Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Minggu, 18 Februari 2018

Rahasia Angka 3 Dalam Al-Qur'an Surat At-Taubah Ayat 118


Dan terhadaptsalatsah (3 [tiga])orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S At-Taubah ayat : 118)

Surat At-Taubah dalam Al-Qur'an merupakan surat ke-9 yang terdiri dari 129 ayat, At-Taubah artinya pengampunan, dalam surat ini di awal surat tidak terdapat kalimat Bismillahirrahmanirrahim.

Bahwa maksud dari angka 3 dalam surat At-Taubah ayat 118 adalah mengenai 3 orang yang tidak ikut perang tabuk yaitu :

  1. Ka'b Ibnu Malik
  2. Hilal Ibnu Umayyah
  3. Mararah Ibu Rabi

Hal ini sesuai hadits riwayat Bukhari sebagai berikut :

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdulah bin Ka’ab bin Malik, dia di antara anak Ka’ab yang menjadi penuntun Ka’ab ketika telah buta. Ia berkata, “Aku mendengar Ka’ab bin Malik bercerita tentang kisah Tabuk ketika ia tidak ikut berperang, ia berkata: Aku tidaklah meninggalkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di peperangan apa pun selain perang Tabuk, namun aku pernah tidak ikut pula perang Badar, tetapi Beliau tidak mencela orang yang meninggalkannya, hal itu karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar untuk mendatangi kafilah (dagang) Quraisy, namun akhirnya Allah mengumpulkan mereka dengan musuhnya tanpa perjanjian terlebih dahulu. Aku hadir bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di malam ‘Aqabah ketika Beliau membai’at kami di atas Islam, dan aku tidak suka jika ada pengganti (yang melebihi) malam ‘Aqabah, yaitu perang Badar (menurutnya malam ‘Aqabah lebih afdhal daripada perang Badar), meskipun perang Badar lebih dikenang oleh manusia daripada malam ‘Aqabah. Cerita saya, bahwa saya tidaklah pernah lebih kuat dan lebih lapang daripada keadaan ketika saya meninggalkan perang itu. Demi Allah, sesungguhnya sebelum itu tidak ada dua kendaraan sama sekali, hingga saya berhasil mengumpulkan keduanya pada perang itu. Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau tidaklah hendak berperang kecuali menampakkan yang lain, termasuk dalam peperangan itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berangkat di waktu yang sangat panas, menuju perjalanan yang jauh, padang pasir dan musuh yang banyak. Maka Beliau menerangkan kepada kaum muslimin hal yang sesungguhnya agar mereka mempersiapkan perlengkapan untuk perang itu dan memberitahukan arah mana yang hendak Beliau tuju. Kaum muslimin yang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jumlahnya banyak, dan mereka tidak terdaftar dalam buku induk. Ka’ab berkata, “Oleh karena itu, tidak ada yang ingin absen kecuali dia menduga bahwa yang demikian akan tersembunyi bagi Beliau, selama tidak turun wahyu Allah terhadapnya.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pergi berperang ketika buah-buah matang dan pohonnya rindang, maka bersiap-siaplah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kaum muslimin yang bersamanya. Aku pun pergi untuk ikut bersiap-siap bersama mereka, aku pulang, namun tidak melakukan apa-apa, maka aku berkata dalam hati, “Saya mampu melakukannya.” Hal itu berlangsung terus hingga mereka semakin siap, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum muslimin berangkat sedangkan saya belum mempersiapkan apa-apa,” aku pun berkata, “Saya akan bersap-siap setelahnya sehari atau dua hari kemudian menyusul mereka.” Maka saya pergi setelah mereka jauh untuk bersiap-siap, saya pulang namun tidak melakukan apa-apa. Saya pergi lagi dan kembali namun belum melakukan apa-apa, dan terus menerus seperti itu sampai mereka semakin cepat dan (saya) ketinggalan perang. Saya ingin berangkat dan menyusul mereka. Duhai, andai saja saya melakukannya, namun tidak ditaqdirkan buat saya, sehingga ketika saya keluar kepada orang-orang setelah kepergian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka saya berkeliling di antara mereka, saya pun bersedih karena tidak melihat orang selain orang yang tercela karena kemunafikannya atau orang yang diberi uzur oleh Allah dari kalangan kaum dhu’afa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyebutku sampai tiba di Tabuk. Beliau pun bersabda ketika duduk di tengah-tengah manusia di Tabuk, “Apa yang dilakukan Ka’ab?” Maka seorang dari Bani Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, ia tertahan oleh kedua burdahnya dan melihat sisi tubuhnya.” Mu’adz bin Jabal berkata, “Buruk sekali apa yang kamu katakan. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui tentangnya selain kebaikan.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diam. Ka’ab bin Malik berkata, “Ketika sampai berita kepadaku, bahwa Beliau sedang kembali pulang, maka aku pun bersedih. Aku mulai berpikir tentang berdusta dan berkata (dalam hati), “Bagaimana caranya agar aku dapat lolos dari kemarahan Beliau besok? Aku pun meminta bantuan untuk itu kepada keluargaku yang berpengalaman. Namun ketika disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelang tiba, maka hilanglah (pikiran) batil dariku, dan saya mengetahui bahwa saya tidak dapat lolos selamanya dengan sesuatu yang di sana terdapat dusta, maka saya bertekad untuk jujur. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian datang, dan Beliau biasanya apabila pulang dari safar, pergi ke masjid, lalu shalat di sana dua rak’at, kemudian duduk di hadapan manusia. Ketika Beliau sedang seperti itu, maka orang-orang yang tidak ikut berperang datang, dan mulai mengemukakan uzurnya serta bersumpah. Jumlah mereka ada delapan puluh orang lebih, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menerima lahiriah mereka, membai’at mereka dan memintakan ampunan untuk mereka, serta menyerahkan rahasia mereka kepada Allah. Aku pun datang dan mengucapkan salam kepadanya, maka Beliau tersenyum dengan senyuman orang yang marah. Beliau bersabda, “Kemari!” maka aku pun datang sambil berjalan dan duduk di hadapannya, dan bersabda kepadaku, “Apa yang membuatmu tertinggal?” Bukankah kamu telah membeli kendaraanmu?” Aku menjawab, “Ya. Sesungguhnya aku demi Allah, jika aku duduk pada selain dirimu di antara penduduk dunia, aku yakin dapat lolos dari kemarahannya dengan suatu alasan. Aku telah diberi kelebihan berdebat, akan tetapi demi Allah, aku tahu bahwa jika aku menyampaikan kata-kata dusta pada hari ini kepadamu yang membuatmu ridha dengannya, tentu Allah akan menjadikan engkau marah kepadaku. Namun jika aku menyampaikan kata-kata jujur, maka engkau akan marah kepadaku. Sesungguhnya aku berharap ampunan dari Allah dengan kejujuran itu. Demi Allah, aku tidak memiliki uzur. Demi Allah, aku tidaklah lebih kuat dan lebih lapang daripada keadaan ketika aku meninggalkanmu.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Adapun orang ini, maka dia benar. Bangunlah sampai Allah memberikan keputusan terhadapmu.” Aku pun berdiri dan beberapa orang Bani Salamah bangkit mengikutiku. Mereka berkata kepadaku, “Demi Allah, kami tidak mengetahui kamu melakukan dosa sebelum ini, ternyata kamu tidak berani mengajukan uzur kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti uzur yang diajukan oleh orang-orang yang tidak tertinggal lainnya (kaum munafik). Padahal cukup bagi dosamu permohonan ampunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untukmu.” Demi Allah, mereka senantiasa mencelaku sampai aku ingin kembali dan berkata dusta. Lalu aku berkata kepada mereka, “Apakah ada orang yang mengalami seperti diriku?” Mereka menjawab, “Ya. Ada dua orang yang berkata seperti yang kamu ucapkan, kemudian dikatakan kepada keduanya seperti yang dikatakan kepadamu.” Aku pun berkata, “Siapa keduanya?” Mereka menjawab, “Muraarah bin Ar Rabii’ Al ‘Amriy dan Hilal bin Umayyah Al Waaqifiy.” Ternyata mereka menyebutkan kepadaku dua laki-laki saleh yang ikut perang Badar, di mana pada keduanya ada keteladanan. Maka aku pun tetap berjalan, ketika mereka menyebutkan kedua orang itu kepadaku. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga dari sekian banyak orang yang tertinggal dari perang.” Manusia pun menjauhi kami dan berubah sikap kepada kami, sehingga berubah pula bumi dalam diriku, yang mana bumi yang aku kenal, kami tetap seperti itu selama lima puluh malam. Sedangkan kedua teman saya, mereka merasa hina dan duduk di rumahnya sambil menangis. Adapun saya, maka saya adalah orang yang paling muda di antara mereka dan paling kuat. Aku keluar, ikut shalat bersama kaum muslimin, dan berkeliling di pasar, namun tidak ada yang mau berbicara denganku. Aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan salam kepadanya, sedangkan Beliau berada di tempat duduknya setelah shalat. Aku berkata dalam hati, “Apakah Beliau akan menggerakkan bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak? Lalu saya shalat dekat dengan Beliau, sambil mencuri pandang kepada Beliau. Ketika saya memasuki shalat, maka Beliau memandangku. Namun ketika aku menoleh ke arahnya, maka Beliau berpaling dariku. Sehingga ketika ketidakramahan dari manusia berlangsung lama padaku, aku pun berjalan dan menaiki tembok Abu Qatadah, dia adalah putera pamanku dan manusia yang paling saya cintai. Aku pun mengucapkan salam kepadanya. Demi Allah, dia tidak menjawab salamku. Aku pun berkata, “Wahai Abu Qatadah, saya bertanya kepadamu dengan nama Allah, tahukah kamu bahwa aku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya? Ia pun diam, dan aku mengulangi lagi dan bertanya kepadanya sambil bersumpah, namun ia tetap diam.” Ia pun berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Maka mengalirlah kedua mataku dan aku pun berpaling hingga aku memanjat tembok. Ketika saya berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba ada seorang petani dari petani penduduk Syam yang datang membawa makanan yang ia jual di Madinah, ia berkata, “Siapa yang mau menunjukkanku kepada Ka’ab bin Malik?” Orang-orang segera memberi isyarat kepadanya (yakni kepadaku). Ketika ia datang kepadaku, ia menyerahkan surat dari raja Ghassan, dan ternyata isinya, “Amma ba’du, sesungguhnya telah sampai berita kepadaku, bahwa kawanmu telah bersikap kasar kepadamu, dan Allah tentu tidak akan menjadikanmu berada di negeri hina, juga tidak tersia-sia. Maka bergabunglah dengan kami, kami akan menolongmu.” Setelah membacanya, aku berkata, “Ini termasuk cobaan.” Aku pun pergi ke dapur, lalu aku bakar surat itu dengannya. Hingga ketika telah berlalu 40 malam dari 50 malam, tiba-tiba utusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang kepadaku dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kamu menjauhi istrimu.” Aku pun berkata, “Apakah aku talak? Atau apa yang harus aku lakukan?” Ia berkata, “Jauhi saja dan jangan dekati.” Beliau juga mengutus kepada kedua kawanku seperti itu. Aku pun berkata kepada istriku, “Kembalilah kepada keluargamu sehingga kamu tinggal bersama mereka sampai Allah menyelesaikan masalah ini.” Ka’ab berkata, “Lalu istri Hilal bin Umayyah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah adalah orang yang sudah tua lagi tidak punya apa-apa, ia tidak punya lagi pelayannya, apakah engkau tidak suka kalau aku melayaninya?” Beliau menjawab, “Bukan begitu, tetapi jangan sampai ia mendekatimu.” Istrinya berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ia tidak pernah bergerak kepada sesuatu. Demi Allah ia senantiasa menangis sejak hari itu hingga hari ini.” Lalu sebagian keluargaku berkata kepadaku, “Kalau sekiranya engkau meminta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang istrimu sebagaimana Beliau mengizinkan kepada istri Hilal bin Umayyah untuk melayaninya?” Aku pun berkata, “Demi Allah, aku tidak akan meminta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan aku tidak tahu apa yang dikatakan nanti oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika aku meminta izin kepadanya, sedangkan saya seorang pemuda?” Maka setelah itu, saya tetap seperti itu sampai sepuluh malam sehingga genaplah lima puluh malam dari sejak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang berbicara dengan kami. Ketika aku shalat Subuh pada malam yang kelima puluh, sedangkan aku berada di salah satu atap rumah kami. Ketika aku sedang duduk dalam keadaan yang disebutkan Allah itu, di mana diriku telah terasa sempit, dan bumi yang luas pun menjadi sempit bagiku, aku pun mendengar suara keras orang yang berteriak yang muncul dari atas gunung Sala’, “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah.” Maka aku pun tersungkur sujud, dan aku mengetahui bahwa kelegaan telah datang, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan tobat dari Allah kepada kami ketika telah selesai shalat Subuh. Lalu orang-orang datang memberi kabar gembira kepada kami, dan datang pula orang-orang memberi kabar gembira kepada dua sahabatku. Ada seseorang yang memacu kudanya dengan cepat kepadaku, dan ada lagi orang yang berlari kencang menujuku dari Bani Aslam, dia naik ke atas gunung, dan suara itu lebih cepat daripada kuda. Ketika telah datang kepadaku orang yang aku dengar suaranya memberi kabar gembira kepadaku, aku pun melepas kedua pakaianku dan memakaikan kepadanya karena kabar gembiranya. Demi Allah, padahal ketika itu aku tidak memiliki selainnya. Aku pun meminjam dua baju, dan aku pakai. Aku pun pergi kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu orang-orang mendatangiku secara berbondong-bondong, mereka mengucapkan selamat atau tobat saya. Mereka berkata, “Semoga tobat Allah membahagiakanmu.” Aku pun masuk ke masjid, tiba-tiba Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedang duduk dengan dikerumuni manusia. Lalu Thalhah bin Ubaidillah berjalan cepat, menyalamiku dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada seorang pun dari kaum muhajirin yang bangkit kepadaku selainnya, dan aku tidak pernah melupakannya untuk Thalhah. Ka’ab melanjutkan kata-katanya, “Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku dalam keadaan mukanya berseri-seri karena senang, “Bergembiralah dengan hari terbaik yang pernah melewati hidupmu sejak kamu dilahirkan oleh ibumu.” Aku pun bertanya, “Apakah dari sisimu wahai Rasulullah ataukah dari sisi Allah?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan dari sisi Allah.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila senang, mukanya berseri-seri sehingga seperti satu potong rembulan, dan kami mengenali yang demikian dari Beliau. Ketika aku duduk di depannya, aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di antara tobatku adalah saya akan mengeluarkan sedekah kepada Allah dan kepada Rasulullah dari harta saya.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tahanlah sebagian hartamu, yang demikian lebih baik bagimu.” Aku pun berkata, “Sesungguhnya saya menahan bagian saya yang ada di Khaibar.” Saya juga berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkanku karena kejujuran, dan termasuk (kesempurnaan) tobat saya adalah saya tidak berbicara kecuali benar selama aku masih hidup.” Demi Allah, aku tidak mengetahui seorang pun dari kaum muslimin yang diberi nikmat oleh Alah tentang kejujuran bicara sejak aku sebutkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih baik dari nikmat yang diberikan-Nya kepadaku. Sejak aku sebutkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam aku tidak pernah sengaja berdusta sampai hari ini. Saya pun berharap kepada Allah agar Dia menjaga saya selama saya masih hidup, dan Allah pun menurunkan ayat kepada Rasul-Nya,

Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (Q.S At-Taubah ayat : 117 – 119)

Demi Allah, Allah tidaklah memberi nikmat kepadaku suatu nikmat yang lebih besar setelah aku ditunjuki-Nya kepada Islam daripada kejujuranku kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana aku tidak berdusta kepadanya, yang membuatku binasa sebagaimana orang-orang yang berdusta binasa. Sesungguhnya Allah berfirman kepada mereka yang berdusta ketika Dia menurunkan wahyu dengan seburuk-buruk ucapan yang difirmankan-Nya kepada seseorang,

Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu. (Q.S At-Taubah ayat : 95 – 96)

Ka’ab berkata, “Kami bertiga ditangguhkan dari perkara orang-orang yang telah diterima oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mereka berani bersumpah kepada Beliau. Beliau membai’at mereka, memintakan ampunan dan menangguhkan urusan kami sehingga Allah memutuskannya. Oleh karena itulah, Allah berfirman,

dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S At-Taubah ayat : 118)


Dan yang disebutkan Allah itu bukan ketertinggalan kami dari peperangan, tetapi penangguhan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kami dan pengakhiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap urusan kami dari orang-orang yang telah bersumpah serta mengajukan uzurnya kepada Beliau dan Beliau telah menerimanya.” (HR. Bukhari)

Demikian semoga bermanfaat !

https://rahasianumber.blogspot.co.id/2016/08/rahasia-angka-3-dalam-al-quran-surat-at.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar