Mochammad Idjon Djanbi dilahirkan di Kanada sekitar tahun 1915 dengan nama Rokus Bernardus Visser adalah mantan anggota pasukan khusus kerajaan Inggris selama perang dunia ke-2, mantan KST Korps Speciale Troepen dan komandan RPKD sekarang Kopassus yang pertama.
Karir di dunia militer
Sejak masa muda RB Visser mengikuti orang tuanya Visser membantu orang tuanya dengan berjualan bola lampu di London. Dan ketika perang dunia kedua dimulai dan negri Belanda jatuh ke tangan tentara Jerman pada tanggal 15 Mei 1940, maka RB. Visser pun terpanggil untuk berjuang dengan mendaftarkan pada dinas Ketentaraan Belanda yang mengungsi ke Inggris yang membentuk kekuatan baru disana. Pada awalnya RB Visser ditugaskan menjadi sopir Ratu Wihelmina. Setelah setahun di post tersebut dia mengundurkan diri dan mendaftarkan diri di sebagai operator radio (Radioman) di 2nd Dutch Troop yang merupakan pasukan komando Belanda yang dilatih oleh Pasukan khusus kerajaan Inggris bersama-sama dengan sukarelawan dari Perancis, Polandia dan Canada. Bersama dengan pasukan sekutu, Visser merasakan operasi tempurnya yang pertama, yaitu dalam operasi Market Garden pada tanggal 17-25 September 1944, saat itu pasukan komando Belanda ke 2 bagian dimana Visser berada, digabung bersama 101st Airborne Division "Screaming Eagle" atau Divisi Lintas Udara 101 dari Amerika Serikat.
Dokumen penugasan RB Visser di 101st Airborne Div dalam perasi Market Garden |
Diterjunkan melalui pesawat layang (Glider) Visser bersama pasukan payung dari Amerika mendarat di bagian dengan konsentrasi pasukan Jerman tinggi. Dua bulan kemudian saat dikumpulkan kembali, Visser digabungkan dengan pasukan Sekutu yang lain dan melakukan operasi pendaratan amphibi di Walcheren, sebuah kawasan pantai di Belanda bagian selatan.
Amsterdam 1945, Lt. RB Visser Front paling depan, posii ketiga dari kiri |
Setelah beberapa lama tinggal di Indonesia dan dengan segala kondisi yang ada rupanya RB Visser menyukai hidup di Asia, sehingga memintaa istrinya (wanita Inggris yang dinikahinya semasa perang dunia 2) dan keempat anaknya untuk ikut dengannya ke Indonesia, akan tetapi istrinya menolak, dan RB Visser memilih untuk bercerai. Saat kembali ke Indonesia pada 1947, Sekolah pimpinannya sudah dipindah ke daerah Cimahi, Bandung dan RB Viser mendapatkan promosi naik pangkat menjadi Kapten. Ketika Belanda harus menyerahkan kedaulatan kepada pemerintahan RIS yang baru berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 maka mau tidak mau RB Visser pun harus memilih, tetap tinggal di Indonesia atau kembali pulang ke Belanda, karena sudah merasa nyaman dengan gaya hidup Asia, maka Kapten RB Visser memutuskan untuk tinggal di Indonesia sebagai warga sipil dan hidup bertani bunga di Lembang, memeluk agama islam, menikahi kekasihnya yang orang Sunda dan mengubah namanya menjadi Mochammad Idjon Djanbi.
Ikut membentuk Pasukan Khusus Indonesia
Setelah Belanda meninggalkan Indonesia, maka pemerintahan Indonesia yang baru berdiri masih harusberjuang untuk menegakkan kedaulatan dan keutuhan negara dari pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di wilayah Nusantara. Ketika pasukan RIS harus bertempur melawan perlawanan pasukan Republik Maluku Selatan (RMS) di daerah Maluku, pasukan TNI kala itu merasa kewalahan dalam menghadapi serangan gencar yang dilakukan oleh pasukan pemberontak yang mayoritas bekas KNIL yang didukung oleh bekas pasukan baret hijau yang dikenal dengan pasukan Kommando Speciale Troepen (KST) yang mempunyai keahlian dalam bertempur dalam kelompok kecil, menembak tepat dan bela diri . Belajar dari pengalaman tersebut maka Kolonel Alex Kawilarang selaku pimpinan tertinggi operasi di Maluku mempunyai gagasan untuk membentuk pasukan khusus. Setelah pemberontakan RMS berhasil ditumpas maka Alex Kawilarang berusaha menghubungi RB. Visser untuk membantu merintis sebuah pasukan komando, atas tawaran tersebut RB Visser yang telah mengubah namanya menjadi Moch. Idjon Janbi pun setuju dengan syarat dia mendapatkan pangkat Mayor setingkat lebih tinggi ketika ia mundur dari dinas kemiliteran. Kemudian pada tanggal 16 April 1952 dibentuklah pasukan istimewa tadi dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi (Kesko TT. III/Siliwangi) dengan Mayor Mochammad Idjon Djanbi sebagai komandan pertama merangkap sebagai pelatih.
Karena satuan Komando ini perlu didukung dengan fasilitas dan sarana yang lebih memadai dan operasional satuan ini diperlukan dalam lingkup yang lebih luas oleh Angkatan Darat, maka Kesko TT. III/Siliwangi beralih kedudukan langsung dibawah komando KSAD bukan dibawah Teritorium lagi dan pada bulan Januari tahun 1953 berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD). Pada tanggal 29 September 1953 KSAD mengeluarkan Surat Keputusan tentang pengesahan pemakaian baret sebagai tutup kepala prajurit yang lulus pelatihan Komando.
Latihan lanjutan Komando dengan materi Pendaratan Laut (Latihan Selundup) baru bisa dilakukan pada tahun 1954 di Pantai Cilacap Jawa Tengah. Pada tanggal 25 Juli 1955 KKAD berubah namanya menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD). Yang menjadi komandan tetap sebagai Mayor Mochammad Idjon Djanbi. Untuk meningkatkan kemampuan prajuritnya, tahun 1956 RPKAD menyelenggarakan pelatihan penerjunan yang pertama kalinya di Bandung. Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan, maka Mayor Infanteri Mochammad Idjon Djanbi menginginkan agar prajurit RPKAD memiliki kemampuan sebagai peterjun sehingga dapat digerakkan ke medan operasi dengan menggunakan pesawat terbang dan diterjunkan di sana. Lulusan pelatihan ini meraih kualifikasi sebagai peterjun militer dan berhak menyandang Wing Para.
Berhenti dari pasukan khusus
Pada tanggal 25 Juli 1955, KKAD ditingkatkan menjadi RPKAD dan dikepalai tetap oleh Mayor Mochamad Idjon Djanbi dengan Kastaf Mayor Djaelani sebagai Komandan SPKAD (sekolah Pasukan Komando Angkatan Darat) dan dibantu oleh Letnan LB Moerdani sebagai wakilnya. Di bawah pimpinan Mayor Djaelani dan wakilnya LB Moerdani, pendidikan komando mulai memperlihatkan hasil yng cukup memadai walaupun banyak kekurangan tenaga pengajar maupun dana, dan hal tersebut melipatgandakan keefektifan tempur pasukan.
Pimpinan TNI-AD kala itu melihat celah untuk mengambil alih kepemimpinan di RPKAD ke orang asli pribumi tetapi hal tersebut tercium oleh mayor Djanbi, Mayor Djanbi marah dan tersinggung lalu mengajukan pensiun dini. Kebetulan pada saat itu pada tahun 1956, Indonesia sedang aktif menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik asing dan Moh Idjon Djanbi yg sudah menjadi WNI diberi jabatan mengepalai perkebunan milik asing yg dinasionalisasi. Tetapi ia tetap tidak pensiun sebagai anggota RPKAD (hanya di"karyakan"), pada 1969 pada saat ulang tahun RPKAD Mayor Moh. Idjon Djanbi diberi kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel.
WAFAT
Moch Idjon Janbi wafat pada tanggal 1 April 1977 karena sakit Usus Buntu yang sudah kronis dan dimakamkan di TPU Kuncen-Jogjakarta.
Idjon Djanbi. Nama yang amat kramat di kalangan pasukan baret merah Indonesia. Mantan prajurit komando Belanda inilah yang mengasah mental dan fisik anggota TNI AD terpilih, untuk pertama kali, dilatih menjadi prajurit tangguh berkualifikasi komando. Sayang, walau terkenal, tak banyak yang tahu soal masa lalunya, bahkan prajurit Kopassus sendiri.
Mochammad Idjon Djanbi lahir di desa kecil Boskoop, 13 Mei 1914 dengan nama Rokus Barendregt Visser. Ia berasal dari lingkungan keluarga petani bunga dan. Berbagai hobi menantang dilakoninya, dari mendayung perahu kayu, balapan mobil, bermain sepak, berkuda bola, bahkan mendaki gunung. Kegiatan ini kerap kali membuat kakek dan neneknya kewalahan mengawasinya. Meski demikian prestasi akademis di sekolahnya lumayan baik.
Beberapa gunung di Eropa telah ia daki, antara lain Gunung Snowdon dan Ben Nervis (Inggris), Mont Blanc (Swiss), beberapa gunung di Jerman Selatan. Gunung-gunung di Indonesia pun tak luput dari perhatiannya, seperti Lawu, Merapi, dan Bromo. Lingkungan keluarga petani membentuk minatnya pada bidang agraria. Ia memperdalam pengetahuannya dengan mengambil kursus agraria di Liverpool, Inggris. Kemudian mempraktikan pengetahuannya sebagai pengusaha ekspor impor bidang agraria dan holtikultura (tanaman hias) tahun 1935-1940.
Perang Dunia II
Pecahnya Perang Dunia II tahun 1939, membuat Visser tidak bisa pulang ke Belanda karena telah dikuasai Jerman. Di usia 25 tahun ia terpanggil masuk dunia militer untuk membela Belanda. Tahun 1940 ia masuk dinas militer sukarela Tentara Sekutu yang berperang melawan Jerman. Tugas pertamanya sebagai tentara adalah menjadi sopir Ratu Wilhelmina. Selang setahun berdinas, ia mengundurkan diri.
Ia lalu mendaftarkan diri sebagai operator radio di Pasukan Belanda ke-2 (2nd Dutch Troop). September 1944, ia merasakan operasi tempurnya yang pertama bersama pasukan Sekutu dalam Operasi Market Garden. Pasukan tempat Visser bertugas termasuk ke dalam Divisi Lintas Udara 82 Amerika Serikat. Ia dan pasukannya diterjunkan melalui pesawat layang, lalu mendarat di wilayah konsentrasi pasukan Jerman. Dua bulan kemudian saat pasukan dikumpulkan kembali, Visser digabungkan dengan pasukan Sekutu lain untuk operasi pendaratan amfibi di Walcheren, kawasan pantai di bagian selatan Belanda.
Pendidikan komando ditempuhnya di Commando Basic Training di Achnacarry di pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Setelah menjalani latihan khusus yang keras dan berat, ia berhak menyandang brevet Glider (baret hijau). Pelatihan dan pelajaran yang diperoleh antara lain berkelahi dan membunuh tanpa senjata, membunuh pengawal, penembakan tersembunyi, perkelahian tangan kosong, berkelahi dan membunuh tanpa senjata api. Sedangkan baret merah diperoleh melalui pendidikan komando di Special Air Service (SAS), pasukan komando Kerajaan Inggris yang sangat legendaris.
Selain itu, Visser juga mengantongi lisensi penerbang PPL-I dan PPL-II. Plus juga menjalani pendidikan spesialisasi Bren, pertempuran hutan, dan belajar bahasa Jepang. Visser kemudian mengikuti Sekolah Perwira karena dianggap berprestasi. Lalu ia bergabung dengan Koninklij Leger untuk memukul Jepang di Indonesia, meski Jepang keburu mundur dari Indonesia sebelum pasukan Visser sempat dikirim.
Hidup di Indonesia
Kekalahan militer Jepang membuatnya hengkang dari Indonesia. Hal ini membuka peluang Belanda kembali berambisi menguasai. Sehingga mereka tidak mampu mengirimkan pasukan bantuan dari Eropa ke Indonesia. Belanda pun melakukan persiapan besar-besaran di Australia dan Sri Lanka untuk kembali ke Indonesia.
Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat maupun udara, yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan Indonesia. Setelah diangkat mejadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda, Letjen Spoor sebagai komandan KNIL di Hindia Belanda mengemukakan rencananya membentuk pasukan infanteri berkualifikasi komando serta pasukan payung (parasutis) yang memperoleh pelatihan istimewa.
Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek dipanggil dari Sri Lanka untuk membuka School Opleiding Parachutisten (Sekolah Penerjun Payung) pada 15 Maret 1946. Agar tidak tercium pihak Republik, kamp pelatihan ditempatkan di Papua Barat. Bulan April, lokasi pelatihan dipindah ke Hollandia (Jayapura) dari Biak. Sekolah parasutis menempati sebuah bangunan rumah sakit milik Amerika yang telah ditinggalkan pasukan Jenderal Douglas MacArthur.
Ternyata Visser menyukai hidup di Indonesia. Meskipun kondisinya sangat berbeda dengan kehidupan di Eropa. Ia sempat pulang ke Inggris menemui keluarganya dan meminta istrinya, perempuan Inggris yang dinikahinya semasa PD II serta keempat anaknya, untuk ikut ke Indonesia bersamanya. Karena sang istri menolak, Visser memilih untuk bercerai. Tahun 1947, Visser kembali ke Indonesia.
Ternyata sekolah yang dipimpinnya sudah pindah ke Batujajar, Cimahi, Bandung. Tidak lama, Visser dipromosikan menjadi kapten dengan jabatan Pelatih Kepala. Dalam kurun 1947-1949, sekolah yang dipimpinnya terus mencetak peterjun militer.
Tahun 1949, Visser memutuskan keluar dari dunia militer dan memilih menetap di Indonesia sebagai warga sipil. Meskipun keputusan ini mengandung risiko tinggi karena saat itu sikap kebencian serta anti-Belanda tertanam kuat dalam setiap diri orang Indonesia.
Meskipun Visser berbaret merah, tetap saja tidak ada yang bisa menjamin keamanan mantan perwira penjajah di negeri bekas jajahannya ini. Namun ia tak gentar. Ia memilih menetap di sebuah lahan pertanian di daerah Lembang, Bandung. Di daerah sejuk ini pula fase kedua dalam kehidupannya di mulai, dengan memutuskan memeluk agama Islam dan menikahi kekasihnya, seorang perempuan Sunda. Sejak itu, Visser dikenal dengan Mochammad Idjon Djanbi.
Cetak pasukan komando
Suatu hari di tahun 1951, rumah Idjon Djanbi kedatangan seorang perwira muda. Si tamu memperkenalkan diri sebagai Letnan Dua Aloysius Sugianto dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Dalam pertemuan itu Idjon Djanbi diminta sebagai pelatih tunggal untuk melatih komando di pendidikan CIC II (Combat Inteligen Course) Cilendek, Bogor.
Tidak mudah membujuknya, sebab ia sudah hidup tenang di pedesaan sebagai petani bunga. Letda Sugianto tak kurang akal, dirinya sampai harus bermalam dua dua hari di situ. Usaha yang tak sia-sia karena akhirnya Idjon Djanbi bersedia sebagai pengajar sipil selama masa pendidikan tiga bulan. Usai pendidikan CIC II, Idjon Djanbi kembali menekuni profesi sebelumnya.
Tanggal 2 November 1951, Kolonel Kawilarang mendapat tugas baru menjadi Panglima Tentara & Teritorium III/Siliwangi, Jawa Barat. Kawilarang ingin mewujudkan cita-cita rekan seperjuangannya Letkol Slamet Rijadi untuk membentuk pasukan berkualifikasi komando. Pasukan khusus semakin dibutuhkan untuk menghadapi rongrongan DII/TII pimpinan Kartosowiryo di wilayah Jawa Barat yang semakin meningkat. Gagasan ini sulit terwujud tanpa menemukan pelatih berkualifikasi komando.
Akhirnya Kawilarang memperoleh informasi soal Idjon Djanbi. Ia lalu memanggil mantan ajudannya Letda Sugiyanto yang sudah pernah dididik Idjon Djanbi. Terhitung 1 April 1952, atas keputusan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, memutuskan bahwa Idjon Djanbi diangkat menjadi mayor infanteri TNI AD dengan NRP 17665. Lalu ia lapor diri kepada Kolonel Kawilarang selaku Panglima Komando Tentara & Terirorium III/Siliwangi untuk menerima tugas.
Mayor (Inf) Idjon Djanbi segera melatih kader perwira dan bintara untuk membentuk pasukan khusus. Tanggal 16 April 1952 dibentuklah pasukan khusus dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi disingkat Kesko III di bawah komando Mayor Inf Idjon Djanbi. Inilah tanggal yang dijadikan hari jadi Kopassus hingga saat ini.
Satu tahun kemudian Satuan yang baru dibentuk ini diambil alih kendalinya langsung di bawah Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Tanggal14 Januari 1953, Kesko III berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD). Lanjut pada 25 Juli 1955, KKAD berubah nama menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah komando Mayor Mochammad Idjon Djanbi.
Setahun kemudian, RPKAD menyelenggarakan pelatihan terjun payung pertama. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pasukan komando di Margahayu Bandung. Langkah ini diambil karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang besar. Idjon Djanbi menginginkan prajurit RPKAD memiliki bekal sebagai pasukan payung, sehingga dapat digerakkan ke medan operasi menggunakan pesawat.
Dibuang
Masih di tahun 1956, pimpinan MBAD melihat celah untuk mengambil alih kepemimpinan RPKAD ke orang Indonesia. Buntutnya, Mayor Idjon Djanbi ditawari jabatan baru yang jauh dari urusan pelatihan komando dengan menjadi koordinator Staf Pendidikan pada Inspektorat Pendidikan dan Latihan (Kobangdiklat). Idjon Djanbi meminta pensiun dini akhir 1957. Idjon Djanbi yang telah menjadi WNI diberi jabatan mengepalai perkebunan milik asing yang telah dinasionalisasi.
Selepas dari sana ia berbisnis di bidang pariwisata dengan usaha penyewaan bungalow di Kaliurang, Yogayakarta.
Suatu hari di tahun 1977, Idjon Djanbi mengendarai mobil bersama keluarganya berlibur ke Yogyakarta. Tiba di sana, ia mengeluhkan sakit hebat di bagian perutnya. Keluarga segera membawanya ke rumah sakit Panti Rapih. Hasil diagnosa dokter diketahui bahwa Idjon Djanbi mengalami usus buntu dan harus dioperasi. Usai dua minggu dioperasi tidak kunjung sembuh malah bertambah parah. Ternyata usus besarnya turut bermasalah, sehingga jiwanya tidak tertolong lagi.
Idjon Djanbi tutup usia di rumah sakit Panti Rapih pada 1 April 1977. Keluarga memutuskan memakamkannya di TPU Yogyakarta. Idjon Djanbi dikebumikan jauh dari tembakan salvo penghormatan sebagai Bapak Kopassus Indonesia yang sangat berjasa mencetak Pasukan Komando berkelas dunia yang kini dikenal dengan nama Kopassus. (**ian)
Author: Eka HindraKisah Bapak Kopassus Idjon Djanbi ditandu kejar Kartosuwiryo
Merdeka.com - 12 Anggota Kopassus menjalani persidangan pertama di Pengadilan Militer Yogyakarta. Serda Ucok Tigor Simbolon, didakwa menjadi eksekutor yang menewaskan Dekky dkk di Lapas Cebongan. Rekan-rekannya didakwa karena membantu eksekusi itu.
Mereka menuntut balas kematian Serka Heru Santoso yang dihajar hingga tewas di Hugo's Cafe. Ucok hutang budi pada Serka Heru. Rasa jiwa korsa atau kebanggaan terhadap korps juga mendorong mereka menyerang. "Masak Kopassus kalah sama preman?"
Ada cerita menarik soal Bapak Kopassus Mayor Idjon Djanbi dan jiwa korsa ini. Mayor Idjon Djanbi adalah pensiunan Korps Speciale Troepen, pasukan komando Belanda. Nama aslinya Kapten Rokus Bernandus Visser.
Dia bersimpati pada perjuangan Republik Indonesia. Visser meninggalkan dinas ketentaraan, masuk Islam lalu mengubah namanya menjadi Mohammad Idjon Djanbi. Dia lalu menikah dengan wanita Sunda dan jadi petani bunga di Lembang.
Sekitar tahun 1952, Komandan Teritorium Siliwangi Kolonel Alex Evert Kawilarang bercita-cita mendirikan sebuah pasukan elite untuk menumpas Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Saat itu pasukan reguler sulit bergerak lincah di hutan Jawa Barat yang masih sangat lebat.
Kawilarang pun memanggil Idjon Djanbi dan memaparkan rencananya, sekaligus meminta Idjon menjadi pelatih. Idjon menerima tawaran itu. Maka dia menjadi pelatih sekaligus komandan pasukan elite yang awalnya bernama Kesatuan Komando TT III Siliwangi.
Latihan yang diberikan sangat berat. Dari 400 calon siswa komando, kurang dari setengah yang dinyatakan lulus. Tapi latihan berat itu juga yang membuat persaudaraan dan kebanggaan pada korps menjadi sangat besar. Jiwa korsa atau Esprit de corps terbentuk di setiap dada prajuritnya. Begitu juga Idjon Djanbi. Dia bangga melihat anak didiknya.
"Mayor Idjon selalu mendampingi pasukannya saat berlatih. Dia hampir tak pernah absen di lapangan," kata Nadi, salah seorang mantan anak buah Idjon kepada merdeka.com.
Setelah latihan, mereka ditugaskan untuk menangkap Kartosuwiryo, pemimpin DI/TII yang bergerilya di belantara Jawa Barat. Pasukan itu dipimpin Letnan Satu Fadillah. Mayor Idjon Djanbi turut serta bersama Komandan TT III Siliwangi Kolonel Kawilarang.
Dalam buku memoarnya, Kawilarang menceritakan pengejaran di bulan Oktober 1955 itu. DI/TII bukan gerilyawan sembarangan, mereka sudah bertahun-tahun hidup di hutan. Sebagian masyarakat juga mendukung gerakan itu sehingga mereka mudah bergerak.
Kawilarang menemukan fakta Kartosuwiryo selalu mendirikan kamp di tengah pepohonan bambu. Jadi saat musuh mendekat mereka tahu dari gesekan di rumpun bambu.
"Mayor MI Djanbi jatuh sakit dalam patroli ini dan harus digotong," beber Kawilarang.
Pengejaran itu sudah sangat dekat dengan Kartosuwiryo. Tapi saat itu nasib baik berpihak pada sang Imam. Banjir besar menghalangi pasukan Komando itu bergerak. Sebenarnya jika mereka menerjang maju, mungkin mereka bisa menangkap Kartosuwiryo.
"Kami tidak mau mengambil risiko. Beberapa bulan sebelumya dua anggota komando hanyut dalam suatu operasi," kata Kolonel Kawilarang.
Maka Kawilarang memutuskan meninggalkan tempat itu. Kartosuwiryo pun lolos.
Kartosuwiryo baru tertangkap 4 Juli 1962, tujuh tahun setelah patroli yang digelar Kawilarang dan Idjon Djanbi. Pasukan yang berhasil menangkap Kartosuwiryo Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi, di bawah Komandan Kompi Letnan Dua (Letda) Suhanda.
Kartosuwiryo diadili secara kilat dan ditembak mati di sebuah pulau di Kepulauan Seribu.
Mereka menuntut balas kematian Serka Heru Santoso yang dihajar hingga tewas di Hugo's Cafe. Ucok hutang budi pada Serka Heru. Rasa jiwa korsa atau kebanggaan terhadap korps juga mendorong mereka menyerang. "Masak Kopassus kalah sama preman?"
Ada cerita menarik soal Bapak Kopassus Mayor Idjon Djanbi dan jiwa korsa ini. Mayor Idjon Djanbi adalah pensiunan Korps Speciale Troepen, pasukan komando Belanda. Nama aslinya Kapten Rokus Bernandus Visser.
Dia bersimpati pada perjuangan Republik Indonesia. Visser meninggalkan dinas ketentaraan, masuk Islam lalu mengubah namanya menjadi Mohammad Idjon Djanbi. Dia lalu menikah dengan wanita Sunda dan jadi petani bunga di Lembang.
Sekitar tahun 1952, Komandan Teritorium Siliwangi Kolonel Alex Evert Kawilarang bercita-cita mendirikan sebuah pasukan elite untuk menumpas Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Saat itu pasukan reguler sulit bergerak lincah di hutan Jawa Barat yang masih sangat lebat.
Kawilarang pun memanggil Idjon Djanbi dan memaparkan rencananya, sekaligus meminta Idjon menjadi pelatih. Idjon menerima tawaran itu. Maka dia menjadi pelatih sekaligus komandan pasukan elite yang awalnya bernama Kesatuan Komando TT III Siliwangi.
Latihan yang diberikan sangat berat. Dari 400 calon siswa komando, kurang dari setengah yang dinyatakan lulus. Tapi latihan berat itu juga yang membuat persaudaraan dan kebanggaan pada korps menjadi sangat besar. Jiwa korsa atau Esprit de corps terbentuk di setiap dada prajuritnya. Begitu juga Idjon Djanbi. Dia bangga melihat anak didiknya.
"Mayor Idjon selalu mendampingi pasukannya saat berlatih. Dia hampir tak pernah absen di lapangan," kata Nadi, salah seorang mantan anak buah Idjon kepada merdeka.com.
Setelah latihan, mereka ditugaskan untuk menangkap Kartosuwiryo, pemimpin DI/TII yang bergerilya di belantara Jawa Barat. Pasukan itu dipimpin Letnan Satu Fadillah. Mayor Idjon Djanbi turut serta bersama Komandan TT III Siliwangi Kolonel Kawilarang.
Dalam buku memoarnya, Kawilarang menceritakan pengejaran di bulan Oktober 1955 itu. DI/TII bukan gerilyawan sembarangan, mereka sudah bertahun-tahun hidup di hutan. Sebagian masyarakat juga mendukung gerakan itu sehingga mereka mudah bergerak.
Kawilarang menemukan fakta Kartosuwiryo selalu mendirikan kamp di tengah pepohonan bambu. Jadi saat musuh mendekat mereka tahu dari gesekan di rumpun bambu.
"Mayor MI Djanbi jatuh sakit dalam patroli ini dan harus digotong," beber Kawilarang.
Pengejaran itu sudah sangat dekat dengan Kartosuwiryo. Tapi saat itu nasib baik berpihak pada sang Imam. Banjir besar menghalangi pasukan Komando itu bergerak. Sebenarnya jika mereka menerjang maju, mungkin mereka bisa menangkap Kartosuwiryo.
"Kami tidak mau mengambil risiko. Beberapa bulan sebelumya dua anggota komando hanyut dalam suatu operasi," kata Kolonel Kawilarang.
Maka Kawilarang memutuskan meninggalkan tempat itu. Kartosuwiryo pun lolos.
Kartosuwiryo baru tertangkap 4 Juli 1962, tujuh tahun setelah patroli yang digelar Kawilarang dan Idjon Djanbi. Pasukan yang berhasil menangkap Kartosuwiryo Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi, di bawah Komandan Kompi Letnan Dua (Letda) Suhanda.
Kartosuwiryo diadili secara kilat dan ditembak mati di sebuah pulau di Kepulauan Seribu.
Akhir tragis karier Idjon Djanbi, bapak Kopassus TNI AD
Merdeka.com - Siapa pemilik akun facebook 'Idjon Djanbi' yang menyebarkan analisa soal penyerangan Lapas Cebongan, belum terungkap. Dalam notesnya, 'Idjon Djanbi' memaparkan temuan dan menuding bukan Kopassus yang menembak mati empat tahanan itu, tetapi polisi. Tentu kebenarannya masih harus diuji dan layak diperdebatkan.
Idjon Djanbi asli adalah nama pemilik komandan pertama pasukan elite TNI AD yang kini bernama Kopassus. Komandan Teritorium III Siliwangi Kolonel Kawilarang meminta Mohammad Idjon Djanbi membangun pasukan komando. Pasukan kecil yang tangguh dan mampu bertempur di segala medan.
Dulunya Idjon Djanbi bernama Kapten Rokus Bernandus Visser. Mantan komandan sekolah terjun payung Belanda. Dia anggota pasukan elite Belanda yang akhirnya bersimpati pada perjuangan Indonesia. Visser kemudian keluar dari tentara Belanda. Menikah dan masuk Islam. Dia mengganti namanya menjadi Mohammad Idjon Djanbi dan menjadi petani bunga di Lembang.
Ketika diminta kembali memimpin dan mendirikan Kesatuan Komando Teritorium III tahun 1952, bukan perkara mudah. Tak ada sumber daya manusia, peralatan dan dukungan dana. Tetapi pelan-pelan Idjon Djanbi mewujudkan sebuah pasukan komando yang handal dengan cucuran keringat dan tetesan darah.
Ternyata tak semua suka kepadanya. Walau sudah masuk Islam, menjadi warga negara Indonesia dan menjadi perwira TNI, tetap saja Idjon dianggap sebagai orang Belanda. Periode 1950an, sentimen itu memang tinggi. Apalagi Idjon Djanbi diangkat menjadi Mayor. Pangkat yang cukup tinggi kala itu.
Desas-desus Idjon Djanbi adalah mata-mata Belanda kerap dihembuskan sejumlah perwira yang iri. Inisial MID, Mohammad Idjon Djanbi sering dikaitkan dengan Militaire Inlichtingen Dienst, dinas intelijen militer Belanda.
"MID, itu katanya singkatan dari intelijen Belanda. Sering ada bisik-bisik itu dulu. Tapi saya tak percaya, banyak teman-teman juga tak percaya. Kalau yang muda-muda memang banyak yang percaya lalu jadi berbeda terhadap Pak Idjon," kata Nadi (86), seorang pensiunan pasukan elite didikan Idjon saat berbincang dengan merdeka.com.
Soal tudingan mata-mata ini juga digambarkan dalam Dalam buku Inside Indonesia's Special Forces yang ditulis Ken Conboy.
Salah satu perwira muda yang tak menyukai Idjon Djanbi adalah Letnan Benny Moerdani (kelak Panglima ABRI), yang baru lulus sekolah jadi instruktur. Benny mencurigai komandannya ini sebagai mata-mata. Tentu tak ada cukup bukti untuk membuktikan itu.
Sejumlah orang yang tak suka pada Idjon terus bergerak. Setelah Kesko TNI menjadi besar, keinginan mereka untuk mendepak Idjon semakin kuat. Kesempatan itu datang tahun 1956, Idjon digeser ke posisi yang tidak nyaman di pusat pelatihan.
Dia tahu dirinya disingkirkan, Idjon marah. Harga dirinya sebagai perwira terusik. Dia meminta keluar dari TNI dan dari kesatuan yang sangat dicintainya. Padahal susah payah Idjon membangun pasukan komando kebanggan Siliwangi itu benar-benar dari nol.
"Saya pribadi yakin Pak Idjon bukan mata-mata Belanda. Dulu dia sudah memilih keluar dri tentara Belanda dan memihak TNI. Dia juga sudah jadi petani bunga di lembang ketika bertemu Pak Kawilarang," kata Nadi.
Idjon Djanbi digantikan wakilnya, Mayor Djailani. Dia memilih bekerja di perkebunan di sekiar Cianjur. Kariernya sebagai tentara dengan sederet prestasi berakhir sudah.
Setelah pensiun, tak jelas kelanjutan berita soal Idjon Djanbi. Begitu juga soal akhir hidupnya. Akhir kariernya tak secemerlang pasukan yang kini dikenal sebagai salah satu pasukan elite terbaik dunia.
Idjon Djanbi asli adalah nama pemilik komandan pertama pasukan elite TNI AD yang kini bernama Kopassus. Komandan Teritorium III Siliwangi Kolonel Kawilarang meminta Mohammad Idjon Djanbi membangun pasukan komando. Pasukan kecil yang tangguh dan mampu bertempur di segala medan.
Dulunya Idjon Djanbi bernama Kapten Rokus Bernandus Visser. Mantan komandan sekolah terjun payung Belanda. Dia anggota pasukan elite Belanda yang akhirnya bersimpati pada perjuangan Indonesia. Visser kemudian keluar dari tentara Belanda. Menikah dan masuk Islam. Dia mengganti namanya menjadi Mohammad Idjon Djanbi dan menjadi petani bunga di Lembang.
Ketika diminta kembali memimpin dan mendirikan Kesatuan Komando Teritorium III tahun 1952, bukan perkara mudah. Tak ada sumber daya manusia, peralatan dan dukungan dana. Tetapi pelan-pelan Idjon Djanbi mewujudkan sebuah pasukan komando yang handal dengan cucuran keringat dan tetesan darah.
Ternyata tak semua suka kepadanya. Walau sudah masuk Islam, menjadi warga negara Indonesia dan menjadi perwira TNI, tetap saja Idjon dianggap sebagai orang Belanda. Periode 1950an, sentimen itu memang tinggi. Apalagi Idjon Djanbi diangkat menjadi Mayor. Pangkat yang cukup tinggi kala itu.
Desas-desus Idjon Djanbi adalah mata-mata Belanda kerap dihembuskan sejumlah perwira yang iri. Inisial MID, Mohammad Idjon Djanbi sering dikaitkan dengan Militaire Inlichtingen Dienst, dinas intelijen militer Belanda.
"MID, itu katanya singkatan dari intelijen Belanda. Sering ada bisik-bisik itu dulu. Tapi saya tak percaya, banyak teman-teman juga tak percaya. Kalau yang muda-muda memang banyak yang percaya lalu jadi berbeda terhadap Pak Idjon," kata Nadi (86), seorang pensiunan pasukan elite didikan Idjon saat berbincang dengan merdeka.com.
Soal tudingan mata-mata ini juga digambarkan dalam Dalam buku Inside Indonesia's Special Forces yang ditulis Ken Conboy.
Salah satu perwira muda yang tak menyukai Idjon Djanbi adalah Letnan Benny Moerdani (kelak Panglima ABRI), yang baru lulus sekolah jadi instruktur. Benny mencurigai komandannya ini sebagai mata-mata. Tentu tak ada cukup bukti untuk membuktikan itu.
Sejumlah orang yang tak suka pada Idjon terus bergerak. Setelah Kesko TNI menjadi besar, keinginan mereka untuk mendepak Idjon semakin kuat. Kesempatan itu datang tahun 1956, Idjon digeser ke posisi yang tidak nyaman di pusat pelatihan.
Dia tahu dirinya disingkirkan, Idjon marah. Harga dirinya sebagai perwira terusik. Dia meminta keluar dari TNI dan dari kesatuan yang sangat dicintainya. Padahal susah payah Idjon membangun pasukan komando kebanggan Siliwangi itu benar-benar dari nol.
"Saya pribadi yakin Pak Idjon bukan mata-mata Belanda. Dulu dia sudah memilih keluar dri tentara Belanda dan memihak TNI. Dia juga sudah jadi petani bunga di lembang ketika bertemu Pak Kawilarang," kata Nadi.
Idjon Djanbi digantikan wakilnya, Mayor Djailani. Dia memilih bekerja di perkebunan di sekiar Cianjur. Kariernya sebagai tentara dengan sederet prestasi berakhir sudah.
Setelah pensiun, tak jelas kelanjutan berita soal Idjon Djanbi. Begitu juga soal akhir hidupnya. Akhir kariernya tak secemerlang pasukan yang kini dikenal sebagai salah satu pasukan elite terbaik dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar