Abstract
Nahdhatul ‘Ulama (NU) merupakan organisasi kegamaan, yang ideologi dan ajarannya dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam panggung sejarah Indonesia, NU telah terbukti memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa baik itu dalam ranah sosial, politik dan keagamaan. Hal ini tidak terlepas dari sikap kegamaannya yang moderat (tawassuth), sehingga NU tidak terjerembab dalam sikap ekstremisme yang berlebihan. NU memahami Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, yakni agama yang penuh dengan cinta kasih sehingga dapat merahmati seantero alam. Sikap moderat dan rahmatan lil alamin NU, tidak mungkin memiliki pijakan teologis-normatif. Lebih-lebih NU merupakan organisasi yang sangat mengapresiasi tradisi dan warisan khazanah intelektual islam klasik. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menjelaskan pijakan-pijakan atau dasar-dasar normatif-teologis NU tersebut, mengenai berislam secara rahmatan lil alamin.
Kata Kunci: Nahdhatul Ulama’, Islam Rahmatan Lil Alamin, Dasar Teologis-Normatif.
Pendahuluan
Dalam panggung sejarah Indonesia, Nahdlatul Ulama dikenal sebagai organisasi keagamaan yang moderat. Sikap moderat NU dibuktikan dengan model dakwahnya yang khas, yakni menggunakan pendekatan model Wali Songo. Dengan model dakwahnya itu, NU mengakomodasi budaya lokal asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Selain itu, NU lebih berorientasi pada dakwah persuasif dan sangat menghindari pendekatan-pendekatan dengan kekerasan dan intoleran.
Model dakwah yang NU lakukan demi mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin, dimana saat ini, diktum “Islam rahmatan lil alamin” terusik dan rusak citranya akibat arus radikalisme yang mengatasnamakan Islam. Peran NU sebagai organisasi Islam moderat yang mengkampanyekan Islam rahmatan lil alamin sangat diperlukan, sebab dengan dakwah kulturalnya, ia dapat menghadang arus gerakan radikal dan trans-nasional yang mengancam keutuhan NKRI.
Sebagai organisasi yang mengkampanyekan Islam rahmatan lil alamin, NU diproyeksikan memiliki pijakan-pijakan teologis-normatif yang digunakan sebagai landasan dan metode berpikir (manhaj al-fikr). Oleh karena itu, tulisan ini mencoba melacak bagaimana sebenarnya konsep islam rahmatan lil alamin dalam perspektif NU serta bagaimana pijakan atau landasan teologis-normatifnya. Hal ini dipandang menarik, sebab selain sebagai salah satu organisasi terbesar di Indonesia, NU merupakan representasi dari “Islam tradisional” yang sangat mengapresiasi tradisi dan khazanah intelektual Islam klasik dan sudah barang tentu dimungkinkan memiliki landasan yang berbasis pada tradisi . Dengan mengetahui bagaimana konsep islam rahmatan lil alamin dalam perspektif NU serta landasan teologis-normatif yang mendasarinya, kita akan mengetahui bahwa dalam mengkampanyekan Islam rahmatan lil alamin, NU tidak berangkat dari ruang kosong, tetapi ia memiliki konsep dan landasan yang kokoh.
Sekilas Tentang Nahdlatul Ulama’
Secara historis, latar belakang munculnya Nahdhatul ‘Ulama’ (NU) tidak bisa dilepaskan dari munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, khususnya yang terjadi pada awal abad 20 M. Pada abad tersebut muncul gerakan-gerakan Islam modernis semisal Muhammadiyah, Sarekat Islam (SI) dan Persatuan Islam (Persis). Mereka selalu mendengungkan slogan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”, slogan yang menekankan kepada purifikasi Islam, yakni pembersihan Islam dari pengaruh hal-hal yang non-islami. Oleh karena itu, mereka menolak praktek-praktek keagamaan yang tidak didasarkan kepada al-Qur’an dan hadis. Mereka menganggap praktek tersebut sebagai bid’ah.[1]
Sebelum berdirinya gerakan Islam modernis (1911-1926), kelompok islam tradisionalis sudah lebih dahulu berkembang di Indonesia. Kelompok ini diwakili oleh para ulama’ pesantren dan kelompok inilah yang menjadi cikal-bakal lahirnya NU. Perdebatan sengit kerap terjadi antara muslim modernis dan muslim tradisionalis. Dengan gagasan purifikasinya, muslim modernis menyalahkan praktek keagamaan muslim tradisionalis yang mereka anggap sebagai bid’ahdan sudah tidak relevan lagi. Praktek keagamaan seperti tarekat, tawassul dan tahlilandisalahkan karena tidak didasarkan pada al-Qur’an dan hadis. Dalam pandangan muslim modernis, praktek keagamaan tersebut merupakan bentuk inovasi dalam beragama dan tidak berdasarkan pada ajaran Islam yang murni.
Perdebatan sengit tersebut mencuat menjadi perpisahan, akibat adanya undangan untuk menghadiri Muktamar Khilafah, yang diselenggarakan oleh Raja Ibnu Saud Arab Saudi. Pada tahun 1924, Raja Hijaz (Makkah) yang berideologi Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang berideologi Wahabi. Pada waktu itu, tersebar berita bahwa Raja Ibnu Saud akan melarang segala bentuk praktek keagamaan kelompok Sunni dan menggantikannya dengan model Wahabi. Selain itu, ia ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia Islam. Ia ingin meneruskan kejayaan kekhilafahan Islam di Turki yang diruntuhkan oleh Mushtafa Kemal Pasha. Oleh karena itu, ia menyelenggarakan Muktamar Khilafah dan mengundang seluruh organisasi Islam di penjuru dunia, termasuk Indonesia.[2]
Dengan diselenggarakannya Muktamar Khilafah oleh Raja Ibnu Sa’ud yang berideologi Wahabi tentu menjadi masalah tersendiri bagi kelompok tradisionalis, sebab masa depan madzhab dan tradisi keagamaan yang dianut oleh mereka di Indonesia sedang dipertaruhkan masa depannya. Perstiwa tersebut menyadarkan para ulama’ dari golongan tradisionalis akan pentingnya suatu organisasi, khususnya KH. Abdul Wahhab Chasbullah. Ia sendiri berinisiasi mengirim delegasi lain untuk menghadiri Muktamar Khilafah.
Untuk merealisasikan inisiatifnya tersebut, KH. Abdul Wahhab Chasbullah mengundang seluruh ulama yang berpengaruh di Jawa ke kediamannya di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926; tanggal yang kemudian menjadi lahirnya NU sebagai organisasi keagamaan (jamiyah diniyyah). Pertemuan para ulama tersebut menghasilkan pertemuan penting, yakni pertama, meresmikan dan mengukuhkan berdirinya Komite Hijaz dengan masa kerja sampai delegasi yang diutus menemui Raja Saud dan kembali ke Indonesia. Kedua, membentuk organisasi sebagai wadah persatuan para ulama dan tugasnya memimpin umat menuju terciptanya cita-cita izzul islam wal muslimin. Atas usul Alwi Abdul Aziz, organisasi ini diberi nama “Nahdhatul Ulama”. Pada saat itu, yang menjadi Rais akbar untuk pertama kali adalah KH. Hasyim Asy’ari.[3]
Begitulah historisitas terbentuknya NU sebagai sebuah organisasi keagamaan. Ia terbentuk melalui jaringan yang kuat antara para ulama’ pesantren atau kaum yang disebut oleh Geertz sebagai kaum santri. Jaringan yang kuat antar para ulama’ terjalin beradasarkan kesamaan ideologi, yakni ideologi Sunni atau ahlus sunnah wal jama’ah yang mempunyai genealogi dengan Wali Songo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa, bahkan tersambung hingga Abu Hasan al-Asy’ari (pendiri madzhab Asy’ariyah). Selanjutnya akan dijelaskan bagaimana ideologi ahlus sunnah wal jama’ah menurut NU.
Pada umumnya, kalangan muslim manapun akan mengklaim bahwa mereka termasuk golongan ahlus sunnah wal jam’ah. Klaim tersebut merupakan bentuk implikasi dari pernyataan Nabi bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu mereka yang berpegang teguh pada sunnahku dan jama’ah sahabatku (ma ana ‘alaihi wa ash-habi)”.[4] Hadis tersebut menyebabkan umat Islam saling mengklaim antara satu dengan lainnya siapakah kelompok yang benar-benar termasuk golongan ahlus sunnah wal jam’ah.
NU memahami pemahaman tersendiri tentang makna ahlus sunnah wal jama’ah dan makna tersebut yang membedakan NU dengan kelompok-kelompok Islam lainnya semisal Muhammadiyah dan Wahabi. Dalam kitab Risalah Ahlis-Sunnah wal Jama’ah: fi Haditsil Mawta wa Asyrathi Sa’ah wa Bayan Mafhumis Sunnah wal Bid’ah, KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sunnah secara istilah adalah jalan yang dikehendaki oleh agama, karena dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat, tabi’in dan generasi salaf al-salih.[5]
Menurut Zuhairi Misrawi, pernyataan KH. Hasyim tersebut memberikan diferensiasi yang sangat jelas bahwa golongan yang termasuk dalam Ahlus Sunnah adalah mereka yang tidak hanya merujuk pada glorifikasi pada zaman Nabi dan para sahabat atau “kembali kepada al-Qur’an dan hadis” (dalam istilah kelompok modernis), tetapi juga mereka yang mengikuti tradisi keagamaan para tabi’in dan generasi salaf al-shalih yang mengikuti ajaran Rasulullah.[6]
Selanjutnya, sesuai dengan khittah organisasi, prinsip dasar ideologi keagamaan NU dirumuskan sebagaimana berikut: pertama, dalam bidang hukum-hukum Islam (fiqh), menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab empat (Syafi’i, Maliki, Hanbali dan Hanafi). Kedua, dalam persoalan tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Ketiga, dalam bidang tasawuf, menganut ajaran-ajaran Imam al-Ghazali dan Imam Abu Qasim al-Junaidi.[7]
Dalam merumuskan bagaimana mengaplikasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari, NU memiliki emapat rujukan yaitu al-Qur’an, hadis, ijma’ (konsensus) dan qiyas (analogi). Keempat rujukan tersebut digunakan secara hierarkis. Ijma’ dan qiyas menjadi ciri khas dalam NU, hal ini berarti memahami Islam tidak cukup hanya dengan memahami al-Qur’an dan sunnah, tetapi juga harus memahami madzhab dan tradisi intelektual yang telah dulu diformulasikan dan dipraktekkan oleh para ulama’ salaf al-shalih.
Bagi NU, bermadzhab dan berpedoman pada tradisi-tradisi yang dulu merupakan hal yang penting. Sebab, memang tidak mudah untuk memahami al-Qur’an dan hadis, diperlukan seperangkat keilmuan yang harus dikuasai untuk memahami keduanya. Selain itu, tidak jarang ungkapan-ungkapan dalam al-Qur’an dan hadis masih bersifat global, sehingga dibutuhkan penafsiran-penafsiran lebih lanjut untuk memahaminya keduanya, sehingga nantinya bisa diaplikasikan. Dalam pandangan NU, para ulama’ madzhab dengan warisan khazanah dan tradisi intelektual-spritual mereka menjadikan Islam mudah dapat dimengerti oleh umat Islam. Sehingga mengikuti ulama’ madzhab merupakan suatu kemestian dalam tradisi NU.
Dal hal ini KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan tentang perlunya berislam dengan mengacu pada madzhab-madzhab dan tradis-tradisi terdahulu. Beliau mengatakan:
“…. syari’at tidak dapat dikenali, kecuali melalui tradisi istinbath. Tradisi tidak dapat berjalan, kecuali dengan cara setiap generasi mengambil dari generasi sebelumnya secara berkesinambungan, sementara dalam mengadakan istinbath, mazhab-mazhab sebelumnya harus dikenali agar tidak keluar dari pendapat ulama sebelumnya, yang dapat menyebabkan keluar dari ijma’. Istinbath harus didasarkan pada mazhab-mazhab terdahulu, dan dalam hal ini harus menggunakan (meminta bantuan) kepada generasi sebelumnya.”[8]
Meski demikian, NU tidak menerima dan mengaplikasikan warisan tradisinya secara taken for granted. Pembacaan secara mendalam, kritis, analitis dan kontekstual dilakukan dalam membaca tradisi. Hal ini dibuktikan dengan bagaimana sikap NU dalam merespon isu-isu aktual yang berkembang serta gagasannya tentang bagaimana memahami Islam dalam konteks keindonesiaan. NU tidak menentang adanya gagasan tentang pembaharuan Islam, namun pembaharuan harus tetap berpijak pada tradisi, sebab sebagaimana dijelaskan diatas bahwa syari’ah dapat dimengerti dengan melalui tradisi yang telah dulu dikembangkan oleh para ulama’. Kaidah “al-muhafadzah ala qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah(menjaga tradisi yang baik dan mengambil inovasi-inovasi baru yang lebih baik) sangat masyhur dikalangan NU dan masih banyak kaidah-kaidah lain yang menekankan kepada pembaharuan dan kontektualisasi, bukan kepada kejumudan dan literalisme. Hal ini didapatkan melalui pembacaan terhadap tradisi secara mendalam. Dalam hal ini menarik pernyataan Einar Martahan Sitompul:
“NU telah mengembangkan sebuah metodologi tersendiri dalam mengembangkan ajaran Islam. Dalam pengakuannya terhadap keberadaan madzhab dan tradisi, NU tidak akan mudah jatuh pada sikap fundamentalis karena ia mempunyai banyak rujukan untuk memberikan fatwanya. Dengan menerima keempat madzhab, NU menjadi golongan yang berpengaruh luas; ia mampu menghimpun berbagai tradisi dan sekaligus potensi.”[9]
Islam “Rahmatan lil Alamin” dalam Perspektif NU
Memahami Islam sebagai Agama Damai dan Kasih Sayang
Pertama-tama yang harus diketahui dalam memahami Islam sebagai agama rahmatan lil alamin adalah pemahaman terhadap Islam sebagai agama yang damai dan penebar kasih sayang. Pemahaman tersebut merupakan hal yang sangat fundamental dan merupakan kemestian bagi umat Islam untuk menjadikannya sebagai paradigma dan world view dalam melakukan segala tindakan. Sebab, dengan menjadikannya sebagai suatu paradigma atau world view, umat Islam dalam melakukan segala sesuatu, terutama yang berhubungan dengan masalah sosial-keagamaan, akan selalu menghadirkan Islam dengan wajahnya yang damai dan toleran serta jauh dari sikap anarkisme, radikal dan intoleran.
Oleh karena itu, NU selalu mendengungkan diktum “Islam sebagai agama damai dan kasih sayang (rahmatan lil alamin)” dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Dalam merealisasikan perjuangannyan, NU mencita-citakan penerapan Islam yang rahmatan lil alamin, yakni Islam yang kehadirannya di tengah-tengah masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun seluruh alam semesta.[10]
Hal tersebut sebagaimana dijelaskan berdasarkan pemahaman terhadap surat al-Anbiya’: 107:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Ayat di atas dipahami oleh NU sebagai ayat menerankan bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ditujukan untuk menebar rahmat (kasih sayang) diantara sesama manusia dan sesama makhluq Tuhan. NU meyakini bahwa jika Islam dilakukan dengan cara yang baik dan benar, tidak dengan kekerasan, maka ia dengan sendirinya akan mendatangkan rahmat bagi seluruh alam.[11]
Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad menyebarkan Islam tidak dengan menggunakan kekerasan, tetapi dengan kasih sayang, kebijakan dan kedamaian. Banyak dari kaum Qurays, Yahudi dan Nasrani terpaut hatinya untuk memeluk Islam lantaran terkagum-kagum dengan perilaku dan sifat Nabi yang sangat mulia. Nabi tidak memaksakan dakwahnya, sebab Allah melarang untuk memaksa orang lain untuk memeluk agama-Nya (laa ikraha fi al-din). Jihad dilakukan bukan untuk menyerang (ofensif), tetapi untuk membela diri (difensif). Di Madinah, Nabi tidak mengusir orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi justru beliau menjamin kebebasan dan haknya serta mengajak mereka bersama-sama membangun tatanan sosial, yang dikenal dengan piagam madinah (mitsaq al-madinah). Di Makkahpun, ketika terjadi peristiwa fathu makkah, masyarakat non-muslim tidak dibantai dan dipenjara, malah Nabi mengampuni mereka dengan tanpa syarat. Nabi mengatakan bahwa fathu makkah bukanlah hari pembantaian (yaumul malhamah), melainkan hari kasih sayang (yaumul marhamah). Lantaran sikap pemurah dan pemaaf inilah, banyak masyarakat Makkah yang memeluk Islam. Mereka simpatik dengan kepribadian Nabi Muhammad.[12]
Oleh karena itu, NU sangat mengecam tindakan-tindakan anarkis dan intoleran, khususnya yang mengatasnamakan agama, yang belakangan kembali marak terjadi di Indonesia. Tindakan-tindakan tersebut biasanya dilakukan oleh gerakan Islam radikal dan trans-nasional. Sudah barang tentu, kehadiran mereka di bumi Indonesia sangat mengancam bangunan kenegaraan dan kebangsaan yang telah dirancang oleh para founding fathers. Sebab, selain mereka melakukan aksi kekerasan dan intoleran atas nama agama, mereka juga mengancam eksistensi persatuan dan kesatuan Indonesia (NKRI). Sebenarnya, apa yang mereka perjuangankan atas nama Islam, tidak merepresentasikan Islam itu sendiri, tetapi mereka memperjuangkan ideologi radikal-trans-nasional yang mereka anut. Justru, mereka telah merusak citra Islam. Islam yang merupakan agama yang damai dan penuh dengan kasih sayang dirusak citranya melalui aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan Islam.
Dalam menjalankan misi dakwahnya, NU tidak menggunakan kekerasan, tetapi melalui pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan oleh para Wali Songo. Menurut Said Aqil Siradj, Islam yang masuk di Indonesia bisa berkembang pesat berkat jasa para Wali Songo. Hal tersebut dapat dicapai lantaran kecerdasan dan kebijaksanaan mereka dalam menjalankan strategi dakwahnya. Melalui jalur kebudayaan dan metode akulturasi (akomodasi Islam terhadap budaya lokal), para Wali sukses merebut hati masyarakat pribumi secara masif hanya dalam kurun waktu separuh abad saja.[13]
Metode dan strategi pendekatan yang dilakukan oleh para Wali Songo menjadi refleksi historis bagi NU. Dalam menjalankan misi dakwahnya, NU selalu mengedepankan sikap, kedamaian, kesantunan dan kebijaksaanaan, sehingga NU dapat diterima di hati masyarakat. Oleh karena itu, saat ini, tampaknya gerakan dakwah NU lebih bergerak dalam ranah pendidikan dan ranah kultural. Dalam ranah pendidikan, NU melalui pesantren-pesantren dan beberapa lembaga pendidikan formalnya turut serta berpartisipasi dalam membangun intelektualitas, moralitas dan spirtualitas bangsa. Sehingga, melalui peran NU, diharapkan masyarakat Indonesia memiliki wawasan kebangsaan dan keagamaan yang berlandaskan spritualitas dan moralitas yang tinggi. Sementara itu, Dalam ranah kultural, NU turut berpatisipasi dalam membangun bangsa melalui peran para kyai-kyai pesantren, khususnya yang berada di pedesaan. Melalui forum yang sudah biasa dalam tradisi NU, seperti pengajian, tahlilan dan istighotsah, tidak jarang kita menjumpai para kyai dalam forum tersebut menyampaikan gagasan-gagasan ataupun wejangan-wejangannya di hadapan masyarakat.
Model dakwah yang dilakukan NU, memiliki pijakan normatif dari al-Qur’an, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Nahl: 125 tentang berdakwah dengan cara yang bijak dan melalui nasehat-nasehat yang baik:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Nahl: 125).
Ayat di atas menjelaskan kepada kita, bahwa dalam berdakwah kita harus melalui kebijaksanaan dan cara-cara yang baik. Sebab, hanya dengan cara itulah misi dakwah dapat sukses direalisasikan dan dapat diterima oleh masyarakat. Sebagaimana yang sangat populer disampaikan oleh Nurcholis Madjid, bahwa manusia sebenarnya cenderung kepada kebaikan atau dengan kata lain kebaikan merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, pendekatan-pendekatan dakwah yang bijak, damai dan santun merupakan sebuah keniscayaan. Justru sebaliknya, pendekatan dengan model kekarasan dan anarkis justru akan semakin membuat masyarakat jauh dari ajaran Islam.
Model dakwah NU juga berlandaskan kepada hadis tentang kewajiban amar ma’ruf nahi munkar (menserukan kepada kebaikan dan mencegah kerusakan), sebagaimana berikut:
“Barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
Namun, NU tidak memahami hadis di atas sebagai alat legitimasi dalam mengimplementasikan amr ma’ruf nahi munkar dengan menggunakan kekerasan. Menyerukan kepada kebaikan dan mencegah hal-hal yang destruktif merupakan salah satu tugas NU, tetapi harus diimplementasikan dalam bingkai Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, yakni dengan menggunakan pendekatan model Wali Songo dan juga dijelaskan dalam surat al-Nahl: 125.[14]
Menarik sekali pemaknaan Syeikh Abdul Qadir al-Jilani terhadap hadis di atas. Menurutnya, terdapat tiga tingkatan dalam menyikapi orang-orang yang berbuat kemunkaran di dunia, yaitu: pertama, menyikapinya dengan “tangan”, yaitu dengan kekuasaan. Hal tersebut merupakan tugas pemerintah. Kedua, menyikapinya dengan “lisan”, yakni dengan nasehat-nasehat. Hal tersebut merupakan tugas para ulama’. Ketiga, menyikapinya dengan “hati”, yang merupakan tugas bagi orang mukmin secara keseluruhan.[15]
Pemahaman terhadap hadis sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Abdul Qadir al-Jilani tampaknya relevan dalam mengimplementasikan konsep amr ma’ruf nahi munkar dalam konteks keindonesiaan. Indonesia merupakan negara demokrasi yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, ia diatur berdasarkan hukum dan konstitusi. Terdapat seperangkat mekansime atau peraturan yang telah dirumuskan. Sehingga, dalam mengimplementasikan amr ma’ruf nahi munkar harus tetap mengikuti mekanisme yang sudah diatur oleh negara. Jangan sampai aksi-aksi destruktif dan anarkis dengan dalih amr ma’ruf nahi munkar kembali terjadi di Indonesia.
Sikap Kemasyarakatan NU: Tawassuth dan i’tidal, Tasamuh dan Tawazzun
Dalam memperjuangkan Islam yang rahmatan lil alamin, NU mempunyai tiga konsep yang selalu dijadikan landasan dalam menyikapi berbagai hal yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Hal-hal yang terjadi di masyarakat bisa berada dalam ranah keagamaan, sosial dan politik. NU menyadari bahwa kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia bergerak secara dinamis dan progresif, tidak stagnan. Oleh karena itu, dalam menyikapi dinamika kehidupan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, NU selalu menekankan tiga konsep, yang disebut dengan sikap kemasyarakatan Nahdhatul Ulama’. Tiga sikap kemasyarakatan tersebut adalah tawassuth dan i’tidal, tasamuh dan tawazun.
Kata tawassuth merupakan derivasi dari kata wasatha, yang artinya “tengah’. Belakangan kata tawassuth tersebut diartikan dengan “moderat”, yaitu sikap berada di tengah-tengah di antara dua kubu yang berseberangan. Sementara itu, kata i’tidal merupakan derivasi dari kata ‘adala,yang berarti berlaku adil. Pengertian tawassuth dan i’tidal secara terminologis dijelaskan dalam anggaran rumah tangga (ART) NU sebagaimana berikut:
Sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Nahdhatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharuf (ekstrem).[16]
Istilah tawassuth terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 143. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu… (QS. Al-Baqarah: 143).
Ibnu Katsir menafsirkan kalimat ummatan wasathan dalam ayat tersebut dengan dengan umat pilihan (khiyar al-ummah). Ia menafsirkan kata wasath dengan kata al-khiyar (pilihan) dan kata al-ajwah (yang paling bagus). Menurutnya, Allah menjadikan umat Islam sebagai umat pilihan dengan kesempurnaan agama, syaria’at dan ajaran.[17]
Meski demikian, menurut penulis, terdapat korelasi antara pengertian “umat pilihan” (penafsiran Ibnu Katsir) dengan “sikap tengah (moderat)” dalam NU. Korelasinya adalah dengan bersikap moderat yang dilandasi dengan prinsip-prinsip keadilan, NU akan menjadi kelompok panutan (khiyar al-ummah) dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, yang caranya adalah dengan tidak menggunakan kekerasan dalam pendekatan dakwahnya.
Sementara itu, kata “adil” sering kali disebutkan dalam al-Qur’an, sebab salah satu nilai dasar atau ideal-moral al-Qur’an adalah prinsip keadilan. Salah satu ayat yang menjelaskan perintah berbuat adil adalah surat al-Ma’idah ayat 8: “….berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Selanjutnya, sikap kemasyarakatn NU yang kedua adalah tasamuh. Secara terminologis, tasamuh dijelaskan dalam muktamar Situbondo tahun 1984:
Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.[18]
Dengan sikap tasamuh (toleran), NU menyadari bahwa pluralitas dalam kehidupan merupakan kenyataan yang harus diterima. Karena hal tersebut merupakan kehendak Tuhan (QS. Al-Maidah: 48). Oleh karena itu, perbedaan dan pluralitas tersebut harus disikapi dengan toleransi, yang berarti menghargai dan mengakui pendapat atau pandangan orang lain, meskipun pendapat tersebut berseberangan dengan pandangan yang dianut. Dalam al-Qur’an sendiri banyak ayat yang menjelaskan tentang toleransi. Misalnya Allah melarang untuk memaksa orang non-muslim untuk masuk Islam (QS. Al-Baqarah: 256) serta larangan bagi umat Islam mengejek sesembahan non-muslim (QS. Al-An’am: 108). Jika al-Qur’an saja melarang kita untuk memaksa non-muslim untuk masuk Islam, lantas mengapa dalam internal umat Islam sendiri saling mengklaim kebenaran dan memaksa untuk mengikuti ideologi tertentu?. Seharusnya konflik internal umat Islam akibat perbedaan ideologi tidak terjadi. Umat Islam seharusnya lebih toleran dalam menyikapi perbedaan tersebut.
Selanjutnya, sikap kemasyarakatan yang ketiga adalah tawazun, yang berarti keseimbangan (balance). Secara terminologis, tawazun dijelaskan dalam mukatamar NU di Situbondo pada tahun 1984:
Sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah kepada Allah SWT., khidmah sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyerasikan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa datang.[19]
Dengan sikap tawazun ini, NU menyadari betul bahwa Islam bukanlah agama yang hanya mengatur hal-hal berdimensi teologis-spiritual saja, tetapi juga mengatur hal-hal yang berdimensi sosial. Dengan kata lain, Islam bukan hanya agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hablu min Allah), tetapi juga mengatur hubungan sesama manusia (hablu min al-nas), keduanya harus seimbang dan berjalan beriringan. Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang menjelaskan hububungan agama dan kemanusiaan. Misalnya surat al-Ma’un ayat 1-7. Serta banyak sekali ajaran al-Qur’an yang berdimensi sosial, seperti zakat, yang tujuannya tidak lain untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.
Menurut Cak Nur, semangat kemanusiaan (hablu min al-nas) meruapakan sisi kedua ajaran Islam setelah semangat ketuhanan (hablu min al-nas). Keduanya harus seimbang dilakukan, bahkan menurutnya melalui hablum min al-nas, “tali hubungan dengan Allah” termanifestasikan dalam kehidupan nyata. Ia menjelaskan bahwa hablum min al-nas tidak berdiri sendiri, ia memancar dari hablum min Allah.[20]
Dengan konsep tiga sikap kemasyarakatannya (tawazun dan i’tidal, tasamuh dan tawazun), NU mampu menyikapi dinamika kehidupan Indonesia dengan bijaksana. NU pun disebut-sebut sebagi organisasi Islam moderat karena sikapnya yang bijak dan menghindari ekstremisme dalam dakwahnya. Salah satu sikap NU yang bijak adalah ketika ia mampu merespon hubungan Islam dan negara dan penolakannya terhadap formalisasi syari’at Islam. Bahkan NU merupakan organisasi pertama yang menerima Pancasila sebagai asas organisasi sekaligus ideologi negara.[21]
Merajut Ukhwah (Persaudaraan): Ukwah Islamiyah, Basyariyah dan Wathaniyah
Tak dapat dipungkiri, Indonesia merupakan negara yang plural dan multi-dimensi. Ratusan etnis dan suku dengan keunikan kebudayaan serta kepercayaan yang dianut merupakan bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang majmuk. Kenyataan tersebut harus diterima sebagi sunnatullah dan harus disertai dengan sikap positif. Permasalahan yang penting adalah bagaimana merawat kebhinekaan tersebut, sehingga bangsa Indonesia bisa hidup berdampingan dengan damai tanpa mempertimbangkan perbedaan.
Aksi-aksi kekerasan dan intoleran akhir-akhir ini kembali terjadi Indonesia. Kasus terbaru tindakan anarkis dan destruktif adalah kasus penyerangan terhadap jama’ah masjid az-Zikra Sentul. Peristiwa tersebut merupakan bukti bahwa bangsa Indonesia masih “gagap” dalam menyikapi perbedaan. Masih banyak lagi konflik dan aksi-aksi kekerasan terjadi dalam sejarah Indonesia, baik dalam ranah agama maupun dalam ranah kesukuan. Jika peristiwa tersebut dibiarkan, maka kebhinekaan Indonesia akan rusak dan sudah barang tentu akan berimplikasi pada runtuhnya persatuan dan kesatuan Indonesia.
Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, sebagai negara yang majmuk dan demokratis, diperlukan suatu ikatan sosial dalam rangka menjaga keberlangsungan kehidupan yang damai dan harmonis. Ikatan sosial itu adalah persaudaraan atau dikenal dalam istilah ukhwah. Tanpa ikatan sosial tersebut, Indonesia akan mengalami kekacauan (chaos) akibat konflik dan maraknya aksi-aksi kekerasan.[22]
KH. Hasyim Asy’ari dalam muktamar XVII NU di Madiun pada tahun 1947 menyatakan:
“Adapun ukhwah islamiyah pada saat ini hanyalah merupakan jargon-jargon yang kosong, yan keluar dari mulut orator yang hanya merebak di awang-awang, tanpa bisa menyentuh dataran empiris tanpa ada bukti yang konkret dalam realitas”.[23]
Pernyataan KH. Hasyim di atas menjelaskan tentang realitas historis umat Islam pada waktu itu. Umat Islam belum bisa merealisasikan konsep ukhwah islamiyah dalam kehidupan sehari-hari. Ukhwah islamiyah hanya sebatas slogan yang diucapkan tanpa dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Ukhwah islamiyah merupakan persaudaraan sesama muslim, jika umat Islam masih belum bisa merealisasikan persaudaraannya antar sesama muslim, lantas bagaimana dengan persaudaraan dengan komunitas agama atau suku yang lain.?
Dalam hal ini, NU memiliki tiga konsep persaudaraan yang harus dipahami dan dipraktekkan oleh bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Tiga konsep persaudaraan (ukhwah) tersebut dirumuskan oleh Rais Aam PBNU KH. Achmad Siddiq, pada tahun 1989. Tiga konsep ukhwahtersebut adalah ukhwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim), ukhwah wathaniyah(persaudaraan sesama anak bangsa) dan ukhwah basyariyah (persaudaraan antar sesama manusia).[24]
Ukhwah Islamiyah merupakan nilai persaudaraan yang harus dirajut dan senantiasa dijaga antar sesama muslim. Ukhwah islamiyah memiliki landasan teologis dalam al-Qur’an. al-Qur’an menjelaskan bahwa umat Islam adalah saudara. Oleh karena itu, jika terjadi permusuhan antar umat Islam, maka sikap yang harus dilakukan adalah rekonsiliasi (ishlah) antar dua kubu yang berseberangan. Salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut adalah surat al-Hujurat: 10:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Disamping al-Qur’an, banyak sekali hadis Nabi tentang persaudaraan dan larangan memutus silaturrahmi antar umat Islam. Salah satunya adalah Nabi menganalogikan umat Islam dengan anatomi tubuh, dimana ketika ada salah satu anggota tubuh yang sakit maka anggota tubuh yang lain akan merasa sakit. Oleh karena itu, umat Islam harus bersatu bahu-membahu serta saling menyayangi satu sama lain.[25]
Dengan demikian, secara normatif, konsep ukhwah islamiyah memiliki landasan teologis dalam al-Qur’an dan hadis. Problemnya adalah bagaimana merealisasikannya dalam kehidupan nyata umat Islam. Sejak wafatnya Nabi hingga saat ini, umat Islam terpecah-pecah menjadi berbagai ideologi dan madzhab. Tidak jarang muncul konflik dan pertumpahan darah akibat sektarianisme tersebut. Kemudian munculla sikap truth claim, yakni klaim kebenaran sepihak dan menganggap pihak lain (the others) adalah salah. Hal ini terjadi akibat kurangnya pemahaman umat Islam terhadap konsep ukhwah islamiyah. Oleh karena itu, pemahaman terhadap ukhwah islamiyah menjadi relevan dan niscaya dalam konteks kehidupan umat Islam. Dengan kesadaran ukhwah Islamiyah, umat Islam akan hidup berdampingan dengan damai dan harmonis, tanpa mempertimbangkan perbedaan. Jika terdapat perbedaan dan perselisihan, maka harus dihadapi dengan bijaksana dan dialog, bukan dengan kekerasan.
Selanjutnya, konsep persaudaraan yang ditekankan oleh NU adalah ukhwah basyariyah, yaitu rasa persaudaraan yang dibangun berdasarkan sesama manusia yang diciptakan oleh Tuhan. Landasan teologis ukhwah basyariyah terdapat dalam surat al-Nisa’: 1 sebagai berikut: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Menurut Zuhairi Misrawi, kata “al-nas” yang digunakan pada ayat tersebut semakin memperkuat dimensi universalitas pesan al-Qur’an yang tidak hanya diperuntukkan kepada orang-orang mukmin saja, tetapi pada manusia secara keseluruhan. Artinya, ayat tersebut hendak merangkul dan menyadarkan manusia tentang keharusan mengikuti jalan yang telah digariskan oleh Tuhan perihal kesatuan jiwa yang dapat menjadi common ground untuk membangun ketakwaan dan persaudaraan.[26]
Pluralitas kehidupan, kemanusiaan dan keagamaan merupakan kemestian yang harus diterima (QS. Al-Maidah: 48). Hal tersebut merupakan sunnatullah dan sudah ditakdirkan oleh Allah. Tujuannya adalah agar manusia bisa saling beriteraksi dan saling mengenal satu sama lain (QS. Al-Hujurat: 15). Pluralitas dalam kehidupan menunjukkan bahwa kehidupan adalah dinamis dan progresif. Justru dengan kehidupan yang dinamis dan progresif inilah kehidupan di dunia menjadi indah dan menarik, tidak stagnan dan monoton. Oleh karena itu, ukhwah basyariyah menjadi relevan dan niscaya dalam kehidupan manusia sebagai ikatan sosial, guna menjaga keberlangsungan kehidupan yang damai dan harmonis antar sesama manusia.
Konsep persaudaraan ketiga yang NU tekankan adalah ukhwah wathaniyah, yakni ikatan persaudaraan yang dibangun berdasarkan persamaan kebangsaan dan kenegaraan. Landasan teologis dari ukhwah wathaniyah adalah hadis Nabi “Hubb al-Wathan min al-Iman”, terlepas dari bagaimana status otentisitas hadis tersebut, hadis tersebut sangat relevan dengan konteks Indonesia sebagai negara bangsa. Selain itu, sebenarnya ukhwah basyariyahsudah mencakup ukhwah wathaniyah. Sebab di dalam negara (wathan) Indonesia terdapat jutaan manusia (basyar) dengan masing-masing kepercayaan yang dianutnya. Ukhwah wathaniyah hanya meneguhkan ikatan persaudaraan kita sebagai bangsa Indonesia. Tanpa adanya rasa persaudaraan yang kokoh antar sesama bangsa, maka negara akan linglung akibat konflik dan permusuhan yang terjadi diantara masyarakat.
KH. Hasyim Asy’ari menyadari betul bahwa Indonesia merupakan negara bangsa yang harus diterima. Oleh karena itu, untuk meneguhkan komitmen kebangsaan dan cinta tanah airnya, pada tanggal 22 Oktober 1945 beliau mengeluarkan “resolusi jihad”, yang isinya adalah seluruh umat Islam wajib mengangkat senjata guna membela tanah air dari serangan penjajah. Hal tersebut merupakan upaya KH. Hasyim untuk memperkuat ukhwah wathaniyahdiantara bangsa Indonesia.
Dengan konsep tiga ikatan persaudaraan yang dibangun (ukhwah islamiyah, basyariyah dan wathaniyah), NU telah berhasil menggabungkan tiga paradigma, yaitu paradigma keislaman, kemanusiaan dan kebangsaan. Tiga paradigma tersebut harus senantiasa didialogkan secara sirkular dan bukan dipertentangkan, sebab umat Islam di Indonesia juga tinggal dengan komunitas agama dan suku yang bermacam-macam. Gus Mus dengan ungkapannya yang terkenal mengakatakan: “kita ini adalah orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia”.
Penutup
Dari uraian yang cukup panjang di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep islam rahmatan lil alamin dalam perspektif NU dapat dikategorikan menjadi tiga hal, yaitu: pertama, memahami Islam sebagai agama damai dan kasih sayang. Hal tersebut harus menjadi paradigma bagi umat Islam, sehingga ketika merealisasikan Islam dalam kehidupan empiris, Islam akan selalu menebarkan kedamaian dan kasih sayang. Kedua, sebagai upaya menjadikan Islam yang rahmatan lil alamin, maka ada beberapa sikap yang harus dilakukan, yaitu tawassuth(moderatisme) yang dipadu dengan prinsip i’tidal (keadilan), tasamuh (toleransi) dan tawazun(keseimbangan). Ketiga, untuk menjaga keberlangsungan kehidupan yang damai dan harmonis, maka menurut NU diperlukan suatu ikatan sosial. Ikatan sosial tersebut adalah trio ukhwah (tiga konsep persaudaraan), yakni ukhwah islamiyah, basyariyah dan wathaniyah.
Namun, konsep islam rahmatan lil alamin yang diberikan oleh NU harus direalisasikan dan disosialisakan kepada masyarakat. Lebih-lebih ditengah-tengah gencarnya arus radikalisme dan ekstremisisme. Oleh karen itu ada beberapa ranah yang harus diperhatikan secara serius oleh NU dalam mensosialisasikan konsep islam rahmatan lil alaminnya, yaitu: ranah struktral (kepemerintahan), pendidikan, kultural dan media. Keempat ranah tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi NU bagaimana lebih aktif lagi mensosialisasikan islam yang moderat. Dengan aktifnya NU dalam empat ranah tersebut diharapkan menjadi resistensi terhadap gerakan Islam radikal yang mengancam eksistensi keutuhan NKRI.
Catatan Kaki:
[1] Faisal Ismail, Islamic Tradition in Indonesia, A Study of The Nahdhatul Ulama’s Early History and Religious Ideology (1926-1950), (Jakarta: Puslitbang Kemenag, 2003), hlm. 3-4.
[2] Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU: Sejarah Istilah Amaliah dan Uswah,(Surabaya: Khalista, 2010), hlm. 2.
[3] Lihat: Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, hlm. 49-50.
[4] Menurut penelitian kerja sama yang dilakukan oleh The Wahid Institute, Ma’arif Institute dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika, hadis tersebut adalah dha’if. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nazm al-Mutanatsir, jilid I, hlm. 47 dan bandingkan juga dalam: Abu Nu’aim Ahmad ibn ‘Abdillah al-Isbahani, Hliyat al-Auliya’ (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1405 H), jilid IX, hlm. 242. Baca: Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia,(Jakarta: The Wahid Institue, Ma’arif Institue dan Gherakan Bhineka Tunggal Ika, 2009), hlm. 59.
[5] Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlis-Sunnah wal Jama’ah: fi Haditsil Mawta wa Asyrathi Sa’ah wa Bayan Mafhumis Sunnah wal Bid’ah, (Jombang: al-Maktabah al-Masruriyah Tebuireng, tt), hlm. 5.
[6] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan,(Jakarta: Kompas, 2013), hlm. 106.
[7] Lihat: Faisal Ismail, Islamic Tradition in Indonesia….. hlm. 64. Juga lihat: Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan, hlm. 7. Dan juga: Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, hlm. 57.
[8] Dikutip dari Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, (Jakarta: Erlangga, 2006 ), hlm 133. Ia mengutip dari KH. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, terj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKPSM, 1999), hlm. 55-56.
[9] Lihat: Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, hlm. 57.
[10] Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU: Sejarah Istilah Amaliah dan Uswah, hlm. 91.
[11] Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU…….., hlm. 92.
[12] Said Aqil Siradj, Islam Kalap dan Islam Karib, (Jakarta: Daulat Press, 2014), hlm. 35-36
[13] Said Aqil Siradj, Islam Kalap dan Islam Karib, hlm. 146
[14] Lihat: Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU: Sejarah Istilah Amaliah dan Uswah, hlm. 112.
[15] Lihat: Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU……., hlm. 112.
[16] Dikutip dari Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, hlm. 202.
[17] Lihat: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, juz 1, hlm. 454. Maktabah Syamilah, Versi. 2, hlm.
[18] Dikutip dari Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, hlm. 203.
[19] Dikutip dari Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, hlm. 205.
[20] Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008), hlm. xviii-xx
[21] Lebih lengkapnya lihat tulisan Abdurrahman Wahid dengan judul “NU dan Negara Islam”, dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institue, 2006), hlm. 100-106. Dan juga tulisannya dalam pengantar buku “NU dan Pancasila” karya Einar Martahan Sitompul, hlm. xi-xiii.
[22] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan,hlm. 239.
[23] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari……., hlm. 240.
[24] Lihat: Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU……., hlm. 106.
[25] Lihat HR. Bukhori, no. 5552 dalam software Mawshu’at al-Hadis al-Syarif.
[26] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari……., hlm. 241.
Daftar Pustaka
Asy’ari, Hasyim, Risalah Ahlis-Sunnah wal Jama’ah: fi Haditsil Mawta wa Asyrathi Sa’ah wa Bayan Mafhumis Sunnah wal Bid’ah. Jombang: al-Maktabah al-Masruriyah Tebuireng, tt.
Baso, Ahmad. 2006. NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Jakarta: Erlangga.
Baso, Ahmad. 2013, Agama NU untuk NKRI. Jakarta: Pustaka Afid
Fadeli, Soeleiman dan Subhan, Mohammad. 2010. Antologi NU: Sejarah Istilah Amaliah dan Uswah, Surabaya: Khalista.
Halim, Abdul. 2014. Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama Perspektif Hermenutika Gadamer. Jakarta: LP3ES.
Ismail, Faisal. 2003. Islamic Tradition in Indonesia, A Study of The Nahdhatul Ulama’s Early History and Religious Ideology (1926-1950). Jakarta: Puslitbang Kemenag.
Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Adzim. Maktabah Syamilah, Versi. 2,
Madjid, Nurcholish. 2008. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Misrawi, Zuhairi. 2013. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan,Jakarta: Kompas.
Siradj, Said Aqil. 2014. Islam Kalap dan Islam Karib. Jakarta: Daulat Press.
Sitompul, Einar Martahan. 2010. NU dan Pancasila. Yogyakarta: LkiS.
The Wahid Institu, dkk. 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, Ma’arif Institute dan Gherakan Bhineka Tunggal Ika.
Wahid, Abdurrahman. 2006. Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar