabeh iku ing nusa Jawa. Apan Ratu Galuh saking bangsa manusa titita warnane kang dihin Hariyang Banga lan kapindo Ciungmanara lan kapindo telu Marajasakti maka Hariyang Banga iku apuputra Ki Gedeng Mantalarana, Ki Gedeng Mantaparana apuputra Ki Gedeng Mesir, Ki Gedeng Mesir apuputra Ratu Majapahit, Ratu Majapahit apuputra Ki Gedeng Jati, ki Gedeng Jati apuputa ki Gedeng Kartadipura, Ki Gedeng Kartadipura 10. apuputra ki Gedeng Sari, apuputra Ki Gedeng Kacung, Ke Gedeng Kacung apuputra Ki Gedeng Suruwud, iku apuputra Pangeran Sedang Karapyak, apuputra Pangeran Sedang Kamuning, apuputra Sultan Mataram apuputra Susunan Tegalwangi, apuputra Susunan Mangkurat, apuputra Pangeran Dipati Anom, Ana dene putra Ciungmanawa pinarnahaken ing 15. Pajajaran taktalane babaktane pande domas lan putra wadon kang nama Purbasari alaki Ki Lutungkasarung. Kang Putra Manggungmendung apuputra Linggahiang apuputra Susuk Tunggal.
(5) apuputra Parbu Mundingkawati, apuputra Parbu Anggalarang, apuputra Mundingwangi, kang dihin Ratu Sunda, nyakrawati hing Pajajaran. 20. putra Ratu Siluman pipitu sakehe sawiji Ki Jakahlarang, ring Roban, pernahe kapindo Ki Tua Sapularang, pernahe ing Tunjungbang. Ki Diriwangi pernahe ing Wiraga, lang kapingpat Ki Koyopok pernahe ing Guha Upas. Kapinglima Ki Kempanglarang pernahe ing Guha Pajajaran. 25. Kapingnem Ki Dulek pernahe ing Sancang. Kapingpitu Ki Kelewing pernahe ing Pajajaran, punika anak putune Sunda tetkala gemuh Pakuan Raden Töngö saking ajamantri, Raden Mömöt saking Padmakarang Raden Sakian Sumbulakungsari saking Ratu Bancana kang sepuh Mundingdalem…..30. Sanghyang Perbu Sangkanbönghar apuputra Sanghyang Lemansanjaya apuputra Sanghyang Rajuna, apuputra kang ….. apuputra kang Sedang Taman, apuputra kang Sedang Pangkalan, apuputra Sanghyang Sogol, apuputra Raden Senapati Angalaga, Raden Senapati Angalaga apuputra Sanghyang Panengah apuputra Sangiang Lebakwangi.
(6) kang satunggal putra Ratu Sunda ingaranan Sanghyang Agung, apuputra Sanghyang Maya apuputra Raden Narasinga ing Cirebon, apuputra Sayagati, kang satunggal metu saking Buniwangi putrane Dalem Rumenggong. Ingaranan Ratu Parmana, apuputra Ratu Parmana Di Puntang apuputra Ratu Pantenan. Apuputra Rama Dewa, apuputra Susunan Ranggalawe. Pernahe ing Timbanganten. Kang satunggal ingaranan Keboputih, maka akarma maring putra Susunan 10… Dalagung, apuputra susunan Rajamandala ing Cahur. Ana dene sang metu saking Ratu Akri ingaranan Parbu Limansajaya pernahe ing Limbangan Kang satunggal putrane Gurugantangan kang metu saking Mayangkaruna, ingaranan Ranggamantri Puspawangi Rajaparmana, maka kang apuputra Susunan 15. Wanaperih pernahe ing Talaga. Kang satungal kang metu saking Manikgumilang ingaranan Sangiang Jampana, pernahe ing Batulayang. Kang satunggal kang metu saking Pangilaransari, ingaranan Ratu Dewi apuputra ingaranan Marajahiang, pernahe ing Batuwangi. 20. kang satunggal ananking Karang, ingaranan Mudikbatara
(7) Kang satunggal putrane Ratu Marajasakti ingaranan Raja MasTuli, maka tinarimaken maring Ki Lembualas. Pinarnahaken ing Ukur, maka apuputra Kiai Dipati Ukur. Kang sepuh kang satunggal putrane ratu saking Marajainten, maka apuputra ingaranan Sangiang Wiruna apuputra Parbu ….. 25. Kiai Ngabehi cucuk kang sepuh pernahe ing Manabaya. Kang satunggal putrane Ranggasinom, ingaranan Guruminda Mantrisari maka apuputra ingaranan Sangiang Wide, Sangiang Wide apuputra Sangiang Tubu den pernahaken ing Sakawayana Kang satunggal apuputra Rangga Pakuan, kang metu saking Maraja Selawangi 30. ingaranan Sangiang Lutar, pinarnahaken ing Panembong, kang satunggal putrane Mundingkawati kang metu saking Marajalayang, anake Kidangpananjung ingaranan Ratu Wijaya, maka apuputra ingaranan Parbu Wesi, pernahe ing Rajapolah. Kang satunggal putrane Sangiang ……raksa, kang metu saking Tamompo, maka apuputra ingaranan Ranggadipa, lan ingaranan Raden Sinom, lan ingaranan Raden ….. pernahe ing Suci, Raden Sinom pernahe ing Selagedang. 5. kang satunggal putrane Mundingmalati, saking Parenggilayaransari ingaranan Sangiang Wiraga, Sangiang Wiraga atetep ing gunung Madeyasukma, ingaranan Batara Amilaranga, maka apuputra ingaranan Ratu Siluman, Ratu Siluman apuputra Ratu Demang. Ratu Demang apuputra Batara Yang Sengkawaja arabi maring Batara 10.kang Putra pohaci Rabanu maka apuputra Batara Sedang Kawindu. Batara Sedang Kawindu maka apuputra nu pupus di Galuh, maka kapademan lan lungguhe kaselang dening kang paman ingaranan Saröpön, Saröpön Cipacul maka putrane kakalih kang dihin nu seda ing Cibuntu lan kapindo Dalem 15. Demang. Maka nu seda ing Cibuntu sapuputra Dalem Demang Agung. Dalem Demang Agung apuputra Kiai Ngabehi Sama pernahe ing Sindangkasih kang satunggal putrane Raden Ganduwangi, kang metu saking Margacinta, maka apuputra Sanghiang Medang, apuputra Susunan Padujaya pernahe ing Pawenang. 20. Kang satunggal putrane Raden Numbang, putrane saking Intenbancana, maka apuputra Sanghiang Sumuragung, Sanghiang Sumuragung apuputra Sanghiang Maha Sahunggantang. Kang satunggal namane Ranggasanten, putra saking Marajakastori ingaranan Susunan Dirgahiang, putrane Mundingjaya pernahe ing Mandala. 25. Kang satunggal putrane Susunan Sinduparmana, kang kalih di Galuh, putrane Susunan Jaratna, pernahe ing Cipinaha.
(8) kang satunggal sadereke Raden Srigading pernahe ing Sukakarta Kang satunggal malih sang Maharaja Widara, pernahe ing Maja. Kang putra Ratu Perbasakala ingaranan Susunan Tambalayu. 30. Maka apuputra istri ingaranan Ratu Gumilang, maka tinampahaken maring Santowaan Gunung Licin. Maka apuputra Susunan Majaya, pernahe ing Taraju. Kang satunggal namane Kian Santang, maka akarama maring Ratu Mandapa maka istri Emurhali alaki maring Bimalarang putra saking Jampang, pinarnahaken ing Nagara. Kang satunggal putra Mundinglingga, kang metu saking Arunganda 5. Wayangsari, maka apuputra Susunan Cilöwih, pinarnahaken ing Kadungora, maka apuputra titiga Marajahiang Teruslabo, pernahe ing Parakantiga. Amarajahiang Rajanabo pinarnahaken ing Kandangwangi. Marajahiang Lugajaya pernahe ing Cidamar, ana dene kang satunggal putrane Susunan Rajanawung kang metu saking Rajasari ingaranan Ratugala rabine kang bobot tapane ing serangenge, sarta kalan Batari Resik putih, maka apuputra ingaranan Sang Dewa Guru haji, Sang Ratu Guru haji apuputra Tajimalela.
(9) Tajimalela apuputra Gösanhulun, Susunan Gösanhulun apuputra Pangeran 15. Sumedang, pernahe ing Sumedanglarang, sabab margane anak putu Ratu Sunda bubar saking Pajajaran kinundung dening kang rama. Sabab sampun lengkap wuruke Kian santang samulihe Ka’bah Allah. Kang putra kekel iman Islam ora anut ing sareat dening kang rama kang eyang margane den tundung bubar ngetan Kian Santang tinundung dening 20. kang rama sabab panas nagara Pakuan. Margane kesah dateng Campa kang rai binakta dateng Campa kana ran Sarikabunan, maka kinrsahaken Ratu Tuban …. Duta Samud buyute Ki Jatiswara. Maka Pajajaran murak kang burak ing dina salasa tanggal 14 wulan Sapar tahun Jimakhir sang kalitar putra kakalih sawiji ingaranan Pucukkumun lan kapindo
25. ingaranan Sekarmandapa. Dupi sampun kala Pajajaran, maka Pucukkumun den jarah dening Ratu Wetan. Maka Ratu Mandapa malayu maring gunung Gede, maring Ajar Sukaras, maka atatapa lan ajar iku. Maka netes mani ajar iku maka keneng gagang kujang ajar iku, maka Ratu Mandapa anyigar pucang dening kujang iku 30. maka kagaw manine ajar iku nuli kakinang dateng Ratu Mandapa lawas lawas maka angadeg duk sampun teka ing rongwelas wulan maka nuli babar.
(10) maka kang putra istri tur ayu, ayu rupane iku. Mangka den arani Tandurangagang maka lawas-lawas kahatur maring Pangeran Jaketra maka den anggo maka metu geni saking bagane, maka den pundut Ratu Carbon, karsa anggo maka metu saking kawah, maka kahatur Kiai Gedeng Mataram, maka akarasa den anggo maka modal geni saking baganipun. 5. maka orana gawene maka den dol maring Ratu Walanda, payu maring bedil titiga. Bedil iku den dum: Mataram Si Guntur Geni. Cirebon Si Santomi, maring Banten Si Amuk. Maka putra silingi kang metu saking Padnawati kang ingaranan Ranggamantri maka apuputra Selawati, Raru Selawati apuputra Sang Adipati pernahe ing Kuningan. 10. kang satunggal ingaranan Ratu Sedalarang. Maka apuputra Parbu Cakradewa Parbu Cakradewa apuputra Singacala. Maka satunggal anake Kidangpananjung ingaranan Parbu Sari apuputra kakalih kang sawiji ingaranan Borosngora, pinarnahaken ing Panjalu Kang kalih anaking Rajapolah – punika kang putra Ratu Komara ingaranan 15. Dewaguru. Dewaguru apuputra Guruhaji, guruhaji apuputra Hajiputih apuputra susuhunan Gösanhulun, susuhunan Gösanhulun apuputra Pangeran Sumedang Kahiangan tetesing Komara ingaranan Batara Tungtungbuwana tumiba ing Medanglarang, ingaranan Tajimalela ike amarentah ing Sumedanglarang.
(11) 20. Punika kang putra Banyakkudika kang metu saking Padnalarang, apuputra pipitu akehe. Kang satunggal marnah ing Bandung, kang satunggal marnah ing Lopasir, kang satunggak narnah ing Babakan Panyarang, kang satunggal marnahing Kahuripan. 25. Punika kang putra Marajasakti pipitu kehe kang satunggal Ratu Roman marnah ing robab, kang satunggal Ratu Gelukherang marnah ing Tanjungbang. Kang satunggal Ratu Jalakroncenak marnah ing Wirasa. Kang satunggal Ratu Buta Gurun marnah ing Guha Upas, kang ana ing Lakbok. 30. Ingaranan Sanghiang Pasarean, kang satunggal Ratu Roman Gelanherang di Guha Pajajaran. Ia iku siluman pipitu dening wetan. Putra Ratu Komara ingaranan Batara Niskala, maka apuputra Marajahiang Niskala iki lah Cirebon. Kamang putra Baginda Ali. Baginda Ali ingaranan Jenal Abidin kang putra kapitu babaktane She Mahrip. Apuputra Molana Kasan, apuputra Ratu Campa, Ratu Campa apuputra Nyai Gedeng Campa, Nyai Gedeng Campa apuputra Haji Duta Samud. Haji Duta Samud apuputra Nyai Gedeng Jatiswara. Nyai Gedeng jatiswara apuputra Sunan Jati. Susunan Jati apuputra Sabakingking ing Banten.
(12) tamat kitab Waruga Jagat tutuging tulis ing malem Salasa wulan Rayagung ping wolu tahun Alip Hijrah 1117.
Kang gaduh Mas Ngabehi Parana.
C. KITAB WARUGA JAGAT TERJEMAHAN BAHASA INDONESIA
(1) Kosim berputra Abdulmuthalib, Abdulmuthalib ber Abdullah, Abdullah berputra puputra Nabi kita s.a.w., Nabi kita berputra Fatimah. Fatimah berputra Hasan Husein, Husein berputra Zainal Abidin, Zainal Abidin berputra Bani Ratu Israil, Bani Ratu Israil berputra Ratu Raja Yuta. Ratu Raja Yuta berputra Raja Mesir ….. Raja Mesir berputra Susuhunan Gunung Jati. Susuhunan Gunung Jati berputra Pangeran Pasarean, Pangeran Pasarean berputra Pangeran Dipati Balagayam, Pangeran Dipati Balagayam berputra Panembahan, Panembahan berputra Panembahan Ratu, Panembahan Ratu berputra Pangeran DIpati, Pangeran Dipati berputra Panembahan Girilaya, Panembahan Girillaya berputra Sultan Komaruddin, Sultan Komaruddin berputra Pangeran Rajaningrat di Negara Cirebon.
Tamat.
1. Kitab Waruga Jagat hanyalah sebagian kecil saja dari pada isi sebuah naskah yang tersimpan di Museum Yayasan Pangerang Sumedang (YPS) di Sumedang. Bagian yang lainnya dari naskah tersebut merupakan semacam perimbon, yang isinya terdiri dari bermacam-macam hal, sebagai catatan yang berhubungan dengan ilmu kebatinan.
Naskah tersebut tidak berasal dari kertas biasa, melainkan dari bahan yang dikenal dengan nama “kulit sach”, sejenis daluang yang terbuat dari kulit kayu. Hingga kini pembuatan daluang dari kulit sach itu masih diproduksi orang di daerah Wanaraja, kabupaten Garut, dipergunakan sebagai alat pembungkus.
Naskah itu berukuran kwarto, yang tidak mengenai Kitab Waruga Jagat tertulis dalam huruf ‘pegon’ (Arab Jawa) dengan bahasa Jawa-Sunda, tebalnya hanya terdiri dari atas 12 lembar. Kecuali sebuah naskah yang tersebut diatas, pada YPS, tersimpan pula dua buah naskah yang lain, sebuah di antaranya ialah Silsilah Keturunan Bupati-bupati Sumedang, mempergunakan bahasa Jawa-Sunda, berhuruf pegon, dengan bahan kertas biasa, berukuran folio, ditulis atas nama Raden Adipati Suryalaga II, yang pernah menjadi bupati di Bogor, Karawang dan Sukapura, masa hidupnya sezaman dengan Pangeran Kornel, pada abad ke 18 – 19 M.
Yang sebuah lagi ialah naskah dengan bahan kulit sach dalam keadaan sangat rusak, paling tebal di antaranya yang ketiga, sukar ditebak apa isinya, mempergunakan bahasa dan huruf Jawa-Sunda yang sulit dibaca, dalam bentuk puisi/kidung.
Setelah dibaca dengan susah payah, karena hanya bagian tengahnya yang dapat dibaca agak lengkap, berhubung sebagian terbesar telah hancur dimakan tikus, dan barulah diketahui isinya, antara lain mengenai uraian masa percintaan antara Mundingsari dengan puteri Ambetkasih di Negara Sindangkasih. Setelah bagian itu diketahui, barulah dapat ditentukan, bahwa naskah yang sangat rusak itu adalah “babad Siliwangi”, naskah aslinya, sedangkan di Museum Pusat Jakarta, hanya tersimpan copy/turunannya, dengan judul yang sama, turunan naskah itu dikerjakan oleh Raden Panji Surya Wijaya, Betawi tahun 1866. (R.Ng. Porbatjaraka, 1933, “lijst Javaansche Handschriften”, Yaarbook KBG, hal. 293)
2. Pada dasarnya Kitab Waruga Jagat menguraikan tokoh-tokoh yang pernah memegang peranan penting dalam sejarah diwarnai oleh kepercayaan yang diselimuti dengan suasana Islamisasi khususnya Jawa Barat. Di dalam naskah itu selain dapat kita telaah deretan silsilah penguasa-penguasa yang menurut kepercayaan masyarakat pernah berkuasa di tanah air kita, juga dihubungkan dengan penguasa-penguasa yang pernah memegang peranan dalam penyebaran agama Islam di dunia, yang menurut anggapan penulis, secara tradisionil kesemuanya itu bertalian kerluarga satu sama lainnya. Dan demikianlah makna sesungguhnya istilah Waruga Jagat.
Jika kita perhatikan arti kata ‘Waruga’ itu sendiri, maka perlu diperingatkan akan makna yang diberikan oleh S.M. Pleyte (C.M. Pleyte, 1913, “De Patapan Adjar Soekasari, anders Gezegd de kluizenarij op de Goeneong Padang”, TBG, Dool LV, hal. 380, catatan 2) ketika ia mencoba mengupas pengertian ‘waruga’, dalam kesempatan membicarakan naskah Carita Waruga Guru, C.M. Pleyte member makna bagi kita ‘waruga’ dengan ‘belichaning’, ‘lichaan’, dan ‘lifj’. Dari ketiga makna yang diberikan C.M. Pleyte itu, yang lebih mendekati dalam istilah bahasa Indonesia adalah ‘penjelmaan’, kiasan untuk tokoh yang memegang peranan penting di dunia ditinjau dari sudut pandang penulis, penulis tradisionil.
Kata ‘waruga’ adalah betul-betul sebuah kata dari bahasa Sunda bukan pinjaman dari salah satu bahasa asing. Dalam bahasa Sunda, kata waruga berarti: awak, badan, seperti kita dapati dalam bahasa: “kuru aking ngajangjawing, waruga ngan kari tulang”, yang ditujukan kepada seseorang yang badannya yang sangat kurus kering. Kata-kata yang lainnya, yang merupakan sinonim dengan ‘waruga’ ialah ‘raga’ dan ‘kurungan’. Sup bayu ka kurungan, adalah sebagian dari rangkaian mantera yang biasa diucapkan terhadap anak kecil yang dalam keadaan setengah sadar, supaya lekas siuman dalam bahasa Melayu dapat kita bandingkan dengan ucapan ‘kur’, semangat.
Dalam beberapa bahasa yang bersaudara dengan bahasa Sunda, terdapat juga kata ‘waruga’, dalam bentuk dan atau pengertian yang bergeser, hal tersebut dapat kita temukan dalam uraian Van Tuuk (H.N. van der Tuuk, 1901, Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenbook, Dool III, s.v. waruga) ,antara lain dinyatakan, bahwa arti waruga dalam bahasa Bali, bale; Sasak, barugaq = bala, Bima, parusa berarti rumah-rumahan di atas kuburan; Sangir: bahugha, Rojang, Bugis. Makasar: baruga; Lampung: parugan, berugu (baruga) seperti kubah atau anjung di muka atau di samping rumah, tempat wanita bertenun; Bengkulu: brogo, berarti kamar duduk.
3. Apabila kita bandingkan isi Kitab Waruga Jagat dengan Carita Waruga Guru, pada dasarnya banyak persamaannya, hanya dalam beberapa hal uraian dalam Kitab Waruga Jagat serba singkat, tetapi isinya lebih meluas, padahal dalam Carita Waruga Guru dalam beberapa hal diuraikan dengan mendalam, terutama mengenai episode Ciungmanarah dengan Hariang Banga.
Naskah Kitab Waruga Jagat, baru kami ketemukan sebuah saja, sedangkan yang sebuah tersimpan di Leiden, maka dengan demikian belum sempat kami perbandingkan isinya, seangkan dalam koleksi naskah-naskah di Museum Pusat Jakarta, naskah jenis demikian sepanjang pengetahuan kami tidak ada. Adapun Kitab Waruga Jagat milik YPS itu karena dalam keadaan rusak maka tidak dapat dibaca dengan sempurna, kami coba untuk menyempurnakannya berdasarkan nama-nama yang terdapat dalam Carita Waruga Guru. Dan meskipun terdapat banyak persamaan, tetapi sering tertulis agak berbeda, dalam hal-hal yang sedemikian, kami biarkan sebagaimana adanya.
Sebagai contoh dapat kami kemukakan beberapa perbedaan, dalam Kitab Waruga Jagat. Lembaran (1), Bakarbuwana, pada Carita Waruga Guru, Fol. 2, Babarbwana; pada Kitab Waruga Jagat . Lembaran (1) … gantungan, pada Carita Waruga Guru, Fol.2 Gandulgantung. Pada Kitab Waruga Jagat Lembaran (1) Sayar, pada Carita Waruga Guru. Fol. 2, Siar. Pada Kitab Waruga Jagat lembaran (2) Ratu,… tasari, pada Carita Waruga Guru.. Fol.9 Ratu Perwatasari.
4. Mengenai riwayat banjir pada zaman Nabi Noh, antara dua jenis naskah itu ternyata sangan bersesuaian; dalam kedua naskah itu diriwayatkan, bahwa pulau Jawa tidak terendap banjir seluruhnya, karena Ratu Galuh (Kitab Waruga Jagat , lembaran {3,4}), atau Ratu Perwatasari Jagat (Kitab Waruga Jagat, Fol.9) terlebih dahulu telah menciptakan gunung yang tingginya mencapai langit dan semua rakyatnya diselamatkan dengan jalan naik ke atas gunung itu. Setelah air surut, mereka semuanya turun dan tiba di suatu tempat yang kemudian disebut Bojonglopang.
Mengapa Ratu itu bergelar Ratu Galuh, dikatakan bahwa hal itu disebabkan oleh karena “cahya kang metu saking netra’ cahaya yang keluar dari mata, begitulah menurut Kitab Waruga Jagat Lembaran (3), dan menurut Kitab Waruga Jagat Fol 11, karena “lebak karagragan ci banyu eluh, mana jumeneng Ratu Galuh” , sungai/lembah kejatuhan air mata, maka bergelar Ratu Galuh.
Dalam kedua naskah di atas, Galuh adalah gelar seorang raja, belum lagi berarti nama sebuah kerajaan. Ratu Galuh itulah yang berputera tiga orang, yang sangat dikenal dalam babad yang telah diwarnai dengan usaha Islamisasi. Ketiga putera itulah Hariang Banga, Ciungmanarah dan Marajasakti.
Dalam Kitab Waruga Jagat, nama putra yang kedua, pada lembaran (2) tertulis dengan Ciungmanarah, Ciungmanarah adalah sebutan yang lebih kita kenal dalam cerita-cerita lisan yang biasa didongengkan oleh ki Jurupantun dan merupakan bentuk nama yang sangat muda.
Dalam Carita Parahyangan, Fol. 32,31, nama tokoh itu disebut ‘Sang Manarah”, merupakan bentuk sebutan yang tertua yang kita ketemukan dalam bentuk tertulis. (Atja, 1968, Tjarita Parahiyangan, Bandung, hal. 28-29).
5. Dalam Carita Waruga Guru, bagian yang bertalian dengan episode Hariang Banga dan Ciungmanarah merupakan bagian yang terpanjang, dari Fol.12 hingga Fol.21, padahal Carita Waruga Guru itu seluruhnya hanya terdiri dari 24 Folio. Adapun dalam Kitab Waruga Jagat episode tersebut hanya disinggung dalam Lembaran (2) sebanyak 2 baris dan pada Lembaran (4) hanya beberapa baris saja. Maka dengan demikianCarita Waruga Guru itu merupakan sebuah naskah yang isinya memusatkan kepada peristiwa Ratu Galuh sebagai cikal bakal bagi para raja, baik yang berkuasa di Majapahit maupun di Pajajaran. Adapun Kitab Waruga Jagat ternyata lebih memusatkan uraiannya terhadap peristiwa runtuhnya Pajajaran yang tersebarnya cucu-cicit Prabu Siliwangi ke seluruh daerah sebelah timur dari bekas kekuasaan Pakuan Pajajaran, khususnya daerah Priangan.
Lepas dari hal-hal yang telah dikemukakan di atas, antara kedua naskah itu dalam episode tersebut terdapat persesuaian isi, bahwa Hariang Bangan menduduki tahta kerajaan Majapahit, sedangkan Ciungmanarah mendirikan kerajaan Pajajaran. Selanjutnyam dalam Carita Waruga Guru dijelaskan bahwa Hariang Banga menurunkan para ratu Majapahit dan kemudian Mataram, dan berakhir dengan menyebut ‘Pangeran Dipati’, putra Pangeran Mangkunegara. Menurut catatan C.M. Pleyte (C.M. Pleyte, 1913, op.cit, hal. 403; cf B. Schrieke, 1959, Indonesian Sociological Studies, Rural and Realm in Early Java, Brusse’s Gravenhage, hal. 151), Pangeran Mengkunegara naik tahta Mataram pada tahun 1719, dan memerintah hingga tahun 1725, dengan gelar Amangkurat IV, kemudian digantikan oleh Pangeran Dipati dengan gelar Pakubuwana II, yang berkuasa antara 1725 hingga tahun 1749, maka dengan demikian Carita Waruga Guru kemungkinan besar tersusun pada masa di Mataram berkuasa Amangkurat IV, atau mungkin sebelumnya. C.M. Pleyte memberikan ancer-ancer tersusunnya Carita Waruga Guru antara tahun 1705-1709, karena dalam deretan silsilah disebutkan juga Susunan Puger, baru setelah bertahta di Mataram menggantikan kakaknya dengan kekerasan, bergelar Pakubuwana I.
Adapun Kitab Waruga Jagat menyebut keturunan Hariang Banga yang terakhir ialah Pangeran Dipati Anom, putra Susunan Amangkurat (II), cucu Susunan Tegalwangi (Amangkurat I), maka dengan demikian dapat kita mengajukan dugaan bahwa Kitab Waruga Jagat, tersusun pada masa di Mataram berkuasa Susunan Amangkurat II, sedangkan masa pemerintahannya dari tahun 1677 hingga tahun 1705, pada tahun 1703 Pangeran Dipati ANom naik tahta dengan gelar Amangkurat III. Terkenal dengan gelar Sunan Mas, yang dibuang pada tahun 1708. (P.J.Voth, 1878, Java, Geograpisch, Ethnologisch, Historisch, Haarlem, Theede Deel, hal. 420-421).
Bagian terakhir pada Kitab Waruga Jagat ada tersebut bahwa selesai ditulisnya pada malam Selasa, bulan Rayagung, tanggal 8, tahun Alip, Hijrah 1117.
Berdasarkan pengamatan kami, Tahun Alip tidak bersesuaian dengan Hijrah 1117. Menurut Th.Pigeaud (Th.Pigeaud, 1932, Javaans_nedelads Handwoorddenboek, Batavia, Hal. X; cf. Harry W. Hazard, 1951, Atlas of Islamic History, Conversion Table-Islamic and Christian Dates, 44-45). Tahun Alip jatuh pada Hijrah 1107 atau Masehi 1695, sedangkan tahun Alip berikutnya jatuh pada Hijrah 1115 atau tahun Masehi 1703. Adapun tahun Hijrah 1117 bersamaan dengan tahun Jimawal atau tahun Masehi 1705/1706.
Pada masa itu di Sumedang memeritah Pangeran Rangga Gempol III, pada masa pemerintahannya pernah mengalami musibat, karena pada tahun 1678, semasa orang-orang sedang bersembahyang Idul Fitri, bertepatan dengan hri Jum’at, kota Sumedang diserbu oleh lasykar Banten yang dikepalai oleh Kiai Cilikwidara, Sumedang berhasil diduduki. Adapun Pangeran Rangga Gempol III sempat melarikan diri ke daerah pedalaman Indramayu. Baru setelah tercapai persetujuan antara Pemerintah Kompeni dengan Banten pada tahun 1681, lasykar Banten di Sumedang ditarik mundur dan Pangeran Rangga Gempol III ditempatkan lagi sebagai Bupati Sumedang, sampai wafatnya pada tahun 1707. Dan berdasarkan keterangan di atas kami menduga, bahwa Kitab Waruga Jagat tersusun pada masa Pangeran Rangga Gempoll III berkuasa, meskipun demikian tidak terasa sama sekali, bahwa Kitab Waruga Jagat ditulis dalam rangka usaha untuk mengembalikan kewibawaan Bupati tersebut terhadap rakyat Sumedang.
6. Perbedaan yang sangat menarik antara isi Carita Waruga Guru dan Kitab Waruga Jagat, yaitu yang berkenaan dengan silsilah keturunan raja-raja Pajajaran.
Pada CWG Fol. 23-24, disebutkan bahwa Ciungmanarah mendirikan Pajajaran dengan para pengikutnya, pandai besi yang berjumlah 800 kurang seorang. Keturunannya yang berkuasa di Pajajaran berakhir dengan Prabu Siliwangi. Padahal dalam Kitab Waruga Jagat, titik pusat perhatian penulis ialah menguraikan secara lebih luas mengenai penyebaran anak-cucu Prabu Siliwangi, setelah Pakuan Pajajaran runtuh.
Dalam Kitab Waruga Jagat disebutkan, bahwa Pajajaran ‘burak’, pada hari Selasa tanggal 12 Sapar tahun Jimakhir. Biarpun sesungguhnya perhitungan tahun yang disebut ‘Windu”, yang berjangka 8 tahun, baru diperkenalkan secara resmi kepada masyarakat Jawa oleh Sultan Agung, bertepatan dengan menyesuaian perhitungan tahun Caka 1555 = Hijrah 1043 – Masehi 1633, tetapi para penulis babad atau silsilah sering terjadi sebelum terjadinya penyesuaian tersebut (Soebardi, q. 965, “Calendrical Tradisions in Indonesia”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid III Nomor 1, Hal 59-60. Atmamihardja, “Tanggapan terhadap Prasaran Sdr. Drs. Didi Suryadi mengenai “Sekitar Keturunn Kerajaan Pajajaran”, Lembaran Diskusi Sejarah, Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran, Bandung, 1972, hal. 30).
Hal tersebut kita dapati juga misalnya pada “Sejarah Banten: didasarkan atas telaah Hoesein Djajadiningrat almarhum (H. Djajadiningrat, 1913, Cristiche Beschouwing van de Sajarah Banten, Haarlem, hal. 131-132; cf H. ten Dam, 1957, ‘Verkenningen random Padjadjaran”, Indonesie, Tiende jaargang, hal. 304, 306) dalam kitab sejarah Banten itu disebutkan tentang keberangkatan laskar gabungan Banten, Pakungwati, Angke dan Demak, waktu mereka berangkat itu disebut pada hari Ahad, 1 Muharam, tahun Alip, yang berarti nama hari yang pertama, tanggal 1, bulan Muslimin yang pertama dan perhitungan tahun berjangka 8 tahun, yang pertama pula, oleh Hoesein Djajadiningrat dianggap sebagai perhitungan yang dibuat-buat dan tidak historis, adapun candrasangkala yang berbunya: bumi rusak rekeh (nagke) iki ditafsirkan sebagai tahun Caka 1501, yaitu tahun 1579/1580M. dan oleh beliau dianggap merupakan tahun terjadinya penyerangan lasykar gabungan tersebut ke pusat kerajaan yaitu ibu-kota Pakuan Pajajaran.
Bahwa lasykar gabungan itu ketika tiba di ibukota Pakuan tidak menemukan perlawanan yang berarti dari pihak Pajajaran dapat kita ketahui secara luas, baik berdasarkan catatan-catatan yang tertulis maupun yang berasal dari berita-berita lisan yang diberitakan melalui juru pantun dan sebangsanya.
Dari Kitab Waruga Jagat sendiri, ada tersirat mengenai ‘burak’ Pajajaran, yang pada dasarnya disebabkan adanya kekacauan yang berlarut-larut di dalam negeri sendiri, Sebab-sebab yang sebenarnya masih diperlukan inventarisasi dari berbagai aspek dan metodologi.
Dalam perkiraan kami tahun Jimakhir yang disebutkan di atas bila bukan hanya khayalan penulis Kitab Waruga Jagat semata-mata, melainkan berdasarkan catatan yang dianggap sebagai peringatan yang secara seksama diturunkan kepada cucu-cicit Pajajaran, maka kita boleh merasa puas dengan hanya mengajukan dugaan, bahwa tahun Jimakhir tersebut mestinya lebih tua dari tahun 1579/1580 Masehi, dan tahun Jimakhir yang paling dekat jaraknya dengan tahun tersebut, ialah tahun 1578 Masehi. Dan berdasarkan perhitungan secara mundur ke belakang, 14 Sapar tahun Jimakhir itu bertepatan dengan tahun 986 Hijrah atau 22 April tahun 1578 Masehi.
7. Yang memina perhatian khusus. Ialah tentang tokoh Kian Santang; dalam versi yang terdapat di Priangan, disebutkan sebagai salah seorang putra Prabu Siliwangi, yang menyebarkan ajaran Islam di pusat Kerajaan Pajajaran (Bandingkan dengan karangan C.M. Pleyte, 1916, “Padjadjaran’s overgang tot den Islam, colgens de Buitenzorgsche overlevering”, TBG, Deel LVII, hal,537, 557-560.). Pada mulanya ‘Kian Santang’ berangkat ke Campa bersama-sama adik perempuan yang dalam Kitab Waruga Jagat, lembaran (9), bergelar ‘Sarikabunan’. Sarikabunan di Campa menikah dengan Duta Samud, cicit Ki Jatiswara. Sepulangnya ke Pakuan, Kian Santang menyebarkan agama Islam dengan sangat gigih, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan masyarakat terutama di antara para pembesar yang kukuh pengkuh memegang agama karuhun mereka, dengan demikian merupakan salah satu faktor yang mendorong kepada timbulnya kericuhan di dalam negri, sehingga banyak di antara para pembesar dan anak cucu Prabu Siliwangi yang menyingkirkan dirinya terutama ke arah Timur dari pusat kerajaan, karena ke arah Utara dan Barat telah jatuh ke dalam kekuasaan Banten (1526) dan Jakarta (1527); menurut tradisi antara lain termasuk Kian Santang sendiri. Menurut versi Priangan, Kian Santang menyebarkan ajarannya di daerah sebelah Selatan Priangan. Keramat Godog hingga dewasa ini terkenal sebagai salah satu ‘patilasan’ Kian Santang, yang terletak di lereng gunung Keracak, Garut. Menurut sementara pendapat Kian Santang dimakamkan di Cilauteureun.
Dalam versi Cirebon, salah seorang putra Prabu Siliwangi yang memeluk agama Islam ialah Walangsungsang, karena itu diusir oleh ayahnya, Walangsungsang mengembara ke arah Timur dari Pakuan Pajajaran dan akhirnya tiba dibukit Jati dan berguru kepada Syekh Datuk Kahpi (Mungkin datuk Upih, seorang ulama yang pernah tinggal di pulau Upih, dekat Melaka, atau memang berasal dari situ), kemudian bersama dengan adiknya, Nyai Lara Santang berangkat ke Mekah.
Apabila dalam versi Priangan Sarikabunan nikah dengan Duta Samud, cicit Ki Jatisawara, maka Nyai Lara Santang nikah dengan Ratu Mesir, dari pernikahan itu nyai Lara Santang berputra Syarif Hidayatullah, pembangun dinasti Cirebon dan Banten. Meskipun demikian adanya bahan-bahan yang bersimpang-siur itu, meminta perhatian kita untuk penelaahan lebih lanjut. {Periksalah terbitan J.L.A. Barandes, “Babad Tjerbon”, Vorhandlingon BG Deel LIX, Theede Stuk, cerste gedeelte. Naskah yang baru diketemukan dari daerah Indramayu berjudul “Purwaka Caruban Nagari”. Telah disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh Penanggung Jawab Sejarah Tjirebon; dan diterbitkan olej Bharatara, 1972. Penerbitan teksnya disertai terjemahan dengan diberikan uraian yang bersifat sementara telah dikerjakan oleh penulis ini dan dikeluarkan secara terbatas sebagai monografi No.5, dari Ikatan Karyawan Museum, Museum Pusat Jakarta, tahun 1972.}.
Dalam KWJ ada uraian tentang asal-usul Susunan Gunung Jati, pada permulaan dan pada bagian terakhir. Penulis ternyata memberikan silsilahnya secara tidak konsisten; Ayah Susuhunan Sunan Gunung Jati pada Lembaran (1) adalah Ratu Mesir, sesuai dengan versi Cirebon. Berdasarkan versi Cirebon, Pangeran Dipati Balegayam adalah cucu Susuhunan Gunung Jati dan berputra Panembahan Ratu, dan bukan bercucu Panembahan Ratu seperti pada KWJ, Lembaran (1), 9. Begitu pula Panembahan Girilaya yang wafat pada tahun 1662, dimakamkan di tempat yang bernama Girilaya, letaknya di sebelah timur laut Imogiri, Yogyakarta. (F. de Haan, 1911, Priangan, Deel III, hal. 228). Panembahan Girilaya berputra Samsudin, Sultan Kasepuhan yang pertama; Badriddin, Sultan Kanoman yang pertama dan Wangsakarta, yang bergelar Panembahan Cirebon. Maka dengan demikian Panembahan Girilaya tidaklah berputra Sultan Komaruddin, karena Sultan Komaruddin adalah Sultan Kanoman ke 5, setelah Sultan Badriddin. (J.L.A. Brandes, 1911, op. cit, hal. 24 atau P.S. Sulendraningrat, 1968, Nukilan Sejarah Tjirebon Asli, Tjirebon, hal.40.).
Dengan terdapatnya kekeliruan yang sangan jelas itu, kami menduga bahwa naskah KWJ ini bukanlah yang asal, yang tertulis pada tahun Hijrah 1117 atau 1705/1706 M, kemungkinan besar hanyalah sebuah ‘turunan’, yang dikerjakan oleh seseorang, yang tidak atau kurang memahami silsilah keluarga kesultanan Cirebon.
Dalam bagian terakhir Kitab Waruga Jagat, kita dapati pula silsilah yang menguraikan bahwa Susuhunan Gunung Jati adalah putra Nyai Gedeng Jatiswara dan cucu Haji Duta Samud, dengan tidak menyebur-nyebut ayah Susunan Gunung Jati. Dalam bagian lain seperti telah kita kemukakan terlebih dahulu, Sarikabunan diperistrikan oleh Duta Samud, dan berhubung dengan itu mungkin pula Nyai Rara Santang itulah yang bergelar Nyai Gedeng Jatiswara. Bahan-bahan yang diperlukan untuk memperoleh kejelasan tentang masalah di atas, masih perlu kita kumpulkan sebanyak-banyaknya.
8. Biarpun baskah Kitab Waruga Jagat merupakan pusaka keturuan Bupati-bupati Sumedang, tetapi bagian yang memberi penjelasan tentang asal-usul karuhun Bupati-Bupati Sumedang, tidak dapat kita ambil manfaatnya dengan seksama. Pada lembaran (8-9), tersebutlah Sang Dewaguruhaji berputra Sang Ratu Guruhaji, beliau berputra Tajimalela dan Tajimalela berputra Gsanhulun, sedangkan Gösanhulun berputra Pangeran Sumedang, yang bertempat di Sumedanglarang.
Dalam bagian lain, pada Lembaran (1), diriwayatkan, bahwa karuhun Susuhunan Gösanhulun adalah Ratu Komara. Ratu Komara berputra Dewa Guru, sedang Dewaguru berputra Guruhaji. Adapun Guruhaji berputra Hajiputih dan Hajiputih-lah yang berputrakan Gösanhulun. Susuhunan Gösanhulun berputra Pangeran Sumedang Kahiangan. Diceritakan bahwa penjelmaan Komara dinamai Batara Tungtungbuwana, yang tiba di Medanglarang dan bernama Tajimalela, itulah yang memerintah di Sumedanglarang.
Memperhatikan bagian tersebut, pusing kita dibuatnya. Pada kutipan tadi kita memperoleh dua nama, yaitu Gösanhulun dan sebagai putra Tajimalela dan Susunan Gösanhulun putra Hajiputih, selanjutnya Gösanhulun berputra Pangeran Sumedang, sedangkan Susunan Gösanhulun berputra Pangeran “Sumedang Kahiangan”.
Dalam hubungan dengan bagian yang mengutarakan ‘tetesing komara’, dapatlah kami jelaskan bawa kata ‘komara’ bahasa Jawa ‘kumara’, berarti ‘esensi’, jiwa kehidupan, dalam pertailannya dengan wibawa keratuan atau sebutan yang lebih populer ialah ‘pulung’. Dan yang dimaksudkan dengan Batara Tungtungbuwana adalah esensi keratuan dan tempat penjelmaannya, diwujudkan dalam bentuk sebuah ‘lingga’ atau ‘taji’ dan ‘halu’. Maka dengan demikian, ‘Tajimalela’ tidak hanya berarti nama seorang tokoh, melainkan juga bermakna esensi keratuan. Adapun kata ‘malela’ dalam pikiran dan kepercayaan orang Sunda dikhayalkan sebagai besi/baja. Maka kami memperkirakan bahwa tokoh-tokoh yang sering disebut-sebut dalam babad-babad di kalangan masyarakat Sunda khususnya, ialah “Tajimalela”, “Susuktunggal” dan “Haluwesi” adalah nama-nama untuk menyebut esensi keratuan, yang diwujudkan dalam bentuk lingga.
Karena silsilah itu sangat bersifat mitologis, maka kiata hanya bertumpu kepada Gösanhulun, yang menurut penelitian sementara orang, merupakan tokoh sejarah yang muncul setelah runtuhnya Pakuan Pajajaran dan mengaku sebagai pewaris dan memang diakui oleh masyarakatnya sebagai penerus tradisi Pajajaran dan berkuasa di daerah yang sangat luas di Jawa Barat, sedangkan di belahan Utara Jawa Barat, sebelah Timur dikuasai oleh Cirebon dan sebelah Barat oleh Banten.
Penjelasan mengenai karuhun Gösanhulun hanya kita dapat dari naskah-naskah yang lebih muda, antara lain dari silsilah Keluarga Bupati-Bupati Sumedang; yang disusun atas nama Raden Adipati Suryalaga II, milik YPS, yang telah disinggung dimuka.
Silsilahnya sebagai berikut: Ratu Mesir, Syekh Najmuddin Rohmatullah berputra Sunan Gunung Jati, sedangkan Sunan Gunung Jati berputra Ratu Petek berputra Pangeran Panjunan, Pangeran Panjunan berputra Pangeran Pamelekaran dan Pangeran Pamelekaran berputra Pangeran Santri, yang kemudian berputra Gösanhulun.
Silsilah tersebut sesuai dengan yang pernah dikutip oleh J. Hageman(J. Hageman, J. Cz, 1867, Geschiedenis der Soenda-lander”, TBG, Deel XVI, hal.21) – tetapi Ratu Petek sebagai salah seorang putra Susunan Gunung Jati tidak pernah disebut-sebut dalam “Babad Cirebon”, juga dalam “Purwaka Caruban Nagari”, yang ditulis oleh Pangeran Arya Carbon, pada tahun 1720 (Periksa edisi Penanggung Djawan Sedjarah Tjirebon, Jakarta, 1972, hal. 21).
Suatu hal yang member kelonggaran kepada kita untuk mengajukan dugaan, ialah karena biasanya para penulis babad atau silsilah jarang yang menuliskan nama-nama keturunan seseorang secara lengkap, biasanya hanya dipilih yang dianggap sangat penting-penting saja, untuk kelurusan rangkaian keturunan yang menjurus kepada keluarga yang member perintah kepadanya untuk menuliskan deretan nama-nama orang yang sangat penting bagi yang bersangkutan, atau bagi kelengkapan keluarga penulis sendiri.
Dalam “Purwaka Caruban Nagari” misalnya putra Sunan Gunung Jati hanya disebut seorang ialah ‘Ratu Ayu’. Karena Ratu Ayu itulah yang menurunkan keluarga Kesultanan Cirebon kemudian. Dalam naskah itu diterangkan, bahwa Ratu Ayu adalah kakak perempuan Pangeran Pasarean dari ibu yang sama yaitu Nyai Tepasansari. Ratu Ayu bersuamikan Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak II, setelah Sultan Demak II wafat tahun 1521, Ratu Ayu kembali ke Cirebon dan pada tahun 1524 menikah dengan Ratu Bagus dari Pase, yaitu Fadhillah Khan, dari pernikahannya yang kedua ini mempunyai putri yang bernama Ratu Wanawati Raras, setelah dewasa Ratu Wanawati Raras menikah dengan Pangeran Dipati Carbon yang pertama, Pangeran Dipati Balegayam, salah seorang putra Pangeran Pasarean, dari pernikahan itulah lahirnya Panembahan Ratu, yang kemudian menggantikan kedudukan Sunan Gunung Jati.
Selanjutnya kita ketengahkan nama salam seorang istri Pangeran Gösanhulun, yaitu yang bergelar Nyai Mas Gedeng Waru putri Raden Mömöt, adapun Raden Mömöt adalah salah seorang putra Prabu Siliwangi. Di sini tampak adanya ‘anachronisme’, ‘piut’ Sunan Gunung Jati nikah dengan ‘cucu’ Prabu Siliwangi.
9. Usaha-usaha untuk mengesahkan kekuasaan Kompeni di Indonesia secara tidak langsung ditanamkan melalui berbagai cara dan antara lain melalui para penulis babad dengan memasukan cerita-cerita legendari yang berselubung dan Jawa Barat khususnya dilambangkan dengan dongeng “Tanduran Gagang”, seperti yang diketengahken secara singkat dalam KWJ, Lembar (9). Diceritakan bahwa Tanduran Gagang, cucu Prabu Siliwangi dari putrinya Sekar Mandapa. Memiliki kemaluan yang panas bagaikan api, hingga Pangeran Jakarta, Ratu Banten, Cirebon dan Mataram yang berhasrat untuk memperistrikannya, tidak mampu untuk menggaulinya, karena dianggap tidak berguna lagi, lalu dijual kepada Belanda dan mendapat tukarannya 3 pucuk meriam. (J.L.A. Brandes, 1920, “Pararaton (Ken Arok), of het Book den-Koningen van Toemapel en van Majapahit”. Theede druk, beverkt door Dr. N.J. Krom met mederwerking van Prof. Mr. Dr. J.C.C. Jonker, H. Kraemer en R. Ng. Porbatjaraka, Verhadelingen, Deel LXIIm hal. 67 ).
Dongeng tentang terjadinya padi dan berjenis-jenis bahan pangan yang berguna bagi kita, begitu pula tentang terjadinya berbagai bisa dan lain-lain menjadi pengganggu kehidupan manusia terdapat juga dalam Kitab Waruga Jagat, biarpun hanya diulas secara singkat. Uraian itu tidak berbeda jauh dengan cerita yang terdapat dalam “Wawacan Sulanjana” yang telah dikerjakan oleh Raden Satjadibrata dan telah diterbitkan oleh Bale Pustaka dan juga diterbitkan oleh C,M, Pleyte dan malahan menjadi bahan disertasi oleh K.A.H. Hidding. (K.A.H. Hidding, 1929, Nyi Pohatji Sangjang Sri, Leiden, dan Soelandjana, edisi C.M. Pleyte dalam “De Inlandsche Nijverheid in West-Java” 4de stuk, hal. 1-17).
10. Dalam Kitab Waruga Jagat di samping terdapat uraian-uraian singkat mengenai tokoh-tokoh yang pernah berkuasa di dalam masyarakat Jawa Barat, malahan oleh para penulis babad dipertegas lagi, bahwa tokoh-tokoh itu bukan hanya terdiri atas manusia belaka, melainkan juga tokoh-tokoh mahluk halus dan lebih-lebih lagi bahwa manusia itu berasal dari keturunan Ratu Galuh. Maka karena adanya kepercayaan itu, dalam Kitab Waruga Jagat terdapat uraian silsilah para tokoh-tokoh Siluman yang memegang kekuasaan di wilayah-wilayah tertentu di Jawa Barat.
TRANSKRIPSI
B. KITAB WARUGA JAGAT
TRANSKRIPSI DARI HURUF PEGON
(1) Kosim, Kosim apuputra Abdulmuthalib, Abdulmuthalib apuputra Abdullah apuputra nabi kita, Muhammad s.a.w. nabi kita apuputra Fatimah. Fatimah apuputra Hasan Husein, Husein apuputra Zainal Abidin, Zainal Abidin apuputra nabi Ratu Israil, apuputra Ratu Rajayuta. 5. Ratu Rajayuta apuputra …… Raja Mesir apuputra Susunan Gunung Jati, Susunan Gunung Jati apuputra Pangeran Pasarean, Pangeran Pasarean apuputra Dipati Balegayan, Pangerat Dipati Balegeyan iku apuputra Panembahan, Panembahan apuputra Panembagan Ratu. Pa 10. nembahan ratu apuputra Pangeran Ratu, Pangeran Ratu apuputra Pangeran Dipati, Pangeran Dipati apuputra Girilaya, Panembahan Girilaya apuputra Sultan Komarudin, Sultan Komarudin apuputra Pangeran Rajaningrat ing nagara Carbon. Tamat.
punika carita hadith sing sapa angrungukaken amaca pitutur punika 15. pinadahaken qur’an tigangpuluh juz laa masih pinadahaken perang sabil ping sewu lan lamun angening dadi tatamba lawan ………… ing umahe ora adawah saking pitnah setan iblis lan lamun malebu ia ing naraka nisun ika ilang pangandika den mumule. punika carita putra nabi saking kanga nom ingaranan bagindha Sam, apuputra Bakarbuwana, 20. Bakarbuwana apuputra Manaputih ….. Gantungan …. Gantungan apuputra Ongkalarang, Ongkalarang apuputra Sayar, Ratu Sayar apuputra Ratu Majakane, Ratu Majakane apuputra Parmana, Parmana apuputra lilima, kang satunggal Ratu Galuh.
(2) Ratu Sirputih, kang satunggal Sang Rasaputih, kang satunggal Atmasuci kang satunggal Ratu Barahma. Ratu Barahma binakta saking Selan maring Nusa Arah dudukuh ing Medangkamulan kalih kang rayi wadon nama Ratu Dewi Hasta Terusgumuling maka ananandur tatanduran jawawut mulane den arane Nusa Jawa maka arabi putra Ratu Mesir nama Ratu ….tasari kang rayi lanang. Kang nama Ahmad atetemu pada rayi saking Selan sewu saking Mesir sewu maka angalih ing Gunung Kidul apuputra titiga kang satunggal ki Dipati Hariyang Banga 30. kapingrwa ki Dipati Ciungmanarah, lan ratu Marajasakti ana dene tingalaken ing Hujung Kulon deningkaki begawat sang …… maka den haturaken maring Ratu Mesir maka sang ratu angandika maring Bagawat maka kinon rumaksa pisan dening kaki Bagawat. Maka lawas pejah maka nuli den kubur iya, maka metu ruray istri kang pejah ika iku anangis bocah anjeluk wowohan kang luwih enak, banget pana – 5. ngisne bocah iku maka nuli mati ia, sawuse mati nuli den kubur sawane den kubur lawas-lawas cukul lan tutuwuh saking netrane dadi watange pari lan sakehe papanganan kang anaka. Maka kang putra Ratu Mesir mati Ratu Parwatasari maka den katuraken maring Medangkamulan balang sewu babaktane alaki sri karana iku ing nusa Jawa ana dene Ratu Barahma tibane 10. ing nagarane putra kang istri
(3) Ingaturaken maring Ratu Medangkamulan maka apuputra saking ratu istri kang …….. panas ing nagara ….. maka den atundung dateng kulon. Maka atetemu Ki Jakahtawa nuli …. Tegal kapanasan 15. nagarane pernahe ing basisir baline den buang ing sagara. Maka dadi sakehe kang mandi-mandi ing sagara. Sang Rasaputih tiba ing Balumbangan puputra istri ingaturaken maring Ratu Medangkamulan, apuputra saking Ki Jakatahwa. Maka akarama masring Nyi Rarawisa. Maka putra kakayon. Demi awoh metu bocah lan lelenge 20. rujak hanger pada karana wisa iku ana ing nusa Jawa. Ana dene atmasuci tapane ing Sam Lor, pernahe maka ……. maring Ki Sadana. Apuputra wadon namane Dwirasa …….ika maring Raden Jayakeling ia iku purwaning sakehe …… kang sinujudan. Cah 25. ya kang metu saking netra karana den arani Ratu Galuh sebab Ratu anyakrawati maka wonten kersa sing Allah angwedeni maring kaulane sebab a aranut ing sareat Nabi Noh. Maka metu angin topan saking pojok sagara maka nuli kalenger wong alam dunya antara patang puluh dina. Maka nuli anut ing sareat Nabi Noh. Maka pada munggah 30. ing baitra sadaya ana dene Ratu Galuh ika acita gunung luhur pitung langit.
(4). Maka sami munggah maring gunung balane kabeh demi sampun asat maka tumurun saking gunung, maka munggah ing Bojonglopang, gawe dukuh maka den wujudi gunung kulon dipun panah dening malaikat. Maka nuli remuk gunung iku, maka pepecahan iku dadi sakehe kabuyutan kabeh iku ing nusa Jawa. Apan Ratu Galuh saking bangsa manusa titita warnane kang dihin Hariyang Banga lan kapindo Ciungmanara lan kapindo telu Marajasakti maka Hariyang Banga iku apuputra Ki Gedeng Mantalarana, Ki Gedeng Mantaparana apuputra Ki Gedeng Mesir, Ki Gedeng Mesir apuputra Ratu Majapahit, Ratu Majapahit apuputra Ki Gedeng Jati, ki Gedeng Jati apuputa ki Gedeng Kartadipura, Ki Gedeng Kartadipura 10. apuputra ki Gedeng Sari, apuputra Ki Gedeng Kacung, Ke Gedeng Kacung apuputra Ki Gedeng Suruwud, iku apuputra Pangeran Sedang Karapyak, apuputra Pangeran Sedang Kamuning, apuputra Sultan Mataram apuputra Susunan Tegalwangi, apuputra Susunan Mangkurat, apuputra Pangeran Dipati Anom, Ana dene putra Ciungmanawa pinarnahaken ing 15. Pajajaran taktalane babaktane pande domas lan putra wadon kang nama Purbasari alaki Ki Lutungkasarung. Kang Putra Manggungmendung apuputra Linggahiang apuputra Susuk Tunggal.
(5) apuputra Parbu Mundingkawati, apuputra Parbu Anggalarang, apuputra Mundingwangi, kang dihin Ratu Sunda, nyakrawati hing Pajajaran. 20. putra Ratu Siluman pipitu sakehe sawiji Ki Jakahlarang, ring Roban, pernahe kapindo Ki Tua Sapularang, pernahe ing Tunjungbang. Ki Diriwangi pernahe ing Wiraga, lang kapingpat Ki Koyopok pernahe ing Guha Upas. Kapinglima Ki Kempanglarang pernahe ing Guha Pajajaran. 25. Kapingnem Ki Dulek pernahe ing Sancang. Kapingpitu Ki Kelewing pernahe ing Pajajaran, punika anak putune Sunda tetkala gemuh Pakuan Raden Töngö saking ajamantri, Raden Mömöt saking Padmakarang Raden Sakian Sumbulakungsari saking Ratu Bancana kang sepuh Mundingdalem…..30. Sanghyang Perbu Sangkanbönghar apuputra Sanghyang Lemansanjaya apuputra Sanghyang Rajuna, apuputra kang ….. apuputra kang Sedang Taman, apuputra kang Sedang Pangkalan, apuputra Sanghyang Sogol, apuputra Raden Senapati Angalaga, Raden Senapati Angalaga apuputra Sanghyang Panengah apuputra Sangiang Lebakwangi.
(6) kang satunggal putra Ratu Sunda ingaranan Sanghyang Agung, apuputra Sanghyang Maya apuputra Raden Narasinga ing Cirebon, apuputra Sayagati, kang satunggal metu saking Buniwangi putrane Dalem Rumenggong. Ingaranan Ratu Parmana, apuputra Ratu Parmana Di Puntang apuputra Ratu Pantenan. Apuputra Rama Dewa, apuputra Susunan Ranggalawe. Pernahe ing Timbanganten. Kang satunggal ingaranan Keboputih, maka akarma maring putra Susunan 10… Dalagung, apuputra susunan Rajamandala ing Cahur. Ana dene sang metu saking Ratu Akri ingaranan Parbu Limansajaya pernahe ing Limbangan Kang satunggal putrane Gurugantangan kang metu saking Mayangkaruna, ingaranan Ranggamantri Puspawangi Rajaparmana, maka kang apuputra Susunan 15. Wanaperih pernahe ing Talaga. Kang satungal kang metu saking Manikgumilang ingaranan Sangiang Jampana, pernahe ing Batulayang. Kang satunggal kang metu saking Pangilaransari, ingaranan Ratu Dewi apuputra ingaranan Marajahiang, pernahe ing Batuwangi. 20. kang satunggal ananking Karang, ingaranan Mudikbatara
(7) Kang satunggal putrane Ratu Marajasakti ingaranan Raja MasTuli, maka tinarimaken maring Ki Lembualas. Pinarnahaken ing Ukur, maka apuputra Kiai Dipati Ukur. Kang sepuh kang satunggal putrane ratu saking Marajainten, maka apuputra ingaranan Sangiang Wiruna apuputra Parbu ….. 25. Kiai Ngabehi cucuk kang sepuh pernahe ing Manabaya. Kang satunggal putrane Ranggasinom, ingaranan Guruminda Mantrisari maka apuputra ingaranan Sangiang Wide, Sangiang Wide apuputra Sangiang Tubu den pernahaken ing Sakawayana Kang satunggal apuputra Rangga Pakuan, kang metu saking Maraja Selawangi 30. ingaranan Sangiang Lutar, pinarnahaken ing Panembong, kang satunggal putrane Mundingkawati kang metu saking Marajalayang, anake Kidangpananjung ingaranan Ratu Wijaya, maka apuputra ingaranan Parbu Wesi, pernahe ing Rajapolah. Kang satunggal putrane Sangiang ……raksa, kang metu saking Tamompo, maka apuputra ingaranan Ranggadipa, lan ingaranan Raden Sinom, lan ingaranan Raden ….. pernahe ing Suci, Raden Sinom pernahe ing Selagedang. 5. kang satunggal putrane Mundingmalati, saking Parenggilayaransari ingaranan Sangiang Wiraga, Sangiang Wiraga atetep ing gunung Madeyasukma, ingaranan Batara Amilaranga, maka apuputra ingaranan Ratu Siluman, Ratu Siluman apuputra Ratu Demang. Ratu Demang apuputra Batara Yang Sengkawaja arabi maring Batara 10.kang Putra pohaci Rabanu maka apuputra Batara Sedang Kawindu. Batara Sedang Kawindu maka apuputra nu pupus di Galuh, maka kapademan lan lungguhe kaselang dening kang paman ingaranan Saröpön, Saröpön Cipacul maka putrane kakalih kang dihin nu seda ing Cibuntu lan kapindo Dalem 15. Demang. Maka nu seda ing Cibuntu sapuputra Dalem Demang Agung. Dalem Demang Agung apuputra Kiai Ngabehi Sama pernahe ing Sindangkasih kang satunggal putrane Raden Ganduwangi, kang metu saking Margacinta, maka apuputra Sanghiang Medang, apuputra Susunan Padujaya pernahe ing Pawenang. 20. Kang satunggal putrane Raden Numbang, putrane saking Intenbancana, maka apuputra Sanghiang Sumuragung, Sanghiang Sumuragung apuputra Sanghiang Maha Sahunggantang. Kang satunggal namane Ranggasanten, putra saking Marajakastori ingaranan Susunan Dirgahiang, putrane Mundingjaya pernahe ing Mandala. 25. Kang satunggal putrane Susunan Sinduparmana, kang kalih di Galuh, putrane Susunan Jaratna, pernahe ing Cipinaha.
(8) kang satunggal sadereke Raden Srigading pernahe ing Sukakarta Kang satunggal malih sang Maharaja Widara, pernahe ing Maja. Kang putra Ratu Perbasakala ingaranan Susunan Tambalayu. 30. Maka apuputra istri ingaranan Ratu Gumilang, maka tinampahaken maring Santowaan Gunung Licin. Maka apuputra Susunan Majaya, pernahe ing Taraju. Kang satunggal namane Kian Santang, maka akarama maring Ratu Mandapa maka istri Emurhali alaki maring Bimalarang putra saking Jampang, pinarnahaken ing Nagara. Kang satunggal putra Mundinglingga, kang metu saking Arunganda 5. Wayangsari, maka apuputra Susunan Cilöwih, pinarnahaken ing Kadungora, maka apuputra titiga Marajahiang Teruslabo, pernahe ing Parakantiga. Amarajahiang Rajanabo pinarnahaken ing Kandangwangi. Marajahiang Lugajaya pernahe ing Cidamar, ana dene kang satunggal putrane Susunan Rajanawung kang metu saking Rajasari ingaranan Ratugala rabine kang bobot tapane ing serangenge, sarta kalan Batari Resik putih, maka apuputra ingaranan Sang Dewa Guru haji, Sang Ratu Guru haji apuputra Tajimalela.
(9) Tajimalela apuputra Gösanhulun, Susunan Gösanhulun apuputra Pangeran 15. Sumedang, pernahe ing Sumedanglarang, sabab margane anak putu Ratu Sunda bubar saking Pajajaran kinundung dening kang rama. Sabab sampun lengkap wuruke Kian santang samulihe Ka’bah Allah. Kang putra kekel iman Islam ora anut ing sareat dening kang rama kang eyang margane den tundung bubar ngetan Kian Santang tinundung dening 20. kang rama sabab panas nagara Pakuan. Margane kesah dateng Campa kang rai binakta dateng Campa kana ran Sarikabunan, maka kinrsahaken Ratu Tuban …. Duta Samud buyute Ki Jatiswara. Maka Pajajaran murak kang burak ing dina salasa tanggal 14 wulan Sapar tahun Jimakhir sang kalitar putra kakalih sawiji ingaranan Pucukkumun lan kapindo
25. ingaranan Sekarmandapa. Dupi sampun kala Pajajaran, maka Pucukkumun den jarah dening Ratu Wetan. Maka Ratu Mandapa malayu maring gunung Gede, maring Ajar Sukaras, maka atatapa lan ajar iku. Maka netes mani ajar iku maka keneng gagang kujang ajar iku, maka Ratu Mandapa anyigar pucang dening kujang iku 30. maka kagaw manine ajar iku nuli kakinang dateng Ratu Mandapa lawas lawas maka angadeg duk sampun teka ing rongwelas wulan maka nuli babar.
(10) maka kang putra istri tur ayu, ayu rupane iku. Mangka den arani Tandurangagang maka lawas-lawas kahatur maring Pangeran Jaketra maka den anggo maka metu geni saking bagane, maka den pundut Ratu Carbon, karsa anggo maka metu saking kawah, maka kahatur Kiai Gedeng Mataram, maka akarasa den anggo maka modal geni saking baganipun. 5. maka orana gawene maka den dol maring Ratu Walanda, payu maring bedil titiga. Bedil iku den dum: Mataram Si Guntur Geni. Cirebon Si Santomi, maring Banten Si Amuk. Maka putra silingi kang metu saking Padnawati kang ingaranan Ranggamantri maka apuputra Selawati, Raru Selawati apuputra Sang Adipati pernahe ing Kuningan. 10. kang satunggal ingaranan Ratu Sedalarang. Maka apuputra Parbu Cakradewa Parbu Cakradewa apuputra Singacala. Maka satunggal anake Kidangpananjung ingaranan Parbu Sari apuputra kakalih kang sawiji ingaranan Borosngora, pinarnahaken ing Panjalu Kang kalih anaking Rajapolah – punika kang putra Ratu Komara ingaranan 15. Dewaguru. Dewaguru apuputra Guruhaji, guruhaji apuputra Hajiputih apuputra susuhunan Gösanhulun, susuhunan Gösanhulun apuputra Pangeran Sumedang Kahiangan tetesing Komara ingaranan Batara Tungtungbuwana tumiba ing Medanglarang, ingaranan Tajimalela ike amarentah ing Sumedanglarang.
(11) 20. Punika kang putra Banyakkudika kang metu saking Padnalarang, apuputra pipitu akehe. Kang satunggal marnah ing Bandung, kang satunggal marnah ing Lopasir, kang satunggak narnah ing Babakan Panyarang, kang satunggal marnahing Kahuripan. 25. Punika kang putra Marajasakti pipitu kehe kang satunggal Ratu Roman marnah ing robab, kang satunggal Ratu Gelukherang marnah ing Tanjungbang. Kang satunggal Ratu Jalakroncenak marnah ing Wirasa. Kang satunggal Ratu Buta Gurun marnah ing Guha Upas, kang ana ing Lakbok. 30. Ingaranan Sanghiang Pasarean, kang satunggal Ratu Roman Gelanherang di Guha Pajajaran. Ia iku siluman pipitu dening wetan. Putra Ratu Komara ingaranan Batara Niskala, maka apuputra Marajahiang Niskala iki lah Cirebon. Kamang putra Baginda Ali. Baginda Ali ingaranan Jenal Abidin kang putra kapitu babaktane She Mahrip. Apuputra Molana Kasan, apuputra Ratu Campa, Ratu Campa apuputra Nyai Gedeng Campa, Nyai Gedeng Campa apuputra Haji Duta Samud. Haji Duta Samud apuputra Nyai Gedeng Jatiswara. Nyai Gedeng jatiswara apuputra Sunan Jati. Susunan Jati apuputra Sabakingking ing Banten.
(12) tamat kitab Waruga Jagat tutuging tulis ing malem Salasa wulan Rayagung ping wolu tahun Alip Hijrah 1117.
Kang gaduh Mas Ngabehi Parana.
TERJEMAH BAHASA INDONESIA
C. KITAB WARUGA JAGAT TERJEMAHAN BAHASA INDONESIA
(1) Kosim berputra Abdulmuthalib, Abdulmuthalib ber Abdullah, Abdullah berputra puputra Nabi kita s.a.w., Nabi kita berputra Fatimah. Fatimah berputra Hasan Husein, Husein berputra Zainal Abidin, Zainal Abidin berputra Bani Ratu Israil, Bani Ratu Israil berputra Ratu Raja Yuta. Ratu Raja Yuta berputra Raja Mesir ….. Raja Mesir berputra Susuhunan Gunung Jati. Susuhunan Gunung Jati berputra Pangeran Pasarean, Pangeran Pasarean berputra Pangeran Dipati Balagayam, Pangeran Dipati Balagayam berputra Panembahan, Panembahan berputra Panembahan Ratu, Panembahan Ratu berputra Pangeran DIpati, Pangeran Dipati berputra Panembahan Girilaya, Panembahan Girillaya berputra Sultan Komaruddin, Sultan Komaruddin berputra Pangeran Rajaningrat di Negara Cirebon.
Tamat.
Inilah cerita hadis. Barang siapa mendengarkan, membaca pengajaran itu disamakan dengan Qur’an tigapuluh juz dan masih disamakan dengan perang sabil seribu kali dan kalau digunakan jadi obat serta …. Dirumahnya tidak jatuh karena fitnah setan iblis dan kalau ia masuk neraka aku yang akan mengatakan supaya dimuliakan. Inilah cerita putra Nabi dari (istrinya) yang muda dinamai Baginda Sam. Baginda Sam berputra Bakarbuwana, yang berputra Manaputih … gantungan. Manaputih ... Gantungan berputra Ongkalarang, Ongkalarang berputra Sayar. Ratu Sayar berputra Ratu Majakane, Ratu Majakane berputra Parmana. Parmana berputra lima orang : Yang seorang Ratu Galuh.
(2) Ratu Sriputih. Yang seorang Sang Rajaputih. Yang seorang Atmasuci. Yang seorang Ratu Brahma. Ratu Brahma dibawa dari Selan ke Nusa Arah, mendirikan dukuh di Medangkamulan bersama adiknya perempuan bernama Ratu Dewi Hasta Terusgumuling. Maka bercocok tanam jawawut, karena itu dinamai Nusa Jawa. Maka beristri putera Ratu Mesir yang bernama Ratu Parwatasari. Adik putra Ratu Mesir yang laki-laki bernama Ahmad nikah, bertemu adik dengan adik. (Pengikutnya) dari Selan seribu dari Mesir seribu berpindah tempat ke Gunung Kidul. (Ratu Galuh) berputra tiga orang. Yang seorang Ki Dipati Hariang Banga, kedua Ki Dipati Ciungmanarah, dan Ratu Marajasakti. Adapun … ditinggalkan di Ujungkulon oleh Kakek Bagawat. Maka lama-lama lalumeninggaldn dikubur, maka dari pada anak perempuan yang mati itu, karena ia menangis amat sangat ingin buah-buahan, yang sangat lezat anak itu terusmenerus menangis hingga meninggal, mayatnya dikubur, lama kelamaan tumbuh dari pepohonan matanya jadi batang padi dan sekalian bahan pangan yang enak-enak. Maka Putra Ratu Mesir itu meninggal, Ratu Parwatasari diserahkan ke Medangkamulan, rakyatnya seribu bawaannya bersuami asalnya di Nusa Jawa. Adapun Ratu Barahma datang di Negara, putranya perempuan
(3) diberikan kepada ratu Medangkamulan, lalu berputra dari Ratu Istri yang … panas di Negara … lalu diusir ke …. barat maka nikah dengan Ki Jakahtawa lalu … Tegak kepanasan, serta berputra lalu mati dikubur, lalu tumbuh jadi kayu samida namanya, tempatnya di pesisir, tembulinya dibuang ke laut, maka menjadi segenap yang berbisa di laut. Sang Rasaputih tiba di Balungbangan, berputra istri yang diberikan kepada Ratu Medangkamulan. Berputra dari Jakahtawa, maka nikah kepada Nyi Ragasia. Maka berputra kayu-kayuan, ketika berbuah lahir bayi dan ‘lelenge rujak hangor’ semua menjadi bisa yang ada di Nusa Jawa. Adapun Atmasuci bertapa di Sam Utara. Tempatnya … Kepada Ki Sadana, berputra perempuan namanya Dwirasa …. Kepada Raden Jayakeling, itulah asalnya sekalian …. bertempat tinggal dan adalah karena rajaputra pindah kepada … yang dipuja, Cahaya yang keluar dari mata sebabnya dinamai Ratu Galuh, karena Ratu berdaulat, maka adalah kehendak Allah memurkai hambaNya, sebab tidak menganut sareat Nabi Noh, maka semuanya naik perahu, adapun Ratu Galuh mencinta gunung tinggi tujuh langit.
(4) Lalu semua rakyatnya naik gunung, setelah kering lalu turun dari gunung, maka naik ke Bojonglopang, membuat dukuh, maka diwujudkan gunung kulon, dipanah oleh malaikat, lalu hancur gunung itu menjadi sekalian kabuyutan di Nusa Jawa. Ratu Galuh putranya dari bangsa manusia yang sulung Hariang Banga, yang kedua Ciungmanarah dan yang ketiga Ratu Marajasakti. Adapun Hariang Banga itu berputra Ki Gedeng Mantalarasa. Ki Gedeng Mantalarasa berputra ki Gedeng Mesir, Ki Gedeng Mesir berputra Ratu Majapahit, berputra Ki Gedeng Jati, berputra Ki Gedeng Kartadipura, berputra Ki Gedeng Sari, berputra Ki Gedeng Kacung, berputra Ki Gedeng Suruwud, berputra Pangeran Sedang Karapyak, berputra Pangeran Sedang Kamuning, berputra Sultan Mataram, berputra Susuhunan Tegalwangi, berputra Susuhunan Mangkurat, berputra Pangeran Dipati Anom. Adapun putra Ciungmanarah diturunkan di Pajajaran, pada masa bawaanya pandai 800 dan putera perempuan yang bernama Purbasari, bersuami Lutungkasarung, putra dari Manggungmendung, berputra Linggahiang, berputra Susuktunggal.
(5) Berputra Perbu Mundingkawati, berputra Perbu Anggalarang, berputra Mundingwani, yang dahulu menjadi Ratu Sunda, berkuasa di Pajajaran. Putra Ratu SIluman tujuh orang banyaknya, yang pertama Ki Jakahlarang, tempatnya di Roban, yang kedua Ki Tua Sapularang tempatnya di Tanjungbang. Ki Diriawangi tempatnya di Wiraga dan yang keempat Ki Koyopok tempatnya di Guha Upas, yang kelima Ki Kompanglaang tempatnya di Guha Pajajaran, yang keenam Ki Dulek pernahnya di Sancang, yang ketujuh Ki Kelewing tempatnya di Pajajaran. Inilah anak-cucu Sunda tatkala Pakuan makmur: Raden Töngödari Rajamantri, Raden Mömöt dari Padnalarang, Raden Sakian Sambulagungsari, dari Ratu Bancana yang tua Mundingdalem …. Sanghiyang Perbu Sangkan bönghar berputra Sanghiyang Lemansanjaya, berputra Sanghiyang Rajuna, berputra yang …. Berputra yang Sedang Taman, berputra yang Sedang Pangkalan, berputra Sanghiyang Sogol berputra Raden Senapati Angalaga, Raden Senapati Angalaga berputra Sanghiyang Panangah, berputra Sanghiyang Lebakwangi.
(6) Yang seorang putra Ratu Sunda dinamai Sangyang Agung, berputra Sanghyang Maya, berputra Taden Narasinga di Cirebon, berputra Sayagati. Yang seorang lahir di Buniwangi, putra Dalem Rumenggong, dinamai Ratu Parmana, berputra Ratu Parmana di Puntang berputra Ratu Pantenan, berputra Ramadewa, berputra Susuhunan Ranggalawe, tempatnya di Timbanganten. Yang seorang dinamai Keboputih, maka nikah kepada putra Susunan … Dalangu, berputra Susunan Rajamandala tempatnya di Cahur. Adapun yang lahir dari Ratu Akri dinamai Perbu Limansanjaya, tempatnya di Limbangan. Yang seorang puteranya Gurugantangan yang lahir dari Mayangkaruna dinamai Ragamantri Puspawangi Rajaparmana, yang berputra Susunan Wanaprih tempatnya di Talaga. Seorang yang lain dari Manikgumilang dinamai Sanghiyang Jampana, tempatnya di Batulayang. Yang seorang putera lahir dari Pangilarangsari, dinamai Ratu Dewi berputra dinamai Marajahiyang, tempatnya di Batuwangi. Yang seorang putra di Karang, dinamai Mudikbatara.
(7) Yang seorang puteranya Ratu Marajasakti, dinamai Rasa Mastuli maka diserahkan kepada Ki Lembualas, ditempatkan di Ukur, maka berputra Kiai Dipati Ukur, yang tua yang seorang putranya Ratu dari Marajainten, maka berputra dinamai Sanghiyang Wiruna berputra Perbu … Kiai Ngabehi Cucuk, yang tempatnya di Manabaya. Yang seorang puteranya Rangga Sinom, dinamai Guruminda Mantrisari, maka berputra Sanghyang Lutar, ditempatkan di Panembong. Yang seorang puteranya Mundingkawati yang lahir di Marajalarang anaknya Kidangpananjung dinamawi Ratu Wijaya, berputra dinamai Perbu Resi ditempatkan di Rajapolah. Yang seorang puteranya Sanghyang … raksa, yang lahir dari Tamompo, berputra dinamai Ranggadipa dan dinamai Rangga Sinom dinamai Raden … pernahnya di Suci, Raden Sinom tempatnya di Selagedang. Yang seorang putranya Mundingmalati dari Parenggilayangsari, dinamai Sanghiyang Wiraga, Sanghiyang Wiraga menetap di gunung Mandeyansukma, dinamai Batara Amilarang, berputra dinamai Ratu Siluman, Ratu Siluman berputra Ratu Demang. Ratu Demang berputra Batara Yang Sengkawaja namanya nikah … kepada Batara putranya pohaci Rabanu berputra Batara Sedang Kawindu. Batara Sedang Kawindu maka berputra yang meninggal di Galuh, maka terputus kedudukannya diselang oleh pamannya bernama Saröpön, Saröpön Cipacul. Maka putranya dua orang, yang pertama yang meninggal di Cibuntu, yang kedua Dalem Demang. Maka yang meninggal di Cibuntu berputra Dalem Demang Agung berputra Kiai Ngabehi Sama, tempatnya di Sindangkasih. Yang seorang putranya Raden Ganduwangi yanglahir di Margacinta, maka berputra Sanghiyang Medang, berputra Susunan Pandujaya tempatnya di Pawenang.Yang seorang putranya Raden Numbang, putranya dari Intenbancana, maka berputra Sangiang Sumurgagung, Sanghiyang Sumuragung berputra Sanghiang Maha Sahunggantung. Yang seorang namanya Ranggasanten, putra dari Marajakastori dinamai Dirgahiang, putranya Mundingjaya tempatnya di Mandala. Yang seroang putranya Susunan Sinduparmana, yang kedua di Galuh, putranya Susunan Jaratna tempatnya di Cipinaha.
(8) Yang seorang putranya Raden Srigading tempatnya di Sukakarta. Yang seorang memperoleh Sang Mahawidara, tempatnya di Maja.Yang seorang Ratu Purbasakala dinamai Susunan Tambalayu. Maka berputra istri dinamai Ratu Gumilang, maka diberikankepada Santewanan Gunung Licin. Maka berputra Susunan Malaya, tempatnya di Taraju. Yang seorang namanya Kian Santang, maka nikah dengan Ratu Mandapa, maka berputra wanita Emurhali bersuami Bimalarang putra dari Jampang ditempatkan di Nagara. Yang seorang putra Mundinglaya, yang lahir dari Arumganda Wayansari, maka berputra Susunan Cilöwih. Ditempatkan di Kadungora, maka berputra tiga orang; Marajahiang Terusnabo tempatnya di Parakantiga, Amarajahiang Rajanabo ditempatkan di Kandangwesi, Marajahiang Lugajaya ditempatkan di Cidamar. Adapun yang seorang putranya Susunan Rajanawung lahir dari Rajasari, dinamai Ratugala istrinya ketika mengandung, bertapa di matahari serta dengan Batari Resikputih, maka berputra dinamai Sang Dewaguruhaji, berputra Tajimalela.
(9) Tajimalela berputra Geusan ulun. Susunan Geusan ulun berputra Pangeran Sumedang, tempatnya di Sumedanglarang. Yang menyebabkan para putra Ratu Sunda bubar dari Pajajaran diusir oleh ayahnya, karena telah lengkap pengajaran Kian Santang sekembalinya dari Ka’bah Allah. Putra itu teguh beriman kepada agama Islam tidak mengikuti syareat yang dianut oleh ayahnya dan kakeknya, karena itu diusir bubar ke Timur. Kian Santang diusir oleh ayahnya, karena panas Negara Pakuan. Asalnya pergi ke negeri Campa adiknya dibawa yang bernama Sarikabunan, maka dinikahkan kepada Ratu Tuban … Duta Samud cicitnya Ki Jatiswara, maka Pajajaran burak. Buraknya pada hari Selasa tanggal 14 bulan Sapar tahun Jim-Akhir. Yang tertinggal dua orang putra, yang seorang bernama Pucuk umun dan yang kedua dinamai Sekarmandapa. Pada waktu itu kalah Pajajaran, maka Pucuk umun ditawan oleh Ratu dari Timur, sedangkan Ratu Mandapa melarikan diri ke Gunung Gede menuju Ki Ajar Sukarasa, maka bertapa bersama Ki Ajar. Pada suatu ketika mani Ki Ajar itu menetes mengenai gagang kujang Ki Ajar. Maka Ratu Mandapa membelah pinang dengan kujang itu, terbawalah mani Ki Ajar serta, ketika sedang makan sirih mani itu termakan oleh Ratu Mandapa, lama-kelamaan ia mengandung dan setelah duabelas bulan lalu melahirkan,
(10) putranya seorang bayi perempuan serta cantik rupanya, maka dinamai Tandurangagang. Maka setelah dewasa diserahkan kepada Pangeran Jakerta, ketika ditiduri maka keluar api dari kemaluannya, maka kemudian diminta oleh Ratu Cirebon akan diperistri, tetapi keluar api dari kemaluannya, maka diberikan kepada Kiai Gedeng Mataram, ketika akan ditiduri, keluar api dari kemaluannya. Karena itu dianggap tidak berguna, lalu dijual kepada Ratu Belanda dengan bedil (meriam), meriam itu dibagi: Mataram Si Gunturgeni, Cirebon Si Santomi, kepada Banten si Amuk. Maka putra Siliwangi yang lahir dari Padnawati dinamai Ranggamantri, maka berputra Selawati, Ratu Selawati berputra Sang Adipati bertempat di Kuningan. Yang seorang dinamai Ratu Sedalarang. Maka berputra Perbu Cakradewa, Prabu Cakradewa berputra Singacala. Maka seorang putranya Kidangpananjung dinamai Perbu Sari berputra dua orang, yang dinamai Borosngora, ditempatkan di Panjalu, yang seorang lagi ada di Rajapolah. Adapun putra Ratu Komara dinamai Dewaguru, Dewaguru berputra Guru Aji, Guru Aji berputra Haji Putih, Haji Putih berputra Susuhunan Geusan Ulun, Susuhunan Geusan Ulun putra Pangeran Sumedang Kahiangan penjelmaan Komara dinamai Batara Tuntungbuwana jatuh di Sumedanglarang.
(11) Adapun putranya, yang bernama Banyakkudika yang lahir di Lopasir, yang seorang bertempat di Bandung, yang seorang bertempat di Kahuripan. Adapun putra Marajasakti tujuh orang banyaknya, yang seorang Ratu Roban, bertempat di Roban, yang seorang Ratu Gelukherang bertempat di Tanjungbang, yang seorang Ratu Jalakronceak bertempat di Wirasa, yang seorang Ratu Batagurun bertempat di Guha Upas, yang ada di Lakbok, dinamai Sanghiang Pasarean, yang seorang Ratu Romangelanherang di Guha Pajajaran, itulah Siluman Tujuh di Timur. Putra Ratu Komara dinamai Batara Niskala, maka berputra Marajahiang Niskala. Inilah Cirebon. Putra Baginda Ali dinamai Jenal Abidin, putranya yang ketujuh diserahkan kepada Syekh Magrib, bernama Molana Kasan, berputra Ratu Campa berputra Nyai Gedeng Campa. Nyai Gedeng Campa berputra Haji Duta Samud, yang berputra Nyai Gedeng Jatiswara, Nyai Gedeng Jatiswara berputra Sunan Jati, Susunan Jati berputra Sabakingking di Banten.
(12) Tamat Kitab Waruga Jagat, selesai ditulis pada malam Selasa bulan Zulhijjah, tanggal delapan, tahun Alip, Hijrah 1117.
Yang empunya Mas Ngabehi Parana.
TARJAMAH BASA SUNDA VERSI SKKS
D. KITAB WARUGA JAGAT TARJAMAH BASA SUNDA KU KI JAGASATRU VI
1) Kosim apuputra Abdulmuthalib, Abdulmuthalib apuputra Abdullah, Abdullah apuputra Nabi urang s.a.w., Nabi urang apuputra Fatimah. Fatimah apuputra Hasan Husein, Husein apuputra Zainal Abidin, Zainal Abidin apuputra Bani Ratu Israil, Bani Ratu Israil berputra Ratu Raja Yuta. Ratu Raja Yuta apuputra Raja Mesir … Raja Mesir apuputra Susuhunan Gunung Jati. Susuhunan Gunung Jati apuputra Pangeran Pasarean, Pangeran Pasarean apuputra Pangeran Dipati Balagayam, Pangeran Dipati Balagayam apuputra Panembahan, Panembahan apuputra Panembahan Ratu, Panembahan Ratu apuputra Pangeran DIpati, Pangeran Dipati apuputra Panembahan Girilaya, Panembahan Girillaya apuputra Sultan Komaruddin, Sultan Komaruddin apuputra Pangeran Rajaningrat di Negara Cirebon. Tamat. Nya ieu carita hadis. Sing saha nu ngadéngékeun, maca ajaran ieu disaruakeun jeung Qur’an tilu puluh juz jeung masih disaruakeun jeung perang sabil sarébu kali jeung digunakeun jadi ubar sarta … di imahna moal keuna ku fitnah setan iblis jeung lamun manéhna asup ka naraka kula anu bakal ngomong supaya dimulyakeun. Ieu téh carita putra Nabi ti (istrina) anu anom diwastaan Baginda Sam. Baginda Sam apuputra Bakarbuwana, anu apuputra Manaputih … gantungan. Manaputih … Gantungan apuputra Ongkalarang, Ongkalarang apuputra Sayar. Ratu Sayar apuputra Ratu Majakane, Ratu Majakane apuputra Parmana. Parmana apuputra limaan : Anu saurang Ratu Galuh.
2) Ratu Sriputih. Anu saurang Sang Rajaputih. Anu saurang Atmasuci. Anu saurang Ratu Brahma. Ratu Brahma dibawa ti Selan ka Nusa Arah, ngadegkein dukuh di Medangkamulan babarengan (jeung) adina nu awéwé diwastaan Ratu Dewi Hasta Terusgumuling. Terus pepelakan jawawut, kusabab kitu dingaranan Nusa Jawa. Terus garwaan putera Ratu Mesir anu diwastaan Ratu Parwatasari. Adi putra Ratu Mesir anu lalaki diwastaan Ahmad nikah, panggih jeung adi jeung adi. (Pangiringna) ti Selan sarébu ti Mesir sarébu indah tempat ka Gunung Kidul. (Ratu Galuh) apuputra tiluan. Anu saurang Ki Dipati Hariang Banga, kadua Ki Dipati Ciungmanarah, jeung Ratu Marajasakti. Ayeuna … ditinggalkeun di Ujungkulon ku Aki Bagawat. Terus lawas-lawas terus maot dikubur, terus ti anak awéwé anu maot téa, sabab manéhna ceurik anu kacida hayang bubuahan, anu kacida ngeunahna budak téh teterusan ceurikna hingga ka maotna, jasadna dikubur, lawas-lawas tuwuh tina tatangkalan anu matana jadi watang pare jeung kumha bahan pangan anu ngareunah. Terus Putra Ratu Mesir téh maot, Ratu Parwatasari diserahkeun ka Medangkamulan, rakyatna sarébu bawaanna carogéna asalna di Nusa Jawa. Ari Ratu Barahma datang di Negara, putrana awéwé
3) Dibikeun ka ratu Medangkamulan, terus apuputra ti Ratu Istri anu … panas di Negara … terus diusir ka …. kulon terus nikah jeung Ki Jakahtawa terus … Ajeg kapanasan, sarta apuputra tuluy maot dikubur, tuluy tuwuh jadi kai samida ngaranna téh, tempatna di basisir, tembulina dipiceun ka laut, tuluy jadi sarupaning anu peurahan di laut. Sang Rasaputih nepi di Balungbangan, apuputra istri anu dibikeun ka Ratu Medangkamulan. Apuputra ti Jakahtawa, terus nikah ka Nyi Ragasia. Terus apuputra kakaian, nalika buahan lahir bayi jeung ‘lelenge rujak hangor’ sakumna peurag bisa anu aya di Nusa Jawa. Ari Atmasuci tatapa di Sam Kaler. Tempatna … Ka Ki Sadana, apuputra istri namina Dwirasa … Ka Raden Jayakeling, nyaéta asalna sakumna … nganjrek jeung aya sabab rajaputra pindah ka ... anu dipuja, Cahaya anu kaluar tina panon sababna dijujulukan Ratu Galuh, sabab Ratu anu daulat, terus satemenna kahoyong Allah bendu ka hambaNa, sabab teu nganut sareat Nabi Noh, terus sakumna hanjat kana parahu, ari Ratu Galuh nyaah ka gunung luhurna tujuh langit.
4) Tuluy sakumna rakyatna naék gunung, sabada tuhut tuluy turun ti gunung, terus unggah ka Bojonglopang, nyieun dukuh, anu diwujudkeun gunung kulon, dipanah ku malaikat, tuluy ancur gunung téh jadi sekalian kabuyutan di Nusa Jawa. Ratu Galuh putrana ti bangsa manusia anu sulung Hariang Banga, anu kadua Ciungmanarah dan anu katilu Ratu Marajasakti. Ari Hariang Banga apuputra Ki Gedeng Mantalarasa. Ki Gedeng Mantalarasa apuputra ki Gedeng Mesir, Ki Gedeng Mesir apuputra Ratu Majapahit, apuputra Ki Gedeng Jati, apuputra Ki Gedeng Kartadipura, apuputra Ki Gedeng Sari, apuputra Ki Gedeng Kacung, apuputra Ki Gedeng Suruwud, apuputra Pangeran Sedang Karapyak, apuputra Pangeran Sedang Kamuning, apuputra Sultan Mataram, apuputra Susuhunan Tegalwangi, apuputra Susuhunan Mangkurat, apuputra Pangeran Dipati Anom. Ari putra Ciungmanarah diturunkeun di Pajajaran, dina mangsa bawaana panday 800 jeung putera istri anu diwastaan Purbasari, carogena Lutungkasarung, putra ti Manggungmendung, apuputra Linggahiang, apuputra Susuktunggal.
5) Apuputra Perbu Mundingkawati, apuputra Perbu Anggalarang, apuputra Mundingwani, anu baheula jadi Ratu Sunda, ngawasa di Pajajaran. Putra Ratu Siluman tujuh jalma lobana, anu kahiji Ki Jakahlarang, tempatna di Roban, anu kadua Ki Tua Sapularang tempatna di Tanjungbang. Ki Diriawangi tempatna di Wiraga jeung nu kaopat Ki Koyopok tempatna di Guha Upas, anu kalima Ki Kompanglaang tempatna di Guha Pajajaran, anu kagenep Ki Dulek pernahny di Sancang, anu katujuh Ki Kelewing tempatna di Pajajaran. Ieu téh anak-incu Sunda nalika Pakuan makmur: Raden Töngö ti Rajamantri, Raden Mömöt ti Padnalarang, Raden Sakian Sambulagungsari, ti Ratu Bancana anu sepuh Mundingdalem … Sanghiang Perbu Sangkanbönghar apuputra Sanghiang Lemansanjaya, apuputra Sanghiang Rajuna, apuputra yang … Apuputra Yang Sedang Taman, apuputra Yang Sedang Pangkalan, apuputra Sanghiang Sogol apuputra Raden Senapati Angalaga, Raden Senapati Angalaga apuputra Sanghiang Panangah, apuputra Sanghiang Lebakwangi.
6) Anu saurang putra Ratu Sunda diwastaan Sanghiyang Agung, apuputra Sanghiyang Maya, apuputra Taden Narasinga di Cirebon, apuputra Sayagati. Anu saurang lahir di Buniwangi, putra Dalem Rumenggong, diwastaan Ratu Parmana, apuputra Ratu Parmana di Puntang apuputra Ratu Pantenan, apuputra Ramadewa, apuputra Susuhunan Ranggalawe, tempatna di Timbanganten. Anu saurang diwastaan Keboputih, terus nikah ka putra Susunan … Dalangu, apuputra Susunan Rajamandala tempatna di Cahur. Ari anu lahir ti Ratu Akri diwastaan Perbu Limansanjaya, tempatna di Limbangan. Anu saurang puterana Gurugantangan anu lahir ti Mayangkaruna diwastaan Ragamantri Puspawangi Rajaparmana, anu apuputra Susunan Wanaprih tempatna di Talaga. Saurang anu lian ti Manikgumilang diwastaam Sanghiang Jampana, tempatna di Batulayang. Anu saurang putera lahir ti Pangilarangsari, diwastaan Ratu Dewi apuputra diwastaan Marajahianu, tempatna di Batuwangi. Anu saurang putra di Karang, diwastaan Mudikbatara.
7) Anu saurang puteranya Ratu Marajasakti, diwastaan Rasa Mastuli terus dipasaraheun ka Ki Lembualas, ditempatkeun di Ukur, terus apuputra Kiai Dipati Ukur, anu sepuh anu saurang putrana Ratu ti Marajainten, terus apuputra diwastaan Sanghiang Wiruna apuputra Perbu … Kiai Ngabehi Cucuk, anu tempatna di Manabaya. Anu saurang puterana Rangga Sinom, diwastaan Guruminda Mantrisari, terus apuputra Sanghanu Lutar, ditempatkeun di Panembong. Anu saurang puteranya Mundingkawati anu lahir di Marajalarang anakna Kidangpananjung diwastaan Ratu Wijaya, apuputra diwastaan Perbu Resi ditempatkeun di Rajapolah. Anu saurang puterana Sanghiang … raksa, anu lahir ti Tamompo, apuputra diwastaan Ranggadipa jeung diwastaan Rangga Sinom diwastaan Raden… pernahna di Suci, Raden Sinom tempatna di Selagedang. Anu saurang putrana Mundingmalati ti Parenggilaanusari, diwastaan Sanghiang Wiraga, Sanghiang Wiraga netep di gunung Mandeyansukma, diwastaan Batara Amilarang, apuputra diwastaan Ratu Siluman, Ratu SIluman apuputra Ratu Demang. Ratu Demang apuputra Batara Yang Sengkawaja wastana nikah… ka Batara putrana pohaci Rabanu apuputra Batara Sedang Kawindu. Batara Sedang Kawindu terus apuputra anu maot di Galuh, tuluyna pegat kalungguhanna diselang ku pamanna diwastaan Saröpön, Saröpön Cipacul. Terus putrana duaan, anu kahiji anu maot di Cibuntu, anu kadua Dalem Demang. Terus anu maot di Cibuntu apuputra Dalem Demang Agung apuputra Kiai Ngabehi Sama, tempatna di Sindangkasih. Anu saurang putrana Raden Ganduwangi anu lahir di Margacinta, terus apuputra Sanghiang Medang, apuputra Susunan Pandujaya tempatna di Pawenang. Anu saurang putrana Raden Numbang, putrana ti Intenbancana, terus apuputra Sangiang Sumurgagung, Sanghiang Sumuragung apuputra Sanghiang Maha Sahunggantung. Anu saurang wastana Ranggasanten, putra ti Marajakastori diwastaan Dirgahiang, putrana Mundingjaya tempatna di Mandala. Anu seurang putrana Susunan Sinduparmana, anuk kadua di Galuh, putrana Susunan Jaratna tempatna di Cipinaha.
8) Anu saurang putrana Raden Srigading tempatna di Sukakarta. Anu saurang meunangkeun Sang Mahawidara, tempatna di Maja. Anu saurang Ratu Purbasakala diwastaan Susunan Tambalayu. Terus apuputra istri diwastaan Ratu Gumilang, terus dipasrahkeun ka Santewanan Gunung Licin. Terus apuputra Susunan Malaya, tempatna di Taraju. Anu saurang wastana Kian Santang, terus nikah jeung Ratu Mandapa, terus apuputra istri Emurhali carogean Bimalarang putra ti Jampang ditempatkeun di Nagara. Anu saurang putra Mundinglaya, anu lahir ti Arumganda Wayansari, terus apuputra Susunan Cilöwih. Ditempatkeun di Kadungora, terus apuputra tiluan; Marajahiang Terusnabo tempatna di Parakantiga, Amarajahiang Rajanabo ditempatkeun di Kandangwesi, Marajahiang Lugajaya ditempatkeun di Cidamar. Ari anu saurang putrana Susunan Rajanawung lahir ti Rajasari, diwastaan Ratugala istrina nalika ngandung, tatapa di Srangenge sarta jeung Batari Resikputih, terus apuputra diwastaan Sang Dewaguruhaji, apuputra Tajimalela.
10) Tajimalela apuputra Geusanhulun. Susunan Geusan hulun apuputra Pangeran Sumedang, tempatna di Sumedanglarang. Anu jadi sabab para putra Ratu Sunda bubar ti Pajajaran diusir ku ramana, sabab geus lengkepna ajaran Kian Santang samulangna ti Ka’bah Allah. Putra ieu teguh imanna kana agama Islam teu tumut ka anu dianut ku ramana tur akina, sabab kitu diusir bubar ke wétan. Kian Santang diusir ku ramana, sabab panasna Nagara Pakuan. Asalnya miang ka nagari Campa adina dibawa anu diwastaan Sarikabunan, terus dinikahkeun ka Ratu Tuban ... Duta Samud buyutna Ki Jatiswara, terus Pajajaran burak. Burakna dina poé Selasa tanggal 14 bulan Sapar taun Jumadil-Akhir.
Anu tinggal dua putra, anu saurang diwastaan Pucukumun jeung anu kadua diwastaan Sekarmandapa. Dina aktu harita Pajajaran éléh, terus Pucukumun ditawan ku Ratu ti Wétan, sedangkeun Ratu Mandapa kabur ka Gunung Gedé ngajugjug Ajar Sukarasa, terus tatapa jeung ajar.
Dina hiji mangsa cimani ajar téh nétés keuna kana gagang kujang ajar. Terus Ratu Mandapa meulah jambé ku éta kujang, nya kabawah cimani ajar téh, nalika keur nyeupah cimani téh kadahar ku Ratu Mandapa, lawas-lawas manéhna ngandung jeung sabada duabelas bulan tuluy ngalahirkeun, putrana sahiji orok istri anu geulis rupana, terus diwastaan Tandurangagang. Terus sabada déwasa dipasrahkeun ka Pangeran Jakerta, nalika rék sapatemon terus kaluar seuneu tina laranganana, saterusna dipénta ku Ratu Cirebon bakal dipigarwa, tapi kaluar seuneu tina laranganana, terus dipasrahkeun ka Kiai Gedeng Mataram, nalika rék sapatemon, kaluar seuneu tina laranganana. Sabab kitu dianggap taya gunana, tuluy dijual ka Ratu Walanda (ditukeuran ku) bedil (mariem), mariepam éta dibagi: Mataram Si Gunturgeni, Cirebon Si Santomi, ka Banten si Amuk. Terus putra SIliwangi anu lahir ti Padnawati diwastaan Ranggamantri, terus apuputra Selawati, Ratu Selawati apuputra Sang Adipati nganjrek di Kuningan. Anu saurang diwastaan Ratu Sedalarang. Terus apuputra Perbu Cakradewa, Prabu Cakradewa apuputra Singacala. Terus saurang putrana Kidangpananjung diwastaan Perbu Sari apuputra dua, anu diwastaan Borosngora, ditempatkeun di Panjalu, anu saurang ldeui aya di Rajapolah. Ari putra Ratu Komara diwastaan Dewaguru, Dewaguru apuputra GuruAji, Guru Aji apuputra Haji Putih, Haji Putih ngarundaykeun Susuhunan Geusan Ulun, Susuhunan GeusanUlun putrana Pangeran Sumedang Kahiangan jalmaan ti Komara diwastaan Batara Tuntungbuwana nganjrek di Sumedanglarang.
11) Ari putrana, anu diwastaan Banyakkudika anu lahir di Lopasir, anu saurang nganjrek di Bandung, anu saurang nganjrek di Kahuripan. Ari putra Marajasakti tujuh lobana, anu saurang Ratu Roban, nganjrek di Roban, anu saurang Ratu Gelukherang nganjrek di Tanjungbang, anu saurang Ratu Jalakronceak nganjrek di Wirasa, anu saurang Ratu Batagurun nganjrek di Guha Upas, anu aya di Lakbok, diwastaan Sanghiang Pasarean, anu saurang Ratu Romangelanherang di Guha Pajajaran, tah éta Siluman Tujuh di Wétan.
Putra Ratu Komara diwastaan Batara Niskala, terus apuputra Marajahiang Niskala.Tah ieu Cirebon. Putra Baginda Ali diwastaan Jenal Abidin, putrana anu katujuh dipasrahkeun ka Syekh Magrib, diwastaan Molana Kasan, apuputra Ratu Campa apuputra Nyai Gedeng Campa. Nyai Gedeng Campa apuputra Haji Duta Samud, anu apuputra Nyai Gedeng Jatiswara, Nyai Gedeng Jatiswara apuputra Sunan Jati, Susunan Jati apuputra Sabakingking di Banten.
12) Tamat
Kitab Waruga Jagat, anggeus ditulis dina malem Salasa bulan Zulhijjah, tanggal dalapan, taun Alip, Hijrah 1117.
============================
Anu bogana Mas Ngabehi Parana.
Disalin tina bahan nu aya di “Australian National Library”, Canberra ACT – Australia.
Sydney, 25 Desember 2011
Ki H. Dr. Iwan Natapradja
http://cipakudarmaraja.blogspot.co.id/2015/11/naskah-kitab-waruga-jagat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar