Mengenai Ciung Wanara ada hal menarik dalam babad/sajarah/serat Jawa/bahan cerita tertulis, yaitu mengenai perpecahan Kerajaan Jawa Kuno (Galuh) di bagian barat Kerajaan Pakuan Pajajaran dan di sebelah timur Mojopahit..
Di Jawa Barat hal ini dikenal secara lisan dan didramatisir oleh Barden sebagai pantun-epos.. Di sini diambil ceritanya dari Babad Pakuan sumber agak tua (1862) dalam bahasa Sunda-Cirebon dalam garis besarnya: (Danasasmita et.al. 1977. Gesang Pupuh III – VI).
Raja Galuh (Tamperan Barmawijaya) membuang bayinya yang baru lahir ke sungai, karena takut kutukan seorang pertapa (Permana Dikusumah/Ki Ajar Padang) yang dibunuhnya. Kerajaan diperintah oleh putranya Aria Banga/Hariang Banga dan Tamperan Barmawijaya menarik diri mengawasi 800 pandai besi kerajaan (Pandhe dhomas/Panday Domas).
Anak buangan tadi dipungut dan dipelihara Aki Balangantrang (Arya Bimaraksa bin Jantaka bin Wretikendayun) dan istrinya (Ratu Komalasari binti Purbasora binti Wretikendayun) Waktu dewasa dia hendak mencari orang tuanya, tapi disuruh ke Lurah Ki Ajali, pamannya di ibukota. Di perjalanan dia ketemu burung Ciung dan Kera Wanara dan dinamakannya dirinya seperti itu.
Pada Ki Ajali dia cepat jadi ahli dan membuat senjata sakti dengan tangan dan ludah. Di kota dia memukul sang terlarang hingga ditangkap dan dihadapkan ke raja.
Setelah menuntut ayahnya bagian warisan, dia mendapat panday domas, yang disuruhnya membuat kandang besi. Ayahnya dikurung di sini dan kurungan dikunci dengan ludahnya.
Hal ini menyebabkan Aria Bangah mengajak tanding. Karena sama kuat dan sakti, Aria Bangah terdesak ke timur dan daerahnya dinamakan Mojopahit dan Ciung Wanara ke daerah Pakuan Pajajaran di bagian Barat. Perbatasan adalah Sungai Cipamali.
Di Jawa Barat hal ini dikenal secara lisan dan didramatisir oleh Barden sebagai pantun-epos.. Di sini diambil ceritanya dari Babad Pakuan sumber agak tua (1862) dalam bahasa Sunda-Cirebon dalam garis besarnya: (Danasasmita et.al. 1977. Gesang Pupuh III – VI).
Raja Galuh (Tamperan Barmawijaya) membuang bayinya yang baru lahir ke sungai, karena takut kutukan seorang pertapa (Permana Dikusumah/Ki Ajar Padang) yang dibunuhnya. Kerajaan diperintah oleh putranya Aria Banga/Hariang Banga dan Tamperan Barmawijaya menarik diri mengawasi 800 pandai besi kerajaan (Pandhe dhomas/Panday Domas).
Anak buangan tadi dipungut dan dipelihara Aki Balangantrang (Arya Bimaraksa bin Jantaka bin Wretikendayun) dan istrinya (Ratu Komalasari binti Purbasora binti Wretikendayun) Waktu dewasa dia hendak mencari orang tuanya, tapi disuruh ke Lurah Ki Ajali, pamannya di ibukota. Di perjalanan dia ketemu burung Ciung dan Kera Wanara dan dinamakannya dirinya seperti itu.
Pada Ki Ajali dia cepat jadi ahli dan membuat senjata sakti dengan tangan dan ludah. Di kota dia memukul sang terlarang hingga ditangkap dan dihadapkan ke raja.
Setelah menuntut ayahnya bagian warisan, dia mendapat panday domas, yang disuruhnya membuat kandang besi. Ayahnya dikurung di sini dan kurungan dikunci dengan ludahnya.
Hal ini menyebabkan Aria Bangah mengajak tanding. Karena sama kuat dan sakti, Aria Bangah terdesak ke timur dan daerahnya dinamakan Mojopahit dan Ciung Wanara ke daerah Pakuan Pajajaran di bagian Barat. Perbatasan adalah Sungai Cipamali.
Struktur Haksara pembentuk kata Ciung : Ca Ya Wa Nga.
Ca memakanai Cahaya
Ya memaknai Hurip atau kahirupan
Wa memaknai Salaput Tunggal atau Hawa atau Udara
Nga memakaai Nu Kawasa
Struktur Haksara pembentuk kata Wanara : Wa Na Ra
Wa memaknai Selaput Tunggal atau Hawa
Na memaknai Seuneu atau Nafsu
Ra memaknai Sinar atau Sorot.
Ca memakanai Cahaya
Ya memaknai Hurip atau kahirupan
Wa memaknai Salaput Tunggal atau Hawa atau Udara
Nga memakaai Nu Kawasa
Struktur Haksara pembentuk kata Wanara : Wa Na Ra
Wa memaknai Selaput Tunggal atau Hawa
Na memaknai Seuneu atau Nafsu
Ra memaknai Sinar atau Sorot.
Danikaya
Da = Wujud
Ni = Nya (Na + Ya) => Nu Hirup
Ka = Ta NaGa Ya
Ya = Hurip
yang artinya Nu Hurip di dunya kudu ca'ang (bersih suci), melepaskan dari Nafsu Duniawi = Ca'ang atau Pencerahan.
Da = Wujud
Ni = Nya (Na + Ya) => Nu Hirup
Ka = Ta NaGa Ya
Ya = Hurip
yang artinya Nu Hurip di dunya kudu ca'ang (bersih suci), melepaskan dari Nafsu Duniawi = Ca'ang atau Pencerahan.
- Ciung Wanara mempunyai arti Monyet anu geus Ca'ang.
- Ciung Wanara mempunyai arti monyet anu geus Ca'aang yang mendapatkan gelar Guru Minda, yang minda/pindah rupa dari wanara (sifat kahewanan).
- Ciung mempunyai makna Ca'ang dalam konotasi ajaran udagan kasamapurnaan melepaskan segala nafsu duniawi. Yang Niti Harti, Niti Surti, Niti Bakti, Niti Bukti, Niti kasajatiannya. Ajaran Ciung Wanara merupakan ajaran kasiliwangian yaitu : Silih Asuh, Silih Asih dan Silih Asah.
Ringkasnya Ciung (Chi-Hung) artinya Ca'ang (tercerahkan), Wanara disilibkeun untuk manusia yang mempunyai sifat kehewanan. Jadi Ciung Wanara diartikan manusia yang sudah Ca'ang (tercerahkan) dari sifat kahewanan, dengan elmu, akhlaq dan amal (tata di salira, tata di Nagara dan Tata di Buana).
Niti Harti : Ciung Bermakna Manuk. Perupaan bilahnya sebagai bentuk substansi atau esensi dari bentuk burung.
Niti Surti : Asal kata "Ciung" dari Manu yang bermakna manusia. Pemaknaan terhadap gelar manusia bersih atau yang sudah mendapatkan pencerahan (dalam bahasa Sunda Ca'ang), makna dari "Ca'ang" bermakna bersih yang menunjuk pada seorang raja. Kata "Ciung" merupakan personifikasi burung, yang bermakna sesuatu yang ada di angkasa atau alam atas. Esensi makna dari Ciung adalah kata "Ca'ang", mengarahkan pada Buana Nyuncung, yang merupakan tempat yang paling tinggi kedudukannya. Buana Nyungcung merupakan tempat para hyang atau para wali nagara yang sudah purna atau sampurna.
Niti Bukti : Dalam konteks kenegaraan purba, kata "Ciung" merupakan landasan filosofis bangsa dan negara. Ciung Wanara mendirikan kerajaan Galuh di Panjalu, periode Banjarnagara yang dikenal Banjar Pataruman, karena keilmuannya Ciung Wanara menjadi Kerta (ajaran) => Nagara Kerta Gama (ajaran atau tatanan negara yang berlandaskan nilai-nilai luhur agama).
Niti Bukti : Manusia yang sudah mencapai tingkat Ca'ang ini memberikan contoh berupa ajaran kepada masyarakat melalui perilakunya. Data sejarah yang memperkuat nama dapuran kujang Ciung, antara lain : Raden Manarah (sang Manarah), Mangkubumi Surapati, Ciung Wanara hingga setelah berhasil berkuasa bergelar Kuda Lelean. Sundapura dan Galuh bersatu melalui perjanjian Galuh tahun 739 M atau 661 Saka. Pada saat itulah wilayah Jawa Kalwan atau Jawa Kulon disebut kerajaan Mangkukuhan.
Pada waktu itu disalah satu tempat bertapanya, prabu Kuda Lelean mendapat ilham untuk merancang ulang bentuk perupaan kujang dengan menyeseuaikan bentuknya dengan bentuk dari "Djawa Dwipa", yang dikenal dengan nama Pulo Jawa saat ini.
Niti Sajati : Ajaran Ciung Wanara menjadi keilmuan baru yang dijadikan pedoman-pedoman untuk raja-raja sunda pajajaran berikut.
http://cipakudarmaraja.blogspot.co.id/2017/03/makna-nama-ciung-wanara.html
Pada waktu itu disalah satu tempat bertapanya, prabu Kuda Lelean mendapat ilham untuk merancang ulang bentuk perupaan kujang dengan menyeseuaikan bentuknya dengan bentuk dari "Djawa Dwipa", yang dikenal dengan nama Pulo Jawa saat ini.
Niti Sajati : Ajaran Ciung Wanara menjadi keilmuan baru yang dijadikan pedoman-pedoman untuk raja-raja sunda pajajaran berikut.
http://cipakudarmaraja.blogspot.co.id/2017/03/makna-nama-ciung-wanara.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar