Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Selasa, 13 Mei 2014

Sejarah Panjang Nusantara

Banyak sekali penafsiran umum akan nama Nusantara, mungkin yang paling populer adalah rujukan
penamaan Nusantara yang dapat diakses di situs Wikipedia, di sana disebutkan bahwa ‘Nusantara
merupakan istilah yang dipakai oleh orang Indonesia untuk menggambarkan wilayah kepulauan
Indonesia dari Sabang sampai Merauke’; pertanyaannya, apakah hanya sebatas itu sajakah wilayah
Nusantara dulu?


Nusa sendiri sering diartikan dengan pulau atau kepulauan, penamaan dari leluhur kita dahulu dalam
bahasa sansekerta, sedang dalam bahasa sansekerta dengan peradaban yang lebih lama, istilah Nusa
disebut dengan Nuswa.


Hasil dari penelitian kita terhadap beberapa rontal kuno dan beberapa prasasti, Nuswantara [atau
Nusantara] adalah gabungan dari dua kata, Nuswa atau Nusa, dan Antara. Nuswa sendiri dalam
bahasa sansekerta kuno mempunyai arti “sebuah tempat yang dapat ditinggali”, jadi tidak disebutkan
secara jelas bahwa itu adalah pulau. Seharusnya kita membuka mata dan pikiran lebar-lebar untuk
memaknai ‘sebuah tempat yang dapat ditinggali’ adalah tidak terbatas hanya di daratan yang ada di
muka bumi ini; lautan, dasar laut, tempat di luar bumi atau bahkan tempat di luar galaksi kita-pun adalah
tempat yang dapat ditinggali.


Dalam beberapa serat kuno-pun pernah tertera kata ‘Antariksa’ yang menandakan bahwa sesuatu
jangkauan yang jauh dari letak bumi-pun sudah dikenal oleh para leluhur Nuswantara.


Menurut Sastra-Jendra [catatan alam raya], leluhur kita membahasakan ‘Bumi’ dengan nama
‘Arcapada’ dan tempat kita hidup di atas bumi itu yang dinamakan lapisan bumi pertama atau Eka
Pratala, dan semuanya terdapat 7 lapisan sampai ke Sapta Pratala [inti bumi atau magma bumi]. Di luar
Arcapada, tertera nama Dirgantara yang maknanya adalah lapisan sejauh burung dapat terbang paling
tinggi, kemudian terdapat Angkasa yang maknanya adalah lapisan dari atas Dirgantara sampai ke batas
atmosfir paling tinggi, dan di luar atmosfir itulah yang disebut dengan Antariksa.


Konsepsi dari Nuswantara sendiri adalah sebuah kesatuan wilayah yang dipimpin oleh suatu
pemerintahan [kerajaan] secara absolut. Jadi dalam Nuswantara terdapat satu Kerajaan Induk dengan
puluhan bahkan ratusan kerajaan yang menginduk [bedakan menginduk dengan jajahan].


Dalam sebuah periodesasi jaman, kerajaan induk itu mempunyai seorang pimpinan dengan
kewenangannya yang sangat absolut, sehingga kerajaan-kerajaan yang menginduk sangat hormat dan
loyal kepada Kerajaan Induk dan satu sama lain antara kerajaan yang menginduk akan saling bersatu
dalam menghadapi ancaman keamanan dari negara-negara di luar wilayah Nuswantara, tak pelak
kesatuan dari Nuswantara sangat disegani, dihormati dan ditakuti oleh negara-negara lain pada jaman
dahulu.


Terdapat lagi istilah Salaka Nagara, istilah Salaka Nagara lebih merupakan sebuah status untuk
beberapa periodesasi masa gemilang dari Nuswantara. Dalam bahasa sansekerta, salaka berarti
seluruh alam raya, jadi pada saat ada salah sebuah Kerajaan Induk Nuswantara yang statusnya Salaka
Nagara, berarti pada masa itu semua kerajaan yang ada di muka bumi ini mempunyai pimpinan tunggal,
atau secara absolut Kerajaan Induk itu menguasai seluruh pemerintahan yang ada di muka bumi ini,
dalam sejarah gemilangnya tercatat banyak Kerajaan Induk di Nuswantara yang statusnya Salaka
Nagara, semisal : Kerajaan Keling, Kerajaan Purwadumadi, Kerajaan Medang Gili, Kerajaan Medang
Ghana, Kerajaan Medang Kamulyan, dll.


Kerajaan Induk biasanya dipimpin oleh seorang raja dengan gelar Sang Maha Prabu atau Sang Maha
Raja, bergelar Sang Maha Ratu apabila dipimpin oleh seorang perempuan, pada periode jaman
sebelumnya dengan Sang Rakai atau Sang Mapanji, serta dibantu oleh Patih [sekarang setara dengan
Perdana Menteri] yang bergelar Sang Maha Patih.


Sedangkan kerajaan-kerajaan yang menginduk, istilah Kerajaan juga seringkali disebut dengan
Kadipaten yang dipimpin oleh raja yang bergelar Kanjeng Prabu Adipati atau Kanjeng Ratu Adipati
[apabila dipimpin oleh seorang raja perempuan], dan Patih-nya bergelar Sang Patih.


Pimpinan Kerajaan Induk tidaklah selamanya turun-temurun, tidak tergantung dari besar-kecilnya
wilayah, tapi dilihat dari sosok pimpinannya yang mempunyai kharisma sangat tinggi, kecakapannya
dalam memimpin negara dan keberaniannya dalam mengawal Nuswantara, sehingga negara-negara
lain [kerajaan yang menginduk/Kadipaten] akan dengan suka rela menginduk di bawah sang pemimpin,
apalagi sang pemimpin biasanya dianggap mewarisi perbawa dari para Dewa, dalam pewayangan-pun
beberapa nama raja disebutkan sebagai Dewa sing ngejawantah.


Dan apabila setelah sebuah periode pemerintahan berakhir, tampuk kepepimpinan Kerajaan Induk
bergeser ke pimpinan dari negara yang berbeda, maka status kerajaan induk yang lama berubah
menjadi Kadipaten.


Nuswantara, atau Indonesia kini [dari bahasa melayu dan pengembangan penamaan wilayah nusantara pada
jaman masa kolonial], dahulu dikenal dunia sebagai bangsa yang besar dan terhormat. Orang luar bilang
Nuswantara adalah “Jamrud Khatulistiwa” karena di samping Negara kita ini kaya akan hasil bumi
juga merupakan Negara yang luar biasa megah dan indah.


Bahkan di dalam pewayangan, Nuswantara ini dulu diberikan istilah berbahasa Kawi/Jawa kuno, yaitu :


“Negara kang panjang punjung pasir wukir,
gemah ripah loh jinawi,
tata tentrem kerto raharja”
Artinya dalam bahasa Indonesia kurang lebih yaitu :
“ Luas berwibawa yang terdiri atas daratan dan pegunungan,
subur makmur,
rapi tentram, damai dan sejahtera “
Sehingga tidak sedikit banyak negara-negara lain yang dengan sukarela bergabung di bawah naungan
bangsa kita.


Hal ini tentu saja tidak lepas peranan dari leluhur-leluhur kita yang beradat budaya dan ber-etika tinggi.
Di samping bisa mengatur kondisi Negara sedemikian makmur, leluhur kita juga bahkan dapat
mengetahui kejadian yang akan terjadi di masa depan dan menuliskannya ke dalam karya sastra yang
bertujuan sebagai panduan atau bekal anak cucunya nanti supaya lebih berhati-hati dalam menjalani
roda kehidupan.


Akan tetapi penulisannya tidak secara langsung menggambarkan berbagai kejadian di masa
mendatang, digunakanlah perlambang sehingga kita harus jeli untuk dapat mengetahui apa yang
dimaksud dengan perlambang itu tadi. Digunakannya perlambang karena secara etika tidaklah sopan
apabila manusia mendahului takdir, artinya mendahului Tuhan yangMaha Wenang.

Leluhur kita yang menuliskan kejadian masa depan adalah Maha Raja dari Kerajaan Dahana Pura 
bernama Sang Mapanji Sri Aji Jayabaya dalam karyanya Jayabaya Pranitiradya dan Jayabaya 
Pranitiwakyo. Sering juga disebut “Jangka Jayabaya” atau oleh masyarakat sekarang dikenal dengan 
nama “Ramalan  Jayabaya”, sebetulnya istilah  ramalan  kuranglah begitu tepat,  karena “Jangka 
Jayabaya” adalah sebuah Sabda, Sabda Pandhita Ratu dari Sang Mapanji Sri Aji Jayabaya, yang 
artinya adalah akan terjadi dan harus terjadi.

 Leluhur lainnya adalah R. Ng. Ranggawarsita yang menyusun kejadian mendatang ke dalam tembang-tembang, antara lain Jaka Lodang, Serat Kalatidha, Sabdatama, dll. 

Kaitannya dengan penanggalan jaman yang ada di Jangka Jayabaya, kita berhasil menemukan bahwa 
sejarah Nuswantara tidak sekerdil seperti sejarah yang tertulis di buku-buku pelajaran sejarah sekolah 
yang resmi atau literasi  sejarah yang ada. Bahkan lebih dari itu,  kami menemukan bukti tentang 
kebesaran leluhur Nuswantara yang di peradaban-peradaban sebelumnya mempunyai wilayah yang 
lebih besar dari yang kita duga selama ini.

Data yang diperoleh terdapat di beberapa relief dan prasasti yang dapat dilihat dan dimengerti oleh 
semua orang. Pola pembacaan yang telah berhasil dipetakan dengan mendokumentasikan puluhan 
jenis aksara purba asli Nuswantara yang dapat dipakai untuk membaca prasasti dan rontal-rontal kuno, 
di antaranya adalah Sastra Kala Purwa, Sastra Kala Dwara, Sastra Kala Dwapara, Sastra Kala Praniti, 
Sastra Kala Wisesa, dll. Sebagai bahan perbandingan, aksara Pallawa yang ada di India itu masih setara 
dengan jaman Kerajaan Singasari, jadi masih terhitung sangat muda.


Kembali ke Jangka Jayabaya, telah berhasil dipetakan periodesasi terciptanya bumi sampai ke titik akhir 
menjadi 3 [tiga] Jaman Kali [Jaman Besar] atau Tri Kali, dan setiap Jaman Besar atau Kali terbagi menjadi 
7 [tujuh] Kala [Jaman Sedang] atau Sapta Kala, dan 1 [satu] Jaman Sedang [Kala] terbagi menjadi 3 [tiga] 
Mangsa Kala [Jaman Kecil], serta berhasil mengurutkan sejarah kerajaan-kerajaan induk yang ada di 
Nuswantara yang mayoritas telah dihilangkan dari sejarah resmi. 


Tri Kali atau 3 Jaman Besar itu terdiri dari :

1. Kali Swara  - Jaman Penuh Suara Alam
2. Kali Yoga  - Jaman Pertengahan
3. Kali Sangara  - Jaman Akhir

Masing-masing Jaman Besar berusia 700 Tahun Surya, suatu perhitungan tahun yang berbeda dengan 
Tahun Masehi maupun Tahun Jawa, perhitungan tahun yang digunakan sejak dari awal peradaban.
Konversi setiap Jaman Besar [Kali] masing-masing berbeda, itu dikarenakan karena perputaran bumi 
tidak linear, perhitungan masa dalam satu Tahun Surya di Jaman besar Kali Yoga lebih lama  dari 
perhitungan masa dalam satu Tahun Surya di Jaman Besar Kali Sangara, dan perhitungan masa dalam 
satu Tahun Surya di jaman Besar Kali Swara lebih lama dari perhitungan masa dalam satu Tahun Surya 
di Jaman Besar Kali Yoga.

Saat ini yang telah berhasil dikonversikan adalah penghitungan untuk Jaman Besar Kali Sangara [jaman 
akhir], di mana 1 [satu] Tahun Surya setara dengan 7 [tujuh] Tahun Wuku, satu tahun Wuku terdiri dari 210 
hari yang berarti 1 [satu] Tahun Surya pada jaman besar Kali Sangara itu sama dengan 1.470 hari.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0WfURvt2pEUyhF2FMvfSwqXSm9PM1lIkd9xQCOvrRN-is3DRThbSeIZbPOgdcH7ek7cmK-1wRfT2h7_2MBgk3i0G-OGhBM8E79TWRyov4c3i2r-CNCilzFADqATfYYqXj-CNyMAiuw5aK/s640/aaaa.JPG



Berikut adalah uraian tentang silsilah Kerajaan-kerajaan Besar
[Kerajaan Induk] di Nuswantara mulai dari Jaman Besar Kali Swara, Kali Yoga, sampai Kali Sangara.

1. Kali Swara [ jaman penuh suara alam ]
Dibagi atas 7 Jaman Sedang [Sapta Kala], yaitu :

Kala Kukila | 0 - 100 Tahun Surya 
a kerajaan Keling
b kerajaan Purwadumadi
c kerajaan Purwacarita / Purwakandha
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0WfURvt2pEUyhF2FMvfSwqXSm9PM1lIkd9xQCOvrRN-is3DRThbSeIZbPOgdcH7ek7cmK-1wRfT2h7_2MBgk3i0G-OGhBM8E79TWRyov4c3i2r-CNCilzFADqATfYYqXj-CNyMAiuw5aK/s640/aaaa.JPG
d kerajaan Magadha
e kerajaan Gilingwesi
.f kerajaan Sadha Keling

Kala Budha | 101 - 200 Tahun Surya 
.a kerajaan Gilingwesi
b kerajaan Medang Agung
c kerajaan Medang Prawa
d kerajaan Medang Gili / Gilingaya
e kerajaan Medang Gana
f kerajaan Medang Pura
g kerajaan Medang Gora
h kerajaan Grejitawati
i kerajaan Medang Sewanda

Kala Brawa | 201 - 300 Tahun Surya 
a kerajaan Medang Sewanda
b kerajaan Medang Kamulyan
c kerajaan Medang Gili / Gilingaya

 Kala Tirta | 301 - 400 Tahun Surya 
a kerajaan Purwacarita
b kerajaan Maespati
c kerajaan Gilingwesi
d kerajaan Medang Gele / Medang Galungan

Kala Rwabara | 401 - 500 Tahun Surya 
a kerajaan Gilingwesi
b kerajaan Medang Kamulyan
c kerajaan Purwacarita
d kerajaan Matswapati
e  kerajaan Wiratha Wetan
f kerajaan Gilingwesi

Kala Rwabawa | 501 - 600 Tahun Surya 
a kerajaan Galuh
b kerajaan Purwacarita
c kerajaan Wirata Anyar

Kala Purwa | 601 - 700 Tahun Surya 

a kerajaan Wirata Kulon
b kerajaan Hastina Pura

2. Kali Yoga [ jaman pertengahan ]
Dibagi atas 7 Jaman Sedang [Sapta Kala], yaitu :

Kala Brata | 701 - 800 Tahun Surya 
a kerajaan Hastina Pura

Kala Dwara | 801 - 900 Tahun Surya 
a kerajaan Hastina Pura
b kerajaan Malawapati
c kerajaan Dahana Pura
d kerajaan Mulwapati
e kerajaan Medang Penataran
f kerajaan Kertanegara

Kala Dwapara | 901 - 1.000 Tahun Surya 
a kerajaan Pengging Nimrata
b kerajaan Galuh
c kerajaan Prambanan
d kerajaan Medang Nimrata
e kerajaan Grejitawati

Kala Praniti | 1.001 - 1.100 Tahun Surya 
a kerajaan Purwacarita
b kerajaan Mojopura
c kerajaan Pengging
d kerajaan Kanyuruhan
e kerajaan Kuripan
f kerajaan Kedhiri
g kerajaan Jenggala
h kerajaan Singasari

Kala Teteka | 1.101 - 1.200 Tahun Surya 
a kerajaan Kedhiri
b kerajaan Galuh
c kerajaan Magada
d kerajaan Pengging

Kala Wisesa | 1.201 - 1.300 Tahun Surya 
a kerajaan Pengging
b kerajaan Kedhiri
c kerajaan Mojopoit (Majapahit)

Kala Wisaya | 1.301 - 1.400 Tahun Surya 
a kerajaan Mojopoit
b kerajaan Demak
c kerajaan Giri

3. Kali Sangara [ jaman akhir ]
Dibagi atas 7 Jaman Sedang [Sapta Kala], yaitu :

Kala Jangga | 1.401 - 1.500 Tahun Surya 
a kerajaan Pajang
b kerajaan Mataram

Kala Sakti | 1.501 - 1.600 Tahun Surya 
a kerajaan Mataram
b kerajaan Kartasura

Kala Jaya | 1.601 - 1.700 Tahun Surya 
a kerajaan Kartasura
b Kesultanan Surakarta
c Kesultanan Ngayogyakarta

Kala Bendu | 1.701 - 1.800 Tahun Surya 
a Kesultanan Surakarta
b Kesultanan Ngayogyakarta
c Indonesia (Republik)

Kala Suba | 1.801 - 1.900 Tahun Surya

Kala Sumbaga | 1.901 - 2.000 Tahun Surya 

Kala Surata | 2.001 - 2.100 Tahun Surya


Minimal mulai dari sekarang sangat penting bagi para anak bangsa untuk mengetahui betapa hebat dan
luhurnya peran para leluhur Nuswantara ini, terbukti dengan telah tersusunnya silsilah kerajaan-kerajaan
Nuswantara mulai dari peradaban awal sampai saat sekarang, para anak bangsa tidak hanya
sekedar mengenal Kerajaan Mataram, Majapahit, Singasari, Kuripan dan Kediri saja; akan tetapi masih
banyak kerajaan-kerajaan di peradaban yang lebih lama yang entah oleh sebab apa sekarang ini
kebesaran Kerajaan tersebut telah digeser ke cerita mitos. Adalah penting semua kebesaran dan
kehebatan leluhur kita jatuh kepada kita sendiri sebagai anak cucu yang seharusnya mewarisinya.
Metode penelitian dan penelusuran yang digunakan selama ini adalah dengan mengkompilasikan studi
literasi pada relief-relief, prasasti-prasasti serta rontal-rontal kuno yang dipadukan dengan Sastra
Cetha, sastra yang tidak tersurat secara langsung. Sastra Cetha sendiri adalah sebuah informasi tak
terbatas yang sudah digambarkan oleh alam semesta secara jelas, sebegitu jelasnya sehingga sampai
tidak dapat terlihat kalau kita menggunakan daya penangkapan yang terlalu tinggi dan rumit :-)
Belajar dari tanah sendiri, belajar dari ajaran Leluhur Nusantara sendiri, belajar banyak dari alam
semesta, di mana bumi diinjak, di situ langit dijunjung.


Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya (Ir. Soekarno : bapak ploklamator Indonesia)

Sumber : Tim Turangga Seta (www.lakubecik.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar