Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh dari suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan di Indonesia.Raden Adjeng Kartini lahir pada hari Senin Pahing, 21 April 1879, di Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah (Istri Pertama namun bukan istri Utama)*.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari semua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya adalah Pangeran Ario Tjondronegoro IV, yang diangkat sebagai bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini bernama Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Riwayat Pendidikan R.A Kartini
Kartini bersekolah hingga usia 12 tahun di ELS Europese Lagere School). Setelah 12 tahun, beliau harus tinggal dirumah untuk dipingit**. Dalam masa pingitan, Kartini kemudian belajar sendiri di rumah. Dengan bekal kemampuannya berbahasa Belanda, Kartini kemudian menjalin hubungan korespondensi dengan teman-teman dari negeri Belanda. Dari hubungan surat-menyurat itulah Kartini banyak tertarik dengan pemikira-pemikiran maju perempuan Eropa. Dari titik inilah semua berawal, dari sebuah pemikiran seorang perempuan muda Kartini, yang kemudian mengubah sejarah Bangsa Indonesia.
Pernikahan R.A Kartini
Kartini disuruh menikah oleh orang tuanya, dengan Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang telah memiliki tiga istri. Kartini kemudian menikah pada tanggal 12 November 1903.
Sebagai seorang suami, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat sangat mengerti keinginan Kartini. Beliau kemudian mendukung cita-cita Kartini untuk mendirikan Sekolah wanita. Sekolah Wanita pertama yang didirikan adalah Sekolah Wanita di Rembang, tepatnya di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Dari pernikahannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Kartini melahirkah seorang putra bernama R.M. Soesalit yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari setelah melahirkan putra pertama sekaligus terakhirnya, Kartini menghembuskan nafas terakhir yaitu pada tanggal 17 September 1904. pada saat meninggal, Kartini berusia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Sekolah Kartini
Sebuah organisasi bernama Yayasan Kartini kemudia melanjutkan perjuangan Kartini dengan mendirikan Sekolah Wanita di Semarang pada tahun 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Surat-surat R.A Kartini
Habis Gelap Terbitlah Terang adalah buku yang dikarang Kartini. Judul aslinya adalah ‘Dari Gelap Menuju Terang’. Kartini mendapatkan inspirasi tersebut dari kalimat Kitab Suci ‘mina dulumati ila nuur’.***
Surat Kartini yang legendaries dan banyak diterbitkan dalam bentuk buku adalah Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis Tot Licht). Surat-surat itu pertama kali di bukukan oleh J.H. Abendanon, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Sekalipun banyak kontroversi yang timbul dari penerbitan buku tersebut, namun buah pemikiran Kartini tersebut banyak sekali memberikan kontribusi bagi Bangsa Indonesia, kini dan masa yang akan datang.
Berikut ini beberapa penggalan surat R.A. Kartini dalam buku Door Duisternis Tot Licht (DDTL) atau dalam terjemahan bahasa Indonesianya Habis Gelap terbitlah Terang :
“… dan kami yakin seyakin-yakinnya bahwa air mata kami, yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu akan ikut menumbuhkan benih yang akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi mendatang.” (Surat R.A. Kartini kepada Ny. Abendanon 15 Juli 1902-DDTL, hal. 214)
“… andaikata aku jatuh di tengah-tengah perjalananku, aku akan mati bahagia, sebab bagaimanapun jalannya telah terbuka, dan aku telah ikut membantu membuka jalan itu yang menuju kepada kemerdekaan dan kebebasan Wanita Jawa (*baca: wanita Indonesia)” - DDTL halaman 81
“Aku masih melihat senyumnya yang membuat raut mukanya bercahaya ketika ia berkata: “Ah, ibu, aku mau hidup 100 tahun. Hidup ini terlalu pendek. Pekerjaan banyak sekali menunggu. Dan sekarang aku bahkan belum boleh memulai.” (R.A. Kartini kepada Nyonya Marie Ovink-Soer, yang sudah dianggap ibu oleh Kartini, sebagaimana ditulis Nyonya Marie dalam bukunya: Persoonlijke Herinnering aan R.A. Kartini)
“Teman-teman saya di sini mengatakan agar sebaiknya kami tidur saja barang 100 tahun. Kalau kami bangun nanti, kami baru akan tiba pada jaman yang baik. Jawa (*baca: Indonesia) pada saat itu sudah begitu majunya kami temukan, seperti apa yang selalu kami inginkan.” (Surat R.A. Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 6 November 1899)
Tentang Kartini setelah dipingit
“Gadis itu kini telah berusia 12,5 tahun. Waktu telah tiba baginya untuk mengucap selamat tinggal pada masa kanak-kanak. Dan meninggalkan bangku sekolah, tempat dimana ia ingin terus tinggal. Meninggalkan sahabat-sahabat Eropah-nya, di tengah mana ia selalu ingin terus berada.
Ia tahu, sangat tahu bahkan, pintu sekolah yang memberinya kesenangan yang tak berkeputusan telah tertutup baginya. Berpisah dengan gurunya yang telah mengucap kata perpisahan yang begitu manis. Berpisah dengan teman-teman yang menjabat tangannya erat-erat dengan air mata berlinangan.
Dengan menangis-nangis ia memohon kepada ayahnya agar diijinkan untuk turut bersama abang-abangnya meneruskan sekolah ke HBS di Semarang. Ia berjanji akan belajar sekuat tenaga agar tidak mengecewakan orang tuanya. Ia berlutut dan menatap wajah ayahnya. Dengan berdebar-debar ia menanti jawab ayahnya yang kemudian dengan penuh kasih sayang membelai rambutnya yang hitam.
‘Tidak!’ jawab ayahnya lirih dan tegas.
Ia terperanjat. Ia tahu apa arti ‘tidak’ dari ayahnya.
Ia berlari. Ia bersembunyi di kolong tempat tidur. Ia hanya ingin sendiri dengan kesedihannya.
Dan menangis tak berkeputusan.
Telah berlalu! Semuanya telah berlalu! Pintu sekolah telah tertutup di belakangnya dan rumah ayah menerimanya dengan penuh kasih sayang. Rumah itu besar. Halamannya pun luas sekali. Tetapi begitu tebal dan tinggi tembok yang mengelilinginya.”
Tentang Kartini menyuarakan nuraninya yang merujit terhimpit kungkungan tembok pingitan
“Sahabat-sahabat ayah yang berbangsa Eropah - ini saya ketahui lama kemudian - telah dengan susah payah mencoba mempengaruhi orang tuaku agar mengubah keputusannya untuk memingit aku yang begitu muda dan begitu penuh gairah hidup ini. Tapi orang tuaku tetap teguh dengan keputusannya. Dan aku tetap dalam kurunganku. Empat tahun yang panjang telah kutempuh dalam kungkungan empat tembok yang tebal tanpa sedikit pun melihat dunia luar. Bagaimana aku dapat melaluinya, aku tak tahu lagi. Aku hanya tahu bahwa itu MENGERIKAN.”
“Ketahuilah bahwa adat negeri kami melarang keras gadis2 keluar rumah. Ketika saya berusia 12 tahun lalu saya ditahan di rumah; saya mesti masuk tutupan, saya dikurung di dalam rumah seorang diri sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh keluar ke dunia itu lagi bila tiada serta dengan seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan dengan kami, sebenarnya tiada setahu kami.” (Surat Kartini kepada Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
“Jalan kehidupan gadis Jawa itu sudah dibatasi dan diatur menurut pola tertentu. Kami tidak boleh mempunyai cita-cita. Satu-satunya impian yang boleh kami kandung ialah, hari ini atau besok dijadikan istri yang kesekian dari seorang pria. Saya tantang siapa yang dapat membantah ini. Dalam masyarakat Jawa persetujuan pihak wanita tidak perlu. Ia juga tidak perlu hadir pada upacara akad nikah. Ayahku misalnya bisa saja hari ini memberi tahu padaku: Kau sudah kawin dengan si anu. Lalu aku harus ikut saja dengan suamiku. Atau aku juga bisa menolak, tetapi itu malahan memberi hak kepada suamiku untuk mengikat aku seumur hidup tanpa sesuatu kewajiban lagi terhadap aku. Aku akan tetap istrinya, juga jika aku tidak mau ikut. Jika ia tidak mau menceraikan aku, aku terikat kepadanya seumur hidup. Sedang ia sendiri bebas untuk berbuat apa saja terhadap aku. Ia boleh mengambil beberapa istri lagi jika ia mau tanpa menanyakan pendapatku. Dapatkah keadaan seperti ini dipertahankan, Stella?”
(surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 6 November 1899)
(surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 6 November 1899)
“Mengapa kami ditindas? Itu membuat kami memberontak. Mengapa kami harus mundur? Mengapa sayap kami harus dipotong? Tak lain karena tuduhan dan fitnah orang-orang kerdil yang berpandangan picik. Untuk memuaskan orang-orang macam itulah kami harus melepaskan cita-cita kami. Andaikan betul-betul perlu, benar-benar tidak dapat dielakkan, kami akan tunduk. Namun kenyataannya tidak demikian. Segala-galanya berkisar pada pendapat umum. Semua harus dikorbankan untuk itu. Dikatakan: Orang akan bilang ini atau bilang itu, kalau kami lakukan apa yang kami lakukan dengan seluruh jiwa kami. Dan siapakah orang-orang itu? Dan untuk orang-orang macam itu kami harus menekan keinginan kami, harus membunuh cita-cita kami, dan mundur kembali ke alam gelap.” (Kartini, 1901)
“Lalu akan saya robohkan rintangan-rintangan yang dengan bodoh telah dibangun untuk memisahkan kedua jenis. Saya yakin, kalau ini sudah terlaksana, akan banyak manfaatnya, terutama untuk pria. Saya tidak percaya bahwa pria yang berpendidikan dan mempunyai sopan santun akan sengaja menghindari pergaulan dengan wanita-wanita yang berpendidikan dan berpandangan setaraf dengan mereka…”
Tentang Ibu Pertiwi
“Dalam kebudayaan kita sering disebut-sebut Ibu Pertiwi. Bagi saya Ibu Pertiwi bukanlah suatu dewi. Tetapi apabila kita hendak melambangkan sumber kekuatan dari perlambang itu, marilah kita memandang sumber-sumber yang nyata, yang kongkrit, dalam diri beratus-ratus, beribu-ribu ibu, yang dengan penuh ketekunan mengasuh, menjaga, dan memungkinkan kita memberikan darma bakti kepada nusa dan bangsa, kepada tanah air yang kita cintai bersama
Ibuku berlalu setelah melaksanakan sumbangsihnya sampai sudah lanjut umurnya. Berlalu dengan mewariskan kemesraan dan kecintaan. Berlalu dengan meninggalkan pesan.
Kita akan meninggalkan tempat ini mungkin dengan tambahan tekad untuk menghargai ibu-ibu yang masih dan yang akan melaksanakan panggilan hidupnya. Mudah-mudahan hal ini merupakan sumbangsih yang kecil dari keluarga kami untuk kekuatan, persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, yang sama-sama kita tegakkan dan sama-sama kita cintai.
Kita akan meninggalkan tempat ini mungkin dengan tambahan tekad untuk menghargai ibu-ibu yang masih dan yang akan melaksanakan panggilan hidupnya. Mudah-mudahan hal ini merupakan sumbangsih yang kecil dari keluarga kami untuk kekuatan, persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, yang sama-sama kita tegakkan dan sama-sama kita cintai.
Kami banggakan kesederhanaan Ibu, yang tetap berhasil menciptakan tazim kami dengan cara beliau sendiri, sehingga dengan keyakinan kami masing-masing yang beliau selalu hormati, kami mempunyai keleluasaan untuk berbakti. Inilah kekuatan dan kekayaan yang kiranya subur di tanah air kita yang sama-sama kita bina dan jaga.
Kesederhanaan saya tonjolkan, karena pesan yang dapat diambil ialah: Dengan kesempatan dan perlengkapan kita yang lebih banyak daripada yang dimiliki Ibu, maka diharapkan dari kita semua peningkatan dari apa yang dicapai oleh beliau.”(R.A. Kartini)
Tentang Peranan Wanita sebagai Pendidik
“Siapakah yang akan menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral pada masyarakat. Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia dapat menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu padanya.
Sebagai seorang ibu, wanita merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam pangkuannyalah seorang anak pertama-tama belajar merasa, berpikir dan berbicara, dan dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai arti yang besar bagi seluruh hidup anak…”
“Tangan ibulah yang dapat meletakkan dalam hati sanubari manusia unsur pertama kebaikan atau kejahatan, yang nantinya akan sangat berarti dan berpengaruh pada kehidupan selanjutnya. Tidak begitu saja dikatakan bahwa kebaikan ataupun kejahatan itu diminum bersama susu ibu. Dan bagaimanakah ibu Jawa dapat mendidik anak kalau ia sendiri tidak berpendidikan?”
“Hanya sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat. Lingkungan keluarga (orang tua) harus membantu juga. Malahan lebih-lebih dari lingkungan keluargalah yang seharusnya datang kekuatan mendidik. Ingatlah! Keluarga (orang tua) dapat memberikan pengaruhnya siang-malam, sedang sekolah hanya beberapa jam saja…”
“Binalah mereka (putri2 bangsawan) menjadi ibu2 yang pandai, cakap dan sopan. Mereka akan giat menyebarkan kebudayaan di kalangan rakyat. Sadar akan panggilan moral dalam masyarakat mereka akan menjadi ibu2 yang penuh kasih sayang, pendidik yang baik dan berguna bagi masyarakat yang memerlukan bantuan dalam segala bidang.” (Berikanlah Pendidikan Kepada Bangsa Jawa *baca: Indonesia - Nota R.A. Kartini tahun 1903 yang dipublikasikan melalui berbagai surat kabar.)
Tentang Emansipasi
“Akan datang juga kiranya keadaan baru dalam dunia bumiputra, kalau bukan oleh karena kami, tentu oleh orang lain, kemerdekaan perempuan telah terbayang-bayang di udara, sudah ditakdirkan…” (Surat R.A. Kartini kepada temannya Zeehandelaar, 9 Januari 1901)
“Bukan hanya suara dari luar saja, suara yang datang dari Eropah yang beradab, yang hidup kembali itu, yang datang masuk ke dalam hati saya, yang jadi sebab saya ingin supaya keadaan yang sekarang ini berubah. Pada masa saya masih kanak-kanak, ketika kata EMANSIPATIE belum ada bunyinya, belum ada artinya bagi telinga saya, serta karangan dan kitab tentang pasal itu masih jauh dari jangkauan saya, telah hidup dalam hati saya suatu keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri. Keadaan sekeliling saya memilukan hati, menerbitkan air mata karena sedih yang tidak terkatakan, keadaan itulah yang membangunkan keinginan hati saya itu. Dan karena suara yang datang dari luar yang tiada putus-putusnya sampai kepada saya, keras makin keras jua, maka bibit yang ada dalam hati saya, yaitu perasaan yang merasakan duka nestapa orang lain yang amat saya kasihi, tumbuhlah, sampai berurat berakar, hidup subur serta dengan rindangnya.” (s.d.a, 25 Mei 1899)
Tentang pergolakan batin dan semangat
“Siapa yang melihat atau menduga dahsyatnya pergolakan yang menggelora dalam batin gadis remaja ini? Tidak ada seorangpun yang dapat menduganya. Ia menderita seorang diri. Tidak ada orang tua atau saudara yang menduga apa yang bergolak dalam hatinya, dan memberi simpatinya kepadanya. Dimanakah ia akan dapat meletakkan kepalanya yang capek ini dan melepaskan tangis kesedihannya?”
“Memang suatu pekerjaan yang seolah-olah tak mungkin dapat dikerjakan! Tetapi siapa tidak berani, takkan menang! Itulah semboyanku. Maka ayo maju! Bertekad saja untuk mencoba semua! Siapa nekad, mendapat tiga perempat dari dunia!”
Tentang para pelopor zaman
“Pada jaman manapun dan dalam bidang apapun, kaum pelopor selalu mengalami rintangan-rintangan hebat. Itu kami sudah tahu. Tetapi betapa nikmatnya memiliki suatu cita-cita. Suatu panggilan. Katakanlah kami ini orang-orang gila… Atau apa saja… Tetapi kami tidak dapat berbuat lain. Kami tidak berhak untuk tinggal bodoh, bagaikan orang-orang yang tidak berarti. Keningratan membawa kewajiban.”(Kartini, awal 1900)
Tentang Cita-cita Menjadi Guru
“Karena saya yakin sedalam-dalamnya bahwa wanita dapat memberi pengaruh besar kepada masyarakat, maka tidak ada yang lebih saya inginkan daripada menjadi guru, supaya kelak dapat mendidik gadis-gadis dari para pejabat tinggi kita. O, saya ingin sekali menuntun anak-anak itu, membentuk watak mereka, mengembangkan pikiran mereka yang muda, membina mereka menjadi wanita-wanita masa depan, supaya mereka kelak dapat meneruskan segala yang baik itu. Masyarakat kita pasti bahagia kalau wanita-wanitanya mendapat pendidikan yang baik… Di dunia wanita kita terdapat banyak derita yang pedih. Penderitaan yang telah saya saksikan waktu saya masih kanak-kanak itulah yang membangkitkan keinginan saya membawa arus yang tidak mau membenarkan saja keadaan-keadaan yang kolot.” (Kartini, 1901)
“Kami sekali-kali tidak ingin membuat murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropah atau orang Jawa-Eropah. Dengan pendidikan bebas kami bermaksud pertama-tama membuat orang Jawa menjadi orang Jawa sejati, yang menyala-nyala dengan cinta dan semangat terhadap nusa bangsanya, terbuka dengan mata dan hati terhadap keindahan serta kebutuhannya. Kami hendak memberikan kepada mereka segala yang baik dari kebudayaan Eropah, bukan untuk mendesak atau mengganti keindahan mereka sendiri, melainkan untuk menyempurnakannya.”
Tentang Ningrat dan Kebangsawanan
“Sebelum kau menanyakan, aku tidak pernah memikirkan bahwa aku, seperti katamu, adalah keturunan ningrat tinggi. Apakah aku seorang putri raja? Bukan. Raja terakhir yang menurunkan kami, mungkin sudah 25 turunan yang lalu. Ibuku masih berhubungan dekat dengan raja-raja Madura. Buyut beliau masih memerintah sebagai raja dan neneknya adalah puteri yang berhak menggantikan raja. Bagiku hanya ada dua jenis kebangsawanan: kebangsawanan jiwa (akal) dan kebangsawanan budi (perasaan). Menurut perasaanku tidak ada yang lebih gila dan menggelikan daripada orang-orang yang membanggakan keturunannya. apakah sebenarnya jasanya dilahirkan sebagai seorang bangsawan? Dengan otakku yang kecil ini aku tidak dapat menangkapnya…”
“Apa gunanya kaum ningrat yang dijunjung tinggi itu bagi rakyat, kalau mereka dipergunakan oleh Pemerintah untuk memerintah rakyat? Sampai sekarang tidak ada, atau sangat sedikit, yang menguntungkan bagi rakyat. Lebih banyak merugikan - kalau kaum ningrat menyalahgunakan kekuasaannya. Ini tidak jarang terjadi. Keadaan demikian itu harus berubah. Kaum ningrat harus pantas untuk bisa dijadikan pujaan rakyat; sehingga akan banyak mafaatnya untuk rakyat. Pemerintah harus membawa kaum ningrat ke arah itu. Dan satu-satunya jalan ialah memberi PENDIDIKAN yang mantap, yang tidak semata-mata didasarkan pada pengembangan intelektuil, melainkan terutama pada pembinaan watak… Banyak sekali contoh yang membuktikan bahwa tingkat kecerdasan otak yang tinggi sama sekali bukan jaminan akan adanya keagungan moral.”
Tentang Kepedulian Kartini pada rakyatnya
“Tak setetes pun hujan turun dalam tiga minggu ini. Panasnya luar biasa terik. Kami tak pernah mengalami sepanas ini. Bahkan tidak pada musim kemarau yang terkering pun.
Ayah sampai putus asa. Bibit pada di sawah telah menyoklat. O, kasihan! Kasihan rakyatku! Selama ini rakyat di daerah kami selalu kecukupan pangan sehingga mereka tidak pernah mengenal adanya bencana kelaparan. Akan tetapi apa yang belum terjadi bisa saja terjadi. Seperti pada kekeringan di musim hujan ini yang sudah merupakan pertanda buruk. Apa yang akan terjadi kalau kekeringan dan panas yang terik ini berlangsung terus? Sejak beberapa hari ini tiap pagi betiup angin yang biasanya baru datang di bulan Mei. Pancaroba-kah ini? Atau musim kemarau telah bermula?
Ayah sampai putus asa. Bibit pada di sawah telah menyoklat. O, kasihan! Kasihan rakyatku! Selama ini rakyat di daerah kami selalu kecukupan pangan sehingga mereka tidak pernah mengenal adanya bencana kelaparan. Akan tetapi apa yang belum terjadi bisa saja terjadi. Seperti pada kekeringan di musim hujan ini yang sudah merupakan pertanda buruk. Apa yang akan terjadi kalau kekeringan dan panas yang terik ini berlangsung terus? Sejak beberapa hari ini tiap pagi betiup angin yang biasanya baru datang di bulan Mei. Pancaroba-kah ini? Atau musim kemarau telah bermula?
Ngeri! Kami semua tak berdaya. Betapa sedihnya melihat bibit yang ditanam menyoklat dan layu. Dan kami tak dapat berbuat apa-apa. Manusia tak bisa membuat air.
Kirimkan pada kami dingin dari negerimu. Nyonya boleh mengambil panas dari sini seberapa Nyonya mau.” (Surat Kartini kepada Nyonya Nellie van Kool)
Kirimkan pada kami dingin dari negerimu. Nyonya boleh mengambil panas dari sini seberapa Nyonya mau.” (Surat Kartini kepada Nyonya Nellie van Kool)
“Karena musim panas yang berkepanjangan ini, hampir seluruh panen gagal di daerah ini. Daerah sekitar Grobogan paling menderita di mana bencana kelaparan mulai merajalela. Di Demak, di mana 26 ribu bahu sawah gagal dipanen, serangan kolera telah pula mengganas. Sementara orang-orang dengan cemas menunggu datangnya musim hujan yang akan membanjiri daerah ini. Sungguh tanah yang malang! Pada musim kemarau ia gersang dan pada musim hujan ia kebanjiran.”(Surat Kartini kepada Stella)
Tentang Kebanggaan Kartini atas kerajinan dan kesenian rakyatnya
“Hura! Untuk kesenian dan kerajinan rakyat kami! Hari depannya sudah pasti akan cemerlang. Aku sulit untuk mengatakan betapa girang, terima kasih dan beruntungnya kami di sini.
Kami sangat bangga atas rakyat kami. Mereka yang kurang dikenal dan karena itu juga kurang dihargai. Hari depan kaum seniman Jepara sekarang sudah terjamin. Tuan Zimmerman tak habis-habisnya memuji hasil karya para seniman rakyat berkulit coklat yang sering dihina ini. Para pengrajin kami di sini baru saja mendapat pesanan besar dari Oost en West untuk perayaan hari Sinterklaas.
Kami menikmati anugerah ini. Kini seniman-seniman yang cakap itu dapat menuangkan gagasan-gagasan mereka yang indah. Gagasan yang puitis pun dapat terjelma dalam bentuk-bentuk yang indah, garis-garis yang ramping, mengombak dan melenggok dalam warna-warna cemerlang.” (Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, anak dari Mr. J.H. Abendanon)
Tentang kecintaan Kartini menjadi bagian dari rakyatnya
“Untuk pertama kali namaku disebut di muka umum bersama rakyatku. Di situlah tempat namaku seterusnya. Aku bangga Stella, bahwa namaku disebut senafas dengan rakyatku!”
Tentang kesadarannya akan adanya Tuhan
“… Banyak sekali kejadian pada waktu akhir2 ini menunjukkan bahwa manusia hanya menimbang2. Tuhanlah yang akhirnya menetapkan. Semua itu merupakan peringatan kepada kita semua yang berpandangan picik supaya kita jangan sombong: jangan mengira bahwa kita mempunyai ‘kemauan sendiri’. ada suatu Kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih besar daripada semua kekuasaan di dunia. Ada Kemauan yang lebih kuat dan lebih kuasa daipada semua kemauan manusia dijadikan satu. Celakalah orang yang membusungkan dadanya dan mengira bahwa kemauannya adalah sekuat baja! Hanya ada satu kemauan yang boleh dan harus kita miliki, yaitu kemauan untuk mengabdi kepada Kebaikan!… Sekarang kami memegang erat tangan Dia. Dia-lah yang mengarahkan kami, menilai dengan penuh kasih sayang… Di situ GELAP MENJADI TERANG, taufan menjadi angin tenang. Sebetulnya semua di sekitar kami masih sama saja, tetapi bagi kami telah tidak sama lagi. Telah terjadi perubahan dai dalam kami yang menyinari segala2nya dengan cahaya-Nya. Kami merasa tenang dan damai dalam jiwa kami… Kami selalu memohon agar diberi kekuatan untuk memikul baik duka maupun suka. Terutama dalam suka, sebab dalam bersuka ria terdapat godaan… Kami tak dapat mengatakan betapa besar terima kasih kami bahwa kami telah berkenalan dengan Nyonya van Kol…”
“… Tahukah kau siapa yang membuka tabir di muka mata kami? Ialah: Nellie van Kol. Tetapi yang sekarg menuntun kami untuk menemukan Tuhan ialah Ibu. Sungguh bodoh kami ini. Sepanjang hidup kami memiliki mutiara segunung di samping kami, tetapi kami tidak melihatnya, tidak mengetahuinya. Sungguh, betul2 bodoh dan sok tahu kami ini. Dan kau sekarang tak dapat membayangkan betapa bahagia Ibu dan para sesepuh lainnya, melihat perubahaan hidup kejiwaan kami. Tak satu kata celaan keluar dari mulut mereka. Hanya: ‘Tuhan baru sekarang berkenan membuka hati kalian. Bersyukurlah!’”. (Surat Kartini kepada anak Abendanon)
Tentang Angan-angan Kartini
“… Semoga melalui banyak sekali penderitaan dan kesedihan, kami berhasil menciptakan sesuatu. Bagi rakyat kami. Terutama yang bermanfaat bagi kaum wanita kami - bagaimanapun kecilnya. Andaikata ini pun tidak terlaksana, semoga penderitaan dan perjuangan kami berhasil menarik perhatian khalayak ramai terhadap keadaan-keadaan yang perlu diperbaiki. Dan andaikata itu pun tidak dapat kami capai, wahai, setidaknya kami telah berusaha berbuat baik, dan kami yakin benar bahwa air mata kami, yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu, akan ikut menumbuhkan benih yang kelak akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi mendatang.”
Wafat dan warisan
Pada tanggal 17 September 1904, pada usia 25, Kartini meninggal dunia di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, karena komplikasi dari melahirkan anak pertamanya. Tujuh tahun setelah kematiannya, salah satu koresponden nya, Ny Jacques H. Abendanon, menerbitkan koleksi surat-surat Kartini, yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Pikiran Tentang dan Atas Nama Rakyat Jawa” Di Indonesia.
Kini Raden Ajeng Kartini mendapat julukan “pendekar wanita” dan memperoleh gelar Pahlawan Nasional Indonesia. Hari Kartini diperingati setiap tahun pada tanggal 21 april, tepat pada hari kelahiran atau hari ulang tahun Kartini. Selain itu, lagu wajib berjudul “Ibu Kita Kartini” juga sering dikumandangkan di sekolah-sekolah seluruh Indonesia.
Kutipan :
* Hal ini disebabkan karena M.A Ngasirah bukanlah bangsawan dari kelas yang tinggi. Pada waktu itu untuk menjadi seorang Bupati, harus beristrikan seorang bangsawan. Maka ayah R.A Kartini kemudian menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), yang merupakan keturunan langsung Raja Madura.
** Pada masa itu, seorang perempuan ketika beranjak dewasa haruslah dipingit untuk kemudian di nikahkan dengan calon suaminya kelak.
*** Referensi dari Wikipedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar