Syekh DR. Abdullah Ahmad (lahir di Padang Panjang, 1878 – meninggal di Padang, 1933 pada umur 55 tahun) adalah seorang ulama reformis yang mendirikan Sekolah Adabiah (1909) dan PGAI di Padang (1919) serta turut membidani lahirnya perguruan Sumatera Thawalib Padangpanjang (1921 di Surau Jembatan Besi yang telah berdiri sejak 1914) sebagai cikal bakal Sumatera Thawalib di Sumatera Barat,. Beliau adalah anak dari Haji Ahmad, ulama Minangkabau yang juga seorang pedagang, dari seorang ibu yang berasal dari Bengkulu. Ada kebiasaan keluarga Minangkabau di Sumatera West-Kunde pada zamannya yaitu seorang ulama haruslah melahirkan anak ulama pula.
Abdullah Ahmad menyelesaikan pendidikan dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah dan sedari kecil memperoleh pendidikan agama dari ayahnya. Pada tahun 1895, Abdullah Ahmad pergi ke Mekkah dan kembali ke Indonesia pada tahun 1899. Pada masa itu adalah kebanggaan dan harapan kepada anak anak generasi di Minangkabau untuk belajar ke Mekkah ataupun ke Kairo (Mesir). Abdullah Ahmad adalah salah satu dari kebanggaan itu.
Pada masa itu pula di Masjidil Haram Makkah banyak berperan para Ulama yang berasal dari dunia Melayu yang sudah berjalan sambung bersambung dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam jarak waktu cukup panjang dan pernah ada yang menjadi imam khatib dalam Mazhab Syafie di Masjid al-Haram Mekah, diantaranya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani (Patani, Thailad Selatan) dan disusul seratus tahun kemudian oleh Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawy (lahir Isnin, 6 Zulhijjah 1276 H/26 Juni 1860 M, wafat 9 Jamadilawal 1334 H/13 Maret 1916 M) dan Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Kudus (lahir 1277 H/1860 M, riwayat lain dinyatakan lahir 1280 H/1863 M, wafat 1334 H/1915 M), yang sangat terkenal dalam pelbagai bidang yang mereka tekuni.
Diantara ketiga Syeikh itu, terlihat murid Syaikh Khatib banyak sekali. Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya Hamka; Syaikh Muhammad Djamil Djambek pendiri Surau Inyik Djambek di Bukittinggi; Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli pendiri MTI Candung, Syaikh Muhammad Jamil Jaho pendiri Madrasah Tarbiyah di Jaho Padang Panjang, Syaikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syaikh Abbas Abdullah pendiri Darul Funun Padang Japang Suliki, Syaikh Khatib Ali penggagas Thawalib Padang, Syaikh Ibrahim Moesa pendiri Thawalib Parabek, Syaikh Mustafa Husein pendiri Musthafawiyah Purba Baru, Mandailing, dan Syaikh Hasan Maksum, Medan, K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan, yang mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Semua gerakan pendidikan pencerdasan umat itu berumur mendekati satu abad.
Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai membuktikan pemikiran, manakala Islam bermaksud tetap memajukan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Inilah ciri khas alim ulama yang cita-citanya ditemukan kembali dalam agama. Cara berpikir seorang alim ulama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan.
Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam yang meletakkan ilmu pada darjah mulia dan pendidikan adalah upaya meraihnya.
Diantara mata rantai itu adalah DR. Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933) yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, bersama Abdul Karim Amrullah, ia menjadi orang Indonesia terawal yang memperoleh gelar doktor kehormatan (1926) dari Universitas Al-Azhar, yang justeru diterimanya di tengah Kongres Khilafat persidangan akbar ulama ulama Islam sedunia di Kairo (Mesir), yang memberikan penghargaan (Honoris Causa) dibidang pendidikan agama yang mengajar di Padang Panjang, sekembalinya dari Mekkah, serta ikut mendirikan Sumatera Thawalib yang berawal dari pengajian Zuama, di Masjid Jembatan Besi, Padangpanjang, sembari memberantas bid’ah dan tarekat.
Pendidikan Islam sistim halaqah di surau yang kemudian berpindah dengan sisitim kelas telah menggugah pula kaum perempuan Minangkabau untuk ikut aktif dalam bidang pendidikan ini.
DR.Abdullah Ahmad lebih tua dari Ki Hajar Dewantoro atau Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (2 Mei 1889 – 26 April 1959), pendiri Taman Siswa di tahun 1922, telah dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Jauh sebelum Taman Siswa itu ada, di Padang telah didirikan oleh Syaikh DR. Haji Abdullah Ahmad sebuah Sekolah Adabiyah pada tahun 1909 dan bersama dengan para Ulama Minangkabau didirikan Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) di Jati, Padang tahun 1919 dan kemudian diakui sebagai satu Perkumpulan Islam yang saat itu disebut dengan Rechts person No.67 thn.1920 tertanggal 7 Juli 1920.
Berarti PGAI tiga tahun lebih tua dari Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa yang didirikan 3 Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantoro aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda.
Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo.
Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Syekh Taher Djalaluddin, berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898), karena itu beliau memakai nama Al Azhary dibelakang namanya. Kemudian kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900.
Beliau sangat ahli di bidang ilmu falak, dan muridnya adalah Syekh Muhammad Djamil Djambek. Pada tahun 1900 itu pula, Syekh Taher Djalaluddin pulang dan menetap di Malaya, diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak.
Syekh Taher Djalaluddin merupakan seorang tertua bahkan dianggap sebagai guru oleh kalangan pembaru di Minangkabau. Gerakan pemikiran beliau telah mewarnai para zuama antaranya DR.H.Abdullah Ahmad.
Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah Al-Iqbal al-Islamiyah yang didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah ini kemudian menjadi model Sekolah Adabiyah atau Adabiah School yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada 1909 lebih dari 100 tahun yang lalu dengan bantuan Jamaah Adabiah, terutama pedagang pedagang kota Padang yang tergabung dalam Serikat Oesaha pimpinan Taher Marah Sutan[1] berarti 3 (tiga) tahun sebelum HOS Cokroaminoto mendirikan SI (Sarekat Islam) 1912. Pemakaian kata SO = Serikat Oesaha — menjadi bukti otentik –bahwa para pendiri memiliki pandangan jauh kedepan dalam pengelolaan pendidikan dalam satu Serikat Oesaha – tijaratan tunji kum min ‘adzabin alim – yaitu Iman kepada Allah, sebagai buah dari pengajian Jamaah Adabiah, suatu komunitas pendengar pengajian Syekh DR. Abdullah Ahmad yang diselenggarakan dua kali dalam sepekan sejak beliau pindah dari Padangpanjang ke Padang 1906.
Syekh Abdullah Ahmad adalah motivator dan penggerak amal nyata dalam perannya sebagai ulama besar yang mempelopori banyak pembaruan social sampai akhir hayat beliau meninggal pada 1933 diusia tergolong masih muda 55 tahun. Alfatihah.
Perguruan Adabiah berkembang dibawah asuhan YSO ADABIAH sampai sekarang ini. Kata “Adab” menyimpan makna mulia. Mencipta generasi dengan karakter beradab, beretika dalam kandungan akhlaqul karimah dengan keimanan dan keikhlasan membentuk adab generasi bangsa.
Nama Adabiyah telah dipakai oleh DR. Haji Abdullah Ahmad sejak 1906 dan memberikan pengajian di Masjid Ganting dan mengadakan juga Wirid Jamaah Adabiyah yang dibinanya di masa itu diikuti oleh pedagang pedagang kota Padang dua kali sepekan dengan murid atau komunitas pendengarnya mencapai jumlah 300 orang pedagang dan menggerakkan untuk melakukan berbagai bidang amal nyata para aghniyak pedagang di Kota Padang.[2]
Sekolah Adabiah menurut penelitian Mahmud Yunus sebagaimana diulangkan kembali oleh Hasril Caniago adalah Madrasah pertama di Minangkabau bahkan di Indonesia, karena menurut penyelidikannya tidak ada madrasah atau sekolah serupa yang didirikan lebih dulu dari Sekolah Adabiah. [3]
Dalam perkembangannya ditahun 1915 sistim pendidikan diubah menjadi HIS Adabiah yang merupakan sekolah umum pertama yang memasukkan pelajaran agama Islam dan Al Qur’an sebagai mata pelajaran wajib dalam sistim atau kurikulumnya. Inilah yang membedakannya dengan HIS yang didirikan pemerintah Belanda.[4]
Disinilah sebenarnya keunggulan kepeloporan DR.Abdullah Ahmad sebagai Perintis Pendidikan Modern Berbasis Islam di Nusantara. Langkah beliau ini diikuti oleh Syekh Haji Muhamad Thaib Umar yang mendirikan Sekolah Agama di Batusangkar pada tahun 1909 itu juga, namun tidak lama bertahan hidup, dan kemudian di tahun 1910 Syekh H.M.Thaib Umar mendirikan sekolah agama di Sungayang Batusangkar dengan nama Madras School (sekolah Agama).[5]
Setelah itu, surau surau di Minangkabau yang selama ini menjadi pusat pembinaan anak nagari mengubah pendidikan agama di suraunya dengan cara berkelas seperti yang telah dimasyhurkan oleh DR.Abdullah Ahmad dan DR. Abdul Karim Amarullah.
Gerakan itu diikuti oleh Syekh Ibrahim Moesa Parabek dengan mendirikan Sumatera Thawalib Parabek (1921) — sebelumnya sudah ada Surau Inyik Syekh Ibrahim Moesa Parabek yang berdiri sejak 1914 –.
Kemudian diikuti berdirinya Diniyah School Puteri atau Madrasah Diniyah Puteri di Padangpanjang oleh Rky.Syaikhah Rahmah el Yunusiah pada Nopember 1923 yang merupakan madrasah diniah puteri pertama di Indonesia[6].
Diniyah Puteri Bangkaweh
Lengkaplah gerakan pencerdasan umat oleh para pejuang pendidikan melalui sistim pendidikan Thawalib dan Diniah diikuti oleh banyak nagari di Sumatera Barat dan Nasional Indonesia serta Nusantara.
DR.Abdullah Ahmad dimasa hidupnya dikenal sebagai Da’i, Muballigh, Alim Ulama, Inyik Syaikh DR yang disegani. Beliau juga seorang Wartawan yang memiliki pandangan jauh demi agama bangsa dan negara merdeka.
Dalam memupuk jiwa nasionalisme melalui penyebaran Majalah Bulanan Al-Imam yang memuat artikel tentang pengetahuan popular, komentar kejadian penting di dunia, terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan mendorong umat Islam betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang merdeka dan tidak dijajah. Melalui majalah ini Syekh DR. Abdullah Ahmad ikut mendorong agar umat Islam mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan dunia barat. Al-Iman sering mengutip pendapat dari Mohammad Abduh dari majalah Al-Mannar di Mesir.
Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan Jawi, dan disebarkan di Indonesia meliputi tanah Jawa (Betawi, Jakarta, Cianjur, Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (Pontianak dan Sambas), Sulawesi (Makassar).
Kemudian di Padang, DR.Abdullah Ahmad pada 1 Rabi’ul Akhir 1329 H/1 April 1911 M menerbitkan majalah Islam pertama di Minangkabau, bahkan pertama di Indonesia dengan nama Al Munir[7] dibantu oleh Syekh Abdul Karim Amarullah dan Syekh H.Muh.Thaib Umar dari Sungayang. Majalah itu telah menggunakan bahasa Indonesia (Melayu) sejak 17 tahun jelang“sumpah pemuda” di ikrarkan 28 Oktober 1928 berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia.
DR.Abdullah Ahmad adalah Cendekiawan Minangkabau dan Bengkulu. Pendidik dari Padangpanjang berasal dari keluarga aghniyak yang disegani dan tampak sewaktu pergi berdakwah dari Padang ke Padang Panjang memakai kenderaan motorfeet yang jarang dipunyai oleh seseorang dizaman itu.
Beliau seorang penyantun, kuat memegang prinsip dan memiliki cita cita tinggi. DR.Abdullah Ahmad adalah Pejuang pendidikan yang tangguh dan rela berbakti dengan harta dan waktu. Buktinya di rasakan nyata hingga masa kini setelah lebih satu abad sepeninggal Beliau di Kota Padang adalah Adabiah dan PGAI di Jati, Padang, yang masih tetap eksis sejak didirikan tahun 1919 lalu.
PGAI didirikan bersama sama oleh ulama Sumbar, antara lain Syekh DR. H. Abdul Karim Amarullah, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Moesa Parabek, Syekh H.Daud Rasyidi Balingka, Syekh Kadir Muhammad Air Bangis, Syekh Muhammad Zen Imam Batusangkar, Syekh Abdul Majid Karim Padang, Ustadz Zainuddin Labay Yunus Padangpanjang, Haji Ahmad Yunus Padang, Tuanku Imran Limbukan Payakumbuh, Haji Ahmad Kotogadang Bukittinggi, Haji Abdul Rasyid Maninjau, Haji Muhammad Noer Kadli Sumpur, Pakih Makhudum Solok, Haji Sutan Darab Pariaman dengan Presidennya adalah Dr Abdullah Ahmad. Sejak berdirinya PGAI menjadi tempat diskusi dan bertukar pikiran para ulama semacam Islamic Center of Excelent.
Pada tahun 1920, DR.Abdullah Ahmad telah mendirikan panti asuhan Anak Yatim PGAI di Jati Padang, dan pada tahun itu telah mampu membeli dua persil tanah verp. No.1312 dan no.1318 seluas 55.000 m2 yang ada sampai sekarang.[8]
Namun karena tidak ada sekolah untuk anak-anak tersebut, maka para ulama ini berinisiatif mendirikan sekolah agar anak yatim tetap bisa mengenyam pendidikan seperti anak-anak priyayi di masa itu. Tenaga pengajarnya adalah para ulama, yang menitikberatkan kurikulum pada pendidikan pengetahuan umum berbasis agama Islam.
Kemudian sepuluh tahun setelah itu atau tepat 1930, Normal Islam School resmiberdiri menyaingi sekolah-sekolah umum yang banyak didirikan Belanda. Sekolah ini memfokuskan pada pelajaran agama Islam. Hingga melahirkan banyak mubaligh yang kemudian menyebar ke seluruh nusantara. Salah satu alumninya adalah Imam Zarkasih yang kemudian mendirikan madrasah yang sekarang dikenal dengan nama Pondok Pesantren Modern Gontor di Jawa Timur. Di sekolah sekolah asalnya ataupun yang didirikan oleh alumnus alumnus tersebut disiplin dilakukan secara ketat. Bahasa pengantar dalam setiap mata pelajaran disampaikan dalam bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia. Sehingga pada masanya, PGAI mampu bersaing dengan sekolah-sekolah elit Belanda.
Melihat pesat perkembangan PGAI, menimbulkan kecurigaan pihak Belanda, akhirnya menutup sekolah PGAI beberapa saat sebelum Jepang masuk ke Indonesia.
Namun, sampai sekarang, sesudah Indonesia Merdeka, bangunan masih mepertahankan keaslian bekas gedung Normal Islam School yang bercorak Eropa tetap pada bentuk aslinya, walau dengan renovasi sesuai keperluan dan tuntutan zaman.
Maka, keberadaan Adabiah, PGAI yang telah dirintis oleh DR. Abdullah Ahmad sesungguhnya lahir dari keikhlasan semangat kebangsaan dan kecintaan serta jiwa nasionalisme Indonesia dengan berjuang menentang penjajahan guna merebut kemerdekaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui jalur pendidikan mencari redha Allah yang tetap hidup dan berkembang hingga hari ini.
Wallahu a’lami bis-shawaab.
Bio Data Penulis ; H. Mas’oed Abidin, Lahir tanggal : 11 Agustus 1935 di Kotogadang, Bukittinggi, Anak dari : H.Zainal Abidin bin Abdul Jabbar Imam Mudo dan Khadijah binti Idriss. Jabatan sekarang : Ketua Umum Masjid Raya Al Munawwarah Siteba, Surau Gadang, Kec. Nanggalo, Padang., Ketua Umum Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Prov. Sumbar, masoedabidin@hotmail.com
[1] Abrar Yusra dalam “Azwar Anas, Teladan dari Ranah Minang”, pengantar Taufik Abdullah, ISBN: 978-979-709-585-7, Penerbit Buku Kompas, Agustus 2011, hal.12. Catatan ; Taher Marah Sutan adalah ayanda dari DR.Tirmidzi Taher pernah menjabat Menteri Agama RI dan Dubes RI dibanyak Negara di Eropah.
[2] Perlu juga dingat bahwa Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 16 Oktober 1905 awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Menurut asusmsi kita, tahun tahun pergerakan SDI 1905 itu ikut mendorong giatnya wirid Jamaah Adabiah yang mulai ada 1906 di Padang itu. Wallahu a’lamu.
[3] Hasril Chaniago, “101 Orang Minang di Pentas Sejarah”, ISBN: 978-979-3478-19-7, Pengantar Prof.DR.Mestika Zed, Penerbit Yayasan.Citra Budaya Indonesia, Padang, Cet.I,Januari 2010, hal. 132-135.
[4] Ibid. Hasril Chaniago, hal.134.
[5] Prof. H. Mahmud Yunus, “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia” , Kode Penerbit: 005-I-M, PT Mutiara Sumber Widya, Jakarta Pusat, Cet.I, 1962, hal.63.
[6] Ibid. hal.69
[7] Ibid.hal.79
[8] Buku Kenang-Kenangan PGA 6 th PGAI, stensilan, Padang 21 September 1968, hal. 10 – 15.
https://blogminangkabau.wordpress.com/2013/10/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar