Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Senin, 15 Mei 2017

SINAR CEMERLANG BAGI BAHASA INDONESIA

Sinar Cemerlang bagi Bahasa Indonesia



Mata mempunyai kedudukan istimewa dalam peradaban. Buktinya, saat membicarakan cinta, pengalaman yang lazim dianggap sebagai inti kehidupan, kita menyebut mata lebih sering ketimbang yang lain.

Pernahkah mendengar ungkapan “dari pankreas turun ke hati” atau “cinta pada sundulan pertama” atau “jauh di skrotum, dekat di hati”? Ketika seseorang berjiwa lentik merasa menemukan calon kawan terbaiknya buat beranak-pinak, manakah pikiran yang lebih mungkin melintas di benaknya: “aku ingin berenang di lautan matamu” atau “aku ingin kungkum di kolam asam lambungmu”?

Menurut Benedict Anderson, seperti peran mata dalam percintaan romantik itulah peran bahasa dalam kasih seseorang terhadap bangsa dan tanah airnya. Anggota-anggota suatu kelompok bisa saja tak mengenal satu sama lain, namun jika mereka menggunakan bahasa yang sama, mereka dapat menganggit kekerabatan, serta membayangkan masa lalu dan memimpikan masa depan bersama.

Pada 1928, anak-anak muda dari Jong Sumatranen Bond, Jong Java, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Islameiten Bond, dan beberapa organisasi pemuda lainnya menyadari kenyataan tersebut. Mereka berhimpun dalam sebuah kongres, sebagaimana dua tahun sebelumnya, dan menyatakan diri sebagai bagian dari komunitas baru. Mereka mengaku bertumpah darah dan berbangsa satu, serta menjunjung bahasa persatuan.

Kerangka bahasa persatuan itu adalah Melayu; bahasa yang jumlah penutur aslinya tak sebanyak Jawa dan Sunda, yang tidak mewakili gengsi kaum terdidik dan menyediakan istilah-istilah keilmuan sebagaimana Belanda, tidak pula digunakan dalam kitab suci seperti Arab. Tetapi, bahasa Melayu punya kualitas-kualitas yang diperlukan sebuah bahasa nasional yang bermartabat: egaliter, inklusif, bukan warisan penjajah, dan telah lama jadi lingua franca atau bahasa jembatan bagi orang-orang di kepulauan Hindia.


Di kemudian hari, kritikus sastra Indonesia, A. Teeuw, menyebut Sumpah Pemuda sebagai peristiwa “pengakuan keyakinan” atau pembaptisan, alih-alih kelahiran, bahasa Indonesia. Teeuw benar, berpuluh-puluh tahun sebelum Sumpah Pemuda telah ada surat kabar Medan Priyayi yang menjadi corong suara pribumi dalam bahasa Melayu. Demikian pula bacaan rakyat yang dihasilkan pengarang-pengarang Indo-Belanda dan keturunan Tionghoa  sejak akhir abad ke-19.

Namun, pembaptisan itu membuka pintu baru. Keyakinan bahwa, meminjam ungkapan Muhammad Yamin dalam pidatonya, “kebudayaan Indonesia di masa datang akan dilahirkan dalam bahasa Melayu” jelas disertai tuntutan pembaruan atas bahasa tersebut. Berbeda dari Melayu yang asli, bahasa Indonesia mesti memantulkan visi keindonesiaan sekaligus harus sanggup mewakili cita-cita, gagasan, penderitaan, serta anasir-anasir lain dalam kehidupan rakyat Indonesia.

Kurang dari lima tahun setelah Sumpah Pemuda, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah mendirikan majalah Pujangga Baru. Mereka berharap, majalah yang memuat tulisan-tulisan hanya dalam bahasa Indonesia itu dapat menjadi pandu bagi golongan cendekia.

Menurut Heather Sutherland dalam “Pudjangga Baru: Aspects of Indonesian Intellectual Life in 1930s”, mengubah bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang sanggup menyampaikan situasi-situasi pelik dan gagasan-gagasan modern ialah tugas besar, lebih-lebih sudah ada bahasa Belanda dan bahasa-bahasa daerah (Jawa, Sunda, Bugis, dan sebagainya) yang telah lebih dulu kokoh sebagai bahasa tulis.

Pada masa itu bahasa Melayu lazim dianggap hanya cocok untuk membicarakan perkara-perkara remeh, sehari-hari, dan konkret. Pendeknya, bahasa buat menanyakan harga ikan asin dan mengajak orang asing berantam. Tetapi, Pujangga Baru dan para penulisnya bergeming. Dengan bahasa yang disepelekan itulah mereka merumuskan dan berdebat tentang arah terbaik kebudayaan Indonesia, juga menciptakan puisi, lakon, dan novel yang mereka anggap “baru” dan “modern”.

Ada tiga hasil penting dari majalah yang terbit selama sembilan tahun (1933-1942) itu. Dua karena nilai historisnya: esai-esai pemikiran kebudayaan yang di kemudian hari dirangkum Achdiat K. Mihardja dalam buku Polemik Kebudayaan dan novel Belenggu karya Armijn Pane yang menyimpang dari ketetapan moral Balai Pustaka. Dan yang terakhir, karena keunggulan mutu sastrawinya, ialah sajak-sajak Amir Hamzah.

Sajak-sajak Amir Hamzah memang tidak seperti “Song of Myself” karya Walt Whitman yang mewakili jiwa dan semangat dan keadaan manusia serta tiap-tiap benda dan makhluk hidup dan angin yang berembus di Amerika Serikat. Amir menulis sajak lirik yang pendek-pendek, menampilkan pelbagai situasi dan momen yang personal. Namun, sebagaimana umumnya puisi lirik yang baik, urusan-urusan yang personal itu terangkat jadi urusan seluruh manusia.

Kita tak harus relijus untuk merasa tercekam saat membayangkan aku-lirik “Padamu Jua” mengemis kepada tuhannya yang “sabar, setia, selalu” seperti “pelita jendela di malam gelap” sekaligus ganas dan pencemburu agar memangsanya seperti elang besar memangsa tikus; merasa iba saat permintaan itu tidak terpenuhi dan ia hanya bisa menjerit, “nanar aku, gila sasar”; kemudian ikut tersapu kesedihan sewaktu ia merenungkan ketelantaran dan keterpisahannya dari asal-mula, “kasihmu sunyi, menunggu seorang diri.”

“Lalu waktu—bukan giliranku,” ujar pemeluk teguh yang hangus dibakar kangen itu. “Mati hari—bukan kawanku.”

Imaji dalam frase-frase di atas benar-benar baru pada zamannya. Amir sadar benar bahwa puisinya tak akan mencengkau jika hanya bertumpu pada kata, kalimat dan larik saja, melainkan mesti menghadirkan imaji yang segar, jika perlu mengejutkan. Usaha Amir itu, dalam ujudnya yang terbaik, berhasil menghadirkan imaji yang terang sekaligus mengejutkan. Dalam sajak "Padamu Jua", Amir menulis: Engkau cemburu/ engkau ganas/ mangsa aku dalam cakarmu.

Mengikuti larik-larik Amir Hamzah macam itu, Bahrum Rangkuti -- lewat perbandingan dengan karya-karya sastra Melayu sebelumnya -- sanggup mengatakan bahwa Amir yang memungkinkan bahasa Melayu menggambarkan perjumpaan manusia dengan Tuhan dengan jujur sebagai sesuatu yang sulit, bahkan menyakitkan. Tuhan digambarkan bukan hanya pencemburu, imaji yang menurut Jassin bisa dijumpai dalam Injil, tapi ganas, mungkin juga kejam. 

Bagi Chairil Anwar, puisi-puisi Amir Hamzah adalah buah terbaik Pujangga Baru. Pada 1945, ia menulis: “Amir dalam Nyanyi Sunyi dengan murninya meneriakkan sajak-sajak yang ... memberi gaya baru pada bahasa Indonesia, kalimat-kalimat yang pedat seruannya, tajam dalam kependekannya. Sehingga susunan kata-kata Amir bisa dikatakan destruktif terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru!”

Sebagai bahan perbandingan, Sutan Takdir Alisjahbana, pemimpin redaksi Pujangga Baru, adalah seorang pengkhotbah modernisasi yang tekun. Namun, ia menulis dengan cara-cara kuno. Takdir menolak bentuk-bentuk karya sastra lawas di Indonesia dan negeri-negeri Timur lain atas nama kebaruan, tetapi meminjam soneta, yang juga merupakan bentuk tradisional, dari kesusastraan Eropa. Lebih jauh, baik bahasa maupun apa-apa yang ia sampaikan dalam sajak-sajaknya sama belaka dengan penyair-penyair Melayu kolot.

Berikut tukilan puisi Takdir, “Seindah Ini”:  “Menangis, menangislah hati!/Wahai hati, alangkah sedap nikmatnya engkau pandai/menangis!/Apa guna kutahan, apa guna kuhalangi?”

Di sisi lain, Amir Hamzah, yang tidak berkoar-koar tentang memutuskan tali penghubung dengan masa lalu seperti Takdir, beranjak lebih jauh. 

“Dengar... dengar!/Dari jauh suara sayup/Mengalun sampai memecah sepi/Menyata rupa mengasing kata//Rang... rang... rangkup/Rang... rang... rangkup/Batu belah batu bertangkup/Ngeri berbunyi berganda kali,” tulisnya dalam “Batu Belah.”

Meski tak sepenuhnya meninggalkan hasrat berpetuah dan sesekali masih terjebak klise, Amir menulis puisi dalam kalimat-kalimat yang padat. Iramanya rampak, tidak mendayu-dayu. Kosakatanya kaya dan digunakan secara akurat. Terasa benar betapa warisan masa lalu, termasuk bahasa Melayu dan bentuk pantun, bukanlah beban yang harus dienyahkan atau harus dijaga dengan penghormatan kudus yang haram diapa-apakan. Melayu bagi Amir lebih serupa aset, potensi, bahan baku. 

Di lapangan bahasa dan kesusastraan, Amir Hamzah adalah modernis terbesar dari generasinya. Andai ia, dan kemudian Chairil Anwar yang banyak dipengaruhinya, tak ada, mungkin bahasa Indonesia hari ini hanya berkisar satu atau dua tapak dari bahan dasarnya yang miskin dan bertele-tele.

Tetapi, Amir Hamzah sebagai penyair ialah satu hal, sedangkan ia sebagai pribadi ialah hal lain. Meski sajak-sajaknya sarat kebaruan, Amir adalah manusia kuno, anggota keluarga kesultanan yang patuh pada tradisi. Dan sisi itulah yang akhirnya mengundang kematiannya.

Pada Maret 1946, terjadi pergolakan di Sumatera Timur. Rakyat yang telah diradikalisasi kader-kader Partai Komunis Indonesia menggeruduk pusat-pusat kekuasaan lama, keraton-keraton kesultanan Melayu di kawasan itu yang mereka anggap bekerjasama dengan penjajah dalam menindas mereka.

Amir Hamzah pada masa itu menjabat sebagai wakil Republik Indonesia (dengan kedudukan setara bupati) di Langkat, tapi itu tidak menghalangi massa untuk menangkap dan memenjarakannya.

“Wahai maut, datanglah engkau … padamu lagi tempatku berpaut, di saat ini gelap gulita,” tulis Amir di dalam selnya.

Dan maut benar-benar datang. Pagi, 20 Maret 1946, Amir Hamzah dibunuh bersama 26 orang bangsawan lain dan dikuburkan di lubang yang mereka gali sendiri. 



(tirto.id - dea/zen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar