Thursday, 01 Jan 1970
Dalam sebuah kunjungan kerja ke satuan tempur dan bantuan tempur, Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Panglima ABRI periode 1978-1983, Jenderal M Jusuf, kerap melakukan dialog ringan dengan prajuritnya. Ringan namun bisa membuka persoalan mendasar, yakni kesejahteraan prajuritnya.
Itulah salah satu makna dari tugas teritorial pimpinan TNI untuk mengetahui kondisi satuan-satuan teritorial yang berada di sejumlah Kodam, terutama di luar Pulau Jawa.
"Hey prajurit, kamu sudah sarapan?" kata Panglima ABRI Jenderal Jusuf, membuka pertanyaan ringan.
"Siap Jenderal, sudah."
"Sarapan di mana?" ujar Jenderal bintang empat yang memiliki nama lengkap Andi Muhammad Jusuf Amir.
"Siap Jenderal. Sarapan di rumah."
"Apa lauknya?" tanya salah satu tokoh TNI yang sangat berpengaruh dalam sejarah militer Indonesia.
"Siap Jenderal, pakai kerupuk dan kecap."
"Kerupuk dan kecap? Uang gajimu masih ada?" tanya mantan Panglima Kodam XIV Hasanuddin pada 1960-1964 itu.
"Siap Jenderal, sudah diserahkan semuanya ke istri."
"Kamu tidak pegang uang?" ungkap Jusuf yang pernah diangkat menjadi menteri Perindustrian oleh Presiden Sukarno pada Agustus 1964.
"Siap Jenderal, sudah habis."
"Ini masih setengah bulan lagi baru gajian, tetapi uang kau sudah habis. Bisa lihat dompetmu?" tanya saksi sejarah terjadinya Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Sukarno kepada Letnan Jenderal Soeharto itu.
"Siap Jenderal, bisa." Prajurit itu pun kemudian mengambil dompet dari saku kanan belakang celana lapangannya. Ia memperlihatkan isi dompetnya kepada Jenderal Jusuf.
"Jadi, hanya berisi foto istri, anak, KTP, dan kartu anggota ABRI saja, ya?" kata Jenderal yang mendapatkan tugas dari Presiden Soeharto untuk mengintegrasikan (memanunggalkan) ABRI dengan rakyat.
"Siap Jenderal, iya hanya foto dan kartu identitas saja."
Jenderal Jusuf pun kemudian menjabat tangan dan menepuk pipi prajuritnya. "Ajudan catat nama prajurit dan kesatuannya," perintah Jusuf kepada ajudannya.
Jusuf pun melanjutkan pemeriksaaan barisan sambil menyapa dan menanyakan sejumlah masalah. Ia bertanggung jawab atas kegiatan ABRI Masuk Desa. Dalam program ini, ABRI dikirim ke daerah pedesaan untuk membantu dengan pembangunan infrastruktur.
Selama menjadi Panglima ABRI, Jusuf mengembangkan reputasi sebagai jenderal yang tertarik pada kesejahteraan anak buahnya. Ia secara rutin berkeliling daerah untuk mengunjungi tentara dan menanyakan tentang keluarga dan kondisi mereka. Hal ini membuatnya sangat populer di jajaran ABRI dengan mengorbankan hubungannya dengan Soeharto, yang mulai melihat Jusuf sebagai ancaman.
Selesaikan masalah
"Hei, kamu sudah menikah?"
"Siap Jenderal, belum."
"Sudah punya pacar?"
"Siap Jenderal, sudah."
"Kalau jalan-jalan dengan pacar, kau pegang apanya?"
"Siap Jenderal, pegang tangannya."
"Kau ajak jalan-jalan ke mana pacarmu?"
"Siap Jenderal, ke bioskop."
"Di bioskop, kau pegang apanya?"
"Siap Jenderal, dadanya."
Jenderal Jusuf pun tertawa mendengar pengakuan jujur prajuritnya. Rombongan Panglima ABRI pun tersenyum geli mendengarkan pengakuan polos prajurit dari satuan bantuan tempur itu.
Ia pun segera memanggil komandan batalyonnya. "Hei danyon, jangan marahi dia. Kamu harus ajarkan anak buahmu tentang etika dan sopan santun masyarakat. "
"Siap Jenderal."
"Kalau ada anak buahmu yang ingin menikah, dipermudah dan berikan pengarahan yang benar. Jangan sampai nanti melanggar susila. Kerja komandan bukan untuk memarahi anak buahnya, tetapi juga mendidik akhlaknya."
"Siap Jenderal."
Setelah melakukan dialog dengan para prajurit di lapangan, Pangab Jenderal Jusuf pun memberikan pengarahan kepada para perwiranya. Ia meminta keluhan para prajurit segera diatasi.
"Tadi ada prajurit yang sudah tidak punya uang lagi di dompetnya. Sarapan pagi hanya pakai kerupuk dan kecap. Kamu harus tanggap, harus tahu masalah anak buahmu."
"Komandan regu harus lapor kepada komandan peleton kondisi anak buahnya setiap hari. Danton harus berikan laporan kepada komandan kompi atau komandan detasemen. Tidak ada cerita komandan batalyon tidak tahu kalau anak buahnya mencari uang tambahan di luar dengan cara melanggar aturan militer," ujar Jusuf menjelaskan.
Ketika malam hari, Jusuf pun masih bercengkerama dengan rombongannya. Sekitar pukul 22.00, ia meminta ajudannya untuk mengumpulkan rombongan wartawan yang menyertai perjalanan dinasnya.
"Hei kamu, tadi saya mendengarkan dari kamarmu ada suara perempuan. Kamu wartawan senior main perempuan, ya?"
"Siap panglima, tidak benar itu."
"Tapi itu ada suara perempuan dari kamarmu."
"Itu suara perempuan dari televisi, Panglima."
Sontak para wartawan pun tertawa terbahak-bahak. Jusuf pun ikut tertawa lebar. Kemudian, ia memberikan arahan agar siapa pun jangan melanggar norma susila karena hidup tidak akan berkah.
Sesekali ia pun menanyakan satu per satu kondisi wartawan senior yang menyertai perjalanan dinasnya. Termasuk menanyakan masalah uang bayaran sekolah anak. "Kau ikut rombongan saya, apakah sudah ada uang untuk biaya sekolah anak dan keluargamu?"
Ia bukan hanya bertanya, namun mencoba menyelesaikan masalah secepatnya. Misalnya, menanyakan apakah para perwira tinggi yang mengikuti rombongannya bersedia menyisihkan uang dinas perjalanannya dipotong untuk membantu prajuritnya. Sebuah pertanyaan yang mengejutkan dan mencengangkan.
Begitulah cerita tentang Jenderal Jusuf, salah satu keturunan bangsawan dari Suku Bugis. Namun, ia melepaskan gelar bangsawannya dengan tidak menggunakan lagi nama Andi pada 1957. "Saya tentara, bukan bangsawan," kata Jusuf yang wafat dalam usia 76 tahun pada 8 September 2004 itu.
Rangkaian dialog berdasarkan cerita dari sejumlah wartawan senior bidang pertahanan keamanan negara, seperti Ucok Abdullah Meliala, Muhammad Jusuf, Elman Saragih, Nardi Sahib, dan Jasofi Bachtiar. Mereka selama lima tahun melakukan liputan jurnalistik perjalanan dinas Jenderal Jusuf. Oleh Selamat Ginting
Tidak ada komentar:
Posting Komentar