Jinejer ing Wedhatama, mrih tan kemba kakembeng ing pambudi,mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi sepa lir sepah asamun,samasane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi
TEMBANG itu tertulis dalam Serat Wedhatama pupuh pertama, Pangkur, bait kedua. Pada pupuh pertama bait kedua inilah pintu pengantar tentang ajaran dalam serat agung karya Mangkunegoro IV (1811-1881) yang kira-kira terjemahan bebasnya adalah; ditulis dalam serat Wedhatama/agar jangan miskin pengetahuan/jika tidak memperhatikan tuntunan ini/meski sudah tua mereka tidak akan bertguna dan memalukan bagi dirinya sendiri maupun keluarganya di tengah masyarakat.
Serat Wedhatama adalah sastra tembang atau kidungan Jawa yang berisi ajaran kehidupan. Wedhatama, yang terdiri dari dua kata, wedha (ajaran) dan tama (keutamaan, kebaikan), berarti ajaran tentang kebaikan.
Menurut pemerhati Budaya Jawa asal Solo, Muchus Budi Rahayu, Mangkunegoro IV menulis kumpulan tembang luar biasa ini untuk mengingatkan para bangsawan yang kehidupannya galau dan limbung, terutama perilaku dan budi pekertinya. Bisa jadi, karena pada masa itu kekuasan keraton mulai habis dengan datangnya Belanda, di mana ketika itu wilayah kerajaan sudah dipecah-pecah, sehingga kekuasaan para raja, juga bangsawan, tak lagi sebesar sebelumnya.
“Saya kira, ketika itu para bangsawan mengalami dekandensi spiritual, moral dan sosial, sehingga lahirlah menulis syair-syair dahsyat ini. Mungkin Mangkunegoro berpikir, jika perilaku dan moral para orang tua buruk, bagaimana mereka bisa mendidik anak-anaknya menjadi baik?” ujar Muchus.
Serat Wedhatama sendiri terdiri dari empat pupuh (tembang) dengan 77 bait , yaitu Pangkur (14 bait), Sinom (18 bait), Pocung (15 bait), dan Gambuh (25 bait). Kondisi dekadensi para bangsawan ketika itu, membuat Mangkunegoro khawatir terhadap perilaku generasi mendatang.
Pupuh pertama bait pertama Wedhatama menyebut agama ageming aji sebagai pengingat bahwa di Tanah Jawa ini, raja, penguasa, termasuk para bangsawan adalah orang-orang yang beragama, sumber kebaikan, sehingga mampu meredam nafsu dan amarah agar bisa mengajarkan kebaikan kepada keturunannya.
Mingkar mingkuring angkara/Akarana karenan mardi siwi
Sinawung resmining kidung/Sinuba sinukarta
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung/Kang tumrap neng tanah Jawa/
Agama ageming aji
Isi tembang ini mengajarkan kepada kita agar mengutamakan kepentingan umum dan selalu nggilut ngelmu agama. Lirik atau cakepan bait pertama itu mengandung pasemon agar kita selalu mingkar (menjauhi) dan mingkur (tidak mempedulikan) perilaku yang tidak terpuji yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi.
Dalam Pangkur, Mangkunegoro juga mengajak orang-orang untuk mencari ilmu kebaikan, dan kemudian mengamalkannya, agar di masa tua kelak mereka tetap terhormat, tidak sisa-sia seperti aji godhong jati aking (seharga daun jati kering) yang sama sekali tak berguna.
mrih tan kemba kakembeng ing pambudi
mangka nadyan tuwa pikun
yen tan mikani rasa
yekti sepi sepa lir sepah asamun
Kepada anak-anak muda yang terlanjur berperilaku buruk, bait terakhir atau bait 14 Pangkur mengajak mereka untuk merenung dan memasuki alam asal muasal. Yaitu perilaku yang tidak mengumbar nafsu duniawi, alam yang tidak saling menguasai.
Sajatine kang mangkono/wus kakenan nugrahaning Hyang Widi/
bali alaming ngasuwung/tan karem karamean/ingkang sipat wisesa winisesa/ wu mulih mula mulanira/mulane wong anom sami
Jika lewat Pangkur Wedhatama mengajarkan syariat kebaikan, maka dalam pupuh dua, Sinom, Mangkunegoro menyampaikan teladan kebaikan dari pendiri Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati, yang hendaknya ditiru oleh para bangsawan dan anak-anak muda.
Nulada laku utama/tumrape wong Tanah Jawi/Wong Agung ing Ngeksiganda/ Panembahan Senopati/kepati amarsudi/sudane hawa lan nepsu/pinesu tapa brata/ tanapi ing siyang ratri/amamangun karenak tyasing sesame
Terjemahan bebasnya kira-kira; Sebisamu, contohlah apa yang dilakukan Panembahan Senopati. Banyak dari kalian yang datang mesjid hanya untuk menyombongkan diri. Hanya untuk mencari pamrih dan mendapatkan pujian.
Bagi satria tanah Jawa, lanjut Wedhatama, sesungguhnya hanya memiliki tiga sikap, yaitu lila lamun kelangan nora gegetun, trima yen kataman sakserik sameng dumadi, dan trilegawa nalangsa srahing Batara. Artinya, ikhlas jika kehilangan tanpa menyesal, sabar jika hati disakiti sesama, dan lapang dada sambil berserah diri kepada Tuhan.
“Jangan seperti zaman nanti. Banyak anak muda yang menyombongkan diri dengan hafalan ayat. Belum memahami benar, tapi sudah berlagak pintar. Setiap kali mereka hanya meremehkan orang lain,” tulis Mangkunegoro dalam bait enam pupuh Pocung.
Gambuh, pupuh keempat atau pupuh terakhir dalam Wedhatama, mengajarkan tentang manembah (menyembah) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran yang terakhir ini sangat menonjol. Wedhatawama membagi ajaran penyembahan atau sembah menjadi empat, yaitu sembah raga (badaniyah), sembah cipta (pikiran), sembah jiwa dan sembah rasa.
Inti dari ajaran ini adalah bahwa sembah raga merupakan tingkat awal (syariat) atau pembuka dari laku–laku selanjutnya. Ajaran ini dijalankan dengan tindakan fisik (badaniah), antara lain badan harus bersih –dibersih dengan air. Badan harus sehat. Karena didalam badan yang sehat terkandung pikiran–pikiran yang sehat dan jernih. Badan harus tunduk pada kemauan pikir, bukan sebaliknya pikir hanya menuruti kemauan raga. Dalam Islam, menyembah dangan raga dilakukan dengan shalat lima waktu.
Ajaran kedua adalah sembah cipta atau sembah kalbu atau sembah pikir (tarekat). Wedhatama mengajarkan pikir harus dituntun ke jalan keselamatan atau kebahagiaan. Cipta dituntun untuk mencari inti rasa dari hidup, dan hawa nafsu harus dikendalikan, jangan dilbiarkan menjadi liar.
Sedangkan ajaran ketiga, yakni sembah jiwa, adalah sembah kepada Tuhan (hakekat). Pelaksanaan dari sembah ini, manusia harus dapat menyatukan diri antara makrokosmos (jagad besar) dengan mikrokosmos (jagad kecil). Selanjutnya “Aku”-mu lepas dari kedua jagad yang sudah melebur tersebut, untuk masuk kealam yang lain.
Ajaran sembah rasa adalah leburnya rasa pribadi dengan rasa semesta alam (marifat). Tahap ini hanya bias dicapai dengan hati yang bersih. Hanya mereka yang sudah tidak lagi mempunyai rasa takut dan percaya kepada takdir Allah serta berani menempuh kesengsaraan sajalah yang kuat menerima ajaran ini.
Puncak dari “laku” spiritual yang diajarkan serat Wedhatama adalah menemukan kehidupan yang sejati, lebih memahami diri sendiri, manunggaling kawula-Gusti, dan mendapat anugrah Tuhan untuk melihat rahasia kegaiban -meminjam istilah Gus Dur; dapat mengintip rahasia langit.
Ketua Jurusan Sastra Jawa UNS, Suparjo Mhum ajaran tentang budi pekerti ini sengaja digubah Mangkunegoro dalam bentuk tembang, agar mudah diingat dan lebih membumi.
“Ia meniru cara Sunan kalijaga dalam berdakwah menyampaikan kebaikan lewat budaya lokal,” kata Magister Filologi ini.
Puncak dari laku spiritual yang diajarkan Wedhatama, lanjut Suparjo, yaitu menyelaraskan yang lahir dan yang batin, kepentingan dunia dan kepentingan akhiratnya. Mengatur yang lahir dengan melakukan tatakrama dan etiket yang mengarah pada etika. Sedang mengatur yang batin dengan mengendalikan “angkara”, egoisme, dan hawa nafsu yang bercokol dalam diri manusia, yang merupakan penghalang jalan ke arah kesempurnaan.
“Kesempurnaan kita sebagai manusia itu diukur dari jauh dan dekatnya kita dengan sesama dan dengan Tuhan. Karena itu manusia harus tahu agama, harus tahu bagaiman bersikap dan berbuat terhadap sesama dan terhadap Tuhannya,” tambahnya.
http://kesolo.com/wedhatama-ajaran-kebaikan-dari-mangkunegoro-iv/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar