Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Jumat, 05 Januari 2018

Filosofi Gamelan Sunda

KENDANG, atau gendang adalah silib-siloka dari sosok Lembu (Sapi) ataupun Kerbau (Munding) sebagai lambang kesuburan Bumi Nusantara. Hal ini berkaitan juga dengan keberadaan wilayah Karesian yang menjadi bagian terluar dari konstelasi negeri Pa-Ra-Hyang dalam konsep pemerintahan Galuh Agung.
SARON, adalah perlambang dari “gelombang air” ataupun wilayah kelautan. Hal ini berhubungan erat dengan bentuk kewilayahan Galuh (Nusantara) sebagai negeri  Maritim.
Dalam susunan kebendaannya, alat bunyi Gamelan Degung ini telah menunjukan tentang kualitas kewilayahan (potensi negara) yang berkaitan erat dengan keberadaan ‘agama’ atau ajaran Sunda. Secara implisit kelengkapan alat bunyi tersebut telah menjadi bentuk lambang sistem ketata-negaraan beserta tingkat kekuasaan di wilayah Galuh agung.
Gamelan Degung merupakan perwujudan “lambang dibalik  lambang” atau mengandung “makna di dalam makna” sebagai simbol berganda, dan hal ini telah menunjukan tingkat kecerdasan luarbiasa leluhur bangsa Galuh Agung pemangku ajaran Sunda.
Perlambangan dalam Gamelan Degung

BONANG, adalah perumpamaan dari jajaran pegunungan ataupun perbukitan yang menjadi ciri watak wilayah Bumi Nusantara.


Alat bunyi Bonang keberadaannya tidak seperti Goong, Rebab, dan Kendang yang secara umum terdapat dibeberapa wilayah Asia, bahkan disebagian wilayah Eropa. Jenis Bonang sebagai lambang jajaran gunung hanya terdapat di wilayah tertentu saja, khususnya di wilayah Galuh (Nusantara). Tentu saja hal tersebut berhubungan dengan pola penghormatan masyarakat Galuh terhadap “gunung” sebagai penyampai sumber kehidupan. Gunung adalah wilayah yang harus tetap terjaga keutuhannya “gunung kudu pageuh, teu meunang dirempag”.
 REBAB atau Ra-Babhu, adalah alat musik (bunyi) Gamelan Degung yang menempati posisi kedua setelah Gong. Bunyi yang dihasilkan oleh Ra-Babhu adalah suara “kokok” ayam jantan ketika menyambut terbitnya Matahari pagi. Ra-Babhu merupakan perumpamaan dari “Ayam” yaitu lambang Sang Hyang (Leluhur Agung).

Rebab (Ra-Babhu) sebagai lambang Hyang (Ayam)

Prinsipnya istilah “Rebab” dibangun dari dua kata yaitu RA dan BABHU yang artinya adalah;
–          RA = Sinar / Mahacahaya / Matahari
–          BABHU = yang Melayani
Maka, arti dan makna “Rebab” atau Rababhu itu adalah “Nu ngumawula ka Sang Hyang Manon” (yang Melayani Matahari), hal ini sangat erat kaitannya dengan bentuk Rebab yang merupakan representasi dari sosok “ayam jantan” sebagai perlambang para leluhur (Hyang) bangsa Galuh Agung.
Ayam jantan atau sering disebut sebagai “ayam jago” di masyarakat Nusantara jaman dahulu adalah bagian dari pola tanda kebudayaan (simbol kepercayaan), mereka memelihara dan merawatnya secara sungguh-sungguh seperti kepada keluarga sendiri. Hampir disemua tempat di wilayah Nusantara memiliki adat “sabung ayam” yang sebenarnya merupakan bagian dari upacara peringatan. Adu ayam atau sabung ayam adalah “pertaruhan kehormatan keluarga” (*bukan perjudian) tentang kesungguhan merawat/memelihara ayam jago itu sendiri. Namun jaman berobah dan upacara “sabung ayam” inipun maknanya telah bergeser dari pakem utamanya, dari “pertaruhan” berobah menjadi “perjudian”.
Masyarakat dunia pada umumnya sering menyebut Ayam Jago (jantan) itu sebagai Phoenix atau Burung Api atau Burung Matahari, dan mereka memaknainya sebagai siloka “keabadian” atau dengan kata lain setara dengan Hyang (Eyang, Leluhur).
Penggambaran ayam jago (Ra-Babhu) sebagai “Sang Pelayan Mahacahaya (matahari)” ini menyebar hampir keseluruh dunia seperti; China, Jepang, India, Timur-Tengah serta negara-negara Eropa.
 GONG atau Go’ong atau Gung, menempati derajat tertinggi dan paling mulia di antara seluruh peralatan Gamelan, sebab alat musik ini merupakan siloka (symbol) dari NAGA dan RA (Naga dan Matahari) atau jika disatukan menjadi NAGARA (‘negara’).
Gong sebagai lambang Naga-Ra
Bentuk lingkaran Gong adalah siloka dari Matahari (Sang Surya) atau dalam konsep ketatanegaraan leluhur bangsa Indonesia di jaman kerajaan sering disebut sebagai “RA”. Maka dari itu pula seluruh maharaja Nusanta-Ra memakai gelar RA-HYANG yang artinya Titisan atau Utusan atau Putra Matahari .
Itu sebabnya Nusanta-Ra mempergunakan BendeRa yang artinya adalah “Panji Matahari” atau tanda lambang kebesaran bangsa Galuh Agung. Bukti penggunaan Bende-Ra ini masih digunakan pada jaman Majapahit (Kadiri) sebagai tanda Karatuan Galuh Agung terakhir, mereka  mempergunakan Matahari sebagai Panji Naga-Ra.
Kebutaan bangsa Indonesia terhadap nilai ajaran leluhur bangsa pada saat ini tertampakan dari cara menyajikan Gong, mereka tidak lagi menempatkan bentuk NAGA pada tempat ‘menggantungnya’, mungkin karena mengira bahwa itu hanyalah hiasan semata yang tidak penting (tidak bermakna).
Akibat hal tersebut lambat laun kita (generasi penerus) semakin kehilangan pola penanda yang sesungguhnya mengandung makna mendalam tentang sejarah dan ajaran kenegaraan. Namun bisa juga karena generasi penerus (pewaris budaya Nusantara) sudah tidak peduli terhadap ajaran/agama leluhur bangsa Galuh Agung (Nusantara) akibat telah tergantikan oleh ajaran/agama importyang datang dari negara lain.
Maka bagi bangsa Indonesia jaman dulu pengertian “Bende-Ra” itu sama sekali berbeda dengan “flag” (bhs Inggris). Di jaman sekarang lambang tersebut (sang saka dwiwarna) diungkapkan melalui panji warna, MERAH yang berarti RA (Matahati) dan PUTIH berarti CAHAYA atau TERANG.

https://ncepborneo.wordpress.com/category/gamelan-degung/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar