KH Wahid Hasyim (Wafat 19 April 1953). Foto/istimewa
Langit Priangan redup pada Sabtu siang tanggal 18 April 1953 itu. Di tengah rintik hujan yang membasahi jalanan, sebuah mobil Chevrolet meluncur tenang dari arah ibukota. Mobil berwarna putih tersebut membawa KH Wahid Hasyim, mantan Menteri Agama yang setahun lalu telah purna masa tugasnya. Saat itu, sang kiai sedang dalam perjalanan ke Sumedang untuk menghadiri rapat Nahdlatul Ulama (NU) setempat.
Bersama Wahid Hasyim, turut pula putra sulung tercinta, Abdurrahman Addakhil atau yang kelak dikenal dengan nama Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang kala itu baru berusia 13 tahun. Ada juga Sekjen Majalah Gema Muslimin Argo Sutjipto serta seorang pria lain yang bertugas di belakang kemudi.
Kiai Segala Umat Itu Telah Tiada
Sampai di Cimindi, wilayah perbatasan Cimahi-Bandung, jalanan yang licin membuat mobil itu selip. Manakala sopir sedang berusaha sekuat tenaga mengendalikan mobil yang melaju zig-zag tak karuan, mendadak muncul sebuah truk dari arah berlawanan. Tabrakan hebat pun tak terelakkan, bagian belakang mobil terkena seruduk truk.
Kerasnya benturan membuat Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar dari mobil, keduanya luka parah. Abdurrahman Wahid dan si juru mudi yang duduk di bagian depan selamat, hanya mengalami shock setelah insiden tersebut.
Dalam keadaan masih terguncang, si kecil Abdurrahman menjaga sang ayah dan rekannya yang terbaring lemah di tepi jalan, sementara sopir mencari pertolongan. Namun, bantuan yang dinanti terlalu lama datang. Ambulans baru tiba di tempat kejadian perkara setelah 3 jam berlalu.
Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto pun langsung dilarikan ke Rumah Sakit Borromeus di Bandung. Argo Sutjipto menghembuskan nafas terakhir tak lama setelah mendapatkan perawatan medis. Wahid Hasyim masih bernapas kendati kondisinya kritis.
Keesokan harinya pukul 10.00 pagi, tanggal 19 April 1953 atau 54 tahun silam, nyawa Wahid Hasyim tak tertolong. Ulama besar itu akhirnya menghadap Sang Maha Kuasa. Jenazah sang kiai tiba di rumah duka di Jakarta pada Minggu petang menjelang Maghrib.
Wahid Hasyim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 38 tahun. Keesokan harinya, Senin tanggal 20 April 1953, jasad sang kiai dibawa ke tanah kelahirannya di Jombang, Jawa Timur, untuk disemayamkan (Ali Yahya, Potret Keluarga Besar KH Wahid Hasyim, 2007:41).
Umat Islam, terkhusus warga Nahdliyin, dan bangsa Indonesia berduka. Masyarakat berjejalan di sepanjang jalan menuju Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, untuk memberikan penghormatan terakhir. Iring-iringan jenazah beberapa kali berhenti atas permintaan warga yang berkeinginan melantunkan doa perpisahan.
Ribuan orang berduka, mengiringi kepergian abadi KH Wahid Hasyim. Dan hingga beberapa hari setelahnya, di tempat peristirahatan terakhir itu masih disesaki kerumunan orang yang berdoa untuk sang ulama (Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim, 2011:118).
Ulama Pergerakan & Kemerdekaan
Wahid Hasyim dilahirkan di Jombang pada 1 Juni 1914 dengan nama Abdul Wahid. Imbuhan Hasyim adalah nama depan sang ayah, Hasyim Ashari. Tradisi penamaan ini kelak juga dipakai oleh putra pertama Wahid Hasyim, yakni Abdurrahman Wahid yang dilahirkan dengan nama Abdurrahman Addakhil.
Ayahanda Wahid, Hasyim Ashari, adalah pendiri NU dan pesantren Tebu Ireng sekaligus salah satu ulama terbesar nan legendaris di tanah air. Wahid sendiri pada akhirnya melanjutkan kiprah sang ayah dengan terus membesarkan NU dan turut berperan dalam perjuangan di era pergerakan nasional.
Masa muda Wahid Hasyim dihabiskan dengan menimba ilmu sebanyak-banyaknya, termasuk memperdalam Islam di Mekah. Ia bukan tipikal ulama kolot. Wahid justru memadukan sistem pengajaran di pesantren yang cenderung klasik dengan pengetahuan modern. Di pesantrennya, tak hanya bahasa Arab yang diajarkan dan dibiasakan, tapi juga bahasa Belanda, bahkan Inggris.
Achmad Zaini (1998:81) dalam Kyai Haji Abdul Wahid Hasyim: His Contribution to Muslim Educational Reform and Indonesian Nationalism, menyebutkan bahwa pada 1940, Wahid Hasyim dipercaya memimpin Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang menaungi partai politik dan organisasi massa Islam, termasuk NU, saat itu.
MIAI dibubarkan pada masa pendudukan Jepang. Tahun 1943, dibentuklah perhimpunan serupa bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Wahid Hasyim menjadi salah satu wakil ketua untuk mendampingi sang ayah, Hasyim Ashari, selaku pemimpin Masyumi pertama (Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH Hasyim Ashari, 2000:151).
Perumus Sila Pertama Pancasila
Wahid Hasyim kian terlibat dalam upaya memerdekakan Indonesia seiring kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya pada peralihan tahun 1944 ke 1945. Namanya juga masuk dalam jajaran Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Selain itu, Wahid Hasyim turut pula merumuskan calon dasar negara RI, Piagam Jakarta, pada 22 Juni 1945 bersama para tokoh bangsa lainnya yang tergabung dalam Panitia 9, yaitu Sukarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, Agoes Salim, Achmad Soebardjo, dan M. Yamin.
Ada peran krusial Wahid Hasyim dalam perumusan Piagam Jakarta yang ternyata belum final. Pada persidangan selanjutnya tanggal 10-17 Juli 1945 terjadi perdebatan sengit terkait beberapa poin dalam rumusan Piagam Jakarta. Salah satunya adalah soal unsur pertama yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Wahid Hasyim mendukung pihak yang kurang sepakat dengan keredaksian itu mengingat Indonesia adalah negara yang terdiri dari suku-suku dan pemeluk agama yang berbeda. Meskipun sempat mendapat pertentangan, namun Wahid Hasyim menegaskan bahwa seharusnya paksaan tidak boleh dilakukan dalam dasar negara untuk menaungi seluruh rakyat Indonesia (Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama, 2007:43).
Setelah didiskusikan dengan para tokoh Islam lainnya, maka disepakati bunyi poin pertama itu diubah menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa (M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama, 1959:259). Poin yang salah satunya dicetuskan oleh Wahid Hasyim ini nantinya dikekalkan sebagai sila pertama dalam dasar negara Republik Indonesia, Pancasila.
Sepeninggal Wahid Hasyim, pemahaman dan penerapan Islam dalam konteks keindonesiaan itu kemudian dilanjutkan oleh para penerusnya, termasuk sang putra Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang kelak menjadi Presiden RI ke-4.
Kini, konsep yang diperkenalkan oleh Wahid Hasyim tersebut kini dikenal dengan istilah Islam Nusantara yang dipegang teguh oleh banyak ulama NU, merujuk pada kekhasan NU yang taat pada ajaran agama Islam, tapi tak meninggalkan tradisi nusantara.
(tirto.id - isw/msh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar