Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Rabu, 11 Juni 2014

Ryamizard Ryacudu dan Kisah Seorang Jenderal

Posted by  in HukumHumanioraKilas Balik,KisahNasionalPemiluTokoh
image
Jakarta – Kasus penemuan senjata di kediaman pribadi Waaslog KSAD Alm Brigjen Koesmayadi mengagetkan banyak kalangan. Apalagi jumlah senjata diluar kewajaran, 147 pucuk senjata dan 28 ribu amunisi.
Isu sempat bersliweran terkait dengan penemuan senjata ini. Dari soal isu kudeta, kerusuhan di daerah konflik hingga bisnis senjata.
Namun semua rumor yang berkembang terkait dengan penggunakan senjata tersebut masih gelap. Apalagi, satu-satunya orang yang menjadi kunci untuk mengungkap kasus ini, yakni Brigjen Koesmayadi sudah meninggal 25 Juni lalu.
Bila tidak ada kasus penemuan senjata ini, mungkin nama Koesmayadi cepat dilupakan orang. Apalagi, Koesmayadi tidak banyak dikenal publik. Kiprahnya banyak dibelakang layar atau di medan tempur. Hanya kalangan perwira tinggi di TNI AD yang mengenalnya.
Mega Simarmata, salah seorang wartawan radio termasuk salah satu yang mengenal Koesmayadi. Ia pun menuliskan sosok Koesmayadi sepanjang yang ia kenal.
Berikut tulisan Mega Simamarta wartawan RADIO VOICE OF AMERICA (VOA) yang dikirim ke detikcom, Sabtu (1/7/2006).
Saya mengenal Koesmayadi pertengahan tahun 2002. Saat itu, KSAD dijabat oleh Jenderal Ryamizard Ryacudu.
Saya, yang masih menjadi reporter di sebuah radio, sering meliput kunjungan kerja KSAD ke berbagai daerah, dan paling sering ke Nangroe Aceh Darussalam.
Akhirnya, saya menjadi sahabat terdekat almarhum Koesmayadi. Dia, bukan saja menjadi sahabat, tetapi juga menjadi ibaratnya saudara kandung.
Begitu juga halnya dengan Jenderal Ryamizard Ryacudu. Walaupun kami terakhir bertemu Desember 2004, kami tetap terus berkomunikasi melalui telepon dan SMS. Sampai seminggu sebelum kematiannya, kami tetap berkomunikasi.
Saya mendapat kabar kematian sahabat saya ini Minggu sore 25 Juni 2006 dari seorang kawan wartawati media televisi. Dia mengirim SMS:
“Mega, Bang Koes meninggal, sekarang jenazah di RSPAD”.
Saya begitu terkejut mendapat kabar duka ini. Terakhir saya bertemu dengan almarhum, Desember 2004. Setelah terjadi bencana alam tsunami di Nangroe Aceh Darussalam 26 Desember 2004, Koesmayadi begitu disibukkan dengan masa tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.
Apalagi karena Koesmayadi menjabat sebagai Wakil Asisten Logistik (Waaslog) KSAD.
Issue yang beredar di tengah masyarakat saat ini, diduga Koesmayadi terlibat dalam upaya kudeta atau makar kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Issue lain adalah Koesmayadi dituduh berada dibalik kerusuhan berdarah di poso dan daerah rawan konflik lainnya. Lalu, issue yang menyusul adalah Koesmayadi terlibat dalam bisnis senjata illegal.
Terlepas dari semua issue yang beredar itu, saat ini Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto telah membentuk tim khusus untuk mengusut kepemilikan senjata yang ditemukan di rumah pribadi almarhum Koesmayadi.
Saya ingin mengisahkan, beberapa hal yang tidak diketahui oleh banyak orang. Koes, lulusan akademi militer tahun 1975.
Selama duabelas tahun dia ditugaskan di Timtim. Bahkan pada bulan desember 1978, peleton dari Koesmayadi inilah yang berhasil menewaskan Presiden Fretelin, Nikolaus Lobato di Timtim. Nikolaus Lobato, saat itu dikategorikan sebagai pemberontak nomor satu di Timtim.
Bagi prajurit kelahiran Karimun 4 Oktober 1953 ini, NKRI adalah harga mati. Jari tangan almarhum Koesmayadi, sampai akhir hayatnya cacat, yaitu beberapa ruas jarinya tak bisa dibengkokkan dan (maaf) bentuknya juga sangat aneh, akibat bekas tembakan di medan pertempuran.
Almarhum Koesmayadi, bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk yang terakhir kali adalah di Markas Kostrad pada tanggal 9 Maret 2004, yaitu pada peringatan HUT Kostrad ke 43. Saat itu, SBY masih menjadi salah seorang capres.
Mungkinkah Koesmayadi melakukan kudeta dengan Jenderal Ryamizard Ryacudu?
Saya perlu menginformasikan bahwa Jenderal Ryamizard Ryacudu berhenti menjadi KSAD pada bulan Februari 2004. Ia digantikan oleh wakilnya sendiri, yaitu Jenderal Joko Santoso. Tidak cuma PDIP, banyak pihak sangat menjagokan Jenderal Ryamizard Ryacudu untuk menjadi panglima TNI.
Bulan Oktober 2004, saya mendapat kabar dari lingkungan istana kepresidenan, bahwa Jenderal Ryamizard Ryacudu tidak akan dipilih menjadi panglima TNI. Saya sampaikan kabar ini kepada almarhum Koesmayadi. Ia mengatakan, sampaikan kepada RR, bahwa itu perkembangannya. (almarhum sering menyebut Jenderal Ryamizard dengan sebutan RR).
Lalu, saya menelepon Jenderal Ryamizard Ryacudu, bahwa besar kemungkinan beliau tidak akan dipilih menjadi panglima TNI.
Sebagai bawahan dan sahabat, kalau memang Koesmayadi berniat melakukan kudeta atau makar, moment yang paling baik melakukan kudeta atau makar adalah bulan Oktober – November 2004, sebab disitulah informasi mulai berhembus, bahwa Jenderal Ryamizard Ryacudu tidak akan pernah dinominasikan sebagai panglima TNI.
Tetapi pada kenyataannya, baik Jenderal Ryamizard ataupun almarhum Koesmayadi, tidak memberikan reaksi berlebihan yang negatif. Keduanya dalam posisi diam. Ini menandakan bahwa, mereka bukanlah tentara ambisius yang kalap melakukan tindakan membabi buta jika disakiti atau dikhianati.
Ketika pada akhirnya, pada bulan Februari 2006 Marsekal Djoko Suyanto dipilih dan dilantik menjadi panglima TNI, saya menelepon almarhum Koesmayadi dari Mabes TNI Cilangkap. Saya datang kesana untuk meliput serah terima jabatan panglima TNI, dari Jenderal Endriartono Sutarto kepada Marsekal Djoko Suyanto.
Saya ceritakan kepada almarhum Koesmayadi, bahwa Jenderal Ryamizard Ryacudu datang ke acara sertijab itu, tapi duduk paling belakang dan langsung pulang tanpa menyalami terlebih dahulu Marsekal Djoko Suyanto.
Saya sempat menegur Jenderal Ryamizard Ryacudu “Kenapa langsung pulang Pak, salam dong Pak Djoko, sampaikan ucapan selamat”. Saat itu Jenderal Ryamizard menjawab “Kamu lihat itu, ngantri yang mau nyalam, malas gue ngantri. Gue mau bicara aja di telepon Meg, lu tau nomornya?”.
Almarhum Koesmayadi menghubungi saya, lalu meminta agar saya menjadi mediator bagi Jenderal Ryamizard Ryacudu dan Marsekal Djoko Soeyanto.
“Meg, bantuin RR, supaya bisa bicara dengan panglima, biar mereka bicara”.
Saya menelepon Panglima TNI Marsekal Suyanto pada sore hari, untuk mengatakan bahwa Jenderal Ryamizard ingin bicara.
Marsekal Djoko Soeyanto menjawab “Oke Mega, aku siap menerima telepon beliau”.
Lalu saya menghubungi Jenderal Ryamizard untuk mengatakan bahwa Marsekal Djoko Soeyanto siap untuk ditelepon.
Akhirnya berbicaralah kedua perwira tinggi berbintang empat ini. Belakangan saya mendapat kabar, bahwa Jenderal Ryamizard menyampaikan ucapaan selamat dan kepada Marsekal Soeyanto, tidak ada rasa sakit hati sedikitpun juga.
Almarhum Koesmayadi mempunyai dua orang anak, Diana dan Doni. Keduanya bersekolah di Singapura selama ini. Dua minggu sebelum almarhum menghembuskan nafasnya yang terakhir, puteri sulungnya menikah dengan seorang prajurit TNI. Ijab kabul dilakukan di Masjid At-Tien di komplek TMII. Saksi pernikahan dari pihak perempuan adalah Jenderal Ryamizard Ryacudu. Itulah pertemuan terakhir adalah Jenderal Ryamizard Ryacudu dengan almarhum Koesmayadi.
Sehari setelah almarhum Koesmayadi dimakamkan, atau hari selasa 27 Juni 2006, Jenderal Ryamizard dan isterinya, berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah umroh dan baru akan kembali ke tanah air pertengahan bulan Juli 2006.
Ia tidak pernah mau dipromosikan jadi panglima kodam (pangdam). Bahkan ketika Jenderal Ryamizard Ryacudu menaikkan pangkatnya menjadi Brigjen (tahun 2003), Koesmayadi begitu kecewa. Ia ingin tetap menjadi kolonel.
Saya berbicara kepadanya waktu itu, saya katakan “Kenaikan pangkat lu, bukan KKN, bukan karena lu dekat dengan Pak Mizard, tetapi karena memang lu pantas dinaikkan pangkatnya”.
Almarhum menjawab tanpa sedikitpun melihat ke arah saya (Koes biasa begitu, cuek dan tak peduli).
Dia katakan tahun 2003 lalu “Gue lebih bangga menjadi kolonel Meg. Tadi waktu laporan kenaikan pangkat, gua dipanggil Pak Jamari Chaniago … Eh koes, muka lu keliatannya gak senang? Gue jawab aja, iye”.
Selamat jalan Pak Koes.
Saya tetap sahabatmu. Dan saya tahu, kamu bukan pemberontak.
Di sana, kamu pasti sudah bertemu dengan Jenderal Besar Sudirman, yang begitu kamu kagumi dan kamu pasang fotonya dalam ukuran besar di ruang kerjamu. Doa saya menyertai kepulanganmu ke markas besar keabadian dan kesejatian manusia, yaitu di surga.
Jakarta, 1 Juli 2006
Mengenang jelang 8 tahun wafatnya Brigjen Koesmayadi
Mega Simamarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar