Kembang sungsang dinang kunang Kotak kurawis wayang Lindu nira bumi bengkah Adam adam babu hawa Siskang danur wilis Ingkang ngagelaraken cahya nur cahya Anwas anwar ngagelaraken Malih kang danur citra Nurcahya nursari nurjati Dangiang wayang wayanganipun Semar sana ya danar guling Basa sem pangangken-angken Mareng ngemaraken Dat Kang Maha Tunggal Wayang agung wineja wayang tunggal Wayang tunggal

Jumat, 07 Juni 2013

Keadilan Sosial



Saudara-saudara, Negara kita berisikan masyarakat adil dan makmur ataukah exploitation de l’homme par l’homme? Saya bisa menceritakan penderitaan rakyat Indonesia yang sudah berpuluh-puluh tahun untuk satu hal. Yaitu gandrung kepada satu masyarakat yang adil dan makmur. Saya pada waktu masih muda, sudah ikut bergerak. Saya mengalami parta-partai, saya mengalami Sarekat islam yang dipimpin oleh almarhum HOS Tjokroaminoto. Saya mengalami gerakannya Surjopranoto dengan PSG-nya, Bond dari Serikat Sekerja Gula. Saya mengalami perjuangan Sosrokardono dengan ia punya PPPB. Saya mengalami Sarekat Rakyat, saya mengalami PKI. Kenal itu semuanya.

Saya pernah ngesot di kakinya almarhum Dr. Tjiptomangunkusumo. Saya meguru kepada Douwes Dekker alias Setiabudi. Saya meguru kepada Ki Hadjar Dewantara. Saya kenal semua gerakan-gerakan dan pemimpin-pemimpin ini dan bukan saja kenal kepada mereka itu, Saudara-saudara, tetapi juga saya kenal akan cita-cita yang dicetuskan oleh mereka itu, dan yang mengisi dada rakyat seluruh Indonesia. Saya mengenal korbanan-korbanan yang diberikan oleh rakyat Indonesia untuk mencapai cita-cita ini. Yaitu cita-cita apa? Cita-cita masyarakat adil dan makmur.

Tjokroaminoto dengan ia punya suara yang seperti perkutut manggung, Saudara-saudara, dengan ia punya Sarekat Islam. Ia selalu berkata: Cita-cita kita bangsa Indonesia ialah satu masyarakat yang tidak ada zondig kapitalisme di dalamnya. Ia memakai perkataan zondig kapitalisme. Satu masyarakat yang di dalam istilah sekarang: adil dan makmur. Pak Semaun, yang sejak lebih muda daripadamu, saya kenal dia sejak umur 19 tahun, Saudara-saudara, masih pakai cripu, trumpah, pakai kain Jawa, pakai destar. Apa ayng ia anjurkan dan apa yang dijadikan respons oleh rakyat Indonesia kepadanya, tak lain dan tak bukan ialah masyarakat yang adil dan makmur.

Apa yang dicita-citakan oleh NIP, National IndischePartij, yang dipimpin oleh Dr. Tjiptomangunkusumo, Suwardi Surjaningrat alias Ki HadjarDewantara, Dr. Douwes Dekke alias Setiabudi? Apa yang dicita-citakan oleh mereka itu? Bukan saja negara merdeka, tetapi juga satu masyarakat yang adil dan makmur. Dan sebagai tadi saya katakan, saya mengenal korbanan-korbanan yang diberikan oleh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita ini. Saya mengenal puluhan ribu orang meringkuk di dalam penjara Kalisosok, Surabaya. Mengenal puluhan ribu orang yang meringkuk di dalam penjara di Pamekasan, Nusakambangan, Pekalongan, Sukamiskin.

Puluhan ribu bangsa kita, Saudara-saudara, menderita dengan muka yang tersenyum, untuk cita-cita ini. Saya mengenal ribuan orang yang dikirim Belanda ke Boven Digul. Ada yang lebih sengsara lagi daripada Tanah merah, saudara-saudara, yaitu yang dinamakan Tanah Tinggi. Buat apa mereka pergi ke Boven Digul? Dengan muka tersenyum, membawa istri dan anaknya secara orang yang dibuang, Saudara-saudara. Buat apa mereka rela pergi ke hutan rimba raya Boven Digul? Tanah Merah, Tanah Tinggi? Tak lain tak bukan ialah karena cita-cita: masyarakat adil dan makmur. Ratusan, ribuan, puluhan ribu bangsa kita telah menderita untuk cita-cita yang satu ini. Ribuan bangsa kita telah dibuang ke Digul, ke Muting, e Banda, ke Flores, ke Timor. Untuk apa? Untuk cita-cita ini, kecuali cita-cita politik, yaiti negara yang erdeka. Kalau kita ingat akan korbanan-korbanan ini, kalau kita ingat akan perjuangan-perjuangan ini, Saudara-saudara, maka kita mendurhakai Proklamasi 17 Agustus 1945, kalau kita tidak setia kepada cita-cita masyarakat adil dan makmur.

Kuliah umum di Istana Negara, tanggal 3 April 1958.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar