Puluhan tahun Soeharto mengklaim dirinya sebagai penggagas dan pelaku Serangan Umum 1 Maret 1949. Klaim itu sah saja dilakukan Soeharto, namun sebenarnya Sultan Hamengku Buwono IX adalah otak dari serangan yang memiliki nilai sangat penting dalam sejarah perjuangan Indonesia itu.
Dalam buku 'Takhta Untuk Rakyat' peran Sultan dibeberkan dengan jelas. Saat itu Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia dikuasai Belanda. Soekarno, Hatta dan pemimpin nasional lainnya ditawan Belanda di Sumatera. Soedirman dan pasukan TNI terpecah-pecah melakukan perang gerilya di hutan dan gunung-gunung.
"Peran Sultan selama Orde Baru memang sangat dipinggirkan. Padahal Sultan sangat berperan selama perang kemerdekaan. Bukan hanya saat Serangan Umum 1 Maret saja. Tapi kan selama Orde Baru ini seolah-olah Sultan tidak berperan apa-apa," kritik sejarawan Aswi Warman Adam.
Saat itu Sultan khawatir semangat juang TNI dan rakyat terus menurun. Di sisi lain, Sultan tahu masalah Indonesia dan Belanda akan dibicarakan di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sultan menginginkan ada serangan umum siang hari, yang bisa menunjukkan eksistensi TNI. Hal itu akan memperkuat posisi Indonesia dalam forum tersebut.
Sultan akhirnya mengirim kurir ke Panglima TNI Jenderal Soedirman. Sultan juga minta dipertemukan dengan pemimpin pasukan Gerilya di Yogya. Kebetulan Soeharto adalah Komandan Wehrkreise III yang membawahi Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Soeharto menyanggupi permintaan Sultan. Sebelumnya pasukan TNI memang sempat beberapa kali mengganggu tentara Belanda pada malam hari. Namun, untuk sebuah serangan yang terkoordinasi pada siang hari, belum pernah dilakukan TNI.
Soeharto pun merencanakan sebuah serangan besar. Dia menyebar pasukannya ke empat penjuru kota. Menyusup di antara masyarakat dan masuk lewat gorong-gorong Kota Yogyakarta. Pasukan itu bersiap melakukan serangan yang disepakati akan digelar serentak pukul 06.00 WIB tanggal 1 Maret 1949.
Sirene tanda selesainya jam malam meraung-raung di seantero Kota Yogyakarta. Bersamaan dengan itu, suara tembakan terdengar di mana-mana. Untuk pertama kalinya sejak Kota Yogya jatuh ke tangan Belanda, pasukan TNI masuk ke kota Yogya.
Pasukan TNI masuk dari empat penjuru kota. Sekitar 2.000 personel TNI menyerbu masuk Kota Yogyakarta. Setiap pasukan republik menggunakan tanda berupa janur kuning yang diikatkan di lengan atau digantung di leher. Dalam waktu singkat pasukan TNI yang bergerak dari Selatan bisa menerobos hingga Alun-alun Utara dan Kantor Pos Besar. Dari Timur, Letkol Soeharto dan pasukannya bisa mencapai Jalan Malioboro di pusat kota. Sementara dari Barat, pasukan Kapten Rakido berhasil menduduki pabrik Besi Watson, yang menjadi tempat penyimpanan amunisi pasukan Belanda. Di utara, pasukan TNI berhasil mencegah bala bantuan Belanda dari Maguwo mencapai Kota Yogyakarta.
Tembak menembak berjalan sengit. Pasukan Belanda sama sekali tidak menduga pasukan republik berani masuk kota siang hari. Mereka pun tidak percaya organisasi TNI masih rapi dan masih bisa melakukan satu serangan yang terkoordinasi dengan baik.
Begitu serangan umum dilakukan, pemancar radio langsung menyiarkan berita itu. Dari Plajen diteruskan ke Bukittingi, lalu ke Aceh, selanjutnya diteruskan ke Rangoon, Burma, dan diteruskan lagi ke New Delhi, India. Dari India berita ini diteruskan ke seluruh dunia.
"TNI berhasil merebut Yogya selama enam jam," demikian berita dari hutan terpencil itu membuka mata dunia bahwa Republik Indonesia masih ada dan TNI masih memiliki taring.
Setelah serangan umum, berkali-kali Belanda mendatangi Sultan di Keraton. Termasuk Jenderal Meyer, panglima tentara Belanda di Indonesia ikut datang meminta Sultan menghentikan bantuannya pada pasukan gerilya. Namun mereka gagal menakut-nakuti Sultan. Keahlian diplomasi pria Jawa lulusan Universitas Leiden ini mengalahkan para Jenderal Belanda. Mereka pun tak berani mengusik Sultan.
Justru pada akhirnya, setelah perundingan, Belanda menyerahkan Yogyakarta pada Sultan Hamengku Buwono IX tanggal 26 Juni 1949. Sultan memimpin upacara penyerahan kedaulatan dari Belanda pada pihak republik. Belanda pun menarik pasukannya dari Kota Yogyakarta.
Sultan pula yang menyambut Soekarno, Hatta dan para pemimpin republik setelah dibebaskan dari tawanan Belanda. Tapi tak sedikit pun dia mengungkit apa yang dilakukannya untuk republik.
Tapi, siapapun inisiatornya, apresiasi tetap harus kita berikan kepada semua pejuang yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia!
sumber : merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar