”Hana nguni hana mangke,tan hana nguni tan hana mangke, aya ma baheula aya tu ayeuna,hanteu ma baheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hanama tunggulna aya tu catangna.”
GardaIndo.top - Foto-foto helikopter serang AH-64E Apache Guardian milik Tentara Nasional Indonesia (TNI-AD) muncul secara online beberapa hari terakhir ini. Helikopter serang itu tampak sedang menjalani tes di Amerika Serikat.
Jakarta akan mendapat delapan unit AH-64E yang dipesan dari kesepakatan 1,42 miliar dollar Amerika Serikat, ini juga termasuk 140 peluru kendali anti-tank (ATGM) AHM-114R3 Hellfire-II, mesin cadangan, subsistem elektronik, pelatihan, suku cadang, simulator dan item pendukung lainnya. Nilai dari peralatan pertahanan utama ini sekitar 500 juta dollar Amerika Serikat.
Indonesia menandatangani kesepakatan tersebut pada bulan Agustus 2013 dan Boeing menerima pesanan 296 juta dollar Amerika Serikat untuk memproduksi AH-64E pada bulan Januari 2015. Indonesia akan bergabung dengan Qatar dan India sebagai pengguna baru Apache (yang terakhir bertanggung jawab untuk memproduksi helikopter Apache Guardian).
AH-64E akan digunakan TNI-AD sebagai dukungan udara jarak dekat dalam operasi kontra pemberontakan dan pembajakan.
Jakarta sedang mengupayakan modernisasi komprehensif untuk angkatan bersenjata mereka.
TNI-AD juga akan mendapatkan kendaraan lapis baja Kaplan MT (dikembangkan bersama oleh FNSS Turki dan PT Pindad Indonesia) untuk dipasangkan dengan AH-64E.
Angkatan Laut Indonesia akan mendapat tiga kapal selam Type 209 Chang Bogo dan kapal perang SIGMA 10514 berdasarkan pesanan dari Korea Selatan dan Belanda. Selain itu, Indonesia juga tertarik dengan kapal selam Type 214, Reis Class.
Angkatan Udara Indonesia juga menambah armada F-16 mereka melalui program Excess Defence Articles (EDA) Block-25. Mereka juga mengejar Sukhoi Su-35 dari Rusia, sebagaimana dilansir dari QUWA (21/05).
Kehebatan Rudal Hellfire
Lantas apa yang jadi keunggulan Hellfire untuk TNI AD? Rudal penghantar “api neraka” ini bergerak dengan pemandu laser semi aktif. Rudal dapat mencari target secara mendiri (autonomous), atau sasaran sudah ditentukan dengan penanda remote laser. Hellfire dilengkapi three–axis inertial measurement unit, memungkinkan rudal menyerang sasaran dari samping dan dari sisi belakang.
Hulu ledaknya dilengkapi dengan mode fragmentasi, yakni akan meledak sesaat sebelum mengenai sasaran. Hulu ledaknya bersifat multi purpose dengan kombinasi kemampuan HEAT, metal augmented charge dan shaped charge, artinya rudal sanggup menghajar sasaran berupa hard, soft, dan enclosed target. Rudal yang per unitnya dibandrol US$99.600, punya jarak tembak mencapai 8.000 meter dengan kecepatan Mach 1.3 (1.591 Km per jam).
GardaIndo.top - Hubungan antara Indonesia dan Vietnam tengah panas. Itu setelah insiden penghadangan dan penangkapan awak kapal patroli Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Natuna di perairan Natuna.
“Petugas bernama Gunawan itu ditahan saat menindak kapal-kapal nelayan Vietnam yang kedapatan mencuri ikan di laut Natuna,” ujar Koordinator pengawas PSDKP Natuna Syaiful Anam kepada Batam Pos (Jawa Pos Group) Selasa.
Insiden penahanan awak kapal patroli ‘Hiu Macan’ tersebut terjadi di perairan Natuna sekitar pukul 04.00 WIB. Saat itu ‘Hiu Macan’ sedang berupaya mengamankan beberapa kapal ikan yang mencuri ikan di perairan Natuna.
Syaiful Anam mengaku sudah melaporkan kasus ini ke pusat. Dan saat ini sedang terjadi upaya dari pusat agar awak PSDKP yang ditahan segera dipulangkan pihak Coast Guard Vietnam.
“Saya tak punya wewenang, sudah urusannya pusat. Seperti apa kejadiannya tidak bisa disampaikan. Konfirmasi ke Pangkalan PSDKP di Batam atau ke pusat,” ujar Syaiful ditemui di kantor Kejakaan Negeri Natuna.
Seorang sumber Batam Pos mengatakan sebelum insiden terjadi, kapal pengawas Hiu Macan 01 berhasil mengamankan lima kapal ikan nelayan asing berbendera Vietnam di perairan Natuna.
Diperkirakan ada sekitar 44 ABK dan nakhoda dan selanjutnya diamankan di kapal pengawas.
Sementara lima kapal ikan asing dijaga masing-masing satu petugas PSDKP. Tetapi kapal ikan KH 97579 yang dijaga Gunawan tiba-tiba ditabrak kapal coast guard Vietnam. Kapal itu pun rusak.
Saat itu Gunawan langsung memberikan informasi mengenai keberadaan coast guard Vietnam itu ke rekannya. Kapal Hiu Macan O1 pun datang dan mendekati posisi Gunawan. Kapal ikan KH 97579 itu ternyata sudah nyaris tenggelam.
Gunawan yang menjaga kapal ikan itu pun dikabarkan sudah ditangkap. Bahkan semua nelayan vietnam yang sempat diamankan di kapal ikan melompat dan berenang ke kapal coast guard Vietnam.
Bahkan coast guard Vietnam juga mendapat bantuan dari dua kapal lain yang tertangkap di radar. Dan akhirnya KP Hiu Macan 01 bergeser dari tempat kejadian perkara dan meninggalkan empat kapal ikan asing yang sempat diamankan
Satuan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam membenarkan salah satu kapal patroli milik PSDKP ditangkap oleh coast guard Vietnam di perairan Natuna. Satu orang anggota patroli yang berada di atas kapal juga ditahan oleh penjaga pantai Vietnam tersebut.
“Kami tak bisa beri komentar banyak karena ini sudah diambil alih pusat,” ujar Kepala seksi (Kasi) Penindakan dan Pengawasan PSDKP Batam Syamsu.
“Nanti ke sana saja konfirmasinya. Kami juga masih menunggu arahan dari pusat. Saat ini kami hanya bisa membenarkan saja. Satu orang anggota kami ditahan oleh mereka (penjaga pantai Vietnam),” katanya
Komandan Lantamal IV Tanjungpinang Kolonel Laut (p) R Eko Suyatno mengatakan pihaknya tengah mengerahkan KRI Patimura menuju tempat kejadian perkara di mana Gunawan ditangkap Coast Guard Vietnam di perairan Ranai.
Pengiriman KRI ini dalam bentuk dukungan penguatan kekauatan di perairan tersebut.
“Nantinya juga akan dikirim lagi satu kapal lagi. Kemungkinan itu KRI Diponegoro atau KRI Hasanuddin. Dan semua ini sesuai dengan arahan dari Pangarmabar,” katanya.
Dari informasi yang didapat pihaknya, pemerintah pusat juga berusaha menghubungi otoritas Vietnam terkait kasus ini. Eko mengatakan Kemenlu sudah memanggil Dubes Vietnam, untuk mengkoordinasikan hal ini.
“Kalau tidak salah, kru PSDKP yang terbawa itu atas nama Gunawan,” tuturnya.
Hingga saat ini, Eko mengatakan pihaknya masih menunggu arahan dari pemerintah pusat. “Kami masih menunggu, informasi lebih lanjut nanti akan kami sampaikan,” ujarnya.
Menjadi pemimpin memang bukan perkara mudah, mengusai ilmu-ilmu kepemimpinan sangat dibutuhkan agar dapat mengelola anak buah ataupun bawahannya secara adil dan bijaksana. Asta Brata merupakan salah satu ajaran kepemimpinan yang banyak dikenal di tanah jawa, ajaran ini sering kali diceritakan lewat pertunjukan wayang kulit, misalnya ceria wayang dalam lakon Wahyu Makutha Rama. Kisah Wahyu Makutha Rama bercerita tentang wejangan Asta Brata dari Begawan Kesawasidhi kepada Harjuna.
Selain diceritakan dalam cerita wayang Wahyu Makutha Rama, Asta Brata juga terdapat dalam Kakawin Ramayana gubahan Empu Walmiki. Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa Asta Brata dibabar oleh Sri Rama kepada Gunawan Wibisana yang saat itu akan menjadi pemimpin (raja) Alengka menggantikan Rahwana yang tumbang karena dikalahkan pasukan Rama.
Asta Brata berisi delapan ajaran utama tentang kepemimpinan, dimana delapan ajaran tersebut mengambil dari sifat-sifat alam raya yang terdiri dari air (Tirta), Bintang (Kartika), Matahari (Surya), Rembulan (Candra), Angin (Samirana), Bumi ( Kisma), Laut (Baruna) dan Api (Agni).
Jika menilik dari Serat Rama yang ditulis pujangga Yasadipura I di Surakarta, Asta Brata digambarkan dengan delapan sifat Batara/Dewa yang menguasai delapan unsur alam. Dewa-dewa tersebut diantaranya Dewa Indra, Dewa Yama, Dewa Surya, Dewa Candra, Dewa Bayu, Dewa Kuwera, Dewa Baruna dan Dewa Brama.
1. Laku Hambeging indra
Laku hambeging indra, menjadi pemimpin hendaknya meneladani sifat dan karakter Batara Indra sebagai penguasa hujan/air. Sifat-sifat hujan/air diantaranya dia mampu memberi kesuburan dan kemakmuran, tidak pilih kasih, bisa memberi kesejukan dan mampu membersihkan sesuatu dari yang kotor. Pemimpin yang seperti air ia dibutuhkan oleh siapa saja, orang kaya, miskin, orang sakit, sehat dan lain sebagainya. Ia memilki kemampuan beradaptasi dengan menempatkan diri sesuai dengan wadahnya, ia selalu merendah dan mampu mengisi setiap celah.
2. Laku Hambeging Yama
Laku Hambeging Yama berarti menjadi pemimpin hendaknya meneladani sifat Dewa Yama. Dewa yama dalam budaya pewayangan jawa sering disebbut juga Batara Yamadipati. Dia adalah Dewa Pencabut Nyawa yang memiliki sifat tegas dalam menegakkan hukum, tidak pandang bulu, siapapun yang salah harus dikalahkan. Batara Yama sangat kuat dalam menegakkan undang-undang yang berlaku, Dia tak segan untuk mencabut nyawa demi keadilan. Pemimpin yang mampu menegakkan hukum secara tegas, ia akan disegani oleh rakyatnya dan ditakuti oleh mereka yang berbuat jahat. Keteguhan Batara Yama sebagaimana bintang, ia tidak bergeser dan mampu dijadikan sebagai petunjuk arah. Menjadi pemimpin yang dapat meneladani Batara Yama secara otomatis ia akan teguh setia pada peraturan yang ada, tak ada sistem tawar-menawar dalam menegakkan keadilan.
3. Laku Hambeging Surya
Laku Hambeging Surya berarti menjadi pemimpin hendaklah memiliki sifat seperti matahari (surya). Mampu memberi energi kepada alam semesta, menerangi kegelapan dan selalu “memberi tak harap kebali”. Sifat Bathara Surya adalah “lakuning palamarta” (welas asih). Belas kasihannya ditunjukkan dengan memberikan energi surya nya sebagai sumber kehidupan semua makhluk yang ada di bumi ini. Matahari melaksanakan tugasnya dengan sabar tetapi tuntas, mulai terbit di ufuk timur sampai tenggelam di barat dan akan kembali lagi pada keesokan harinya.
4. Laku Hambeging Candra
Laku Hambeging Candra merupakan cara memimpin dengan penuh keteduhan sebagaimana cahya rembulan. Ia menerangi, tidak panas, tapi penuh kesejukan. Banyak orang melambangkan rembulan sebagai tanda cinta, menjadi pemimpin dengan penuh cinta niscaya akan dicintai pula oleh rakyatnya karena mampu memberi kehidupan yang damai dan penuh ketenangan.
5. Laku Hambeging Maruta
Maruta adalah angin (udara). Menjadi pemimpin seharusnya bisa meniru sifat-sifat angin. Angin sebagaimana udara, ia mampu menelusup kesetiap ruang yang paling kecil sekalipun, memberi hidup dan dibutuhkan oleh siapapun yang hidup. Angin tidak terlihat namun bisa dirasakan kehadirannya. Begitu pula menjadi seorang pemimpin, meski tidak setiap saat bisa hadir secara fisik dihadapan rakyatnya, seorang pemimpin akan dirasakan hadir dengan berbagai kebijakannya.
6. Laku Hambeging Bumi
Laku Hambeging Bumi berarti seorang yang menjadi pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat seperti bumi (tanah). Ia bisa menjadi pijakan dan mampu memberi kehidupan untuk rakyatnya. Bumi mempunyai sifat kuat dan bermurah hati. Selalu memberi hasil kepada siapa pun yang mengolah dan memeliharanya dengan tekun. Apapun yang ditanam, apapun yang digali dari perut bumi, akan bermanfaat. Bumi tidak pernah minta balasan, bumi juga tidak pernah marah walaupun kita ludahi dan kencingi.
7. Laku Hambeging Baruna
Baruna berarti samudra, menjadi pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat seperti samudera. Ia memiliki wawasan yg luas, setiap hari menampung apapun dari segala penjuru. Ia mempunyai keluasan hati dan pandangan, dapat menampung semua aspirasi dari siapa saja tanpa pandang bulu. Samudra mencerminkan jiwa yang plural dalam bermasyarakat, tak membeda-bedakan dalam kehidupan yang majemuk.
8. Laku hambeging Agni
Menjadi pemimpin hendaknya memiliki sifat api (agni), yang selalu mampu memberi semangat pada rakyatnya. Api bisa menerangi yg gelap. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan harus bisa menegakkan kebenaran dan keadilan secara tegas dan tuntas tanpa pandang bulu.
Jinejer ing Wedhatama, mrih tan kemba kakembeng ing pambudi,mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi sepa lir sepah asamun,samasane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi
TEMBANG itu tertulis dalam Serat Wedhatama pupuh pertama, Pangkur, bait kedua. Pada pupuh pertama bait kedua inilah pintu pengantar tentang ajaran dalam serat agung karya Mangkunegoro IV (1811-1881) yang kira-kira terjemahan bebasnya adalah; ditulis dalam serat Wedhatama/agar jangan miskin pengetahuan/jika tidak memperhatikan tuntunan ini/meski sudah tua mereka tidak akan bertguna dan memalukan bagi dirinya sendiri maupun keluarganya di tengah masyarakat.
Serat Wedhatama adalah sastra tembang atau kidungan Jawa yang berisi ajaran kehidupan. Wedhatama, yang terdiri dari dua kata, wedha (ajaran) dan tama (keutamaan, kebaikan), berarti ajaran tentang kebaikan.
Menurut pemerhati Budaya Jawa asal Solo, Muchus Budi Rahayu, Mangkunegoro IV menulis kumpulan tembang luar biasa ini untuk mengingatkan para bangsawan yang kehidupannya galau dan limbung, terutama perilaku dan budi pekertinya. Bisa jadi, karena pada masa itu kekuasan keraton mulai habis dengan datangnya Belanda, di mana ketika itu wilayah kerajaan sudah dipecah-pecah, sehingga kekuasaan para raja, juga bangsawan, tak lagi sebesar sebelumnya.
“Saya kira, ketika itu para bangsawan mengalami dekandensi spiritual, moral dan sosial, sehingga lahirlah menulis syair-syair dahsyat ini. Mungkin Mangkunegoro berpikir, jika perilaku dan moral para orang tua buruk, bagaimana mereka bisa mendidik anak-anaknya menjadi baik?” ujar Muchus.
Serat Wedhatama sendiri terdiri dari empat pupuh (tembang) dengan 77 bait , yaitu Pangkur (14 bait), Sinom (18 bait), Pocung (15 bait), dan Gambuh (25 bait). Kondisi dekadensi para bangsawan ketika itu, membuat Mangkunegoro khawatir terhadap perilaku generasi mendatang.
Pupuh pertama bait pertama Wedhatama menyebut agama ageming aji sebagai pengingat bahwa di Tanah Jawa ini, raja, penguasa, termasuk para bangsawan adalah orang-orang yang beragama, sumber kebaikan, sehingga mampu meredam nafsu dan amarah agar bisa mengajarkan kebaikan kepada keturunannya.
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung/Kang tumrap neng tanah Jawa/
Agama ageming aji
Isi tembang ini mengajarkan kepada kita agar mengutamakan kepentingan umum dan selalu nggilut ngelmu agama. Lirik atau cakepan bait pertama itu mengandung pasemon agar kita selalu mingkar (menjauhi) dan mingkur (tidak mempedulikan) perilaku yang tidak terpuji yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi.
Dalam Pangkur, Mangkunegoro juga mengajak orang-orang untuk mencari ilmu kebaikan, dan kemudian mengamalkannya, agar di masa tua kelak mereka tetap terhormat, tidak sisa-sia seperti aji godhong jati aking (seharga daun jati kering) yang sama sekali tak berguna.
mrih tan kemba kakembeng ing pambudi
mangka nadyan tuwa pikun
yen tan mikani rasa
yekti sepi sepa lir sepah asamun
Kepada anak-anak muda yang terlanjur berperilaku buruk, bait terakhir atau bait 14 Pangkur mengajak mereka untuk merenung dan memasuki alam asal muasal. Yaitu perilaku yang tidak mengumbar nafsu duniawi, alam yang tidak saling menguasai.
Sajatine kang mangkono/wus kakenan nugrahaning Hyang Widi/
bali alaming ngasuwung/tan karem karamean/ingkang sipat wisesa winisesa/ wu mulih mula mulanira/mulane wong anom sami
Jika lewat Pangkur Wedhatama mengajarkan syariat kebaikan, maka dalam pupuh dua, Sinom, Mangkunegoro menyampaikan teladan kebaikan dari pendiri Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati, yang hendaknya ditiru oleh para bangsawan dan anak-anak muda.
Nulada laku utama/tumrape wong Tanah Jawi/Wong Agung ing Ngeksiganda/ Panembahan Senopati/kepati amarsudi/sudane hawa lan nepsu/pinesu tapa brata/ tanapi ing siyang ratri/amamangun karenak tyasing sesame
Terjemahan bebasnya kira-kira; Sebisamu, contohlah apa yang dilakukan Panembahan Senopati. Banyak dari kalian yang datang mesjid hanya untuk menyombongkan diri. Hanya untuk mencari pamrih dan mendapatkan pujian.
Bagi satria tanah Jawa, lanjut Wedhatama, sesungguhnya hanya memiliki tiga sikap, yaitu lila lamun kelangan nora gegetun, trima yen kataman sakserik sameng dumadi, dan trilegawa nalangsa srahing Batara. Artinya, ikhlas jika kehilangan tanpa menyesal, sabar jika hati disakiti sesama, dan lapang dada sambil berserah diri kepada Tuhan.
“Jangan seperti zaman nanti. Banyak anak muda yang menyombongkan diri dengan hafalan ayat. Belum memahami benar, tapi sudah berlagak pintar. Setiap kali mereka hanya meremehkan orang lain,” tulis Mangkunegoro dalam bait enam pupuh Pocung.
Gambuh, pupuh keempat atau pupuh terakhir dalam Wedhatama, mengajarkan tentang manembah (menyembah) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran yang terakhir ini sangat menonjol. Wedhatawama membagi ajaran penyembahan atau sembah menjadi empat, yaitu sembah raga (badaniyah), sembah cipta (pikiran), sembah jiwa dan sembah rasa.
Inti dari ajaran ini adalah bahwa sembah raga merupakan tingkat awal (syariat) atau pembuka dari laku–laku selanjutnya. Ajaran ini dijalankan dengan tindakan fisik (badaniah), antara lain badan harus bersih –dibersih dengan air. Badan harus sehat. Karena didalam badan yang sehat terkandung pikiran–pikiran yang sehat dan jernih. Badan harus tunduk pada kemauan pikir, bukan sebaliknya pikir hanya menuruti kemauan raga. Dalam Islam, menyembah dangan raga dilakukan dengan shalat lima waktu.
Ajaran kedua adalah sembah cipta atau sembah kalbu atau sembah pikir (tarekat). Wedhatama mengajarkan pikir harus dituntun ke jalan keselamatan atau kebahagiaan. Cipta dituntun untuk mencari inti rasa dari hidup, dan hawa nafsu harus dikendalikan, jangan dilbiarkan menjadi liar.
Sedangkan ajaran ketiga, yakni sembah jiwa, adalah sembah kepada Tuhan (hakekat). Pelaksanaan dari sembah ini, manusia harus dapat menyatukan diri antara makrokosmos (jagad besar) dengan mikrokosmos (jagad kecil). Selanjutnya “Aku”-mu lepas dari kedua jagad yang sudah melebur tersebut, untuk masuk kealam yang lain.
Ajaran sembah rasa adalah leburnya rasa pribadi dengan rasa semesta alam (marifat). Tahap ini hanya bias dicapai dengan hati yang bersih. Hanya mereka yang sudah tidak lagi mempunyai rasa takut dan percaya kepada takdir Allah serta berani menempuh kesengsaraan sajalah yang kuat menerima ajaran ini.
Puncak dari “laku” spiritual yang diajarkan serat Wedhatama adalah menemukan kehidupan yang sejati, lebih memahami diri sendiri, manunggaling kawula-Gusti, dan mendapat anugrah Tuhan untuk melihat rahasia kegaiban -meminjam istilah Gus Dur; dapat mengintip rahasia langit.
Ketua Jurusan Sastra Jawa UNS, Suparjo Mhum ajaran tentang budi pekerti ini sengaja digubah Mangkunegoro dalam bentuk tembang, agar mudah diingat dan lebih membumi.
“Ia meniru cara Sunan kalijaga dalam berdakwah menyampaikan kebaikan lewat budaya lokal,” kata Magister Filologi ini.
Puncak dari laku spiritual yang diajarkan Wedhatama, lanjut Suparjo, yaitu menyelaraskan yang lahir dan yang batin, kepentingan dunia dan kepentingan akhiratnya. Mengatur yang lahir dengan melakukan tatakrama dan etiket yang mengarah pada etika. Sedang mengatur yang batin dengan mengendalikan “angkara”, egoisme, dan hawa nafsu yang bercokol dalam diri manusia, yang merupakan penghalang jalan ke arah kesempurnaan.
“Kesempurnaan kita sebagai manusia itu diukur dari jauh dan dekatnya kita dengan sesama dan dengan Tuhan. Karena itu manusia harus tahu agama, harus tahu bagaiman bersikap dan berbuat terhadap sesama dan terhadap Tuhannya,” tambahnya.
Pilkada DKI Jakarta sudah selesai. Namun dampak dari panasnya pesta demokrasi di ibu kota masih terasa. Ironisnya hawa panas itu terjadi tidak hanya di Jakarta, tapi melebar ke berbagai wilayah di Indonesia.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakir mengkhawatirkan dampak negatif dari pilkada DKI Jakarta yang kental isu SARA. Kekhawatirannya terutama pada soal toleransi di Indonesia. Bukan hanya toleransi antarumat beragama, tapi juga antarsesama anak bangsa.
"Dari sekian banyak organisasi masyarakat di Indonesia, saya melihat hanya NU yang komitmennya kuat dan konsisten mengimplementasikan dan menggaungkan masalah toleransi. Yang lainnya tidak terdengar," katanya saat berziarah ke makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Tasikmalaya, Ahad (14/5).
Hampir seluruh organ yang ada ditubuh NU, kata Amin, bergerak menggaungkan sikap toleransi di Indonesia. Mulai dari lembaga-lembaga di bawahnya, sampai dengan banom (badan otonom) NU seperti halnya GP Ansor dan Banser.
NU melalui Banom dan lembaganya dengan tegas menolak segala gerakan radikal di Indonesia. Khususnya gerakan HTI yang dianggap intoleran karena condong ingin memaksakan mengubah sistem di Indonesia dengan khilafah Islamiyahnya.
"Anehnya ketika NU menggaung-gaungkan toleransi di tanah air, NU kerap menjadi sasaran serangan dan cemoohan masyarakat lainnya. Terutama kelompok-kelompok Islam radikal," ujar pria lulusan Ilmu Sejarah UGM yang tengah melakukan penelitian soal NU dan Minoritas di Tasikmalaya itu.
Alhasil, kata Amin, NU seolah sendirian menyikapi masalah toleransi yang saat ini sedang terancam di Indonesia. Padahal, ia menduga yang lainnya pun paham betul dengan kondisi tersebut.
"Andai kata tidak ada NU, mungkin toleransi di Indonesia ini sudah mati," ujarnya. (Nurjani/Abdullah Alawi)
Seorang petani tua menyemprotkan pestisida hama keong
Pengalaman masa kecil yang paling berkesan dan selalu diingat Nur Ainu Sulton (22) adalah saat ia diajak kedua orang tuanya ke sawah. Ia bertugas membawa bekal untuk orang-orang yang sedang panen. Ayahnya fokus di sawah, sedangkan ibunya lebih suka menanam beragam jenis bunga dan sayur.
Di sekolah menengah atas, ia pernah terkesima dengan salah seorang guru yang seorang lulusan ilmu pertanian. Di saat teman-temannya memainkan game yang sedang populer, ia pun bertahan pada game berbasis pertanian modern: Harvest Moon.
Usai tamat SMA di tahun 2012 ia merantau ke Yogyakarta untuk menimba ilmu di Program Studi Agronomi di Fakultas Pertanian UGM. Impiannya adalah menjadi petani sekaligus pengusaha agrobisnis yang sukses saat kembali ke kampung halamannya di Tulungagung, Jawa Timur. Sayang, saat ia hampir meluluskan diri, keluarga justru berharap agar ia menunda cita-cita tersebut.
“Keluargaku pingin lihat anaknya [kerja] di kantoran, berseragam, dan digaji tetap,” katanya kepada Tirto, diiringi sambil menyatakan keheranannya. Mulai dari ayah hingga neneknya adalah pengolah alam yang tekun. Namun, kini mereka bersikap ganjil, meminta Sulton tak menapaki jejak yang sama.
Sulton pun terancam sebaris dengan teman-teman satu jurusannya yang lain yang memilih profesi agak menyimpang dari visi misi fakultasnya. Teman-temannya di jurusan, kata Sulton, sangat sedikit yang menjalani profesi sebagai petani.
“Baru lima orang yang kukenal yang benar-benar jadi petani. Itu pun bukan dari angkatanku saja, tapi juga dari angkatan 2009, 2010, dan 2011. Masih di sektor perusahaan pertanian seperti sawit sih, tapi yang lain ujung-ujungnya ke bank, karyawan kantor, dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Penyebabnya ditengarai macam-macam. Ada yang senasib dengan Sulton, ada juga yang menilai keputusan tersebut “lebih realistis.” Sulton sendiri menilai calon petani mestinya memang tak alergi turun ke lapangan. Menurutnya, banyak lulusan fakultas pertanian dari berbagai kampus tak menjadi petani karena tak suka berpanas-panasan di lahan, tak suka kotor, dan lebih nyaman bekerja di kantor.
“[Mereka] enggak mau ambil resiko. Main aman dan tinggal nunggu gaji. Masuk akal memang sebab sekarang kalo mau mulai jadi petani resikonya cukup besar kalo mau untung yang besar juga. Istilahnya high risk, high revenue,” katanya.
Sulton sepakat bahwa keengganan menjadi petani kini mewabah di kalangan anak-anak muda Indonesia, baik sebagai lulusan fakultas pertanian maupun bukan. Kondisi inipun telah menjadi perhatian pemerintah pusat maupun daerah sejak lama. Salah satu gejala yang terlihat di banyak daerah yakni tingkat urbanisasi yang tinggi dan otomatis menganaktirikan bidang pertanian di desa.
Petani dianggap bukan profesi yang menjamin finansial di tengah naiknya harga-harga kebutuhan hidup, apalagi untuk investasi masa depan: biaya kuliah, cicilan rumah, pensiun. Bekerja di industri di pinggiran kota penyangga ibukota seperti Bekasi, Tangerang, atau Depok menjadi pilihan yang lebih menarik. Orang berbondong-bondong meninggalkan ciri agrarisnya sebab tak ada lagi penghidupan yang layak di dalamnya.
Empat tahun, silam Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan laporan bertajuk Sensus Pertanian 2013. Di dalam salah satu bagian publikasinya, BPS mendata jutaan petani di Indonesia untuk dikelompokkan berdasarkan usia. Dari total 26.135.469 petani yang kala itu terdata, kelompok usia 45-54 tahun rupanya memiliki jumlah absolut terbanyak yakni sebanyak 7.325.544 orang.
Jumlah terbesar kedua ada pada kelompok usia 35-44 tahun yakni 6.885.100 orang. Sedangkan untuk jumlah ketiga dan keempat ada di kelompok usia yang lebih tua lagi yakni 55-64 tahun sebanyak 5.229.903 petani dan kelompok usia lebih dari 65 tahun sebanyak 3.332.038 petani. Jumlah petani muda di kelompok 25-35 berjumlah 3.129.644, dan semakin ke bawah semakin sedikit. Kelompok usia 15-24 tahun berjumlah hanya 229.943 petani dan paling sedikit pada kelompok di bawah 15 tahun yakni 3.297 orang saja.
Angkatan muda yang tak tertarik mengolah lahannya membuat jumlah petani dalam kurun 2003-2013 jumlah petani menyusut hingga 5 juta orang. Jika bisa diringkas sesuai usia, 60,8 persen petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun. Usia produktif seseorang sudah menurun cukup drastis di usia demikian. Apalagi 73,97 persennya berpendidikan hanya sampai tingkat SD. Daya saing mereka tentu lebih rendah dalam strategi bertani gaya modern.
Tak hanya kalangan petani saja yang sudah terlalu tua. Ternyata, 70 persen petugas PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) POPT (Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman) rata-rata berada di usia di atas 50 tahun.
Riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) tahun 2015 bertajuk “Regenerasi Petani” juga mengungkap kondisi yang sama. Ada 96,45 persen petani tanaman pangan berumur yang terdata di empat lokasi penelitian (Tegal, Kediri, Karawang dan Bogor) berusia 30 tahun atau lebih, sedangkan 3,55 persennya berumur di bawah 30 tahun dan 47,57 persen petani tanaman pangan berusia 50 tahun atau lebih.
Bagian lain riset KRKP mengungkapkan bahwa hanya 54 persen anak petani (yang menjadi responden) yang mau meneruskan apa yang dikerjakan orang tuanya dan 46 persen sisanya dengan tegas menolak. Pada kelompok usaha hortikultura persentasenya lebih senjang lagi, Mereka yang menolak mewarisi profesi orang tuanya sebanyak 63 persen dan yang bersedia berbisnis hortikultura sebanyak 36,7 persen.
Walaupun memiliki ketertarikan, nyatanya responden pada kelompok usaha tani padi justru sebagian besar (70 persen) mengaku tidak pernah memiliki cita-cita menjadi petani. Sedangkan sisanya (30 persen) mengaku pernah memiliki cita-cita menjadi petani. Hal ini berbeda dengan responden usaha tani hortikultura yang pada ketertarikan menyatakan tidak, namun sebagian besar (60 persen) memiliki cita-cita menjadi petani. Sementara sisanya (40 persen) mengaku tidak pernah punya cita-cita menjadi petani.
Salah satu faktor utama bagi generasi muda yang merasa asing dengan dunia pertanian itu sendiri adalah karena segala informasi yang mereka dapatkan tentangnya mesti diperoleh secara otodidak. Responden usaha tani padi sebagian besar (64 persen) mengaku tidak pernah diajarkan oleh orang tua. Demikian juga dengan responden usaha tani hortikultura. Sebagian besar responden (86,7 persen) menyatakan tidak pernah diajarkan tentang pertanian oleh orang tua.
Rendahnya keinginan menjadi petani juga dipengaruhi oleh persepsi responden yang kurang baik atas situasi pertanian saat ini. Sebagian besar responden usaha tani padi (42 persen) menyatakan kondisi pertanian kini memprihatinkan, dan sisanya menyatakan biasa saja (30 persen) dan membanggakan (28 persen). Adapun pada responden usaha tani hortikultura sebagian besar responden (66,7 persen) menyatakan bidang pertanian itu memprihatinkan. Sisanya menyatakan biasa saja (26,7 persen) dan cuma sebanyak 6,7 persen menganggap membanggakan.
Ciri Agraris Terjajah Industrialisasi
Dalam rilis persnya, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dra. Haning Romdiati, M.A menyatakan bahwa kondisi ini otomatis mengancam kedaulatan produksi pangan Indonesia di masa depan. Ia memberi perhatian khusus pada generasi penerus tidak serta merta mewarisi keterampilan pertanian dari orang tua atau masyarakatnya. Terjadi perubahan pada keluarga, sekolah, sawah, aktivitas non-pertanian yang justru mengasingkan mereka dari lingkungan tempat hidupnya, katanya.
Akademisi, pejabat legislatif-eksekutif, hingga elemen penjaga kedaulatan RI, hampir semuanya bersepakat bahwa kunci dari mengamankan kedaulatan pangan agar tak bergantung pada impor adalah dengan menjaga eksistensi kaum tani di masa depan.
Jika soal penyediaan lahan mencari nafkah, KRKP dalam bagian risetnya menyadur hasil kajian global World Economic Forum (WEF) 2010 menunjukkan bahwa pertanian selain sebagai penyedia pangan juga merupakan sektor yang berkontribusi dalam penyediaan 40 persen lapangan pekerjaan.
Namun, pengerdilan peran pertanian dalam platform pembangunan negara, plus penjaga kemandirian pangan, menjadikan sumbangan sektor pertanian kepada Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun sejak era 1970-an. Di tahun 1971 sektor pertanian menyumbang 44,8 persen PDB, di tahun 1990 berkurang menjadi 21,5 persen, pada 2010 menjadi 15,3 persen, dan pada 2012 sudah tinggal 14,5 persen saja.
Sumbangan dari sektor pertanian lambat laun dikalahkan oleh sumbangan dari sektor industri pengolahan. Pada ,1971 sumbangan PDB dari sektor industri pengolahan hanya 8,4 persen. Di era 1990-an, sumbangannya naik menjadi 19,9 persen. Pada 2010 angkanya sudah mencapai 24,8 persen. Akhirnya di tahun 2012 sudah cukup jauh mengungguli sektor pertanian dengan sumbangan sebesar 23,9 persen.
Pada akhirnya, Sulton dan generasi muda Indonesia lain memang mesti berkompromi dengan kenyataan hidup, meski ia menilai fenomena ini tidak adil. Sektor industri semakin mengalahkan sektor pertanian, padahal banyak wilayah di negeri ini punya corak kebudayaan agraris yang kental.
Terbersit dalam benaknya untuk menjalani usaha di bidang pertanian modern sebagai perpaduan antara gaya bertani klasik plus penerapan konsep industri yang efisien dengan pemanfaatan alat-alat modern, serupa dengan strategi pertanian dan hortikultura di negara-negara modern. Ia berkaca dari pebisnis di bidang yang sama yang sudah sukses di Indonesia, yang mampu meraup keuntungan besar dan menyejahterakan petani lainnya.
Namun, cita-cita ini juga sulit tercapai sebab modal untuk menuju ke sana cukuplah besar. Ia mesti memutar otak agar bisa mengumpulkan modal, salah satunya dengan bekerja terlebih dahulu di luar sektor pertanian. Misalnya menjadi karyawan kantor yang seragamnya necis, sebagaimana diharapkan keluarganya akhir-akhir ini.