Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Selasa, 28 Maret 2017

Pemuda Radikal Itu Bernama “Soekarno”

Pada tahun 1917, sebuah Klub Diskusi (Studieclub) di HBS Surabaya menggelar diskusi. Di saat diskusi sedang berlangsung, seorang pemuda berusia 16 tahun meminta kesempatan untuk berbicara. Moderator membolehkan.
Si pemuda tadi, dengan emosi yang menggelora, langsung melompat ke atas meja. Lalu, ia memulai orasi politiknya dengan menggunakan bahasa bumiputera. Moderator langsung menegur, “sudah menjadi aturan di Klub ini untuk berbicara bahasa Belanda yang baik.”
Pemuda itu membantah. “Saya tidak setuju,” katanya. Dia pun membeberkan alasannya: “Tanah kebanggan kita ini dulu bernama Nusantara, yang berarti ribuan pulau. Banyak pulau-pulau ini lebih besar dari negeri Belanda. Jumlah penduduk negeri Belanda hanya segelintir dibandingkan dengan penduduk kita. Bahasa Belanda hanya dipergunakan oleh 6 juta orang….mereka tinggal ribuan kilometer dari sini, mengapa kita harus berbicara bahasa Belanda?”
Diskusi menjadi buyar. Pemuda tadi ngotot menganjurkan agar Klub Diskusi menggunakan bahasa Melayu, bahasa negerinya, bukan bahasa Belanda. “Marilah kita bersatu mengembangkan bahasa Melayu. Kemudian baru menguasai bahasa asing,” tuturnya.
Tingkah laku pemuda itu, juga sikapnya yang ngotot menggunakan bahasa Melayu, segera menjadi pusat perhatian. Direktur HBS Surabaya, Tuan Bot, segera menudingnya sebagai “pencari masalah”. Dan, pemuda itu bernama Soekarno.
Itulah debut politik pertama Soekarno. Kendati demikian, ia sudah lama mengunyah banyak pemikiran politik. Saat itu, sebagai pelajar HBS di Surabaya, Soekarno indekos di rumah HOS Tjokroaminoto, tokoh terkemuka dari pergerakan “Sarekat Islam”. Rumah HOS Tjokroaminoto sering menjadi tempat konsolidasi kaum pergerakan. Tokoh-tokoh pergerakan, seperti Sneevliet (tokoh komunis), Semaun, Musso, dan Alimin, sering bertandang ke sana. Soekarno menyebut rumah HOS Tjokroaminoto sebagai “dapurnya api nasionalisme”.
Selain itu, di waktu senggangnya, Soekarno rajin mengunjungi perpustakaan milik perkumpulan Theosofi. Di sanalah ia mengakrabi bacaan-bacaan mengenai tokoh besar dunia, seperti Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Mazzini, Cavour, Garibaldi, Otto Bauer, Marx, Friedrich Engles, Lenin, Rousseu, Jean Jaures, dan lain-lain.
Persinggungan Soekarno dengan HOS Tjokroaminoto membuatnya dekat dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1921, Soekarno sudah menulis di koran SI: Oetoesan Hindia. Di setiap artikelnya Soekarno menggunakan nama samaran: Bima. Di koran itu Soekarno menulis sekitar 500 artikel dan komentar.
Tri Koro Darmo/Jong Java
Pada tahun 1915, puluhan pelajar STOVIA mendirikan organisasi kepemudaan bernama Tri Koro Darmo (Tiga Tujuan Mulia). Tiga tujuan mulia itu adalah: pertama, mengadakan hubungan antara pelajar pribumi yang belajar di sekolah-sekolah tinggi dan menengah, juga di kursus-kursus pendidikan lanjut dan Vak; kedua, membangkitkan dan meningkatkan minat terhadap kesenian dan bahasa nasional; dan ketiga, memajukan pengetahuan umum para anggota. (Hans Van Miert, 2003).
Kendati organisasi pemuda ini didirikan oleh kaum terdidik, yang sudah mendapat asupan pemikiran barat di sekolahnya, tetapi sangat berorientasi nasionalisme-etnik. Cita-citanya adalah membangkitkan nasionalisme Jawa di bumi Jawa. Sudah begitu, sebagian besar anggotanya adalah anak-anak priayi, yang sangat taat dan hormat kepada majikannya: Belanda. Dan, sebagai konsekuensinya, organisasi ini sangat menjaga jarak dengan gerakan politik.
Pada tahun 1918, Tri Koro Darmo berganti nama menjadi Jong Java. Tetapi pergantian nama tidak mengubah orientasi dan cara kerja organisasi ini secara mendasar. Organisasi ini tetap menitik-beratkan pekerjaannya di bidang seni dan kebudayaan Jawa, dan sengaja menghindar dari soal-soal politik.
Namun, bukan berarti tidak ada upaya menyeret organisasi ini menjadi politis. Pada kongres ke-II Jong Java di Jogjakarta, 1-2 Juni 1919, dua tokoh komunis, yakni Darsono dan Semaun, sengaja datang ke kongres untuk mengagitasi para ‘cendekia muda’ ini agar memihak perjuangan kaum proletar. Namun, seolah-olah seruan Darsono-Semaun itu membentur batu karang.
Namun demikian, tetap saja ada segelintir anggota Jong Java yang tertarik dengan politik. Karenanya, untuk menyogok mereka, Kongres membolehkan anggota Jong Java bergelut dengan politik “teoritis”, yakni politik sebagai objek studi, tetapi bukan politik sebagai sebuah gerakan yang melibatkan massa.
Dua Faksi Di Tubuh Jong Java Surabaya
Di Surabaya, pada tahun yang sama, para pelajar MULO, HBS dan NIAS juga mendirikan Tri Koro Darmo cabang Surabaya. Soekarno, yang saat itu menjadi pelajar HBS, segera bergabung dengan Tri Koro Darmo cabang Surabaya.
Yang menarik, seperti dicatat Hans Van Miert dalam bukunya “Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1919-1930, Jong Java cabang Surabaya terbelah dalam dua kubu (faksi), yakni ‘Kaum Merah’ dan ‘Kaum Halus’. Kubu Merah berwatak progressif, anti-elitisme, dan anti-kolonial. Sementara kubu Halus berwatak konservatif, sangat feodal, dan sangat patuh dan taat kepada penguasa kolonial.
Soekarno berada di dalam kubu “Kaum Merah”. Pada beberapa kegiatan Jong Java Surabaya, Soekarno sering bersebrangan dengan golongan konservatif. Termasuk dengan ketua Jong Java Surabaya, Soegito. Misalnya, pada 6 Februari 1921, di hadapan 200 orang, Soekarno berhadap-hadapan dengan Soegito. Soekarno menolak berbicara dengan bahasa Belanda. Sebaliknya, Soegito menolak Soekarno berbicara jika tak menggunakan bahasa Belanda.
Di Jong Java cabang Surabaya, Soekarno menjadi pengusung gerakan Djawa-Dipa, yang mempromosikan egalitarianisme dalam masyarakat Jawa. Misalnya, dalam aspek bahasa, gerakan ini berkeinginan menghapus tingkatan-tingkatan dalam bahasa Jawa. Soekarno sendiri memakai bahasa Djawa Ngoko (rendahan). Gerakan ini juga ingin membuang sistem gelar kebangsawanan yang rumit dan hirarkis dengan panggilan sederhanan dan egaliter: sapaan “Wiro” untuk laki-laki dan “Woro” untuk perempuan yang sudah menikah. Sedangkan yang belum menikah dipanggil “Roro”.
Di Kongres ke-V Jong Java di Bandung, Jawa Barat, tahun 1921, terjadi pertempuran antara kaum merah dan kaum halus. Kaum merah berasal dari dua cabang, yakni Surabaya dan Semarang. Dua kota itu memang sangat dipengaruhi oleh gerakan kiri, khususnya PKI.
Soekarno tampil sebagai jubir kaum merah di Kongres itu. Dengan mengutip semboyan Revolusi Perancis: Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan, Soekarno melancarkan argumentasinya tentang perlunya penggunaan bahasa Djawa Dipa. Sayang, usul Soekarno ditolak mentah-mentah dari perwakilan daerah lain.
Tak hanya itu, di forum itu Soekarno juga menolak ide federasi. Baginya, menyelesaikan persoalan rakyat jauh lebih penting ketimbang pembentukan Federasi. “Para intelektual harus memperhatikan nasib rakyat dan melawan kapitalisme terkutuk,” kata Soekarno. Soekarno menganjurkan agar ‘kaum inteligensia muda’ membangun organisasi perjuangan politik massal, yang berhubungan dan membela nasib rakyat.
Sayang, usul Soekarno kurang disambut. Bahkan pers-pers putih, yang pro penguasa kolonial, mencemooh pendapat Soekarno. Semaun, tokoh PKI, yang hadir di forum itu sebagai wartawan, mengecam sikap pers putih yang berdiri memberikan tepuk tangan terhadap pidato yang menolak usulan Soekarno.
Soekarno juga punya usulan progressif terkait keanggotaan Jong Java. Untuk diketahui, Jong Java adalah perkumpulan ekslusif, yang hanya terdiri dari para pelajar dan harus pandai berbahasa Belanda. Saat itu Soekarno mengusulkan agar semua pemuda, termasuk yang bukan pelajar, berhak menjadi anggota Jong Java. Sayang, ide Soekarno itu ditolak oleh Ketua Jong Java Surabaya dan pelajar-pelajar NIAS (sekolah pendidikan Dokter Pribumi di Surabaya).
Untuk diketahui, selain aktif di Jong Java cabang Surabaya, Soekarno juga sering menemani Tjokroaminoto dalam pertemuan-pertemuan atau rapat akbar Sarekat Islam. Ia sering memperhatikan gaya pidato guru politiknya itu. Hingga pada suatu hari, Tjokroaminoto berhalangan untuk menjadi pembicara di sebuah Rapat Akbar. Akhirnya, Soekarno yang menggantikan.
Sekalipun hanya pertemuan kecil, Soekarno memanfaatkannya untuk belajar orasi. Berbeda dengan gaya pidato yang Tjokro yang datar, Soekarno justru memilih menaik-turunkan suaranya. Ia juga lebih menekankan kepada gaya bercerita, yang memungkinkan massa mudah memahami maksudnya.
Sejak itu Soekarno mulai dikenal sebagai ahli pidato. Dia juga makin dikenal sebagai tokoh politik. Lantaran itu, jabatan Sekretaris Jong Java Cabang Surabaya, dan kemudian Ketua Jong Java Surabaya, diserahkan kepadanya.
Faktor Yang Meradikalkan Soekarno
Saya kira, faktor yang membuat Soekarno muda menjadi radikal bukanlah seperti yang ditonjolkan oleh Film Soekarno karya Hanung Bramantyo: Soekarno kecewa karena gagal meminang kekasih Belandanya, Mien Hessels.
Tetapi ada faktor ekonomi-politik yang menyeret Soekarno menjadi radikal. Pertama, Soekarno berasal dari keluarga priayi rendahan. Ayahnya hanya seorang guru biasa. Soekarno sering menyamakan kehidupan masa kecilnya dengan David Copperfield–karakter dalam novel Charles Dickens, yang sejak kecil akrab dengan kehidupan yang melarat. Soekarno kecil tinggal di Mojokerto, Jawa Timur, dengan kehidupan yang pas-pasan. Ia tumbuh dan bergaul dengan rakyat jelata. Hal inilah yang membuat Soekarno, di sepanjang hayatnya, lebih dekat secara emosional dengan rakyat jelata.
Kedua, Soekarno sebagai anak dari bangsa jajahan sering mendapat perlakuan diskriminatif–seperti juga dialami Gandhi ketika tinggal di Afrika Selatan. Berkali-kali Soekarno mendapatkan makian “inlander”, “anak kulit coklat yang goblok”, “bumiputera”, dan lain-lain. Soekarno sering berkelahi dengan anak-anak Belanda karena merasa direndahkan dan dipermalukan.
Ketiga, Soekarno sangat dipengaruhi oleh ide-ide radikal yang berkembang pesat saat itu, terutama nasionalisme radikal, demokrasi, dan marxisme. Melalui ide-ide dan berbagai pemikiran yang diserapnya, Soekarno mendefenisikan keadaan, mempelajari akar ketertindasan bangsanya, dan bagaimana mengubah keadaan.
Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar