Dibentuknya panitia penyusunan sejarah Galuh,
dimaksudkan untuk menelusuri dan mengkaji sejarah Galuh secara menyeluruh,
mengingat terdapat beberapa alternatif didalam menetapkan hari jadi tersebut,
apakah akan memaka! titimangsa Rahyangta di medangjati yaitu mulai berdirinya
kerajaan Galuh oleh Wretikkandayun tanggal 23 maret 612 m atau zaman Rakean
Jamri yang juga disebut Rahyang Sanjaya sebelum Sang Manarah berkuasa, atau
akan mengambil tanggal dan tahun dari peristiwa peristiwa, sebagai berikut:
§ Digantinya
nama kabupaten Galuh menjadi kabupaten ciamis oleh bupati Rd. Tumenggung Sastra
Winata pada tahun 1916;
§ Pindahnya
pusat pemerintahan dari imbanagara ke cibatu (ciamis) oleh bupati Rd. Aa.
Wiradikusumah pada tanggal 15 januari 1815;
§ Atau
berpindahnya pusat kabupaten Galuh dari Garatengah yang letaknya di sekitar
cineam (tasikmalaya) ke barunay (imbanagara) pada tangal 12 juni 1642.
Hasil kerja keras panitia penyusun se]arah galuh dan
tim ahli sejarah IKIP bandung, akhirnya menyimpulkan bahwa hari jadi kabupaten
ciamis jatuh pada tanggal 12 juni 1642, yang kemudian dikukuhkan dengan surat
keputusan dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten ciamis tanggal 17 mei 1972
nomor: 22/v/KPTS/DPRD/ 1972.
Dengan keputusan DPRD tersebut, diharapkan teka-teki
mengenai hari jadi kabupaten ciamis tidak dipertentangkan lagi dan juga
diharapkan seluruh masyarakat mengetahui, sehingga akan lebih bersemangat untuk
membangun tatar galuh ini, sejalan dengan moto juang kabupaten ciamis, yaitu:
pakena gawe rahavu
pakeun heubeul jaya dina buana untuk mengejar / mewujudkan mahayunan ayuna
kadatuan.
Kata Galuh berasal dari bahasa sansekerta, yang
berarti batu permata, kerajaan galuh berarti kerajaan batu permata yang indah
gemerlapan, subur makmur gemah ripah loh jinawi, aman tentram kertaraharja.
Dari sejarah terungkap bahwa pendiri kerajaan galuh adalah Wretikkandayun, ia
adalah putra bungsu dari Kandiawan yang memerintah kerajaan Kendan selama 15
tahun (597 — 612) yang kemudian menjadi pertapa di Layungwatang (daerah
kuningan) dan bergelar Rajawesi Dewaraja atau Sang layungwatang.
Wretikkandayun berkedudukan di medangjati,tetapi ia
mendirikan pusat pemerintahan yang baru dan diberi nama Galuh (yang lokasinya
kurang lebih di desa karangkamulyan sekarang). ia dinobatkan pada tanggal 14
suklapaksa bulan caitra tahun 134 caka (kira – kira 23 maret 612 masehi).
tanggal tersebut dipilihnya benar — benar menurut tradisi Tarumanagara, karena
tidak saja dilakukan pada hari purnama melainkan juga pada tanggal itu matahari
terbit tepat di titik timur.
Tujuan wretikkandayun membangun pusat pemerintahan di
daerah karangkamulyan (sekarang) adalah untuk membebaskan diri dari
tarumanagara, yang selama itu menjadi negara “adikuasa??. oleh karena itu demi
mewujudkan obsesinya ia menjalin hubungan balk dengan kerajaan kalingga di jawa
tengah, bahkan putra bungsunya mandi minyak di jodohkan dengan parwati putri
sulung Maharanissima.
Kesempatan untuk menjadi negara yang berdaulat penuh,
terjadi pada tahun 669 ketika Linggawarman (666 — 669) raja Tarumanagara yang
ke 12 wafat. ia digantikan oleh menantunya (suami dwi manasih) bernama terus
bawa yang berasal dari kerajaan sunda sumbawa.
Terus bawa inilah yang pada saat penobatannya tanggal
9 suklapaksa bulan yosta tahun 951 caka (kira — kira 17 mei 669 masehi), ia
mengubah kerajaan tarumanagara menjadi negara sunda.
Masa kerajaan galuh berakhir kira — kira tahun 1333
masehi ketika raja Ajiguna Lingga Wisesa atau Sang Dumahing Kending (1333 —
1340) mulai bertahta di kawali, sedangkan kakaknya prabu Citragada atau Sang
Dumahing Tanjung bertahta di pakuan pajajaran.
Lingga wisesa adalah kakek Maharaja Linggabuana yang
gugur pada perang bubat tahun 1357, yang kemudian diberi gelar Prabu Wangi. Ia
gugur bersama putri sulungnya Citra resmi atau Diah pitaloka. Diah pitaloka
mempunyai adik laki — laki yang bernama Wastu Kancana dan diberi umur panjang.
Ketika perang bubat berlangsung, wastu kancana baru
berusia 9 tahun dibawah bimbingan pamannya yaitu mangkubumi suradipati alias
sang bumi sora atau batara guru di jampang, wastu kancana berkembang menjadi
seorang calon raja yang seimbang keluhuran budinya lahir bathin, sepeti
tersebut pada wasiatnya yang tertulis pada prasasti kawali yaitu:
§ Negara
akan jaya dan unggul perang bila rakyat berada dalam kesejahteraan (kareta
bener).
§ Raja
harus selalu berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu).
Itulah syarat yang menurut wasiatnya untuk dapat
pakeun heubeul jaya dina buana, pakeuna nanjeur najuritan untuk menuju
mahayunan ayuna kadatuan.
Pada masa pemerintahan prabu niskala wastu kancana
negara dan rakyatnya berada dalam keadaan aman tenteram kertaraharja, para abdi
dalem patuh dan taat terhadap peraturan ratu yang dilandasi oleh purbastiti dan
purbajati.
Wastu kancana mempunyai dua orang isteri, yaitu
Larasati (puteri resi susuk lampung) dan Mayangsari. Putra sulung dari Larasati
yang bernama Sang halimun diangkat menjadi penguasa kerajaan sunda berkedudukan
di pakuan pajajaran pada tahun 1382.
Dari Mayangsari Wastu Kancana mempunyai empat orang
putera yaitu Ningrat kencana, Surawijaya, Gedeng Sindangkasih dan Gedeng Tapa.
Ningrat kencana diangkat menjadi mangkubumi di kawali dengan gelar surawisesa.
Wastu kancana wafat pada tahun 1475 dan digantian oleh
ningrat kencana dengan gelar prabu dewa niskala berkedudukan di kawali, yang
hanya menguasai kerajaan Galuh, karena kerajaan sunda dikuasai oleh kakaknya
yaitu Sang Halimun yang bergelar Prabu Susuk Tunggal. Dengan wafatnya Wastu
Kancana, maka berakhirlah periode kawali yang berlangsung selama 142 tahun
(1333 — 1475).
Dalam periode tersebut. kawali menjadi pusat
pemerintahan dan keraton surawisesa menjadi persemayaman raja-rajanya terlebih
lagi sribaduga maharatu haji sebagai pewaris terakhir tahta kerajaan galuh dari
ayahnya Dewa Niskala yang pusat kerajaanya di keraton surawisesa pindah ke
pakuan pajajaran (bogor sekarang) untuk merangkap jabatan menjadi raja sunda
yang dianugerahkan dari mertuanya, maka sejak itu galuh sunda bersatu kembali
menjadi pakuan pajajaran dibawah kekuasaan sri baduga maharaja ratu haji di pakuan
pajajaran sri sang ratu dewata yang kini lazim disebut prabu siliwangi.
Penanggalan pada zaman kerajaan galuh bihari nampaknya
kurang tepat bila dijadikan penanggalan hari jadi kabupaten ciamis, karena luas
teritorialnya sangat jauh berbeda dengan keadaan kabupaten ciamis sekarang.
nama kerajaan galuh baru muncul tahun 1595, yang sejak
itu mulai masuk kekuasan mataram. adapun batas-batas kekuasaannya sebaga!
berikut ,:
-di sebelah timur, sungai citanduy;
-di sebelah barat, galunggung sukapura;
-di sebelah utara, sumedang dan cirebon;
-di sebelah selatan, samudera hindia.
daerah – daerah majenang, dayeuh luhur dan pagadingan
termasuk juga daerah galuh masa itu ( menurut dr. f. dehaan) dan ternyata dari
segi adat istiadat dan bahasa masih banyak kesamaan dengan tatar pasundan
terutama sekali di daerah pegunungan.
kerajaan galuh pada saat itu terbagi menjadi beberapa
pusat kekuasaan yang dipimpin oleh raja – raja kecil ( kandaga lante ), yang
kemudian dianggap sederajat dengan bupati yang antara satu dengan yang lainnya
masih mempunyai hubungan darah mempunyai perkawinan. pusat—pusat kekuasaan
tersebut berada di wilayah cibatu, garatengah, imbanagara, panjalu, kawali,
utama (ciancang), kertabumi (bojonglopang ) dan kawasen (desa banjarsari).
pengaruh kekuasaan mataram sedikit banyak mewarnai
tata cara pemerintahan dan budaya kerajaan galuh dari tata cara buhun
sebelumnyai pada zaman itu mulai ada pergeseran antara bupati yang satu dengan
bupati yang lainnya, seperti adipati panaekan putra prabu galuh cipta pertamana
diangkat menjadi bupati wedana (semacam gubernur ) di galuh oleh sultan agung.
pengangkatan tersebut menyulut perselisihan faham
antara dipati panaekan dengan adipati kertabumi yang berakhir dengan tewasnya
adipati panaekan. jenazahnya dihanyutkan ke sungai citanduy dan dimakamkan di
pasarean karangkamulyan.
sebagai penggantinya ditunjuk adipati imbanagara yang
pada waktu itu berkedudukan di garatengah (cineam – tasikmalaya).
usaha sultan agung untuk melenyapkan kekuasaan voc di
batavia pada penyerangan pertama mendapat dukungan penuh dari adipati ukur,
walaupun pada penyerangan itu gagal.
pada penyerangan kedua ke batavia, dipati ukur
mempergunakan kesempatan tersebut untuk membebaskan daerah ukur dan sekitarnya
dari pengaruh kekuasaan mataram. politik dipati ukur tersebut harus dibayar
mahal , yaitu dengan terbunuhnya dipati imbanagara ( yang dianggap tidak setia
lag! kepada mataram ) oleh utusan mataram yang dipenggal kepalanya dan dibawa
ke mataram sebaga! barang bukti. sedangkan badannya dimakamkan di bolenglang
(kertasari). tetapi kepala dipati imbanagara dapat direbut lagi oleh para
pengikutnya walaupun terjatuh di sungat citanduy, yang kemudian tempat jatuhnya
disebut leuwi panten.
kedudukan dipati imbanagara selanjutnya digantikan
oleh puteranya yang bernama mas bongsar atau raden yogaswara dan atas
jasa-jasanya dianugerahi gelar raden adipati panji jayanegara.
pada masa pemerintahan raden adipati panji jayanegara,
pusat kekuasaan pemerintahan dipindahkan dari garatengah ke calingging yang
kemudian dipindahkan lag! ke barunay ( imbanagara sekarang ), pada tanggal 14
maulud atau pada tanggal 12 juni 1642 m.
perpindahan pusat kabupaten galuh dari garatengah ke
imbanagara, mempunyai arti penting dan makna yang sangat dalam bagi
perkembangan kabupaten galuh berikutnya dan merupakan era baru pemerintahan
galuh menuju terwujudnya kabupaten ciamis dikemudian hari, karena :
1.peristiwa tersebut membawa akibat yang positif
terhadap perkembangan pemerintahan maupun kehidupan masyarakat kabupaten galuh
yang mempunyai batas teritorial yang pasti dan terbentuknya sentralisasi
pemerintahan
2 .perubahan tersebut mempunyai unsur perjuangan dari
pemegang pimpinan kekuasaan terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyatnya
dan adanya usaha memerdekakan kebebasan rakyatnya dari kekuasaan penjajah.
3.kabupaten galuh dibawah pemerintahan bupati rd.
adipati arya panji jayanegara mampu menyatukan wilayah galuh yang merdeka dan
berdaulat tanpa kekerasan.
4.adanya pengakuan terhadap kekuasaan mataram dari
kabupaten galuh semata-mata dalam upaya memerangi penjajah (voc) dan hidup
berdampingan secara damai.
5.sejarah perkembangan kabupaten galuh tidak dapat
dipisahkan dari sejarah terbentuknya kabupaten ciamis itu sendiri. dirubahnya
nama kabupaten galuh menjadi kabupaten ciamis pada tahun 1916 oleh bupati rd.
tumenggung satrawinata (bupati ke 18) sampa! sekarang belum terungkap alasannya
merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri dan dihindari.
atas pertimbangan itulah dewan perwakilan rakyat
daerah kabupaten daerah tingkat ii ciamis dalam sidang paripurna khusus tanggal
17 mel 1972 dengan surat keputusannya, sepakat untuk menetapkan tanggal 12 juni
1642 sebagai hari jadi kabupaten ciamis.
demikianlah sekilas pintas sejarah hari jadi kabupaten
ciamis yang kita banggakan dan kita cintai mudah mudahan “komara?? galuh ciamis
terus cemerlang dan makin gemerlap oleh keluhuran budi masyarakat dan aparatur
pemerintahnya.
SEJARAH GALUH I
Raja pertama Galuh adalah Wretikandayun (ada yang
menulisnya Wertikandayun). Galuh sendiri terletak di wilayah Ciamis sekarang.
Kendati hingga kini belum ada bukti otentik (sejarahan primer) di mana letaknya
yang pasti, namun hingga sekarang ada sebuah desa bernama Bojong Galuh, yang
disebut juga Desa Karangkamuliaan. Oleh Babad Galuh, desa ini dianggap sebagai
bekas pusat Kerajaan Galuh. Dan bila dilihat dari segi keagamaan Hindu, tempat
itu sangat strategis dijadikan pusat pemerintahan karena letaknya berada di
muara, tempat pertemuan dua aliran sungai, yakni Sungai Citanduy dan Cimuntur.
Wretikandayun memerintah Galuh selama 90 tahun, dari
tahun 612 hingga 702. Ia menikah dengan putri Resi Makandria, Nay Manawati atau
disebut juga Dewi Candrarasmi. Dari pernikahan ini, Wretikandayun memiliki tiga
orang anak, yakni Sempakwaja, Wanayasa (Jantaka), dan Mandiminyak (Amara).
Karena Sempakwaja dan Jantaka memiliki kekurangan fisik, yang menjadi raja
Galuh menggantikan Wretikandayun adalah Mandiminyak, putra bungsu. Sempakwaja
yang bergigi ompong (Sempakwaja berarti “bergigi ompong”) menjadi pendeta di
Galunggung dan bergelar Batara Dangiang Guru. Sedangkan Wanayasa atau Rahyang
Kidul memilih jadi pendeta di Denuh karena dirinya menderita kemir (hernia).
Mandiminyak memerintah di Galuh selama tujuh tahun,
dari 702-709. Permaisurinya bernama Dewi Parwati, putri pasangan Kartikeyasingha-Ratu
Sima dari Kerajaan Keling (Kalingga). Namun, ternyata Mandiminyak menjalin
hubungan gelap dengan kakak iparnya sendiri, Nay Pwahaci Rababu, istri
Sempakwaja. Dari Parwati, Mandiminyak memiliki putri bernama Sannaha, sedangkan
dari Pwahaci Rababu dihasilkan anak lelaki bernama Sena (Bratasenawa).
Kemudian, Sannaha dinikahkan dengan Sena (saudara sebapak, lain ibu) yang
menghasilkan seorang anak lelaki yang kelak menurunkan raja-raja di Jawa
Tengah, yakni Sanjaya. Pada Prasasti Stirengga atau Prasasti Canggal (dibuat
tahun 732 M), disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sannaha. Sedangkan dalam
Carita Parahyangan, disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sena.
Dewi Parwati sendiri memiliki adik lelaki bernama
Narayana. Narayana menikah dengan putri dari Jayasinghanagara dan memiliki anak
bernama Dewasingha. Salah seorang anak Dewasingha adalah Limwa atau Gajayana,
yang ketika berkuasa memindahkan ibukota kerajaan ke Linggapura di Jawa bagian
timur yang asalnya berlokasi di Jawa Tengah bagian selatan.
SEJARAH
GALUH II
Kudeta Pertama
Raja Galuh ketiga, Sena (709-716 M), memiliki nama nobat Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabhumi. Ia menjalin hubungan persahabatan dengan Tarusbawa yang memerintah Kerajaan Sunda selama 54 tahun (669-723). Maka dari itu, Sanjaya dinikahkan dengan cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana Hayu Purnawangi atau Nay Sekarkancana. Putra mahkota yang rencananya akan menggantikan Tarusbawa, yakni Rakeyan Sunda Sembawa, mati dalam usia muda. Maka dari itu, cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana (anak dari Sunda Sembawa) dijadikan ahli waris Kerajaan. Setelah menikah dengan Tejakancana, Sanjaya lalu dinobatkan menjadi raja Sunda. Ia memerintah Sunda dan juga Galuh selama sembilan tahun (723-732).
Sena digulingkan dari takhta Galuh oleh Purbasora Jayasakti, yang tak lain keponakannya sendiri, pada 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Sempakwaja. Sena sendiri adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Jadi, Purbasora merasa lebih berhak atas singgasana Galuh karena ayahnya adalah anak pertama Wretikandayun. Ayah Purbasora, Sempakwaja tak diangkat menjadi raja karena dinilai tak layak menjadi pemimpin karena giginya ompong.
Hubungan Purbasora dan Sena tak hanya keduanya sama-sama cucu Wretikandayun. Mereka berdua sebenarnya saudara satu ibu. Ayah Sena, Mandiminyak, dulunya pernah berhubungan gelap dengan kakak iparnya, istri Sempakwaja, Pwahaci Rababu. Dari Pwahaci, Sempakwaja berputrakan Purbasora dan Demunawan (Carita Parahyangan menyebutnya Seuweukarma yang menganut Buddha).
Dengan dibantu pasukan dari Kerajaan Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon, Purbasora melancarkan kudeta merebut Galuh. Sena melarikan diri ke daerah timur di sekitar Gunung Marapi yang termasuk wilayah Kalingga, kerajaan nenek istrinya, Maharani Sima. Purbasora menjadi raja di Galuh selama tujuh tahun (716-723). Ia menikah dengan putri Raja Indraprahasta Sang Resi Padmahariwangsa yang bernama Dewi Citrakirana.
Raja Galuh ketiga, Sena (709-716 M), memiliki nama nobat Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabhumi. Ia menjalin hubungan persahabatan dengan Tarusbawa yang memerintah Kerajaan Sunda selama 54 tahun (669-723). Maka dari itu, Sanjaya dinikahkan dengan cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana Hayu Purnawangi atau Nay Sekarkancana. Putra mahkota yang rencananya akan menggantikan Tarusbawa, yakni Rakeyan Sunda Sembawa, mati dalam usia muda. Maka dari itu, cucu Tarusbawa yang bernama Dewi Tejakancana (anak dari Sunda Sembawa) dijadikan ahli waris Kerajaan. Setelah menikah dengan Tejakancana, Sanjaya lalu dinobatkan menjadi raja Sunda. Ia memerintah Sunda dan juga Galuh selama sembilan tahun (723-732).
Sena digulingkan dari takhta Galuh oleh Purbasora Jayasakti, yang tak lain keponakannya sendiri, pada 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Sempakwaja. Sena sendiri adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Jadi, Purbasora merasa lebih berhak atas singgasana Galuh karena ayahnya adalah anak pertama Wretikandayun. Ayah Purbasora, Sempakwaja tak diangkat menjadi raja karena dinilai tak layak menjadi pemimpin karena giginya ompong.
Hubungan Purbasora dan Sena tak hanya keduanya sama-sama cucu Wretikandayun. Mereka berdua sebenarnya saudara satu ibu. Ayah Sena, Mandiminyak, dulunya pernah berhubungan gelap dengan kakak iparnya, istri Sempakwaja, Pwahaci Rababu. Dari Pwahaci, Sempakwaja berputrakan Purbasora dan Demunawan (Carita Parahyangan menyebutnya Seuweukarma yang menganut Buddha).
Dengan dibantu pasukan dari Kerajaan Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon, Purbasora melancarkan kudeta merebut Galuh. Sena melarikan diri ke daerah timur di sekitar Gunung Marapi yang termasuk wilayah Kalingga, kerajaan nenek istrinya, Maharani Sima. Purbasora menjadi raja di Galuh selama tujuh tahun (716-723). Ia menikah dengan putri Raja Indraprahasta Sang Resi Padmahariwangsa yang bernama Dewi Citrakirana.
Sanjaya alias Rakeyan Jambri, anak Sena, pun
tak tinggal diam; berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Segera
Sanjaya, yang penganut Hindu-Siwaisme, meminta bantuan Tarusbawa, sahabat
ayahnya yang juga kakek istrinya. Sebelum penyerangan dilancarkan, Sanjaya
telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut
Sawal, sahabat baik Sena juga. Pasukan khusus ini dipimpin Sanjaya langsung,
sementara pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan pada malam
hari secara diam-diam dan sangat mendadak. Seluruh keluarga Purbasora tewas.
Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, Bimaraksa yang
menjabat Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.
Bimaraksa dikenal juga dengan nama Ki
Balangantrang karena ia pun merupakan senapati kerajaan. Bimaraksa juga
merupakan cucu Wretikandayun dari putra kedua, Resi Guru Jantaka atau Rahiyang
Kidul. Dalam pelariannya, Bimaraksa bersembunyi di kampung Geger Sunten dan
diam-diam menghimpun kekuatan untuk melawan Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari
raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, kerajaan
yang sebelumnya telah ditaklukkan oleh Sanjaya karena dahulu membantu Purbasora
dalam usaha menjatuhkan Sena.
Sena sempat menasehati Sanjaya bahwa kecuali Purbasora,
anggota keluarga Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri memang
tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia menyerang Galuh hanya dalam rangka
balas dendam. Setelah mengalahkan Purbasora, Sanjaya segera mendatangi ayah
Purbasora, yakni Sempakwaja, di Galunggung. Ia meminta agar uwaknya itu
menobatkan Demunawan, adik Purbasora, menjadi raja Galuh. Namun, Sempakwaja
menolak permohonan itu karena curiga kalau hal tersebut merupakan tipu-muslihat
Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.
Sementara itu, Sanjaya pun tidak bisa
menghubungi Balangantrang karena tak mengetahui keberadaannya. Melihat situasi
ini, terpaksa Sanjaya mengangkat dirinya menjadi Raja Galuh. Dengan demikian,
Sanjaya merupakan raja pertama yang memerintah di dua kerajaan sekaligus, Sunda
dan Galuh.
Selama menjadi raja Galuh, Sanjaya menyadari
bahwa kehadirannya di Galuh kurang begitu disenangi. Sebabnya: karena ia bukan
asli Galuh melainkan orang Pakuan (Sunda). Maka dari itu, ia menobatkan Premana
Dikusuma, cucu Purbasora, menjadi penguasa Galuh. Sebelumnya, Premana Dikusuma
merupakan raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir 683 M), ia telah dikenal
sebagai rajaresi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda.
Karena itu, ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.
Selain karena Premana cucu Purbasora, alasan lain Sanjaya mengangkatnya karena istri Premana, yakni Naganingrum, adalah cucu Ki Balangantrang. Dengan demikian, suami-istri itu cocok untuk mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, anak pertama dan kedua Wretikandayun.
Selain karena Premana cucu Purbasora, alasan lain Sanjaya mengangkatnya karena istri Premana, yakni Naganingrum, adalah cucu Ki Balangantrang. Dengan demikian, suami-istri itu cocok untuk mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, anak pertama dan kedua Wretikandayun.
Premana Dikusumah dan Naganingrum kemudian
memiliki anak lelaki bernama Surotama alias Manarah. Surotama lahir pada 718 M.
Saat Sanjaya menyerang Galuh ia masih kecil, berusia 5 tahun. Dalam sastra
(literatur) Sunda klasik, Surotama dikenal sebagai Ciung Wanara. Di hari
kemudian, kelak Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, akan mengurai kisah tragis
yang menimpa keluarga leluhurnya, sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan
balas dendam.
Untuk mengikat kesetiaan Premana terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkannya dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Sanjaya pun menunjuk putranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh, yang menganut Buddha. Penunjukan Tamperan bukannya tak beralasan; melaluinya Sanjaya bisa mengontrol dan mengawasi sepak-terjang pemerintahan Galuh.
Untuk mengikat kesetiaan Premana terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkannya dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Sanjaya pun menunjuk putranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh, yang menganut Buddha. Penunjukan Tamperan bukannya tak beralasan; melaluinya Sanjaya bisa mengontrol dan mengawasi sepak-terjang pemerintahan Galuh.
Di lain pihak, Premana pun terpaksa menerima
kedudukan Raja Galuh. Ia segan menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti
Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia namun tak mengenal
ampun terhadap musuh-musuhnya. Posisi Premana dalam keadaan serba sulit.
Sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda, ia harus tunduk kepada
Sanjaya yang telah membunuh kakeknya sendiri. Sebagai solusinya, Premana
memilih meninggalkan istana. Telah bulat tekadnya: ia akan bertapa di dekat
perbatasan Sunda sebelah timur Sungai Citarum dan sekaligus juga meninggalkan
istrinya. Pemerintahan ia serahkan kepada Tamperan, Patih Galuh yang menjadi
“telik” sekaligus anak Sanjaya.
Ternyata, Tamperan mewarisi watak buyutnya,
Mandiminyak yang senang membuat hubungan terlarang. Dengan Pangrenyep, istri
Premana, Tamperan terlibat hubungan gelap. Hubungan rahasia mereka membuahkan
seorang anak lelaki bernama Kamarasa alias Aria Banga (723 M). Hubungan
terlarang ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, ketika ditinggal
suaminya pergi bertapa, Pangrenyep merupakan pengantin baru yang berusia 19
tahun. Kedua, baik Tamperan maupun Pangreyep umurnya sebaya dan telah mengenal
satu sama lain ketika masih di Keraton Pakuan. Ketiga, keduanya sama-sama cicit
Tarusbawa. Selain itu, mereka sama-sama merasakan penderitaan jiwa karena
kehadiran mereka sebagai orang Pakuan yang kurang diterima di Galuh.
Agar hubungan gelapnya tak tercium oleh orang
lain, Tamperan menyuruh seseorang untuk membunuh Premana. Dan setelah si
pembunuh bayaran tersebut berhasil menghabisi Premana, sungguh malang ia pun
dibunuh pula oleh orang-orang suruhan Tamperan. Langkah ini diambil Tamperan
agar rahasianya tertutup rapat-rapat. Namun, sepandai-pandainya menyembunyikan
kejadian ini akhirnya tercium oleh Ki Balangantrang.
Pada 732 M Sanjaya mewarisi takhta Kerajaan
Medang Kamulan (Bhumi Mataram) dari ibunya, Sannaha. Sebelum meninggalkan
Pakuan, ia mengatur pembagian kekuasaan kepada Tamperan dan Resiguru Demunawan
(lahir pada 646 M). Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan
wilayah Saunggalah (Kuningan) dan Galunggung diperintah oleh Resiguru
Demunawan, putra bungsu Sempakwaja. Demunawan inilah yang kemudian mendirikan
istana di Saunggalah, yang kelak sempat dijadikan istana raja-raja Sunda-Galuh
selama beberapa kali.
Keturunan Manarah dan Banga
Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh dari tahun 732-739 M. Di pihak lain, Manarah (Ciung Wanara) diam-diam tengah menyiapkan rencana perebutan takhta Galuh dengan bantuan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Tamperan sendiri tak menaruh curiga sedikit pun terhadap Manarah karena telah menganggapnya seperti anak sendiri.
Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh dari tahun 732-739 M. Di pihak lain, Manarah (Ciung Wanara) diam-diam tengah menyiapkan rencana perebutan takhta Galuh dengan bantuan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Tamperan sendiri tak menaruh curiga sedikit pun terhadap Manarah karena telah menganggapnya seperti anak sendiri.
Nama Ciung Wanara terdapat pada naskah Babad
Galuh dan Babad Pajajaran. Selain Ciung Wanara, ada pula tokoh-tokoh lain,
misalnya Nyai Purbasari dan Lutung Kasarung. Padahal, selama ini Ciung Wanara
dan Lutung Kasarung dianggap tokoh fiktif, bukan pelaku sejarah. Mungkin saja,
cerita yang terdapat dalam babad-babad tersebut adalah peristiwa sejarah yang
berkaitan dengan Kerajaan Galuh-Sunda yang disamarkan sehingga terkesan sebagai
legenda atau foklor—padahal merupakan peristiwa sejarah.
Penyerbuan ke Galuh dilancarkan pada siang hari bertepatan saat pesta sabung ayam. Sebagaimana acara kebesaran lainnya, acara sabung ayam ini dihadiri semua pembesar Galuh, termasuk Banga. Manarah bersama pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai peserta sabung ayam. Balangantrang sendiri bertugas memimpin pasukan Geger Sunten menyerang Keraton Galuh.
Penyerbuan ke Galuh dilancarkan pada siang hari bertepatan saat pesta sabung ayam. Sebagaimana acara kebesaran lainnya, acara sabung ayam ini dihadiri semua pembesar Galuh, termasuk Banga. Manarah bersama pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai peserta sabung ayam. Balangantrang sendiri bertugas memimpin pasukan Geger Sunten menyerang Keraton Galuh.
Penyerangan mendadak tersebut berhasil dalam
tempo satu malam (sama seperti peristiwa ketika Sanjaya menguasai Galuh).
Tamperan dan Pangrenyep termasuk Banga berhasil ditawan di gelanggang sabung
ayam. Karena dianggap tak bersalah, Banga kemudian dibebaskan. Pada malam
harinya Banga berhasil membebaskan orang tuanya, Tamperan dan Pangrenyep, dari
tahanan.
Namun, tindakan Banga tercium oleh pasukan
pengawal yang segera memberitahukan hal tersebut kepada Manarah. Terjadilah
pertarungan antara Manarah dengan Banga yang berakhir dengan kekalahan Banga.
Sementara itu, Tamperan dan Pangrenyep yang melarikan diri terbunuh oleh
panah-panahnya yang ditembakkan oleh pasukan Manarah.
Sanjaya yang memerintah di Medang i Bhumi
Mataram marah mendengar Tamperan tewas. Tak menunggu lama, Sanjaya dengan
diiringi pasukan dalam jumlah besar menyerang ibukota Galuh. Di lain pihak,
Manarah telah menduga bahwa Sanjaya takkan tinggal diam. Oleh karena itu, ia
telah siap-siaga dengan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan
Indraprahasta (kerajaan ini saat itu telah berubah nama menjadi Wanagiri), dan
raja-raja di daerah Kuningan yang pernah ditaklukkan Sanjaya.
Perang saudara sesama keturunan Wretikandayun
pun meletus. Untung, perang itu dapat dihentikan atas prakarsa Rajaresi
Demunawan (ketika itu sudah sangat tua, berusia 93 tahun). Perundingan gencatan
senjata digelar di Keraton Galuh pada 739 M. Kesepakatan pun tercapai. Galuh
harus diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Sunda dan Galuh yang
selama tahun 723-739 merupakan satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian
itu ditetapkan bahwa Banga merupakan raja bawahan, yang terpaksa diterima oleh
Banga. Banga merasa, ia bisa tetap hidup karena kebaikan Manarah.
Untuk menjaga agar tak terjadi perseteruan,
Manarah dan Banga dinikahkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai
penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabhuwana
memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabhuwana
Yasawiguna Hajimulya, berjodoh dengan adik Kancanawangi, Kancanasari.
Sebuah naskah buatan abad ke-13 (atau ke-14)
memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit di Pakuan. Hal ini
dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka
dari Galuh. Lepasnya Pakuan dari Galuh terjadi setelah 20 tahun Banga menjadi
penguasa Pakuan. Daerah yang termasuk kekuasaannya adalah sebelah barat
Citarum. Ia memerintah selama 739–766 M.
Manarah memerintah di Galuh hingga 783 M.
Lalu ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri dari takhta Kerajaan untuk
melakukan tapa hingga akhir hayat. Manarah wafat pada 798 saat berusia 80
tahun.
Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan
Banga ini sering tidak sesuai, alias dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia,
dimana Banga dianggap lebih tua, juga dalam penempatan mereka sebagai raja.
Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh
Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah
Carita Waruga Guru yang ditulis pada pertengahan abad ke-18.
Kekeliruan paling menyolok dalam Carita
Waruga Guru ialah Banga dianggap sebagai pendiri Majapahit. Padahal, Majapahit
didirikan Wijaya pada 1293 M, 527 tahun setelah Banga wafat. Kekacauan ini
dapat dilihat pula pada kisah pertemuan Pangeran Cirebon Walangsungsang dengan
Sayidina Ali bin Abi Thalib yang masa hidupnya berselisih sekitar 8 abad lebih.
Keturunan Manarah yang bernama Sang Mansiri
atau Prabu Dharmasakti Wijaleswara kemudian menjadi penguasa Galuh (783-799).
Berturut-turut setelah Dharmasakti, yang menjadi raja Galuh adalah Sang
Tariwulan atau Prabu Kertayasa Dewakusaleswara (799-806), Sang Welengan
atau Prabu Brajanagara Jayabhuwana (806-813), dan Prabu Linggabhumi
(813-852). Takhta Galuh diserahkan kepada suami adiknya, yaitu Rakeyan Wuwus
alias Prabu Gajah Kulon atau Gajah Kulwan (819-891), cicit Banga yang menjadi
Raja Sunda ke-8. Rakeyan Wuwus beristrikan putri keturunan Galuh. Sementara
itu, adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putra Galuh yang kemudian
menggantikan kedudukannya sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Darmaraksa Bhuwana
(Arya Kedatwan). Sejak 852 M, Kerajaan Sunda-Pakuan dan Galuh diperintah oleh
keturunan Banga sebagai akibat perkawinan antara para kerabat keraton Pakuan,
Galuh, dan Saunggalah.
SEJARAH
GALUH III
Antara Galuh, Saunggalah, dan Pakuan
Telah disebutkan, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan saat itu belum dapat diterima; sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh pada masa sebelumnya. Karena perbedaan daerah asal inilah, Prabu Darmaraksa (891-895) akhirnya tewas mengenaskan. Nyawanya berakhir di tangan seorang menteri Sunda yang fanatik.
Telah disebutkan, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan saat itu belum dapat diterima; sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh pada masa sebelumnya. Karena perbedaan daerah asal inilah, Prabu Darmaraksa (891-895) akhirnya tewas mengenaskan. Nyawanya berakhir di tangan seorang menteri Sunda yang fanatik.
Semenjak peristiwa itu, setiap raja Sunda
yang baru dinobatkan selalu memperhitungkan tempat kediaman yang akan
dipilihnya menjadi ibukota. Maka dari itu, pusat pemerintahan sering
berpindah-pindah dari timur ke barat dan sebaliknya (antara 895 hingga 1482 M).
Sebagai contoh: ayah Sri Jayabhupati berkedudukan di Galuh, namun Jayabhupati
sendiri memilih tinggal di Pakuan; tetapi putra Jayabhupati berkedudukan di
Galuh lagi. Begitu pula dengan Prabu Guru Dharmasiksa (1175-1187) yang menurut
Kropak 406, mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan.
Putranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah. Jadi, ada kalanya Galuh
menjadi kerajaan utuh terlepas dari Kerajaan Sunda, ada kalanya berperan
sebagai “kerajaan kembar” bersama Sunda.
Carita Parahyangan menceritakan bahwa Prabu
Dharmasiksa mendirikan panti pendidikan dan sejumlah kabuyutan (tempat
suci-keramat). Pembuatan tempat suci ini ternyata merata bagi setiap golongan,
baik untuk para sesepuh (sang rama), para pendeta (sang resi), para dukun (sang
disri), para biksu (sang wiku), pawang rakit (sang tarahan), dan para leluhur
(parahiyangan). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi semacam sinkretisasi
(pembauran) dalam hal kepercayaan-kemagisan-keagamaan, sebagaimana yang telah
terjadi di Jawa Timur. Kebijaksanaan Dharmasiksa ini diperoleh dari arahan para
wiku yang mengamalkan keaslian Sunda, berpegang teguh kepada ajaran dharma, dan
menjalankan aturan agama (ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuhan
Sanghyang Dharma, ngawakan Sanghyang Siksa).
Gejala pemerintahan yang condong ke timur
Jawa Barat ini sesungguhnya telah ada sejak masa Prabu Ragasuci (1297-1303).
Tatkala naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu Guru Darmasiksa), Prabu Ragasuci
tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan karena sebelumnya telah
lama berkedudukan sebagai raja daerah di wilayah timur (Galuh). Namun, pada
masa pemerintahan putranya, Prabu Citraganda, Pakuan untuk kesekian kalinya
menjadi ibukota dan pusat pemerintahan Sunda.
Yang sebenarnya berhak menggantikan
Dharmasiksa adalah Rakeyan Jayadarma, kakak Ragasuci. Menurut Pustaka
Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka dari
Kerajaan Singasari di Jawa Timur karena ia menikah dengan Dyah Singamurti atau
Dyah Lembu Tal. Mereka berputrakan Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih
dikenal dengan nama Raden Wijaya yang lahir di Pakuan, yang kelak pendiri
kerajaan besar di Jawa Timur, Majapahit. Akan tetapi, karena Jayadarma wafat
dalam usia muda, takhta pun berpindah ke Ragasuci.
Setelah Jayadarma mangkat, Lembu Tal enggan
tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, ia bersama putranya, Wijaya, pulang ke
Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari
Pajajaran. Kematian Jayadarma mengakibatkan kekosongan takhta karena putra
mahkota, Wijaya, memilih tinggal di Jawa Timur. Prabu Dharmasiksa kemudian
menunjuk cucunya, yakni putra kedua Prabu Ragasuci, bernama Citraganda, sebagai
ahli waris Kerajaan. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa, putri Kerajaan
Melayu, adik Dara Kencana istri Kertanegara Raja Singasari. Citraganda tinggal
di Pakuan bersama kakeknya.
Mengenai Ragasuci ini, yang oleh Kropak 632 disebut sebagai Sang Lumah ing Taman (Yang dikebumikan di Taman, tak jauh dari Winduraja), ada kemungkinan ia memiliki saudara lain, tepatnya kakak perempuan. Hal ini dapat dilacak melalui Prasasti Gegerhanjuang yang terletak di Singaparna, Tasikmalaya, yang diperkirakan dibuat pada tahun 1033 Saka (1111 M). Disebutkan pada prasasti tersebut adanya kegiatan panyusukan atau penyaluran air sehubungan dengan pembuatan Kabuyutan Linggawangi yang merupakan lokasi ditemukannya prasasti bersangkutan. Panyusukan ini dilakukan atas perintah Batari Hyang, yang merujuk kepada seorang wanita (batari, bukan batara) yang setidaknya memiliki kedudukan istimewa dalam masyarakat. Tokoh Batari Hyang ini kemungkinan besar yang ditunjuk untuk mengurusi Kabuyutan Linggawangi, yang memang terdapat dalam wilayah Gunung Galunggung. Dengan begitu, sangat mungkin bahwa Batari Hyang ini adalah kakak perempuan Sang Lumah ing Taman (Rajasuci), dan ia melakukan upacara sakral dalam merestui/menyambut penobatan adiknya menjadi raja di Saunggalah.
Setelah Prabu Darmasiksa mangkat, untuk sementara Citraganda menjadi raja daerah selama enam tahun di Pakuan. Ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya, Ragasuci, di Saunggalah. Dari 1303 sampai 1311 M, Citraganda lalu menjadi Raja Sunda di Pakuan. Setelah wafat ia dipusarakan di Tanjung.
Mengenai Ragasuci ini, yang oleh Kropak 632 disebut sebagai Sang Lumah ing Taman (Yang dikebumikan di Taman, tak jauh dari Winduraja), ada kemungkinan ia memiliki saudara lain, tepatnya kakak perempuan. Hal ini dapat dilacak melalui Prasasti Gegerhanjuang yang terletak di Singaparna, Tasikmalaya, yang diperkirakan dibuat pada tahun 1033 Saka (1111 M). Disebutkan pada prasasti tersebut adanya kegiatan panyusukan atau penyaluran air sehubungan dengan pembuatan Kabuyutan Linggawangi yang merupakan lokasi ditemukannya prasasti bersangkutan. Panyusukan ini dilakukan atas perintah Batari Hyang, yang merujuk kepada seorang wanita (batari, bukan batara) yang setidaknya memiliki kedudukan istimewa dalam masyarakat. Tokoh Batari Hyang ini kemungkinan besar yang ditunjuk untuk mengurusi Kabuyutan Linggawangi, yang memang terdapat dalam wilayah Gunung Galunggung. Dengan begitu, sangat mungkin bahwa Batari Hyang ini adalah kakak perempuan Sang Lumah ing Taman (Rajasuci), dan ia melakukan upacara sakral dalam merestui/menyambut penobatan adiknya menjadi raja di Saunggalah.
Setelah Prabu Darmasiksa mangkat, untuk sementara Citraganda menjadi raja daerah selama enam tahun di Pakuan. Ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya, Ragasuci, di Saunggalah. Dari 1303 sampai 1311 M, Citraganda lalu menjadi Raja Sunda di Pakuan. Setelah wafat ia dipusarakan di Tanjung.
SEJARAH
GALUH IV
Kawali, Ibukota Galuh yang Baru
Setelah Citraganda tiada, takhta Galuh berpindah ke anaknya, Lingga Dewata. Sejak pemerintahan Prabu Lingga Dewata ini, pusat Kerajaan berpindah ke tempat yang baru, bernama Kawali. Belum ada keterangan pasti siapa sebenarnya yang pertama memerintah di Kawali. Yang jelas, menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340), sudah berkedudukan di Kawali. Dengan begitu, sejak pertengahan abad ke-14 ini, pusat pemerintahan tak lagi berada Galuh atau Saunggalah atau pun Pakuan.
Kawali sendiri berarti “kuali” atau “belanga”. Lokasi Kawali cukup strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung-Saunggalah-Galuh. Sejak abad ke-14, Galuh selalu dikaitkan dengan Kawali karena ada dua orang raja Sunda-Galuh yang dipusarakan di Winduraja, dekat Kawali. Nama Kawali kini masih digunakan sebagai nama desa, yakni Desa Kawali di Kampung Indrayasa, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis. Nama Kawali terabadikan dalam Prasasti Kawali, berupa batu peninggalan Prabu Raja Wastu (Niskala Wastukancana) di Astana Gede, Kecamatan Kawali.
Ajiguna Linggawisesa adalah menantu Lingga Dewata karena menikah dengan Dewi Uma Lestari alias Ratu Santika, putri Linggadewata. Dari perkawinan ini lahir Ragamulya (yang kelak menggantikan ayahnya) dan Suryadewata yang kemudian menurunkan raja-raja Talaga. Adik perempuan Ajiguna Linggawisesa yang bernama Pujasari diperistri oleh Patih Srenggana dan menjadi leluhur raja-raja Tanjung Barat yang terletak di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Prabu Ajiguna Linggawisesa memerintah dari tahun 1333 hingga 1340 M. Ia sezaman dengan Tribuwonotunggadewi Jayawisnuwardani (1328-1350). Setelah wafat, Ajiguna Linggawisesa dipusarakan di Kiding. Maka dari itu, gelar anumertanya Sang Mokteng Kiding. Yang menggantikannya adalah putra sulungnya, yaitu Ragamulya Luhur Prabawa atau Sang Aki Kolot (1340-1350 M). Ia berputera dua orang yaitu Lingga Bhuwana dan Bunisora yang kedua-duanya kemudian menjadi penguasa di Kawali.
Setelah Citraganda tiada, takhta Galuh berpindah ke anaknya, Lingga Dewata. Sejak pemerintahan Prabu Lingga Dewata ini, pusat Kerajaan berpindah ke tempat yang baru, bernama Kawali. Belum ada keterangan pasti siapa sebenarnya yang pertama memerintah di Kawali. Yang jelas, menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340), sudah berkedudukan di Kawali. Dengan begitu, sejak pertengahan abad ke-14 ini, pusat pemerintahan tak lagi berada Galuh atau Saunggalah atau pun Pakuan.
Kawali sendiri berarti “kuali” atau “belanga”. Lokasi Kawali cukup strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung-Saunggalah-Galuh. Sejak abad ke-14, Galuh selalu dikaitkan dengan Kawali karena ada dua orang raja Sunda-Galuh yang dipusarakan di Winduraja, dekat Kawali. Nama Kawali kini masih digunakan sebagai nama desa, yakni Desa Kawali di Kampung Indrayasa, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis. Nama Kawali terabadikan dalam Prasasti Kawali, berupa batu peninggalan Prabu Raja Wastu (Niskala Wastukancana) di Astana Gede, Kecamatan Kawali.
Ajiguna Linggawisesa adalah menantu Lingga Dewata karena menikah dengan Dewi Uma Lestari alias Ratu Santika, putri Linggadewata. Dari perkawinan ini lahir Ragamulya (yang kelak menggantikan ayahnya) dan Suryadewata yang kemudian menurunkan raja-raja Talaga. Adik perempuan Ajiguna Linggawisesa yang bernama Pujasari diperistri oleh Patih Srenggana dan menjadi leluhur raja-raja Tanjung Barat yang terletak di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Prabu Ajiguna Linggawisesa memerintah dari tahun 1333 hingga 1340 M. Ia sezaman dengan Tribuwonotunggadewi Jayawisnuwardani (1328-1350). Setelah wafat, Ajiguna Linggawisesa dipusarakan di Kiding. Maka dari itu, gelar anumertanya Sang Mokteng Kiding. Yang menggantikannya adalah putra sulungnya, yaitu Ragamulya Luhur Prabawa atau Sang Aki Kolot (1340-1350 M). Ia berputera dua orang yaitu Lingga Bhuwana dan Bunisora yang kedua-duanya kemudian menjadi penguasa di Kawali.
Pasunda Bubat
Prabu Lingga Bhuwana Wisesa memerintah di Kawali hanya 7 tahun, 1350-1357. Raja inilah yang meninggal pada tragedi Pasunda Bubat; karena itu digelari Sang Mokteng Bubat. Peristiwa Pasunda Bubat atau Perang Bubat ini terjadi pada 1357 M, yakni peperangan antara Sunda-Galuh dengan Majapahit. Kisah ini diuraikan cukup komplit dalam Kidung Sundayana dan Pararaton.
Prabu Lingga Bhuwana Wisesa memerintah di Kawali hanya 7 tahun, 1350-1357. Raja inilah yang meninggal pada tragedi Pasunda Bubat; karena itu digelari Sang Mokteng Bubat. Peristiwa Pasunda Bubat atau Perang Bubat ini terjadi pada 1357 M, yakni peperangan antara Sunda-Galuh dengan Majapahit. Kisah ini diuraikan cukup komplit dalam Kidung Sundayana dan Pararaton.
Mengenai Pasunda Bubat ini, Pustaka
Rajya-rajya i Bhumi Nusantara mengungkapkan:
Di medan perang Bubat ia (Lingga Bhuwana) banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Di medan perang Bubat ia (Lingga Bhuwana) banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Perang antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan
Sunda terjadi di Desa Bubat. Nagarakretagama atau Desawarnana karya Mpu
Prapanca menyebutkan bahwa Bubat merupakan bandar tempat kapal atau perahu
berlabuh karena terletak di tepi sebatang sungai besar. Di Bubat ini terdapat
sebuah lapangan upacara yang luas tempat upacara kenegaraan dan keagamaan. Jika
ingin menghadiri upacara tersebut, Raja Hayam Wuruk datang ke Bubat dengan
mengendarai kereta yang ditarik empat ekor kuda. Meski demikian,
Nagarakretagama tak menyinggung Perang Bubat sama sekali; dan ini mungkin
Prapanca tak ingin menyinggung-nyinggung masalah yang dapat membuat hati
rajanya bersedih.
Perang Bubat sendiri meletus karena dipicu
oleh ambisi Mahapatih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Carita
Parahyangan mengisahkan bahwa putri Prabu Maharaja bernama Dyah Pitaloka
Citraresmi sangat banyak keinginannya (manja). Ia ingin dipinang oleh seorang
raja Jawa yang begitu berkuasa dan enggan bersuamikan pria berdarah Sunda. Dan
konon Hayam Wuruk tertarik hatinya kepada Pitaloka Citraresmi setelah melihat
sendiri lukisan Sang Putri Citraresmi di Majapahit yang dilukis secara
diam-diam oleh seorang seniman Jawa bernama Sungging Prabangkara.
Pararaton (Pararatwan) mengisahkan tragedi
ini dengan cukup detail, yakni:
Kemudian terjadi peristiwa orang Sunda di Bubat. Sri Prabu (Hayam Wuruk) ingin memperistri putri dari Sunda. Patih Madu diutus mengundang orang Sunda. Maksudnya, mengharap agar orang Sunda menikahkan putrinya. Lalu Raja Sunda datang di Majapahit. Sang Ratu Maharaja (Sunda) tidak bersedia mempersembahkan putrinya. Orang Sunda harus meniadakan selamatan (jangan mengharapkan adanya upacara pesta perkawinan) kata sang utusan. Sang Mahapatih Majapahit tidak menghendaki pernikahan (resmi), sebab ia menganggap rajaputri sebagai upeti.
Kemudian terjadi peristiwa orang Sunda di Bubat. Sri Prabu (Hayam Wuruk) ingin memperistri putri dari Sunda. Patih Madu diutus mengundang orang Sunda. Maksudnya, mengharap agar orang Sunda menikahkan putrinya. Lalu Raja Sunda datang di Majapahit. Sang Ratu Maharaja (Sunda) tidak bersedia mempersembahkan putrinya. Orang Sunda harus meniadakan selamatan (jangan mengharapkan adanya upacara pesta perkawinan) kata sang utusan. Sang Mahapatih Majapahit tidak menghendaki pernikahan (resmi), sebab ia menganggap rajaputri sebagai upeti.
Sebenarnya, pihak Sunda sendiri agak
keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ia menilai, tidak
lazim pihak perempuan datang kepada pihak pengantin pria; suatu hal yang
dianggap tabu menurut adat yang berlaku di Sunda maupun Nusantara umumya. Akan
tetapi, Sang Maharaja menilai bahwa pernikahan Pitaloka-Hayam Wuruk bertujuan
untuk mempererat tali persaudaraan, karena bukankah lelulur Hayam Wuruk adalah
Raden Wijaya yang memiliki darah Sunda. Hayam Wuruk sendiri kemungkinan besar
mengetahui bahwa dirinya masih keturunan raja Sunda. Di lain pihak pun,
berdasarkan Kidung Sundayana, “Sumpah Palapa” Gajah Mada rupanya belum
dikatakan berhasil karena Pajajaran belum juga mengakui kekuasaan Majapahit,
walau sudah dua kali diserang.
Akhirnya, alih-alih Raja Hayam Wuruk yang
lajang ingin menyunting putri Sunda yang kesohor cantik jelita, maka diutuslah
Tuan Anepaken (Patih Sunda) untuk melamar Dyah Pitaloka Citraresmi. Maka ketika
tiba saatnya, ratusan rakyat mengantar keberangkatannya yang disertai raja dan
para bangsawan Sunda ke Majapahit dengan menggunakan perahu. Namun tiba-tiba,
laut yang semula biru, secara mendadak dilihatnya berubah menjadi hamparan air
yang bewarna merah. Tanda-tanda buruk iturupanya tidak dihiraukan, sehingga
setelah sepuluh hari berlayar, rombongan tiba di Bubat.
Namun, Gajah Mada merasa keberatan
menyambutnya karena menganggap putri Dyah Pitaloka Citraresmi merupakan “upeti
yang akan dihadiahkan” kepada Raja Hayam Wuruk. Sebaliknya, Raja Sunda dan
rombongan tetap bersikukuh bahwa putri Sunda yang cantik jelita itu akan
“dipinang” oleh Hayam Wuruk. Perbedaan pendapat yang kemudian menimbulkan
ketegangan itu, akhirnya mencapai puncaknya setelah utusan Sunda Patih Anakepan
mencela keras sikap Gajah Mada. Anakepan mengingatkan, bahwa bantuan Sunda
kepada Majapahit tidaklah sedikit ketika masa penaklukan Bali.
Sebelum ada keputusan sidang istana
Majapahit, Gajah Mada telah mendahului menyerang rombongan Sunda yang tengah
rehat di sebelah utara Majapahit. Peperangan pun tak terhindarkan. Para ksatria
terkemuka dari pihak Sunda yang bersemangat berperang di antaranya: Larang
Agung, Tuan Sohan, Tuan Gampong, Panji Melong, orang-orang dari Tobong Barang,
Rangga Cahot, Tuan Usus, Pangulu, Rangga Kaweni, orang Siring, Satrajali,
Jagadsaya. Namun, karena tak seimbang dalam jumlah tentara dan peralatan,
ditambah ketaksiapan pasukan Sunda yang memang semula tak berniat berperang,
semua rombongan Sunda tewas. Dalam membela kehormatan martabatnya dan Kerajaan
Sunda, Prabu Maharaja Lingga Bhuwana gugur lebih dulu, tersungkur bersama Tuan
Usus. Namun meski demikian, peperangan masih ters berkobar. Para ksatria Sunda
lainnya akhirnya mengikuti jejak Prabu Maharaja, gugur sebagai satria yang
membela kehormatan negaranya.
Putri Dyah Pitaloka pun diberitakan memilih
bunuh diri, mengikuti jejak para kesatria Sunda. Namun, ada pula yang yakin
bahwa sang Putri Sunda itu tak bunuh diri, melainkan ikut bertempur dan
berhasil melukai Gajah Mada. Walau akhirnya gugur, Sang Putri berhasil melukai
tubuh Gajah Mada dengan konon keris Singa Barong berlekuk 13, keris leluhur
peninggalan pendiri Tarumanagara, Prabu Jayasinghawarman. Diceritakan, darah
seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang Sunda, tak ada yang ketinggalan.
Hari naas tersebut terjadi pada Selasa-Wage sebelum tengah hari, tanggal 13
bagian terang, bulan Badra tahun 1279 Saka.
Begitu mengetahui tragedi Bubat, Hayam Wuruk
begitu menyesalkan tindakan Gajah Mada. Ia lalu mengirimkan utusan
(darmadyaksa) dari Bali (yang saat itu masuk ke dalam kekuasaan Majapahit)
untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati,
pejabat sementara Raja Sunda. Pun, Hayam Wuruk berjajnji bahwa peristiwa tragis
itu akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal
sebagai Geguritan Sunda) agar bisa diambil hikmahnya.
Akibat tragedi Bubat ini, hubungan antara
Gajah Mada dengan Hayam Wuruk kemudian merenggang. Hubungan antara
Sunda-Majapahit pun tak bisa dikatakan harmonis kembali karena “nasihat dan
pepatah” Sang Prabu Dharmasiksa kepada Raden Wijaya telah dikhianati oleh Gajah
Mada yang memang bukan termasuk trah (keturunan) Wijaya. Dan hingga akhir
hayatnya, Hayam Wuruk (yang bila ditelisik dari silsilah R. Wijaya, masih memiliki
darah Sunda) tetap menepati janjinya: tak pernah melakukan penaklukan terhadap
Sunda-Pajajaran. Hingga Majapahit runtuh, Pajajaran tetap negara merdeka.
Nasib Gajah Mada sendiri berakhir dengan
tragis pula. Akibat luka yang digoreskan Dyah Pitaloka, ia menderita sakit yang
tak bisa diobati, sehingga akhirnya meninggal. Tetapi, dalam versi lain
disebutkan bahwa Gajah Mada tidak meninggal melainkan kecewa mendalam dan
masgul atas kejadian tersebut. Ia akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai Sang Maha Patih dan memilih menyepi di suatu tempat hinnga akhirnya
moksa karena merasa tugasnya di dunia telah selesai.
Dikisahkan, Sri Maharaja Lingga Bhuwana
senantiasa memperhatikan kemakmuran hidup rakyatnya. Kemahsyurannya sampai
kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara (Nusantara). Kehebatan Prabu
Maharaja membangkitkan rasa bangga kepada keluarga, menteri-menteri kerajaan,
angkatan perang, dan rakyat Priangan.
Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja jadi
mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi, dan keturunannya lalu disebut
Prabu Siliwangi. Merujuk kepada Carita Parahyangan, Amir Sutaarga dan juga Atja
beranggapan bahwa Prabu Wangi ini identik dengan Niskala Wastukancana, anak
Lingga Bhuwana. Dengan begitu, Niskala Wastukancana-lah yang disebut Siliwangi,
meski ada pula yang menyebutkan bahwa Sri Baduga-lah (cucu Wastukancana) yang
disebut Prabu Siliwangi.
SEJARAH
GALUH V
Niskala Wastukancana, Pembuat Parit di Kawali
Dikarenakan putra mahkota, anak lelaki Lingga Bhuwana Wisesa, masih kecil, Kerajaan diperintah sementara oleh adik Lingga Bhuwana Wisesa, yakni Patih Mangkubhumi Suradipati. Setelah dinobatkan menjadi raja, Suradipati bergelar Sang Prabu Bunisora (disebut juga Prabu Kuda Lalean atau Prabu Borosngora). Raja ini memerintah selama 14 tahun (1357-1371) dan berkedudukan di Kawali. Bunisora pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung. Setelah wafat, ia dikenal dengan nama Sang Mokteng Geger Omas (Yang Dikebumikan di Geger Omas).
Dikarenakan putra mahkota, anak lelaki Lingga Bhuwana Wisesa, masih kecil, Kerajaan diperintah sementara oleh adik Lingga Bhuwana Wisesa, yakni Patih Mangkubhumi Suradipati. Setelah dinobatkan menjadi raja, Suradipati bergelar Sang Prabu Bunisora (disebut juga Prabu Kuda Lalean atau Prabu Borosngora). Raja ini memerintah selama 14 tahun (1357-1371) dan berkedudukan di Kawali. Bunisora pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung. Setelah wafat, ia dikenal dengan nama Sang Mokteng Geger Omas (Yang Dikebumikan di Geger Omas).
Bunisora memiliki dua anak lelaki bernama
Giridewata (lahir tahun 1347) dan Bratalegawa (lahir 1350), dan beberapa anak
gadis di antaranya Banawati dan Mayangsari. Giridewata, yang memang kurang
berhak meneruskan Kerajaan Sunda, kemudian menjadi penguasa Cirebon Girang.
Sementara itu, Bratalegawa memilih hidup menjadi saudagar; dan ia berhasil
dalam menjalankan bisnisnya dan memiliki banyak kapal dagang serta sejumlah
peristirahatan baik di lereng gunung maupun di pantai. Sebagai pedagang,
Bratalegawa banyak bepergian ke manca negara, seperti Sumatera, Semenanjung
Melayu, Campa, Cina, Srilangka, India, Persia, bahkan hingga ke Arab. Di
negara-negara yang dikunjunginya, Bratalegawa banyak berkenalan dan bersahabat
dengan para pedagang di negera bersangkutan. Bahkan ketika berada di Gujarat,
India, ia memiliki rekan bisnis bernama Muhammad. Muhammad ini kemudian
menikahkan Bratalegawa dengan anak gadisnya, Farhana. Bratalegawa pun masuk
Islam dengan nama baru Haji Badaruddin al-Jawi. Dapat dikatakan, dialah orang
Sunda yang pertama menjadi Muslim; sekitar satu abad sebelum Wali Sanga
menyebarkan Islam di Tanah Jawa.
Ada pun setelah Bunisora mangkat, yang
memegang tampuk pemerintahan selanjutnya adalah putra mahkota anak Lingga
Bhuwana Wisesa, yaitu Niskala Wastukancana. Ketika tragedi Pasunda Bubat, usia
Wastukancana baru 9 tahun dan merupakan satu-satunya ahli waris Kerajaan yang
hidup karena ketiga kakaknya meninggal di Bubat. Setelah cukup usia,
Wastukancana dinobatkan menjadi raja pada 1371 ketika berusia 23 tahun. Prabu
Wastukancana-lah yang membuat Prasasti Kawali yang berjumlah 6 buah. Berikut
adalah bunyi Prasasti Kawali I, II, III, IV, dan V.
“Inilah tanda bekas beliau yang mulia Prabu Raja Wastu (yang) berkuasa di kota Kawali, yang memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit (di) sekeliling ibukota, yang memakmurkan seluruh desa. Semoga ada penerus yang melaksanakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia.
Janganlah dirintangi, janganlah diganggu, yang memotong akan hancur, yang menginjak akan roboh.
Semoga ada yang menghuni di Kawali ini yang melaksanakan kemakmuran dan keadilan agar unggul dalam perang.
Sang Hyang Lingga Bingba.
Demikianlah.”
“Inilah tanda bekas beliau yang mulia Prabu Raja Wastu (yang) berkuasa di kota Kawali, yang memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit (di) sekeliling ibukota, yang memakmurkan seluruh desa. Semoga ada penerus yang melaksanakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia.
Janganlah dirintangi, janganlah diganggu, yang memotong akan hancur, yang menginjak akan roboh.
Semoga ada yang menghuni di Kawali ini yang melaksanakan kemakmuran dan keadilan agar unggul dalam perang.
Sang Hyang Lingga Bingba.
Demikianlah.”
Prasasti Kawali ini dengan jelas menegaskan
bahwa pusat pemerintahan berada di Kota Kawali (mangadeg di Kuta Kawali) dan
keratonnya disebut Surawisesa. Raja inilah yang memperindah keraton Surawisesa
di Kawali dan membuat parit (buat pertahanan) di Kawali. Oleh naskah Carita
Ratu Pakuan yang ditulis oleh Ki Raga dari Srimanganti-Cikuray, Surawisesa
disebut sebagai keraton yang memberikan ketenangan hidup (dalem sipawindu
hurip). Oleh naskah Pustaka Nusantara, keterangan tentang Kawali dan Surawisesa
ini diperkuat, malah ada tambahan bahwa ayahnya pun (berarti Lingga Bhuwana
yang gugur di Bubat) bertakhta di Kawali.
“Persemayaman Sang Prabu Wastu Kancana adalah keraton Surawisesa. Ibukota kerajaannya bernama Kawali. Pada masa sebelumnya, ayahnya pun bertahta sebagai maharaja di situ juga.”
Membuat parit di sekeliling kota (marigi sakuriling dayeuh) adalah ide Wastukancana guna membuat pertahanan kota, untuk kepentingan militer, karena raja-raja Sunda sebelumnya seperti Banga dan Dharmasiksa pernah membuat hal serupa di kota Pakuan. Wastukancana takut bila sewaktu-waktu negaranya diserang oleh bangsa atau kerajaan lain, mungkin oleh Majapahit yang pernah menghancurkan ayahandanya. Demikian pentingnya pembuatan parit itu, maka Raja Wastukancana merasa perlu mengabadikannya dalam prasasti. Karena penting “agar unggul dalam perang” dan juga mengerahkan rakyat-tentara yang jumlahnya pasti banyak, Wastukancana mengingatkan bahwa barang siapa yang mengganggu maka akan “hancur dan roboh”.
“Persemayaman Sang Prabu Wastu Kancana adalah keraton Surawisesa. Ibukota kerajaannya bernama Kawali. Pada masa sebelumnya, ayahnya pun bertahta sebagai maharaja di situ juga.”
Membuat parit di sekeliling kota (marigi sakuriling dayeuh) adalah ide Wastukancana guna membuat pertahanan kota, untuk kepentingan militer, karena raja-raja Sunda sebelumnya seperti Banga dan Dharmasiksa pernah membuat hal serupa di kota Pakuan. Wastukancana takut bila sewaktu-waktu negaranya diserang oleh bangsa atau kerajaan lain, mungkin oleh Majapahit yang pernah menghancurkan ayahandanya. Demikian pentingnya pembuatan parit itu, maka Raja Wastukancana merasa perlu mengabadikannya dalam prasasti. Karena penting “agar unggul dalam perang” dan juga mengerahkan rakyat-tentara yang jumlahnya pasti banyak, Wastukancana mengingatkan bahwa barang siapa yang mengganggu maka akan “hancur dan roboh”.
Perihal membuat parit ini, ternyata
ditenggarai bahwa di sepanjang wilayah selatan dan timur-laut Kabupaten Bandung
banyak terdapat bekas parit pertahanan. Bukan itu saja, naskah Sanghyang
Siksakandang Karesian (Kropak 630) banyak menyebutkan hal-hal yang menyangkut
bidang kemiliteran atau peperangan. Simaklah sebagian bunyinya.
“Bila ingin tahu tentang perilaku perang,
seperti: makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa,
cakrabihwa, suci
muka, braja panjara, asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak
maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngalingga manik, lemah mrewasa, adipati, prebu sakti, pake prajurit, tapak sawetrik, tanyailah panglima perang.”
muka, braja panjara, asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak
maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngalingga manik, lemah mrewasa, adipati, prebu sakti, pake prajurit, tapak sawetrik, tanyailah panglima perang.”
Walau hingga
kini belum diketahui sebagian arti dari kata-kata dalam naskah tersebut, akan
tetapi naskah tersebut memberitaku kita bahwa masyarakat Sunda kuno telah
mengenal taktik dan senjata militer yang cukup memadai. Sanghyang Siksakandang
Karesian pun memperingatkan bahwa apabila rakyat diperintah untuk: bekerja ke
ladang, ke sawah, ke serang besar, mengukuhkan tepian sungai, menggali saluran
(marigi), mengandangkan ternak, memasang ranjau tajam, membendung sebagian alur
sungai untuk menangkap ikan, menjala, menarik jaring, memasang jaring,
menangguk ikan, merentang jaring; segala pekerjaan untuk kepentingan raja,
hendaknya ia:
“jangan marah-marah, jangan munafik, jangan resah dan uring-uringan, kerjakanlah dengan senang hati semuanya.”
“jangan marah-marah, jangan munafik, jangan resah dan uring-uringan, kerjakanlah dengan senang hati semuanya.”
Juga, Kropak 632 atau Amanat Galunggung
memuat hal-hal yang berkaitan dengan parit dan perang.
“Tetaplah mengikuti orangtua, melaksanakan
ajaran yang membuat parit (nyusuk) di Galunggung, agar unggul perang, serba
tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya. Sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama
warisan dari para suwargi (almarhum).”
Niskala Wastukancana memerintah dalam waktu
yang panjang sekali dan hampir tak mungkin, yaitu selama 104 tahun, dari tahun
1371 hingga 1475. Pada masanya, kehidupannya sosial pun menjadi perhatian. Ia
memperingatkan kepada rakyatnya yang gemar berjudi agar meninggalkan kebiasaan
buruknya. Ini sesuai dengan bunyi Prasasti Kawali VI, yaitu:
“Ini peninggalan dari (yang) kokoh (dari) rasa
yang ada, yang menghuni kota ini jangan berjudi (karena) bisa sengsara.”
Wastukancana menikah dua kali, yaitu dengan
Nay Ratna Lara Sarkati, anak dari Resi Susuklampung, sebagai permaisuri
pertama. Setelah itu, ia pun menikah dengan sepupunya (putri sulung Bunisora),
Nay Ratna Mayangsari. Dari Lara Sarkati lahirlah Sang Haliwungan
(Susuktunggal). Dari Mayangsari lahir Ningratkancana (Dewa Niskala).
Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Prabu Wastukancana disebut juga Prabu Wangisutah. Wastukancana setelah meninggal bergelar Sang Mokteng Nusalarang ring Giri Wanakusumah karena dikebumikan di Nusalarang di Gunung Wanakusumah.
Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Prabu Wastukancana disebut juga Prabu Wangisutah. Wastukancana setelah meninggal bergelar Sang Mokteng Nusalarang ring Giri Wanakusumah karena dikebumikan di Nusalarang di Gunung Wanakusumah.
Dewa Niskala, Ayah Sri Baduga
Setelah Niskala Wastukancana wafat, kerajaan dibagi dua. Susuktunggal diberi kuasaan atas wilayah sebelah barat, Kerajaan Sunda-Pakuan; sedangkan Ningratkancana diberi kekuasaan atas wilayah timur Citarum, yakni Galuh. Dengan demikian, “negara kembar” ini terbagi kembali. Sementara Susuktunggal memerintah di Pakuan, Dewa Niskala (Ningratkancana) memerintah Galuh selama 7 tahun (1475-1482). Hubungan kakak-adik ini kemudian diperkuat oleh perkawinan kedua anak mereka. Putri Susuktunggal bernama Kentring Manik Mayangsunda dinikahkan dengan Sri Baduga, anak Dewa Niskala.
Setelah Niskala Wastukancana wafat, kerajaan dibagi dua. Susuktunggal diberi kuasaan atas wilayah sebelah barat, Kerajaan Sunda-Pakuan; sedangkan Ningratkancana diberi kekuasaan atas wilayah timur Citarum, yakni Galuh. Dengan demikian, “negara kembar” ini terbagi kembali. Sementara Susuktunggal memerintah di Pakuan, Dewa Niskala (Ningratkancana) memerintah Galuh selama 7 tahun (1475-1482). Hubungan kakak-adik ini kemudian diperkuat oleh perkawinan kedua anak mereka. Putri Susuktunggal bernama Kentring Manik Mayangsunda dinikahkan dengan Sri Baduga, anak Dewa Niskala.
Syahdan, ketika Majapahit pada masa
Kertabhumi atau Bhre Wijaya (Brawijaya V) mengalami keruntuhan karena serangan
Demak tahun 1478, banyak rombongan-pelarian dari Majapahit yang mengungsi ke
Priangan. Salah satunya ada yang sampai di Kawali, yaitu Raden Baribin, saudara
seayah Kertabhumi. Kehadiran Baribin diterima baik oleh Prabu Dewa Niskala
(Ningratkancana). Baribin bahkan dijodohkan dengan puteri bungsu Dewa Niskala
yang bernama Ratna Ayu Kirana (adik raden Banyak Catra atau Kamandaka, yang jadi
raja-daerah di Pasir Luhur). Tak hanya itu, Dewa Niskala sendiri menikahi salah
seorang wanita pengungsi dari Jawa Timur itu yang kebetulan telah bertunangan.
(Carita Parahyangan menyebutnya “estri larangan ti kaluaran”). Memang, sejak
peristiwa Pasunda Bubat, bagi kerabat keraton Galuh-Kawali (Sunda) merupakan
hal tabu bila beristrikan kerabat keraton Majapahit. Pun, menurut aturan waktu
itu, wanita yang telah bertunangan dilarang menikah dengan laki-laki lain
dengan pengecualian bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan
pertunangan. Maka dalam hal ini, Dewa Niskala melanggar dua “peraturan”
sekaligus; dan sebagai raja hal tersebut dianggap dosa besar.
Melihat perbuatan saudaranya yang dinilai
memalukan dinasti-keluarga, Susuktunggal di Pakuan mengancam hendak memisahkan
kekerabatan dengan Galuh di Kawali. Namun, ketegangan tersebut cair melalui
keputusan bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri
sebagai raja. Dewa Niskala menyerahkan takhta Galuh kepada puteranya, Jayadewata
(Sri Baduga), Susuktunggal menyerahkan takhta Sunda juga kepada Jayadewata,
menantu sekaligus keponakan. Kerajaan warisan Wastukencana pun berada dalam
satu tangan kembali, di tangan cucunya sendiri yang kelak menjadi raja besar di
seluruh Tatar Sunda, Sri Baduga Maharaja. Dewa Niskala sendiri setelah wafat
dikebumikan di daerah Gunatiga dan bergelar Sang Mokteng Gunatiga.
SEJARAH
GALUH VI
Galuh Setelah Pakuan Pajajaran Runtuh
Selama Sri Baduga memerintah di Pakuan, di Galuh pun tetap ada penguasa yang statusnya raja-bawahan Pajajaran. Dan hingga Pakuan Pajajaran runtuh tahun 1579, di Galuh masih terdapat beberapa raja yang memerintah. Mereka di antaranya: Prabu Haur Kuning, Prabu Cipta Sanghiang, Prabu Galuh Cipta Permana atau Ujang Ngekel (yang pertama masuk Islam).
Eksistensi politik Galuh goyah ketika tahun 1595, Mataram menyerang Galuh. Dan selanjutnya, pada masa Sultan Agung invasi militer Mataram terhadap Galuh makin gencar. Oleh penguasa Mataram, penguasa Galuh, Adipati Panaekan, diangkat menjadi Wedana Mataram dengan jumlah pendududk (cacah) sebanyak 960 orang. Ketika Mataram hendak melancarkan serangan terhadap benteng VOC di Batavia tahun 1628, pengikut Mataram di Tanah Sunda berbeda pendapat. Misalnya, Rangga Gempol I dari Sumedang Larang menginginkan pertahanan militer diperkuat dahulu, sementara Dipati Ukur dari Tatar Ukur menginginkan serangan segera saja dilakukan. Pertentangan pun terjadi di Galuh, yakni antara Adipati Panaekan dengan adik iparnya, Dipati Kertabhumi, Bupati Bojonglopang, putra Prabu Dimuntur, keturunan Prabu Geusan Ulun. Perselisihan ini memuncak dan akhirnya pecahlah perkelahian. Adipati Panaekan terbunuh pada tahun 1625. Ia lalu diganti puteranya, Mas Dipati Imbanagara, yang berkedudukan di Garatengah (sekarang Cineam).
Selama Sri Baduga memerintah di Pakuan, di Galuh pun tetap ada penguasa yang statusnya raja-bawahan Pajajaran. Dan hingga Pakuan Pajajaran runtuh tahun 1579, di Galuh masih terdapat beberapa raja yang memerintah. Mereka di antaranya: Prabu Haur Kuning, Prabu Cipta Sanghiang, Prabu Galuh Cipta Permana atau Ujang Ngekel (yang pertama masuk Islam).
Eksistensi politik Galuh goyah ketika tahun 1595, Mataram menyerang Galuh. Dan selanjutnya, pada masa Sultan Agung invasi militer Mataram terhadap Galuh makin gencar. Oleh penguasa Mataram, penguasa Galuh, Adipati Panaekan, diangkat menjadi Wedana Mataram dengan jumlah pendududk (cacah) sebanyak 960 orang. Ketika Mataram hendak melancarkan serangan terhadap benteng VOC di Batavia tahun 1628, pengikut Mataram di Tanah Sunda berbeda pendapat. Misalnya, Rangga Gempol I dari Sumedang Larang menginginkan pertahanan militer diperkuat dahulu, sementara Dipati Ukur dari Tatar Ukur menginginkan serangan segera saja dilakukan. Pertentangan pun terjadi di Galuh, yakni antara Adipati Panaekan dengan adik iparnya, Dipati Kertabhumi, Bupati Bojonglopang, putra Prabu Dimuntur, keturunan Prabu Geusan Ulun. Perselisihan ini memuncak dan akhirnya pecahlah perkelahian. Adipati Panaekan terbunuh pada tahun 1625. Ia lalu diganti puteranya, Mas Dipati Imbanagara, yang berkedudukan di Garatengah (sekarang Cineam).
Daftar Raja-raja di Galuh (dan Kawali,
Saunggalah, dan Pakuan)
1. Wretikandayun atau Wertikandayun (612-702).
2. Mandiminyak (702-709).
3. Sena atau Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabhumi (709-716 M).
4. Purbasora (716-723).
5. Sanjaya Sang Harisdarma atau Rakeyan Jambri (723-732 M), Pakuan-Galuh.
6. Premana Dikusuma atau Bagawat Sajalajaya (732)
7. Rahyang Tamperan atau Rakeyan Panaraban (732-739 M), Pakuan-Galuh.
8. Surotama alias Manarah alias Ciung Wanara atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara
Sakalabhuwana (739-783).
9. Sang Mansiri atau Prabu Dharmasakti Wijaleswara (783-799).
10. Sang Tariwulan atau Prabu Kertayasa Dewakusaleswara (799-806).
11. Sang Welengan atau Prabu Brajanagara Jayabhuwana (806-813).
12. Prabu Linggabhumi (813-842).
13. Rakeyan Wuwus atau Prabu Gajah Kulon (842-891 M), Pakuan-Galuh.
14. Arya Kedaton atau Prabu Darmaraksa Bhuwana (891-895 M). Catatan: sejak tahun 895 hingga
1311 M, pusat pemerintahan sering berpindah-pindah dari timur (Galuh atau Saunggalah) ke barat
(Pakuan) dan sebaliknya.
15. Rakeyan Windusakti atau Prabu Dewagong Jayengbhuwana (895-913 M).
16. Rakeyan Kemuning Gading atau Prabu Pucukwesi atau Sang Mokteng Hujungcariang
(913-916 M).
17. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wanayasa, adik Pucukwesi (916-942 M).
18. Rakeyan Watwagong atau Prabu Resi Atmajadarma Hariwangsa (942-954 M), menantu Jayagiri.
19. Limburkancana atau Sang Mokteng Galuh Pakwan, putra Pucukwesi (954-964 M).
20. Rakeyan Sunda Sembawa atau Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala Jayasatru
(964-973 M).
21. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wulung Gadung atau Sang Mokteng Jayagiri (973-989 M).
22. Rakeyan Gendang atau Prabu Jayawisesa (989-1012 M).
23. Sanghyang Ageung atau Prabu Dewa Sanghyang atau Sang Mokteng Patapan
(1012-1019M), Galuh.
24. Sri Jayabhupati atau Prabu Satya Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Bhuwanamanadala Leswaranindita Harogowardhana Wikramattunggadewa
(1019-1042), Pakuan.
25. Prabu Dharmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabhuwana (1042-1064), Galuh.
26. Prabu Langlangbhumi atau Sang Mokteng Kreta (1064-1154), Pakuan.
27. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur Langlangbhumisutah (1154-1156), Pakuan.
28. Prabu Dharmakusumah atau Sang Mokteng Winduraja (1156-1175), Galuh.
29. Prabu Guru Dharmasiksa Paramartha Mahapurusa atau Guru Dharmakusumah atau Prabu
Sanghyang Wisnu (1175-1297); di Saunggalah tahun 1175-1187, di Pakuan tahun 1187-1297.
30. Prabu Ragasuci atau Rakeyan Saunggalah (1297-1303), Saunggalah
31. Prabu Citragandha (1303-1311), Pakuan.
32. Prabu Lingga Dewata (1311-1333), Kawali.
33. Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340), Kawali.
34. Prabu Ragamulya Luhurprabhawa atau Sang Aki Kolot (1340-1350), Kawali.
35. Prabu Lingga Bhuwana Wisesa atau Prabu Maharaja atau Sang Mokteng Bubat
(1350-1357 M), Kawali.
36. Prabu Bunisora (1357-1371), Kawali.
37. Niskala Wastukancana atau Prabu Raja Wastu atau Sang Mokteng Nusalarang
(1371-1475), Kawali.
38. Ningratkancana atau Prabu Dewa Niskala atau Sang Mokteng Gunatiga (1475-1482), Kawali.
39. Sri Baduga Maharaja (1482-1521), Galuh dan Pakuan.
1. Wretikandayun atau Wertikandayun (612-702).
2. Mandiminyak (702-709).
3. Sena atau Sang Prabu Bratasena Rajaputra Linggabhumi (709-716 M).
4. Purbasora (716-723).
5. Sanjaya Sang Harisdarma atau Rakeyan Jambri (723-732 M), Pakuan-Galuh.
6. Premana Dikusuma atau Bagawat Sajalajaya (732)
7. Rahyang Tamperan atau Rakeyan Panaraban (732-739 M), Pakuan-Galuh.
8. Surotama alias Manarah alias Ciung Wanara atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara
Sakalabhuwana (739-783).
9. Sang Mansiri atau Prabu Dharmasakti Wijaleswara (783-799).
10. Sang Tariwulan atau Prabu Kertayasa Dewakusaleswara (799-806).
11. Sang Welengan atau Prabu Brajanagara Jayabhuwana (806-813).
12. Prabu Linggabhumi (813-842).
13. Rakeyan Wuwus atau Prabu Gajah Kulon (842-891 M), Pakuan-Galuh.
14. Arya Kedaton atau Prabu Darmaraksa Bhuwana (891-895 M). Catatan: sejak tahun 895 hingga
1311 M, pusat pemerintahan sering berpindah-pindah dari timur (Galuh atau Saunggalah) ke barat
(Pakuan) dan sebaliknya.
15. Rakeyan Windusakti atau Prabu Dewagong Jayengbhuwana (895-913 M).
16. Rakeyan Kemuning Gading atau Prabu Pucukwesi atau Sang Mokteng Hujungcariang
(913-916 M).
17. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wanayasa, adik Pucukwesi (916-942 M).
18. Rakeyan Watwagong atau Prabu Resi Atmajadarma Hariwangsa (942-954 M), menantu Jayagiri.
19. Limburkancana atau Sang Mokteng Galuh Pakwan, putra Pucukwesi (954-964 M).
20. Rakeyan Sunda Sembawa atau Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala Jayasatru
(964-973 M).
21. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Wulung Gadung atau Sang Mokteng Jayagiri (973-989 M).
22. Rakeyan Gendang atau Prabu Jayawisesa (989-1012 M).
23. Sanghyang Ageung atau Prabu Dewa Sanghyang atau Sang Mokteng Patapan
(1012-1019M), Galuh.
24. Sri Jayabhupati atau Prabu Satya Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Bhuwanamanadala Leswaranindita Harogowardhana Wikramattunggadewa
(1019-1042), Pakuan.
25. Prabu Dharmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabhuwana (1042-1064), Galuh.
26. Prabu Langlangbhumi atau Sang Mokteng Kreta (1064-1154), Pakuan.
27. Rakeyan Jayagiri atau Prabu Menakluhur Langlangbhumisutah (1154-1156), Pakuan.
28. Prabu Dharmakusumah atau Sang Mokteng Winduraja (1156-1175), Galuh.
29. Prabu Guru Dharmasiksa Paramartha Mahapurusa atau Guru Dharmakusumah atau Prabu
Sanghyang Wisnu (1175-1297); di Saunggalah tahun 1175-1187, di Pakuan tahun 1187-1297.
30. Prabu Ragasuci atau Rakeyan Saunggalah (1297-1303), Saunggalah
31. Prabu Citragandha (1303-1311), Pakuan.
32. Prabu Lingga Dewata (1311-1333), Kawali.
33. Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340), Kawali.
34. Prabu Ragamulya Luhurprabhawa atau Sang Aki Kolot (1340-1350), Kawali.
35. Prabu Lingga Bhuwana Wisesa atau Prabu Maharaja atau Sang Mokteng Bubat
(1350-1357 M), Kawali.
36. Prabu Bunisora (1357-1371), Kawali.
37. Niskala Wastukancana atau Prabu Raja Wastu atau Sang Mokteng Nusalarang
(1371-1475), Kawali.
38. Ningratkancana atau Prabu Dewa Niskala atau Sang Mokteng Gunatiga (1475-1482), Kawali.
39. Sri Baduga Maharaja (1482-1521), Galuh dan Pakuan.
Mitos Buaya dan Harimau
Proses kepindahan ibukota pada masa Sunda-Galuh memiliki pengaruh secara sosial-budaya. Dalam hal tradisi, antara Galuh dengan Sunda memang terdapat perbedaan. Disebutkan, bahwa orang Galuh itu adalah “orang air”, sedangkan orang Sunda itu adalah “orang gunung”. Yang satu (Galuh) memiliki “mitos buaya”, yang lainnya (Sunda) memiliki “mitos harimau”.
Proses kepindahan ibukota pada masa Sunda-Galuh memiliki pengaruh secara sosial-budaya. Dalam hal tradisi, antara Galuh dengan Sunda memang terdapat perbedaan. Disebutkan, bahwa orang Galuh itu adalah “orang air”, sedangkan orang Sunda itu adalah “orang gunung”. Yang satu (Galuh) memiliki “mitos buaya”, yang lainnya (Sunda) memiliki “mitos harimau”.
Di sekitar Ciamis dan Tasikmalaya masih ada
sejumlah tempat yang bernama Panereban. Pada masa silam, tempat tersebut konon
merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi Galuh,
mayat harus dihanyutkan (dilarung) di sungai. Sebaliknya, orang Kanekes
(Banten) yang masih menyimpan banyak sekali peninggalan tradisi Sunda, mengubur
mayat dalam tanah (ngurebkeun). Tradisi nerebkeun di sebelah timur dan tradisi
ngurebkeun di sebelah barat, membekas dalam istilah panereban dan pasarean.
Perjalanan sejarah lambat-laun telah
meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini, Galuh dan Sunda (Orang Air dengan
Orang Gunung) menjadi akrab. Perbauran ini, contohnya, dilambangkan oleh
dongeng Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet (Seekor Kura-kura dan Seekor Monyet).
Dongeng fabel khas Sunda ini sangat dikenal oleh segala lapisan masyarakat.
Padahal dalam kenyataannya, monyet (wakil dari budaya gunung) dan kuya (wakil
dari budaya air) itu bertemu saja mungkin tidak pernah.
SEJARAH GALUH VII
Kerajaan-kerajaan
Lain di Sekitar Galuh
Berdasarkan naskah-naskah kuno, baik sekunder maupun primer, di wilayah Galuh terdapat beberapa kerajaan kecil. Sayang memang, bahwa kerajaan-kerajaan ini tak meninggalkan bukti otentik seperti prasasti atau bangunan fisik lainnya. Dalam laporan yang disusun Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972), terdapat sejumlah nama kerajaan sebagai berikut:
Berdasarkan naskah-naskah kuno, baik sekunder maupun primer, di wilayah Galuh terdapat beberapa kerajaan kecil. Sayang memang, bahwa kerajaan-kerajaan ini tak meninggalkan bukti otentik seperti prasasti atau bangunan fisik lainnya. Dalam laporan yang disusun Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972), terdapat sejumlah nama kerajaan sebagai berikut:
§
Kerajaan Galuh Sindula (menurut sumber lain, Kerajaan Bojong Galuh) yang
berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili (tahun 78 Masehi?);
§ Kerajaan
Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan;
§
Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan;
§ Galuh
Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan;
§ Galuh
Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman;
§
Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan;
§ Galuh
Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo;
§ Galuh
Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan;
§
Galuh Pataka berlokasi di Nanggalacah beribukota Pataka;
§ Kabupaten
Galuh Nagara Tengah berlokasi di Cineam beribukota Bojonglopang kemudian
Gunungtanjung;
§ Kabupaten
Galuh Imbanagara berlokasi di Barunay (Pabuaran) beribukota di Imbanagara
§ Kabupaten
Galuh berlokasi di Cibatu beribukota di Ciamis sejak tahun 1812.
MISTERI RAWA ONOM
ONOM adalah sebangsa makhluk halus, berpusat di areal
sebuah rawa seluas 947 ha, Rawa Onom namanya. Orang tak boleh gegabah
membicarakannya sebab selalu saja ada akibatnya. Begitu kata penduduk Banjar.
ONOM itu sebangsa makhluk halus. Orang Banjar, Kabupaten Ciamis, menyebutnya
sebagai siluman.
Siluman punya arti tersendiri untuk sebutan kelompok
makhluk halus. Kata Sanusi (50) penduduk Purwaharja, siluman dikenakan kepada
makhluk halus yang dulunya berujud manusia biasa. Namun karena “Ngahiang”
(menghilang), dan menjadi makhluk halus, maka disebutnya sebagai siluman
Kata Sanusi lagi, sampai dengan tahun 1942 wilayah Kecamatan
Purwaharja dikenal sebagai Kampung Siluman. Mengapa disebut begitu, sebab orang
mengganggap bahwa kampung itu masuk areal atau wilayah kekuasaan bangsa onom.
Bangsa onom konon punya kerajaan, Pulo Majeti namanya. Hingga kini, wilayah
bernama Pulo Majeti masih tetap ada dan hingga kini pula, banyak diziarahi
orang yang datang dari mana-mana, hingga dari luar Pulau Jawa.
“Bagi mata biasa, Pulo Majeti hanya berupa gugusan
pulau kecil di tengah rawa bernama Rawa Onom, seluas 947 ha. Namun bagi
orang-orang tertentu, itu adalah sebuah kerajaan,” tutur Mamun (50) masih
penduduk sekitar situ.
Juru kunci Pulo Majeti, pak Omod mengabarkan bahwa
yang berkuasa di Kerajaan Pulo Majeti adalah Prabu Selang Kuning. Istrinya
bernama Ratu Gandawati. Dia punya aparat, yaitu Patih Kalintu dan abdi dalemnya
adalah Mas Bugel, Ki Bedegel, Ki Rimpung dan Mas Jemblung. Setiap saat mereka
berada di sana dan setiap saat mereka melayani permintaan para peziarah.
Sungguh menakjubkan. Sekarang abad 21 di mana dunia
tengah menghadapi era teknologi canggih. Namun demikian, kepercayaan akan dunia
lain masih tetap dipertahankan. Contohnya kekuatan Rawa Onom dan Pulo Majeti
ini. Maka banyaklah orang berziarah dan bertapa di sana untuk minta berkah,
seperti ingin diluluskan segala cita-citanya, ingin dapat jodoh, dapat kerjaan,
sampai kepada ingin anak lulus ujian.
“Tapi berziarah ke Pulo Majeti segalanya harus serius
dan harus dilakukan dengan tertib dan sopan. Kalau ada tindak kesombongan
diperlihatkan di sini, alamat akan ada risikonya!” tutur juru kunci. Demikian
diakui beberapa penziarah bahwa pernah ada yang datang namun tak percaya atas
keberadaan hal-hal gaib Pulo Majeti. Maka mendadak sontak keanehan
diperlihatkan ia terkencing-kencing lari sebab ada binatang aneh mengejar-ngejar
terus. Sementara peziarah lain menatap terbengong-bengong sebab apa yang
ditakuti orang itu, malah tak terlihat oleh orang lain.
Suatu malam buta, tiba-tiba hujan turun dengan deras,
disertai kilat menyambar-nyambar. Namun selang beberapa lama kemudian, hujan
berhenti dan seluruh pakaian pengunjung mendadak kering seperti tak pernah
terguyur air sebelumnya.
Dihormati penguasa Kerajaan Bangsa Onom di Pulo Majeti
yang dirajai oleh Prabu Selang Kuning ini, dihormati oleh aparat PemDa
Kabupaten Ciamis. Percaya atau tidak, beberapa waktu yang lalu, bila di PemDa
akan mengadakan perayaan apa saja, seperti HUT Kabupaten atau HUT-RI misalnya,
maka dari berbagai kalangan yang diundang, bangsa onom pun diundang pula.
Sampai dengan dekade 1980-an bahkan pada acara-acara perayaan khusus, panitia
pernah menyiapkan sebuah kuda yang sudah dihias. Kuda itu dibawa karnaval dalam
keadaan kosong tanpa penunggang, anehnya, kuda itu ngosngosan seperti membawa
beban berat . Konon, sebenarnya kuda itu ditunggangi oleh bangsa onom.
Di lingkungan pendopo juga disediakan sebuah kamar
khusus buat “undangan khusus” ini. Di dalam kamar itu sudah dipersiapkan
berbagai penganan dan juga pakaian baik pakaian untuk pria maupun untuk wanita.
Kata orang tua pengatur tata-cara ini, bila ada hal-hal aneh, maka siapa pun
jangan sekali-kali menggubrisnya.
Suatu kali seorang istri pejabat mengggunjingkan bahwa
ada tamu perempuan, kerjanya makan melulu. Tak lama sesudah itu, bibir istri
pejabat bengkak mendadak. Dan penyakit bengkak sembuh mendadak setelah orang
tua dari panitia minta maaf atas kelancangan berbicara.
Seiring perjalanan waktu dengan
peningkatan wawasan keagamaan, upacara-upacara seperti ini sudah tak dilakukan
di pendopo Kabupaten Ciamis. Pemberontak Prabu Selang Kuning, penguasa Kerajaan
Pulo Majeti ini, dulunya manusia biasa, ia patih kepercayaan Kerajaan Galuh
yang diperintah membangun wilayah di daerah Pulo Majeti. Patih lancang Kuning
menerima perintah ini sebaik-baiknya sehingga di Pulo Majeti yang semula rawa,
berubah menjadi istanahebat.Namun Selang
Kuning tidak mau menyerahkan hasil karyanya kepada rajanya, melainkan dia
mengangkat dirinya sendiri menjadi penguasa Kerajaan Pulo Majeti.Untuk menghindarkan
percekcokan dengan dengan Kerajaan Galuh, maka Prabu Selang Kuning mengajak seluruh
rakyatnya pindah ke alam lain. Itulah bangsa onom.
Sumber: Artikel tentang mitos/lagenda yang menarik ini
dipetik dari sebuah laman web . Penulis aslinya tak dapat dikenal pasti Untuk
melihat Lokasi Pulo Majetu Rawa Onom silahkan lihat di Wikimapia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar