Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Senin, 15 Mei 2017

Indonesia Krisis Regenerasi Petani Muda

Seorang petani tua menyemprotkan pestisida hama keong



Pengalaman masa kecil yang paling berkesan dan selalu diingat Nur Ainu Sulton (22) adalah saat ia diajak kedua orang tuanya ke sawah. Ia bertugas membawa bekal untuk orang-orang yang sedang panen. Ayahnya fokus di sawah, sedangkan ibunya lebih suka menanam beragam jenis bunga dan sayur. 

Di sekolah menengah atas, ia pernah terkesima dengan salah seorang guru yang seorang lulusan ilmu pertanian. Di saat teman-temannya memainkan game yang sedang populer, ia pun bertahan pada game berbasis pertanian modern: Harvest Moon

Usai tamat SMA di tahun 2012 ia merantau ke Yogyakarta untuk menimba ilmu di Program Studi Agronomi di Fakultas Pertanian UGM. Impiannya adalah menjadi petani sekaligus pengusaha agrobisnis yang sukses saat kembali ke kampung halamannya di Tulungagung, Jawa Timur. Sayang, saat ia hampir meluluskan diri, keluarga justru berharap agar ia menunda cita-cita tersebut. 

“Keluargaku pingin lihat anaknya [kerja] di kantoran, berseragam, dan digaji tetap,” katanya kepada Tirto, diiringi sambil menyatakan keheranannya. Mulai dari ayah hingga neneknya adalah pengolah alam yang tekun. Namun, kini mereka bersikap ganjil, meminta Sulton tak menapaki jejak yang sama. 

Sulton pun terancam sebaris dengan teman-teman satu jurusannya yang lain yang memilih profesi agak menyimpang dari visi misi fakultasnya. Teman-temannya di jurusan, kata Sulton, sangat sedikit yang menjalani profesi sebagai petani. 

“Baru lima orang yang kukenal yang benar-benar jadi petani. Itu pun bukan dari angkatanku saja, tapi juga dari angkatan 2009, 2010, dan 2011. Masih di sektor perusahaan pertanian seperti sawit sih, tapi yang lain ujung-ujungnya ke bank, karyawan kantor, dan lain sebagainya,” imbuhnya. 

Penyebabnya ditengarai macam-macam. Ada yang senasib dengan Sulton, ada juga yang menilai keputusan tersebut “lebih realistis.” Sulton sendiri menilai calon petani mestinya memang tak alergi turun ke lapangan. Menurutnya, banyak lulusan fakultas pertanian dari berbagai kampus tak menjadi petani karena tak suka berpanas-panasan di lahan, tak suka kotor, dan lebih nyaman bekerja di kantor. 

“[Mereka] enggak mau ambil resiko. Main aman dan tinggal nunggu gaji. Masuk akal memang sebab sekarang kalo mau mulai jadi petani resikonya cukup besar kalo mau untung yang besar juga. Istilahnya high risk, high revenue,” katanya. 

Sulton sepakat bahwa keengganan menjadi petani kini mewabah di kalangan anak-anak muda Indonesia, baik sebagai lulusan fakultas pertanian maupun bukan. Kondisi inipun telah menjadi perhatian pemerintah pusat maupun daerah sejak lama. Salah satu gejala yang terlihat di banyak daerah yakni tingkat urbanisasi yang tinggi dan otomatis menganaktirikan bidang pertanian di desa. 

Petani dianggap bukan profesi yang menjamin finansial di tengah naiknya harga-harga kebutuhan hidup, apalagi untuk investasi masa depan: biaya kuliah, cicilan rumah, pensiun. Bekerja di industri di pinggiran kota penyangga ibukota seperti Bekasi, Tangerang, atau Depok menjadi pilihan yang lebih menarik. Orang berbondong-bondong meninggalkan ciri agrarisnya sebab tak ada lagi penghidupan yang layak di dalamnya. 

Empat tahun, silam Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan laporan bertajuk Sensus Pertanian 2013. Di dalam salah satu bagian publikasinya, BPS mendata jutaan petani di Indonesia untuk dikelompokkan berdasarkan usia. Dari total 26.135.469 petani yang kala itu terdata, kelompok usia 45-54 tahun rupanya memiliki jumlah absolut terbanyak yakni sebanyak 7.325.544 orang. 
 
Jumlah terbesar kedua ada pada kelompok usia 35-44 tahun yakni 6.885.100 orang. Sedangkan untuk jumlah ketiga dan keempat ada di kelompok usia yang lebih tua lagi yakni 55-64 tahun sebanyak 5.229.903 petani dan kelompok usia lebih dari 65 tahun sebanyak 3.332.038 petani. Jumlah petani muda di kelompok 25-35 berjumlah 3.129.644, dan semakin ke bawah semakin sedikit. Kelompok usia 15-24 tahun berjumlah hanya 229.943 petani dan paling sedikit pada kelompok di bawah 15 tahun yakni 3.297 orang saja. 

Angkatan muda yang tak tertarik mengolah lahannya membuat jumlah petani dalam kurun 2003-2013 jumlah petani menyusut hingga 5 juta orang. Jika bisa diringkas sesuai usia, 60,8 persen petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun. Usia produktif seseorang sudah menurun cukup drastis di usia demikian. Apalagi 73,97 persennya berpendidikan hanya sampai tingkat SD. Daya saing mereka tentu lebih rendah dalam strategi bertani gaya modern. 

Tak hanya kalangan petani saja yang sudah terlalu tua. Ternyata, 70 persen petugas PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) POPT (Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman) rata-rata berada di usia di atas 50 tahun. 

Riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) tahun 2015 bertajuk “Regenerasi Petani” juga mengungkap kondisi yang sama. Ada 96,45 persen petani tanaman pangan berumur yang terdata di empat lokasi penelitian (Tegal, Kediri, Karawang dan Bogor) berusia 30 tahun atau lebih, sedangkan 3,55 persennya berumur di bawah 30 tahun dan 47,57 persen petani tanaman pangan berusia 50 tahun atau lebih. 

Bagian lain riset KRKP mengungkapkan bahwa hanya 54 persen anak petani (yang menjadi responden) yang mau meneruskan apa yang dikerjakan orang tuanya dan 46 persen sisanya dengan tegas menolak. Pada kelompok usaha hortikultura persentasenya lebih senjang lagi, Mereka yang menolak mewarisi profesi orang tuanya sebanyak 63 persen dan yang bersedia berbisnis hortikultura sebanyak 36,7 persen. 

Walaupun memiliki ketertarikan, nyatanya responden pada kelompok usaha tani padi justru sebagian besar (70 persen) mengaku tidak pernah memiliki cita-cita menjadi petani. Sedangkan sisanya (30 persen) mengaku pernah memiliki cita-cita menjadi petani. Hal ini berbeda dengan responden usaha tani hortikultura yang pada ketertarikan menyatakan tidak, namun sebagian besar (60 persen) memiliki cita-cita menjadi petani. Sementara sisanya (40 persen) mengaku tidak pernah punya cita-cita menjadi petani. 

Salah satu faktor utama bagi generasi muda yang merasa asing dengan dunia pertanian itu sendiri adalah karena segala informasi yang mereka dapatkan tentangnya mesti diperoleh secara otodidak. Responden usaha tani padi sebagian besar (64 persen) mengaku tidak pernah diajarkan oleh orang tua. Demikian juga dengan responden usaha tani hortikultura. Sebagian besar responden (86,7 persen) menyatakan tidak pernah diajarkan tentang pertanian oleh orang tua. 

Rendahnya keinginan menjadi petani juga dipengaruhi oleh persepsi responden yang kurang baik atas situasi pertanian saat ini. Sebagian besar responden usaha tani padi (42 persen) menyatakan kondisi pertanian kini memprihatinkan, dan sisanya menyatakan biasa saja (30 persen) dan membanggakan (28 persen). Adapun pada responden usaha tani hortikultura sebagian besar responden (66,7 persen) menyatakan bidang pertanian itu memprihatinkan. Sisanya menyatakan biasa saja (26,7 persen) dan cuma sebanyak 6,7 persen menganggap membanggakan. 

Ciri Agraris Terjajah Industrialisasi


Dalam rilis persnya, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dra. Haning Romdiati, M.A menyatakan bahwa kondisi ini otomatis mengancam kedaulatan produksi pangan Indonesia di masa depan. Ia memberi perhatian khusus pada generasi penerus tidak serta merta mewarisi keterampilan pertanian dari orang tua atau masyarakatnya. Terjadi perubahan pada keluarga, sekolah, sawah, aktivitas non-pertanian yang justru mengasingkan mereka dari lingkungan tempat hidupnya, katanya. 

Akademisi, pejabat legislatif-eksekutif, hingga elemen penjaga kedaulatan RI, hampir semuanya bersepakat bahwa kunci dari mengamankan kedaulatan pangan agar tak bergantung pada impor adalah dengan menjaga eksistensi kaum tani di masa depan.
 
Sayangnya, dalam konteks pembangunan, penurunan jumlah petani kerap dipandang sebagai sebuah kemajuan. Semakin sedikit jumlah petani, semakin efisien proses budidayanya. Menurut analisis KRKP, perspektif pembangunan semacam ini hanya menganggap sektor industrilah yang bisa memajukan suatu bangsa. Persoalannya tak hanya soal efisiensi dan kemajuan industri semata. Berkurangnya jumlah petani dalam analisis KRKP akan berimplikasi pada menurunnya ketersediaan pangan produk dalam negeri. 

Jika soal penyediaan lahan mencari nafkah, KRKP dalam bagian risetnya menyadur hasil kajian global World Economic Forum (WEF) 2010 menunjukkan bahwa pertanian selain sebagai penyedia pangan juga merupakan sektor yang berkontribusi dalam penyediaan 40 persen lapangan pekerjaan. 

Namun, pengerdilan peran pertanian dalam platform pembangunan negara, plus penjaga kemandirian pangan, menjadikan sumbangan sektor pertanian kepada Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun sejak era 1970-an. Di tahun 1971 sektor pertanian menyumbang 44,8 persen PDB, di tahun 1990 berkurang menjadi 21,5 persen, pada 2010 menjadi 15,3 persen, dan pada 2012 sudah tinggal 14,5 persen saja. 


Sumbangan dari sektor pertanian lambat laun dikalahkan oleh sumbangan dari sektor industri pengolahan. Pada ,1971 sumbangan PDB dari sektor industri pengolahan hanya 8,4 persen. Di era 1990-an, sumbangannya naik menjadi 19,9 persen. Pada 2010 angkanya sudah mencapai 24,8 persen. Akhirnya di tahun 2012 sudah cukup jauh mengungguli sektor pertanian dengan sumbangan sebesar 23,9 persen. 

Pada akhirnya, Sulton dan generasi muda Indonesia lain memang mesti berkompromi dengan kenyataan hidup, meski ia menilai fenomena ini tidak adil. Sektor industri semakin mengalahkan sektor pertanian, padahal banyak wilayah di negeri ini punya corak kebudayaan agraris yang kental.

Terbersit dalam benaknya untuk menjalani usaha di bidang pertanian modern sebagai perpaduan antara gaya bertani klasik plus penerapan konsep industri yang efisien dengan pemanfaatan alat-alat modern, serupa dengan strategi pertanian dan hortikultura di negara-negara modern. Ia berkaca dari pebisnis di bidang yang sama yang sudah sukses di Indonesia, yang mampu meraup keuntungan besar dan menyejahterakan petani lainnya. 

Namun, cita-cita ini juga sulit tercapai sebab modal untuk menuju ke sana cukuplah besar. Ia mesti memutar otak agar bisa mengumpulkan modal, salah satunya dengan bekerja terlebih dahulu di luar sektor pertanian. Misalnya menjadi karyawan kantor yang seragamnya necis, sebagaimana diharapkan keluarganya akhir-akhir ini. 


(tirto.id - awa/msh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar