Kisah 'Marhaen' Inspirasi Soekarno kata yang cukup pas melukiskan makam Marhaen di Kampung Cipagalo, RT 04/03, Kelurahan Mengger, Bandung Kidul, Kota Bandung.
Marhaen adalah seorang petani kecil yang menginspirasi presiden pertama RI, Soekarno. Soekarno mendengungkan nama Marhaen dalam pidato pembelaan Indonesia Menggugat, Agustus 1930. Mengecam penjajahan kolonial karena membuat para pemilik tanah yang menggarap lahannya sendiri dan peralatan pribadi tetap hidup miskin.
Mungkin masih bisa kita kenang, bagaimana dialog antara Bung Karno dengan Marhaen. Ketika itu, Bung Karno masih menuntut ilmu di Sekolah Teknik Tinggi Bandung, sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), berjalan-jalan ke daerah Bandung sebelah selatan dan bertemu dengan seorang petani bernama Marhaen.
Dalam dialognya yang berbahasa Sunda itu kurang lebih artinya seperti ini: "Bapak, ini sawah milik siapa?
"Milik saya, anugerah Tuhan.
"Cangkul ini milik siapa?"
"Saya."
"Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa?"
"Punya saya."
"Sawah ini kau beli?
"Tidak, tapi warisan turun-temurun, sebagai anugerah Tuhan.
"Digarap oleh siapa?
"Oleh saya.
"Hasilnya untuk siapa?
"Dinikmati oleh saya sekeluarg
"Apakah itu cukup untuk keperluan kamu?"
"Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami."
"Apakah kamu juga bekerja menggarap tanah orang?"
"Tidak. Saya harus bekerja keras. Semua tenaga saya untuk lahan saya sendiri."
"Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?"
"Benar, saya hidup dalam kemiskinan."
Percakapan inilah yang menjadi dasar inspirasi Bung Karno dalam menciptakan karya utamanya, Marhaenisme. Marhaen dalam pikiran Bung Karno adalah pemilik jiwa nasionalisme dan demokrasi, manusia merdeka dan mandiri. Tidak menggantungkan kepada siapa pun dalam mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya.
Puluhan tahun, tak banyak yang peduli dengan Marhaen, keluarga Marhaen, bahkan makam Marhaen. Bangunan makam Marhaen berukuran sekitar 3x4 meter persegi tersembunyi di daerah pinggir permukiman masyarakat, berdiri di antara beberapa rumah warga dan dinding pagar sebuah kompleks perumahan elite di Batu Nunggal.
Saat Tribun mengunjungi makan itu, canggah (keturunan keempat) Marhaen, Sinta dan Imel sedang membersihkan makam. Cukup banyak kotoran yang harus dikeluarkan dari bangunan itu. Udara pun segera bercampur debu.
"Jarang dibersihkan," ujar Sinta. Selain debu, gadis yang baru menyelesaikan ujian
nasional (UN) SMP itu menyapu daun-daun kering juga kotoran unggas. Beruntung, makam itu dikunci memakai gembok.
Cucu Marhaen yang masih hidup, Ayid (62), mengaku keluarga membersihkan makam itu 2-3 kali dalam sepekan. Ia merupakan putri dari Ki Udung. Ayahnya sebagai anak tunggal Marhaen.
"Memang sengaja menutup pintu agar binatang serta ayam dan entok tidak mudah masuk ke makam," ujarnya kepada Tribun di rumahnya, nomor 28, RT 02/03, Kampung Cipagalo, Jumat (1/6).
Kotoran bisa makin banyak menumpuk di dalammnya. Pasalnya, bangunan itu berada dekat dua kandang ayam. Area itu pun tempat favorit sejumlah unggas, ayam dan bebek, mengais makanan. Belum lagi, guguran dedaunan pohon nangka yang jatuh ke area sekitar makan atau bahkan terbang masuk ke dalam makam.
Bangunan permanen itu diwarnai cat krem, berlantai keramik putih. Nampak seperti bangunan baru di antara bangunan di sekitarnya. Ada dua makam di dalamnya, milik Marhaen, satu lagi milik istrinya, Arsama. Dua makam bercat merah kecoklatan itu sejajar. Bangunan makam yang baik itu, ucapnya, berkat bantuan seseorang.
Ada sebuah tugu batu di atas kepala dua makam itu. Pada tugu batu itu tertulis, Marhaen wafat pada 1943. Para tugu yang sama tertera nama Soekarno, 'Bung Karno penyambung lidah rakyat'. Semuanya dalam huruf kapital. Namun, tanah kering tampak di tengah makan tanpa bekas taburan kembang.
Selain itu, ada enam makam kecil di depan bangunan makam Marhaen, nampak tidak terlalu terurus karena tertutup daun-daun kering. Makam-makam itu adalah makam Udung dan istrinya dan beberapa saudara Ayid. Di sisi kanan bangunan makan Marhaen merupakan lahan kosong yang penuh tumpukan batu bekas bangunan.
Ada enam makam juga di sana dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Rumput tumbuh subur di empat makam. Dua kubur lain dikelilingi pagar bambu dan tanaman merambat. Area itu sebagian sebagai jemuran pakaian. Rumah Ayid tidak jauh dari makam itu.
Rumah itu dicapai hanya melewati beberapa lorong kecil di antara rumah-rumah. Perempuan itu mengatakan, istri Soekarno, Fatmawati, pernah mengunjungi makam itu. Demikian pula, sepupuh mantan presiden RI Soeharno, Probosutedjo. Selain itu, katanya, belum ada lagi.
Menurutnya, kunjungan terakhir menjelang pemilihan umum 2004. Beberapa tokoh partai politik ramai-ramai ke makam kakek Ayid. Kala itu, lanjutnya, mereka, berjanji memugar makam Marhaen serta membantu kehidupan keluarga Marhaen yang masih bekerja sebagai petani.
Namun, sejak itu belum ada yang berkunjung ke makam kakeknya. Janji-janji itu pun menguap begitu saja. "Mungkin ada yang bakal ziarah menjelang pemilihan (pemilu) nanti (2014)," katanya. Rumah Ayid sederhana dan tanpa banyak rias.
Selain foto keluarga, pada dinding rumah Ayid tergantung gambar Soekarno dalam bingkai yang mulai lapuk. "Gambar itu, mulai 1963 atau 1964," ujarnya. Tak ada potret enam presiden selanjutnya. Ayid tidak banyak komentar mengenai hal itu. "Hanya gambar ini aja yang ada," katanya.
Namun, seolah, Ayid tak punya sesuatu pun yang mengingatkan pada kakeknya. Tidak ada gambar sang kakek di rumah itu. "Saya juga tidak terlalu banyak tahu cerita tentang Ki Marhaen," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar