Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Rabu, 02 November 2016

Mengenal Sunda Wiwitan dan Variannya di Tanah Pasundan

Sebelum Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state) terbentuk, bangsa Indonesia sudah mengenal dan memiliki agama lokal yang dipeluk dan dijalankan oleh masyarakatnya dari satu generasi ke generasi lainnya.
Agama lokal adalah agama yang berkembang dan dianut oleh komunitas di daerah tertentu. Identitas agama lokal umumnya dilekatkan pada sistem kepercayaan yang didasarkan pada tradisi leluhur, pandangan hidup (worldview), dan praktik persembahan yang dikenal dan dilakukan oleh masyarakat tertentu (Eliade, 1997).
Umumnya, masyarakat mewarisi agama lokal melalui proses pengalaman bersama dengan generasi sebelumnya, walaupun kemudian ada beberapa pengaruh dari agama lain (agama yang telah terlembaga) yang masuk ke dalam sistem kepercayaannya (Sheldon 1989). Sebutan “agama lokal” itu menjadi identitas pembeda dengan “agama non-lokal” yang kebanyakan berasal dari kelompok agama yang dilayani negara.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak Anda untuk mengenal salah satu agama lokal di Indonesia yakni Sunda Wiwitan yang berada di tanah Pasundan Jawa Barat. Secara khusus, pada tulisan ini akan menyoroti salah satu varian dari kelompok Sunda Wiwitan  yang masih eksis hingga saat ini yakni kelompok Agama Djawa Sunda (ADS) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. 
Mengenal Sunda Wiwitan
Sunda Wiwitan, secara umum merupakan bentuk kepercayaan atau religi yang berkembang di tanah Pasundan (khususnya kerajaan Pajajaran) Jawa Barat. Dalam kepercayaannya, Sunda Wiwitan mempercayai akan kehadiran kekuasaan tertinggi yang biasa disebut sebagai sang hyang kersaatau gusti sikang sawiji-wiji (Tuhan yang tunggal).

"Sunda Wiwitan, secara umum merupakan bentuk kepercayaan atau religi yang berkembang di tanah Pasundan (khususnya kerajaan Pajajaran) Jawa Barat"

Sang hyang kersa, dipercaya oleh pemeluk Sunda Wiwitan hidup di tempat yang tinggi dan agung yang disebut sebagai Buana Agung atau Buana Nyungcung. Dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, mereka setidaknya mempercayai ada tiga macam lapisan kosmologis dunia; Pertama adalah Buana Agung yang merupakan tempat gusti sikang sawiji-wiji berada; Kedua adalah Panca Tengah tempat manusia, binatang, dan hewan hidup; Ketiga adalah Buana Larang, tempat roh-roh jahat bersemayam.
Selain secara kosmologis membagi dunia pada tiga macam lapisan, secara filosofis pemeluk Sunda Wiwitan juga membagi konsep peranan hidup manusia menjadi tiga macam peran dan atau ketentuan yang disebut sebagai tri tangtu.
Konsepsi tri tangtu ini lebih mengacu pada pandangan akan konsepsi keseimbangan peneguh dunia dan dilambangkan dengan raja sebagai sumber wibawa, rama sebagai sumber ucap (yang benar), dan resi sebagai sumber tekad (yang baik). (Atja dan Saleh Danasasmitha, 1982:30, 37 dalam Ekadjati, 1993).
Dalam perkembangannya, setelah pusat Sunda Wiwitan yakni kerajaan Pajajaran menghilang, Sunda Wiwitan kemudian terbagi menjadi beberapa varian yang memiliki ciri khas sejarahnya masing-masing, salah satunya yang akan saya  paparkan berikut ini yakni komunitas ADS di Cigugur, Kuningan Jawa Barat.
Sejarah Singkat Agama Djawa Sunda
Komunitas penghayat ADS menurut Straathof (1971), merupakan sebuah komunitas adat yang muncul sekitar tahun 1848 yang didirikan oleh seorang pria bernama Pangeran Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran atau Ki Yayi Madrais.
Dalam kisahnya, diceritakan bahwa Madrais merupakan seorang pewaris dari Kapangeranan Gebang, sebuah kerajaan Sunda di sebelah Timur Cirebon. Ketika masih belia, Madrais kecil tidak diasuh secara langsung oleh orang tuanya melainkan dititipkan pada seorang tokoh masyarakat, yakni Ki Sastrawardana di Cigugur (tahun 1825) dan agar diakui sebagai anaknya.
Dalam usia kurang lebih sepuluh tahun Madrais kecil ikut bekerja dengan Kuwu (Kepala Desa) Sagarahiang sebagai gembala kerbau milik sang Kuwu. Menurut beberapa keterangan, dahulu ketika kecil Madrais lebih dikenal oleh sosok teman-temanya sebagai orang yang bernama Taswan. Tujuan penyembunyian nama sebenarnya dari Madrais kecil diduga sebagai upaya penyelamatan Madrais dari kejaran aparat kolonial.
Selain dikenal sebagai pengembala kerbau Kuwu Sagarahing, Madrais kecil juga dikenal oleh teman-temanya sebagai sosok yang pintar dan cerdas. Hal ini dibuktikan dari bagaimana Madrais kecil banyak memberikan pertanyaan ‘kritis’ kepada guru-guru pesantrennya hingga guru-guru tersebut kewalahan.
Sikap kritis dan penuh rasa ingin tahu inilah yang kemudian membawa Madrais pada tahun 1840 berkelana keluar Cigugur untuk mencari dan menimba ilmu. Beberapa tahun kemudian, sekembalinya dari pengembaraan Madrais kemudian mendirikan paguron (pesantren) di lingkungan Desa Cigugur.
Paguron yang didirikan oleh Madrais berbeda dengan paguron-paguron pada umumnya. Selain mengajarkan mengenai kerohanian Islam, Madrais juga mengajarkan ajaran-ajaran dari agama-agama lain dengan lebih menonjolkan cara-cara tradisi Sunda dalam praktik-praktik ibadah dan kesehariannya.

"Selain mengajarkan mengenai kerohanian Islam, Madrais juga mengajarkan ajaran-ajaran dari agama-agama lain dengan lebih menonjolkan cara-cara tradisi Sunda dalam praktik-praktik ibadah dan kesehariannya"

Ajaran-ajaran Madrais yang kemudian di-implementasikan dalam berbagai aspek kehidupan para pengikutnya dikenal kemudian sebagai ajaran pikukuh tilu (Djatikusumah, 1995). Dalam perkembangannya, setelah Madarais wafat kepemimpinannya dilanjutkan oleh keturunannya yakni Tedjabuana (1939-1978) dan Djatikusumah (1978-sekarang).
Arti dan Inti Ajaran
Sebagai sebuah kelompok sosial, komunitas penghayat ADS mengidentifikasikan diri mereka dengan istilah penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha EsaIstilah penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menurut mereka mengacu dari perilaku penghayatan yang secara utuh dilakukan dalam keyakinan, ucapan, dan perbuatan mereka sehari-hari (sir, rasa, pikir) terhadap ‘getaran-getaran’ dari Dzat Tuhan yang berasal dari dalam diri maupun yang berasal dari luar diri mereka.
Penggunaan istilah untuk mengidentifikasikan diri mereka sebagai komunitas penghayat ADS, menurut mereka lebih pada identifikasi yang dilakukan oleh pihak luar kelompok khususnya yang dimulai oleh kolonial Belanda untuk mengidentifikasi kelompok sosial yang menganut dan menjalankan ajaran-ajaran yang diberikan oleh Pangeran Sadewa Alibassa Wijaya Kusuma Ningrat atau yang lebih dikenal sebagai Madrais.
Meskipun istilah ADS merupakan hasil dari identifikasi atau panggilan yang diberikan oleh kolonial Belanda, beberapa dari mereka merasa tidak keberatan dengan panggilan tersebut asalkan dengan ‘catatan’ istilah ADS tersebut bukan mengacu pada pengertian bahwa mereka telah membentuk sebuah agama baru melainkan lebih pada pemaknaan dalam kata per kata didalamnya.
Agama dimaknai sebagai ageman (pegangan) atau bisa juga sebagai aturan gawe manusa (aturan hidup manusia), sedangkan  Djawa Sunda  mengacu pada sebuah singkatan Adjawat Lan Adjawab Roh Susun-Susun kang den tunda yang berarti memilih dan menyaring getaran-getaran yang ada di alam semesta yang senantiasa berinteraksi dan mempengaruhi dalam hidup manusia.
Inti ajaran dalam Agama Djawa Sunda dikenal sebagai ajara pikukuh tilu (tiga peneguh). Dari penjelasan Djatikusumah (1995) dalam tulisannya, pikukuh tilu memiliki tiga macam poin ajaran atau pandangan. Tiga poin macam pandangan tersebut adalah:
  1. Ngaji badan
  2. Mikukuh/tuhu kana taneuh
  3. Madep ka ratu-raja anu 3-2-4-5-lilima 6
Ngaji badan secara etimologis berasal dari dua kata, yakni ngaji yang berarti memahami dan badanyang berarti segala macam sifat yang ada di sekitar diri manusia. Jika dipahami secara terpadu, ngaji badan dapat diartikan sebagai proses memahami dan menyadari adanya sifat-sifat lain yang ada di sekeliling kita yang memiliki karakteristiknya masing-masing, dengan kata lain ngaji badandapat pula diartikan sebagai introspeksi diri secara utuh dan menyeluruh.
Dalam penelusuran saya di lapangan, pemahaman akan pandangan ngaji badan ini berasal dari keyakinan bahwa kehidupan manusia berasal dari kehidupan yang diberikan oleh gusti sikang sawiji-wiji (Tuhan YME) yang kemudian terbentuk atas dasar tiga taraf kehidupan; taraf kehidupan nabati (pasif), taraf kehidupan hewani (aktif), taraf hidup insani (memiliki akal, rasa budi). Poin dari ajaran Madrais yang kedua adalah mikukuh/tuhu kana taneuh.
Mikukuh/tuhukana taneuh diartikan sebagai setia terhadap tanah, tanah di sini dibedakan oleh Madrais menjadi dua macam; taneuh adegan dan taneuh hamparan.Taneuh adegan adalah raga atau jasmani. Berbeda dengan taneuh adegan, yang dimaksud sebagai taneuh hamparan adalah tanah yang kita pijak.
Maksud yang hendak disampaikan oleh Madrais di sini adalah bukan berarti secara denotatif harus setia pada bumi yang kita pijak, namun tanah di sini lebih diartikan sebagai sifat pribadi bangsa. Madrais mengajarkan bahwa sebagai seorang manusia yang telah diciptakan sebagai anggota salah satu suku bangsa harus dapat mencintai dan menghargai cara ciri dari suku bangsa sendiri. Mencintai dan menghargai  ini salah satunya dengan cara memakai dan melestarikan cara ciri bangsa sendiri.

"Madrais mengajarkan bahwa sebagai seorang manusia yang telah diciptakan sebagai anggota salah satu suku bangsa harus dapat mencintai dan menghargai cara ciri dari suku bangsa sendiri"

Poin ketiga dari ajaran Madrais adalah madep ka ratu-raja anu 3-2-4-5-lilima 6.Madep di sini berarti menghadap dan mengacu, sedangkan ratu-raja di sini bukan maksud ratu-raja yang sebenarnya, tetapi memiliki makna ratu nu ngarata dan raja nu ngajagad yang berarti menghadap pada kesempurnaan. Selain itu, 3-2-4-5-lilima 6 mengandung arti:
  1. Ratu-raja 3: sir, rasa, pikir (tekad, ucap, perbuatan).
  2. Ratu-raja 2: Hukum keseimbangan dalam hidup seperti adanya siang dan malam, atau laki-laki dan perempuan.
  3. Ratu-raja 4: Aktifitas sepasang tangan dan sepasang kaki sebagai pengejawantahan dari proses wiwaha yuda nagara (perang dalam diri sendiri).   
  4. Ratu-raja 5: Lima pancaran getaran jasmani (lima pancaran daya sukma salira). Mata indra penglihat, hidung indra pencium, lidahindra pengecap, telinga indra pendengar, kulit indra perasa. Lima pancaran getaran rohani (lima pancaran daya sukmasejati). Menjaga segala tindakan lima indra jasmani dalam kehidupan. Lima bangsa di dunia yang terdiri dari ras kauskasoidmongoloid, negroid, americana, austronesia.
  5. Ratu-raja Lillima: Merupakan dua fungsi dari indra, yakni fungsi yang berasal dari pancaran hati nurani dan fungsi yang berasal dari pengalaman indrawi karena rangsangan dari alam sekitar.
  6. Ratu-raja 6: Dalam bahasa Sunda, enam berarti genep yang berarti genap. Dalam ratu-raja 6 berarti menggenapkan wujud diri manusia seutuhnya.
Sebagai suatu kepercayaan yang eksis hingga saat ini Agama Djawa Sunda tentunya memiliki upacara-upacara peribadatan yang dilakukan. Lantas, apa sajakah upacara-upacara tersebut? Bagaimana pula kehidupan komunitas ADS saat ini menghadapi arus modernisasi zaman?
https://www.selasar.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar